Subagio S. Waluyo

Sejarah selalu gelisah. Sejarawan Eric Hobshawn berkisah tentang bagaimana abad 20 mulai dan berakhir. Antara awal dan akhir berlangsung pergolakan, salah satunya berisi pola ini: “Abad ke-20 berkisah tentang bagaimana seorang tuan berkuasa atas semua orang untuk jangka waktu tertentu, atau atas beberapa orang untuk selamanya, tetapi tidak mungkin berkuasa atas semua orang untuk selamanya.”

(Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi/ B. Herry Priyono)

***

Di sebuah negara kalau terjadi korupsi besar-besaran salah satu penyebabnya adalah buruknya birokrasi. Ada juga di luar birokrasi, seperti mentalitas bangsa yang lemah. Tetapi, perlu diingat, mentalitas bangsa yang lemah juga berakibat pada pengelolaan birokrasi yang buruk. Ujung-ujungnya salah satu faktor penyebab: birokrasi yang buruk. Karena saat ini orang sedang getol-getolnya bicara tentang good governance, bisa saja birokrasi yang buruk merupakan cermin kebalikannya: bad governance. Dari awal memang orang bersemangat mau menerapkan prinsip-prinsip good governance, tapi lagi-lagi mentalitas bangsa yang buruk tujuan yang mulia untuk mewujudkan good governance melenceng ke bad gorvenance. Salah satu buktinya, yaitu makin menjadi-jadi yang namanya korupsi.

Dulu di zaman orde baru korupsi tersentralisasi. Kalau terjadi di daerah, pelaku-pelakunya bisa dihitung dengan jari. Sekarang, di zaman reformasi, korupsi terdesentralisasi. Pelaku-pelakunya  merata bukan hanya pejabat-pejabat negara di pusat, di daerah-daerah juga berpartisipasi korupsi yang namanya pejabat-pejabat daerah dari gubernur, bupati, walikota, kepala-kepala dinas, sampai anggota parlemen terhormat. Jadi,wakil rakyat alias anggota dewan/parlemen terhormat sekarang juga ikut-ikutan korup. Apa ini tidak hebat? Kalau sudah begini, bukankah ini merupakan cermin buruknya birokrasi di negara ini? Bukankah ini juga lebih merupakan cermin tidak efisiennya birokrasi di negara ini? Birokrasi menjadi tertuduh maraknya korupsi di zaman reformasi ini.

(https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/999-korupsi-di-birokrasi)

Birokrasi jadi tertuduh penyebab korupsi. Begitu kira-kira pendapat kita. Kita perlu bukti kalau memang birokrasi menjadi faktor penyebab (salah satunya) korupsi. Supaya dianggap tidak hanya wacana, coba kita simak saja yang dikatakan mantan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo di detiknews. Katanya kita perlu menghayati betul  makna yang terkandung pada warga Cianjur yang mensyukuri penangkapan Bupati Cianjur oleh KPK karena korupsi. Hal itu merupakan refleksi kehendak masyarakat yang rindu pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bersih bukankah telah tercantum dalam tuntutan reformasi termasuk ke dalamnya reformasi birokrasi? Memang betul bukan hanya dijadikan salah satu tuntutan tapi juga telah diimplementasikan pelaksanaannya. Reformasi birokrasi boleh dikatakan telah mencatat progres yang cukup signifikan. Hanya saja belum bisa menangkal atau  mempersempit praktek-praktek kotor pelaku kaum birokrat untuk melakukan korupsi. Reformasi birokrasi dengan demikian belum bisa menangkal korupsi. Untuk itu, perlu ada kerja sama pihak pemerintah (dalam hal ini Kemenpan RB) dengan pihak terkait (dalam hal ini KPK) merumuskan strategi pencegahan korupsi. Nanti dari kerja sama itu publik akan bisa mengukur hasil  maksimal reformasi birokrasi.

Jakarta – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengajak semua unsur birokrasi, baik pemerintah pusat maupun daerah untuk menghayati betul makna dari reaksi warga Cianjur yang mensyukuri penangkapan Bupati Cianjur oleh KPK karena diduga terlibat kasus korupsi.

Menurutnya, hal itu merefleksikan kehendak masyarakat akan rindunya pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

“Reformasi birokrasi memang telah mencatat progres yang cukup signifikan. Tetapi masyarakat merasakan bahwa progres reformasi birokrasi itu belum mampu menangkal atau mempersempit ruang gerak bagi oknum birokrat melakukan korupsi,” ujar pria yang disapa Bamsoet itu, dalam keterangan tertulis, Minggu (16/12/2018).

Bamset menambahkan, dengan fakta korupsi yang masih marak tentu membuat hati nurani rakyat kecewa dan tersakiti. Menurutnya, Reformasi birokrasi selama ini, gagal jika masih belum mampu menangkal korupsi.

“Reformasi birokrasi akan dinilai gagal jika tidak mampu menangkal korupsi. Karena itu, Pemerintah bersama institusi penegak hukum harus mulai merumuskan strategi pencegahan korupsi yang efektif,” ujarnya.

…………………………………………………………………………………………

Berdasarkan kecenderungan itu, Bamsoet mendorong Pemerintah melalui Kemenpan RB untuk membangun kerja sama dengan KPK merumuskan strategi pencegahan korupsi. Pada akhirnya, publik akan menggukur hasil maksimal reformasi birokrasi dari kemampuan sistem birokrasi pusat dan daerah memperkecil ruang bagi oknum birokrat melakukan korupsi.

(https://news.detik.com/berita/d-4346235/ketua-dpr-reformasi-birokrasi-belum-mampu-tangkal-birokrat-korupsi)

Salah satu cara penguatan reformasi birokrasi adalah revisi undang-undang yang berkaitan dengan Aparatur Sipil Negara. Berkaitan dengan ASN atau PNS sebenarnya di masa reformasi telah dua kali mengalami perubahan undang-undang, yaitu UU nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Meskipun demikian, masih saja ada kesan bahwa di negara ini dalam menempatkan ASN belum sesuai dengan prinsip the right person on the right place. Wajar saja kalau di negara ini mengalami kemunduran reformasi birokrasi. Sebagai bukti prinsip the right person on the right place belum diterapkan sepenuhnya, yaitu masih adanya tenaga honorer K2 diangkat menjadi PNS tanpa seleksi. Boleh saja tenaga honorer K2 diangkat menjadi PNS tapi perlu mengedepankan kualitas dan kompetensi. Artinya, biar bagaimanapun tetap dilakukan proses seleksi. Dengan melakukan seleksi ketat diharapkan efektivitas pemerintah akan lancar dan reformasi birokrasi akan mengalami kemajuan.

Birokrasi yang bersih dari korupsi merupakan kehendak masyarakat. Masyarakat juga berkehendak agar birokrasi seusai dengan tugas utama yang diembannya, yaitu menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan sebagai struktur bisa menjamin kelancaran pemerintahan. Gambaran birokrasi yang lamban, yang membosankan, yang rutin, yang buruk, yang rumit prosedur, atau yang stagnan lambat-laun bisa dihilangkan. Selain itu, birokrasi itu identik dengan inefisiensi organisasi juga bisa berganti dengan birokrasi yang efisien sehingga prinsip-prinsip good governance bisa diwujudkan di negara ini. Untuk bisa mewujudkannya tidak cukup dengan merevisi regulasi yang berkaitan dengan ASN, tetapi juga ada keinginan kuat memperbaiki akhlak anak bangsa (termasuk ke para birokrat). Dalam hal ini penyakit-penyakit mental bangsa, seperti mental ABS, mental tidak menghargai waktu, mental meremehkan mutu, mental tidak bertanggung jawab, dan fatalis harus dihilangkan. Untuk menghilangkannya tidak ada cara lain kecuali lewat pendidikan karakter. Dengan pendidikan karakter yang salah satunya berlandaskan nilai-nilai agama diharapkan kita bisa mewujudkan birokrasi yang bersih, birokrasi yang dikehendaki masyarakat.   

***

(https://images.app.goo.gl/pKBfyLxxEKuU8T6z6)

Korban birokrasi yang tidak bersih berakibat fatal. Salah satu di antaranya adalah kekurangmerataan pembangunan. Sejak rezim orde baru mencanangkan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I pada 1 April tahun 1969 Pemerintah Indonesia mulai melaksanakan pembangunan di berbagai daerah. Perlu diketahui Pelita I dimulai 1 April 1969 dan berakhir pada 31 Maret 1974. Seterusnya sampai dengan Pelita VI yang direncanakan baru berakhir pada 31 Maret 1999, tetapi karena terjadi krisis ekonomi, Pelita VI boleh dikatakan mandeg di tengah jalan (http://www.donisetyawan.com/ pembangunan-lima-tahun-pelita/). Di masa reformasi pembangunan baru bisa dimulai di masa Pemerintahan Megawati karena di masa Habibie dan Abdurrahman Wahid selaku presiden lebih memfokuskan pada kestabiltan politik dan keamanan meskipun masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pengendalian inflasi, kinerja BUMN, pemulihan ekonomi, dan mempertahankan kurs rupiah mendesak untuk dilakukan (http://www. markijar.com/2017/07/pembangunan-nasional-masa-orde-lama. html.).

Ada orang berpendapat pembangunan ala orde baru dan reformasi sebenarnya sama saja, yaitu sama-sama menggunakan pendekatan yang digunakan Rostow, yaitu pertumbuhan ekonomi. Karena pembangunan diarahkan ke pertumbuhan ekonomi, wajar-wajar saja kalau pembangunan yang berorientasi pada unsur kejiwaan dan mental bangsa terabaikan. Hal itu terjadi dalam teori Rostow pembangunan atau modernisasi merupakan proses bertahap dari masyarakat tradisional sampai dengan tahap terakhir, yaitu masyarakat modern dengan konsumsi tinggi (masyarakat konsumtif). Dengan demikian, sudah bisa disimpulkan bahwa pembangunan yang dicanangkan oleh rezim orde baru dan reformasi adalah pembangunan ekonomi yang mengarah bukan hanya pada perubahan ekonomi, yaitu dari agraris ke industri tetapi juga perubahan di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, dan kalau memungkinkan agama. Karena itu, kalau masyarakat kita setelah pembangunan baik orde baru maupun yang masih berjalan, reformasi, orientasi hidupnya cenderung materialistis lebih disebabkan oleh teori pembangunan yang digunakan, yaitu pembangunan ekonomi ala teori Rostow.

Pembangunan infrastruktur juga tampaknya menjadi prioritas utama pemerintah kita saat ini. Pembangunan yang mengarah pada mencerdaskan anak bangsa boleh dikatakan masih kurang. Banyak anak bangsa kita yang boleh dikatakan sebagian besar masih buta sains dan teknologi. Padahal perkembangan sains dan teknologi demikian pesat. Selain itu, belum terjadi pemerataan pembangunan di negara ini. Artinya, masyarakat kita belum semuanya menikmati hasil pembangunan. Pembangunan yang tidak merata dikhawatirkan akan menimbulkan disintegrasi bangsa. Perlu juga diketahui  sejak negara ini mengimplementasi otonomi daerah yang disertai dengan semangat desentralisasi tidak semua daaerah mempunyai potensi yang sama. Ada daerah yang berlebih potensi daerahnya, ada juga yang boleh dikatakan minus sehingga tingkat pembangunan di setiap daerah boleh dikatakan tidak merata. Kalau pemerintah pusat tidak bijak menyikapinya, akan terjadi ketimpangan pembangunan. Jangan-jangan yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan pembangunan akan menghasilkan daerah yang kaya makin kaya, daerah yang miskin makin miskin. Kalau sudah begitu sama seperti yang terjadi pada manusia: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin (https://www.kompasiana.com/sang_bima/5cde680 76db8434b811-a557a/21-tahun-reformasi-pembangunan-masa-depan-bangsa-belum-selesai?page=all).

Ada beberapa hal menarik yang harus dilihat dari proses pembangunan bangsa zaman orde baru dengan sekarang, yaitu logika pembangunan. Menurut penulis, logika pembangunan era orde baru dengan sekarang adalah sama, yaitu sama-sama menggunakan pendekatan The stages of economic growth ala W.W. Rostow.

Dalam teori tersebut, Rostow menjelaskan bahwa pembangunan atau modernisasi merupakan proses bertahap, dimana masyarakat akan berkembang dari masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi tinggi. Pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menuju masyarakat modern merupakan suatu proses yang multidimensional. Dimana perubahan ini bukan hanya bertumpu pada perubahan ekonomi dari agraris ke industri saja, melainkan pula perubahan pada bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, bahkan agama.

Melihat reaksi dari proses pembangunan baik yang sedang berjalan sekarang maupun pada masa orde baru, memang di akui bahwa pembangunan tersebut berjalan secara signifikan sesuai dengan apa yang di rencanakan. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus di evaluasi dari proses pembangunan tersebut.

Menurut penulis, proses pembangunan tidak hanya di prioritaskan pada pembangunan infrastruktur yang terlihat secara fisik semata, akan tetapi pembangunan jiwa dan mental masyarakat untuk menuju tahap akhir dari teori Rostow harus juga di imbangi. Hal tersebut di perlukan guna memberikan kesadaran secara psikologis kepada masyarakat untuk menghadapi kemajuan zaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih buta terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat ini.

Selain itu, proses pembangunan ini harus juga merata dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, agar supaya tidak terjadi disintegrasi. Meskipun sudah diterapkan sistem desentralisasi, akan tetapi hal tersebut perlu dikaji kembali oleh pemerintah pusat, sebab sumber daya, tingkatan ekonomi dan pendapatan masing-masing daerah itu berbeba-beda. Hal tersebut diperlukan agar masyarakat tidak kaget ataupun terkejut dengan berbagai tantangan yang akan di hadapi.

(https://www.kompasiana.com/sang_bima/5cde68076db8434b811a557a/21-tahun-reformasi-pembangunan-masa-depan-bangsa-belum-selesai?page=all)

Pembangunan yang berorientasi pada pendekatan pertumbuhan ekonomi model Rostow ternyata bukan saja menghasilkan pembangunan yang tidak merata tetapi juga menciptakan manusia Indonesia yang tidak manusiawi. Hal itu bisa terjadi karena negara ini abai membangun manusia berkarakter baik. Pembangunan manusia seutuhnya yang dulu pernah digadang-gadang di masa orde baru ternyata hanya sebatas slogan. Dalam prakteknya sama sekali nihil alias sebatas wacana karena ternyata bangsa ini tetap saja semakin materialistis dan liberalis. Bangsa ini pun  mencoba mencanangkan pembangunan yang berkelanjutan (PB). PB yang di dalamnya mencakup tujuh belas tujuan pembangunan sampai saat ini perlu dipertanyakan sampai sejauhmana pelaksanaannya? Jangan-jangan nantinya juga sebatas wacana karena pelaksanaannya jauh panggang dari api. Selain itu, PB juga memiliki tiga aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup. Apakah ketiga aspek itu juga benar-benar dilaksanakan sesuai tuntutan dan tuntunan? Bagaimana kalau masih terjadi kebakaran hutan di negara ini yang pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang sama? Bagaimana negara ini mau mandiri pemerintahannya kalau penguasanya bergandengan tangan dengan pengusaha sama-sama cari keuntungan atau sama-sama merampok kekayaan negara ini? Dengan demikian, jangan banyak berharap akan terjadi pemerataan pembangunan di negara yang kita cintai .ini. Coba saja kita perhatikan gambar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dari tujuh belas tujuan adakah tujuan yang telah tercapai?

(https://images.app.goo.gl/3d64he1xLYJBfJ9CA)

Dari tujuh belas tujuan pembangunan di atas, coba kita lihat tiga tujuan saja, yaitu tanpa kemiskinan, tanpa  kelaparan, dan kehidupan sehat dan sejahtera. Kita bisa  mengatakan bahwa tidak satu pun dari tiga tujuan itu hasilnya baik. Artinya, tanpa kemiskinan (sebenarnya frasa ini kurang tepat sebaiknya kemiskinan berkurang karena di dunia ini tidak mungkin tidak ada orang miskin) seperti diuraikan di atas ketika  membahas kemiskinan, kalau mau jujur, sampai dengan masa reformasi ini orang miskin bukan berkurang bahkan boleh jadi bertambah (supaya tidak dibilang ekstrim katakan saja `stagnan`). Sekarang tinggal ukuran siapa yang digunakan menentukan kemiskinan seseorang? Kalau menggunakan ukuran BPS besarnya penghasilan orang perkapita perhari dihitung sebesar Rp13.000,00, jelas orang miskin berkurang. Tapi, coba kita gunakan logika dengan penghasilan sebesar Rp13.000,00 apakah orang bisa hidup sehat? Sampai sejauhmana uang sebesar Rp13.000,00 bisa dimanfaatkan untuk menyambung hidup? Kalau yang digunakan ukuran standar Internasional (dalam hal ini Bank Dunia) sebesar US 2 dollar (Rp26.000,00), baru bisa hidup normal. Itu pun sebenarnya masih perlu dipertanyakan, apakah orang dengan penghasilan sebesar itu bisa menikmati pendidikan yang wajar? Di tujuan pertama kita tidak perlu  malu, akui saja bahwa orang miskin di negara ini masih banyak. Kita pun harus mengakui bahwa banyak orang yang masih kelaparan. Karena banyak yang miskin dan lapar, bangsa kita pun kehidupannya banyak yang tidak sehat dan sejahtera. Dengan dinaikkannya biaya BPJS, dijamin banyak anak bangsa ini yang kalau sakit tidak bisa dirawat di rumah sakit. Tidak mustahil juga kalau mereka harus meregang nyawa.      

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat