Subagio S.Waluyo

Selain dicirikan dengan menampilkan gambar-gambar ilustrasi, karikatur, dan foto, sejak TOKOH KITA menyalurkan semua tulisannya ke website dan blogspot miliknya di hampir sebagian besar tulisan selalu diawali dengan kutipan. Kutipan-kutipan itu bisa berupa lirik-lirik lagu,bait-bait puisi,  teks dari cerpen atau novel, atau ayat-ayat Quran. Semua kutipan yang diletakkan di awal tulisan sebagian ada yang dibahas oleh TOKOH KITA. Meskipun demikian ada juga yang tidak dibahas. Kutipan yang dibahas TOKOH KITA bisa menjadi sumber inspirasi TOKOH KITA untuk menuangkan gagasannya sehingga menjadi tulisan yang utuh dan menarik untuk dibaca. Boleh jadi kutipan yang tidak dibahas sekedar menjadi asesori agar pembacanya ada ketertarikan untuk membaca tulisannya. Berikut ini bisa dilihat beberapa tulisan yang diawali dengan kutipan-kutipan, baik yang dibahas maupun yang dibahas oleh TOKOH KITA.

***

Ketika menulis “Mengeliminasi Patologi Birokrasi” (https://subagio waluyo.com/7-mengeliminasi-patologi-birokrasi/, TOKOH KITA mengawali tulisannya dengan lirik lagu yang ditulis Iwan Fals. Lirik lagu itu berjudul “Ambulance Zig Zag”. Kenapa TOKOH KITA mengawalinya dengan lirik lagu tersebut? Di lirik lagu tersebut Iwan Fals memberikan gambaran yang demikian singkat tentang perlakuan pegawai rumah sakit (diduga RSCM) di masa Orde Baru ketika menghadapi dua orang calon pasien mereka terlihat memperlakukan keduanya demikian berbeda. Ketika menghadapi pasien yang sudah jelas-jelas tergolong `berduit`, mereka melayani dengan cepat. Tanpa `ba-bi-bu` pasien dilayani dengan cepat karena sudah dipastikan keluarga pasien akan segera menyelesaikan urusan administrasinya (apalagi kalau bukan urusan `duit`). Tapi, ketika menghadapi supir bajaj yang sekujur tubuhnya melepuh, mereka melayaninya setengah hati. Bahkan, belum apa-apa sang suster sudah minta ini-itu pada si pasien. Terang saja sang pasien yang sudah merintih kesakitan bertambah sakit mendengar permintaan yang diajukan `suster cantik` yang memperlakukannya secara tidak manusiawi. Coba disimak saja lirik lagu di bawah ini agar semakin jelas informasi yang diterima!

Ambulance Zig Zag

Iwan Fals

 

Deru ambulance

Memasuki pelataran rumah sakit

Yang putih berkilau

 

Di dalam ambulance tersebut

Tergolek sosok tubuh gemuk

Bergelimang perhiasan

 

Nyonya kaya pingsan

Mendengar kabar

Putranya kecelakaan

 

Dan para medis

Berdatangan kerja cepat

Lalu langsung membawa korban menuju ruang periksa

Tanpa basa basi ini mungkin sudah terbiasa

 

Tak lama berselang supir helicak datang

Masuk membawa korban yang berkain sarung

Seluruh badannya melepuh

Akibat pangkalan bensin ecerannya

Meledak

 

Suster cantik datang

Mau menanyakan

Dia menanyakan data si korban

Di jawab dengan

Jerit kesakitan

 

Suster menyarankan bayar ongkos pengobatan

Ai sungguh sayang korban tak bawa uang

Suster cantik ngotot

Lalu melotot

Dan berkata silahkan bapak tunggu di muka

 

Hai modar aku

Hai modar aku

Jerit si pasien merasa kesakitan

 

(https://www.google.com/search?q=lirik+lagu+ambulance+zig+zag&client)

Kutipan berikut ini diambil dari tulisan TOKOH KITA dengan judul “Manajemen Bersih Lingkungan” (https://subagiowaluyo.com/manajemen-ber sih-lingkungan/). Di tulisan tersebut, TOKOH KITA berbicara tentang perilaku para pejabat publik (termasuk aparat Kepolisian dan ABRI) yang berbuat sewenang-wenang terhadap warganya sendiri. Mereka-mereka yang tergolong diindikasikan PKI di KTP-nya diberi tanda sehingga mereka-mereka ini juga mendapat perlakuan tidak adil dari aparat entah itu pejabat publik, polisi, atau TNI. Kenapa para aparat itu memperlakukan seperti itu? Tentu saja hal itu tidak terlepas dari peristiwa sebelumnya di pertengahan tahun `60-an ketika terjadi G30S PKI. Tetapi, yang perlu diketahui tulisan itu tidak dimulai dari perlakuan aparat terhadap rakyat kecil yang diindikasikan terlibat G30S PKI atau anak-anak keturunan yang orang tuannya PKI, melainkan dimulai dari nepotisme, patronase, dan konflik kepentingan. Ketiga masalah yang terdapat di kutipan dibahas oleh TOKOH KITA. Untuk lebih jelasnya bisa disimak kutipan dan uraiannya yang terdapat dalam kotak berikut ini.

 Nepotisme: Pejabat pemerintah mengangkat saudaranya yang tidak kompeten dan punya kualifikasi menjadi pegawai di lingkungan kantornya.

Patronase: Partai politik memenangkan pemilihan umum kemudian memerintah dan mencopot semua pegawai yang mendukung oposisi dan menggantinya dengan orang-orang yang mendukung partai tersebut.

Konflik Kepentingan: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat punya saham di perusahaan tambang dan mendesakkan undang-undang yang memberi konsesi pajak bagi perusahaan tersebut.

 (B. Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, 2018:27)

***

Di masa reformasi tiga masalah sosial di atas masih tetap ada. Tampaknya, penyakit-penyakit sosial hasil peninggalan orde baru belum benar-benar hilang. Bahkan, seperti korupsi kehadiran KPK ternyata tidak membawa efek. KPK sendiri terkesan dalam menangani masalah korupsi masih tebang pilih. KPK diibaratkan seperti pisau bermata dua: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pimpinan KPK sekarang ini sangat mungkin banyak diragukan baik kredibilitas maupun integritasnya. Ketua KPK sendiri masih terbilang aktif di kepolisian. Bagaimana kalau di kepolisian suatu saat ada penyelewengan yang berkaitan dengan  penyalahgunaan anggaran? Apakah bisa dijamin KPK mau melakukan penyelidikan sekaligus penangkapan? Rasa-rasanya sulit untuk dilakukan bukan? Buat kita tampaknya salah satu butir yang terdapat dalam tuntutan reformasi yang tempo hari pernah digadang-gadang: pemberantasan korupsi, tidak banyak bisa diharapkan. Adagium yang mengatakan `seperti menggantang asap` benar-benar berlaku saat ini.

Penempatan anggota Polri di KPK baik sebagai anggota maupun pimpinan jelas tidak menjamin ke depannya keindependenan KPK. Apalagi kalau terbukti mereka yang dari anggota Polri tidak mau mengundurkan diri dari keanggotaannya. Kebijakan penempatan anggota Polri baik di KPK maupun di berbagai instansi pemerintah (walaupun untuk terakhir ini masih boleh dikatakan minim) mengingatkan kita ketika di masa orde baru pimpinan yang berkuasa pada waktu itu menempatkan ABRI di berbagai instansi baik di pemerintahan, BUMN, maupun instansi swasta. Kebijakan orde baru pada waktu itu berkaitan dengan dwi fungsi ABRI. Kalau saat ini, di masa reformasi ada wacana kebijakan penempatan anggota Polri di berbagai instansi, bukankah ini bertentangan dengan salah tuntutan reformasi: pencabutan dwi fungsi TNI/Polri? Ataukah diam-diam TNI juga mengendap-endap ingin juga ditempatkan di instansi pemerintah yang sekarang ini diberikan kewenangan pada Polri?    

(https://subagiowaluyo.com/manajemen-bersih-lingkungan/)

Meskipun dibahas kutipan yang diletakkan di awal tulisan, belum tentu tulisan itu oleh TOKOH KITA langsung dideskripsikan. Salah satu tulisan yang berjudul “Dipaksa Mengaku” (https://subagiowaluyo.com/dipaksa-mengaku/) misalnya, kutipan yang terdapat di situ baru dideskripsikan di paragraf ketiga. TOKOH KITA malah membahas terlebih dahulu tentang kuatnya kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto sebagai presiden. Digambarkan di masa itu sering terjadi intimidasi terhadap orang-orang kecil. Jadi, pelanggaran HAM sudah sulit dikalkulasi karena saking banyaknya pemerintah yang berkuasa pada waktu itu melakukan pelanggaran HAM. Orang-orang akademis yang seharusnya menyuarakan kebenaran justru cenderung bersikap cari aman karena asyik berlindung di `menara gading`. Setelah menulis dua paragraf yang berisikan tindakan kesewenang-wenangan rezim Soeharto dan sivitas akademis yang tidak berdaya menghadapi rezim Soeharto, TOKOH KITA mendeskripsikan petikan kutipan dari cerpen Sori Siregar “Maaf”. Untuk lebih jelasnya silakan disimak tulisan berikut ini.

……………………………………………………………………………………………………………………………

Sebuah persoalan selesai dengan perkataan “maaf” dari pihak petugas barulah Salamat sadar, betapa pentingnya arti kekuasaan. Selama ini ia memang sering membaca dalam surat kabar, tentang banyaknya orang-orang berkuasa yang telah menggunakan kekuasaannya sesuka hati. Tapi soal kekuasaan itu tidak menarik hati. Baru setelah ia sendiri korban dari kekuasaan orang lain, ia menyadari betapa pentingnya untuk memperhatikan keadaan sekitar. Betapa perlunya prihatin kalau ada kemalangan menimpa orang-orang lain, betapa perlunya berjuang bersama-sama memenangkan apa yang dianggap benar. Betapa pentingnya kebersamaan dalam menghadapi suatu peristiwa.

Baru setelah ia sendiri korban dari kekuasaan orang lain, ia menyadari betapa pentingnya untuk memperhatikan keadaan sekitar.Apapun yang terjadi di sekitarnya tidak diperdulikannya. Tidak pernah mendapat perhatiannya. Bahwa ada tetangganya yang kemalingan, ia tidak perduli. Ketika sebuah kecelakaan lalu lintas mengambil korban tiga nyawa tetangganya, ia juga tidak acuh. Bahkan ketika atasannya di kantor menampar seorang rekannya yang dianggap melanggar disiplin, ia juga bersikap masa bodoh terus mengetik tanpa berpaling seakan-akan tidak ada apapun terjadi di sekitarnya. 

 (Cerpen Sori Siregar “Maaf”)

***

Di masa orde baru yang kata orang-orang akademis waktu itu saking kuatnya kekuasaan Soeharto sampai-sampai orang kecil mudah ditekan oleh rezim yang berkuasa. Tidak aneh jika terjadi sekian banyak intimidasi terhadap orang-orang kecil. Masih kata orang-orang akademis yang namanya pelanggaran HAM sudah sulit dikalkulasi. Sedikit-sedikit kalau sudah menyerempet kekuasaan negara stigma PKI atau biasa juga disebut golongan kiri atau ekstrim kiri (sebutan untuk mereka yang tergolong PKI) selalu dilekatkan. Sebaliknya, mereka yang dikenal masyarakat Muslim yang taat beribadah kalau suatu saat mengkritisi kebijakan negara juga dilekatkan ekstrim kanan atau bisa juga disebut di masa reformasi ini: Islam radikal. Anehnya, kalangan yang namanya orang-orang akademis itu tidak berani menyampaikan kebenaran di hadapan rezim yang berkuasa saat itu walaupun di depan mata mereka sendiri diperlihatkan kekejian rezim terhadap sebagian anak bangsa.

Entah ada kecenderungan upaya menyelamatkan diri sendiri atau mental paternalistik yang masih melekat. Kompetensi akademis yang dimilikinya sebagai orang-orang yang sudah seharusnya memperjuangkan kebenaran malah justru disembunyikan. Kalau memang ada di antara mereka yang tergerak menyuarakan hati nuraninya, itu pun boleh dikatakan sangat sedikit karena resikonya mereka harus berhadapan dengan kekuasaan. Sivitas akademika di masa orde baru benar-benar mati. Sivitas akademika baru benar-benar menyuarakan hati nuraninya beberapa saat saja ketika memasuki reformasi. Begitu reformasi berjalan penyakit-penyakit yang dulu pernah ada di masa orde baru kambuh lagi. Sivitas akademika kembali berupaya menyelamatkan diri sendiri. Mereka lebih cenderung asyik di menara gading dengan berbagai asesori kehidupan akademis yang begitu menggiurkan. Masa orde baru di dunia kampus berulang  kembali.

***

Kembali ke masa orde baru, masa orang-orang kecil, masa orang-orang yang berpendidikan rendah, yang tidak bisa membela diri dan tidak ada yang bisa membelanya jika berhadapan dengan kekuasaan. Di masa itu banyak orang yang menyadari begitu pentingnya orang punya kekuasaan sehingga wajar-wajar saja orang yang punya kekuasaan bisa bertindak sesuka hatinya. Gambaran tindakan sewenang-wenang orang-orang yang berkuasa saat itu terekam dalam karya-karya sastrawan di negeri ini. Tidak kurang orang seperti WS Rendra atau Wiji Thukul dari kalangan penyair juga kerap menuliskan dalam karya-karyanya tindakan anarkis rezim orde baru. Di kalangan penulis cerpen juga ada yang merekam masalah-masalah sosial di seputar pelanggaran HAM dan konflik sosial antara penguasa dan rakyat kecil. Sebut saja Sori Siregar dalam cerpennya “Maaf” atau Yanusa Nugroho dalam “Tujuh Puluhan”. Keduanya merupakan sedikit dari sekian banyak sastrawan yang menyuarakan jeritan hati orang-orang kecil.

Sori Siregar dalam “Maaf” mengawali cerpennya tentang ucapan `maaf` yang disampaikan sang petugas setelah menginterogasi habis-habisan orang yang dituduh penjambret (Salamat). Barang bukti yang diambil paksa dari tukang servis jam di belakang hari ternyata bukan barang hasil jambret tapi justru itu milik Salamat, orang yang diseret secara paksa sang petugas ke kantornya. Setelah habis-habisan diinterogasi dengan berbagai makian dan ancaman, Salamat terbukti bukan penjambret. Justru, dia pemilik jam tangan yang sedang menservis jam tangannya. Petugas yang terlanjur menginterogasinya pun cuma mengatakan `maaf`. Seolah-olah dengan kata `maaf` semua persoalan selesai. Padahal orang sudah dilanggar HAM-nya.

(https://subagiowaluyo.com/dipaksa-mengaku/ )

***

Kutipan tulisan berikut ini yang terdapat dalam “Masyarakat Punya Masalah” (https://subagiowaluyo.com/masyarakat-punya-masalah-2/) boleh dikatakan sama sekali tidak disinggung oleh TOKOH KITA. Kutipan itu diambil dari buku Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi oleh B. Herry Priyono. Buku tersebut memang berbicara tentang korupsi. TOKOH KITA juga ketika menulis dengan judul “Masyarakat Punya Masalah-2” juga berbicara tentang korupsi. Sesuai dengan judulnya “Masyarakat Punya Masalah-2”, di situ TOKOH KITA menulis di seputar salah satu masalah masyarakat yang tidak kunjung usai: korupsi. Tentang korupsi bisa dilihat di bawah kutipan tulisan B. Herry Priyono yang terdapat di dalam kotak berikut ini.Walaupun demikian, tulisan tersebut sama sekali tidak menyinggung kutipan tulisan di atasnya. Silakan simak tulisan yang terdapat dalam kotak berikut ini!

Sejarah selalu gelisah. Sejarawan Eric Hobshawn berkisah tentang bagaimana abad 20 mulai dan berakhir. Antara awal dan akhir berlangsung pergolakan, salah satunya berisi pola ini: “Abad ke-20 berkisah tentang bagaimana seorang tuan berkuasa atas semua orang untuk jangka waktu tertentu, atau atas beberapa orang untuk selamanya, tetapi tidak mungkin berkuasa atas semua orang untuk selamanya.”

(Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi/ B. Herry Priyono)

Di sebuah negara kalau terjadi korupsi besar-besaran salah satu penyebabnya adalah buruknya birokrasi. Ada juga di luar birokrasi, seperti mentalitas bangsa yang lemah. Tetapi, perlu diingat, mentalitas bangsa yang lemah juga berakibat pada pengelolaan birokrasi yang buruk. Ujung-ujungnya salah satu faktor penyebab: birokrasi yang buruk. Karena saat ini orang sedang getol-getolnya bicara tentang good governance, bisa saja birokrasi yang buruk merupakan cermin kebalikannya: bad governance. Dari awal memang orang bersemangat mau menerapkan prinsip-prinsip good governance, tapi lagi-lagi mentalitas bangsa yang buruk tujuan yang mulia untuk mewujudkan good governance melenceng ke bad gorvenance. Salah satu buktinya, yaitu makin menjadi-jadi yang namanya korupsi.

Dulu di zaman orde baru korupsi tersentralisasi. Kalau terjadi di daerah, pelaku-pelakunya bisa dihitung dengan jari. Sekarang, di zaman reformasi, korupsi terdesentralisasi. Pelaku-pelakunya  merata bukan hanya pejabat-pejabat negara di pusat, di daerah-daerah juga berpartisipasi korupsi yang namanya pejabat-pejabat daerah dari gubernur, bupati, walikota, kepala-kepala dinas, sampai anggota parlemen terhormat. Jadi,wakil rakyat alias anggota dewan/parlemen terhormat sekarang juga ikut-ikutan korup. Apa ini tidak hebat? Kalau sudah begini, bukankah ini merupakan cermin buruknya birokrasi di negara ini? Bukankah ini juga lebih merupakan cermin tidak efisiennya birokrasi di negara ini? Birokrasi menjadi tertuduh maraknya korupsi di zaman reformasi ini.

(https://subagiowaluyo.com/masyarakat-punya-masalah-2/)

***

 Setiap penulis memiliki kecirian dalam menyampaikan gagasannya. TOKOH KITA juga memiliki kecirian tersendiri. Salah satu kecirian yang ada yang kemungkinan jarang ditemukan oleh penulis-penulis lain adalah ketika menulis buku, TOKOH KITA menjadikan website dan blogspot-nya sebagai tempat menitipkan tulisannya yang kelak setelah dirasakan cukup semua tulisan yang telah dimuat di website dan blogspot-nya dikumpulkan. Karena semua tulisannya diunggah ke website dan blogspot-nya sangat mungkin selain diawali dengan gambar ilustrasi, karikatur, dan foto juga diawali dengan kutipan-kutipan. Semua kutipan tidak seluruhnya dibahas. Sebagian kutipan itu hanya sebagai asesori. Tidaklah aneh jika diterbitkan menjadi buku, semua gambar ilustrasi, karikatur, foto, dan juga kutipan diikutsertakan. Bisa jadi ada orang yang tertarik dengan model penulisan buku seperti itu, tetapi juga tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa TOKOH KITA tidak serius dalam menulis buku. Sikap yang terbaik yang dilakukan TOKOH KITA adalah sikap menerima semua masukan dan kritikan karena dengan cara seperti itu TOKOH KITA tetap aktif dan kreatif menulis.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat