Subagio S. Waluyo

 Nepotisme: Pejabat pemerintah mengangkat saudaranya yang tidak kompeten dan punya kualifikasi menjadi pegawai di lingkungan kantornya.

 Patronase: Partai politik memenangkan pemilihan umum kemudian memerintah dan mencopot semua pegawai yang mendukung oposisi dan menggantinya dengan orang-orang yang mendukung partai tersebut.

 Konflik Kepentingan: Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat punya saham di perusahaan tambang dan mendesakkan undang-undang yang memberi konsesi pajak bagi perusahaan tersebut.

 (B. Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, 2018:27)

***

Di masa reformasi tiga masalah sosial di atas masih tetap ada. Tampaknya, penyakit-penyakit sosial hasil peninggalan orde baru belum benar-benar hilang. Bahkan, seperti korupsi kehadiran KPK ternyata tidak membawa efek. KPK sendiri terkesan dalam menangani masalah korupsi masih tebang pilih. KPK diibaratkan seperti pisau bermata dua: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pimpinan KPK sekarang ini sangat mungkin banyak diragukan baik kredibilitas maupun integritasnya. Ketua KPK sendiri masih terbilang aktif di kepolisian. Bagaimana kalau di kepolisian suatu saat ada penyelewengan yang berkaitan dengan  penyalahgunaan anggaran? Apakah bisa dijamin KPK mau melakukan penyelidikan sekaligus penangkapan? Rasa-rasanya sulit untuk dilakukan bukan? Buat kita tampaknya salah satu butir yang terdapat dalam tuntutan reformasi yang tempo hari pernah digadang-gadang: pemberantasan korupsi, tidak banyak bisa diharapkan. Adagium yang mengatakan `seperti menggantang asap` benar-benar berlaku saat ini.

Penempatan anggota Polri di KPK baik sebagai anggota maupun pimpinan jelas tidak menjamin ke depannya keindependenan KPK. Apalagi kalau terbukti mereka yang dari anggota Polri tidak mau mengundurkan diri dari keanggotaannya. Kebijakan penempatan anggota Polri baik di KPK maupun di berbagai instansi pemerintah (walaupun untuk terakhir ini masih boleh dikatakan minim) mengingatkan kita ketika di masa orde baru pimpinan yang berkuasa pada waktu itu menempatkan ABRI di berbagai instansi baik di pemerintahan, BUMN, maupun instansi swasta. Kebijakan orde baru pada waktu itu berkaitan dengan dwi fungsi ABRI. Kalau saat ini, di masa reformasi ada wacana kebijakan penempatan anggota Polri di berbagai instansi, bukankah ini bertentangan dengan salah tuntutan reformasi: pencabutan dwi fungsi TNI/Polri? Ataukah diam-diam TNI juga mengendap-endap ingin juga ditempatkan di instansi pemerintah yang sekarang ini diberikan kewenangan pada Polri?    

  

***

Menghidupkan kembali dwi fungsi ABRI (TNI/Polri) seperti yang pernah dilakukan oleh penguasa orde baru jelas merupakan kemunduran karena hal itu bertentangan dengan kehidupan demokrasi. Dalam demokrasi yang namanya kekuasaan itu di tangan rakyat. Karena demokrasi di tangan rakyat, sangat tidak layak menempatkan TNI/Polri di berbagai instansi. Dengan menempatkan TNI/Polri di berbagai instansi baik instansi yang jelas-jelas independen seperti KPK maupun pemerintah dan BUMN/BUMD dikhawatirkan negara ini akan mengarah pada militerisme. Apa jadinya kalau negara ini menjadi negara di bawah kekuasaan militer (TNI/Polri) seperti pernah kita rasakan di masa orde baru dulu? Apa jadinya kalau di pemerintahan kelak yang justru memegang kekuasaan dan mengatur negara itu militer? Boleh jadi akan terulang kembali penguasa tunggal yang bisa berkuasa seumur hidup. Indonesia sebagai negara demokrasi akan luntur karena sudah bisa dipastikan kalau diadakan pemilu sama seperti pemilu-pemilu di masa orde baru sekedar pesta demokrasi. Di masa orde baru sudah di-setting sedemikian rupa partai yang harus menang adalah partai penguasa siapa lagi kalau bukan Golkar. Agar terjadi kekuatan tunggal semua elemen harus menjadi pendukung pemerintah. Pendukung pemerintah itu akan diperkuat dengan adanya Fraksi ABRI di DPR. Kalau perlu, Fraksi ABRI juga ada di DPRD I dan II. Dengan demikian, negara ini mengarah pada oligarki karena pemerintahan dijalankan oleh golongan tertentu yang dalam hal ini sama seperti orde baru: partai yang berkuasa, militer, dan golongan atau kelompok tertentu. Demokrasi seperti itu jelas demokrasi yang tidak sehat alias demokrasi yang mengalami kematian.

Dwifungsi ABRI adalah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Pernyataan di atas berdasarkan beberapa pidato Soeharto. Soeharto mengatakan bahwa  sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan, maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya sebagai kekuatan sosial, politik.

Sedangkan dalam bentuknya ABRI sebagai kekuatan sosial, memiliki dua buah fungsi. Yaitu fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. ABRI sebagai pelaksana tugas keamanan Negara juga kemanunggalannya dengan rakyat yang lebih di kenal dengan ABRI masuk desa maka dapat di kategorikan ABRI sebagai dinamisator sedangkan sebagai stabilisator dalam kehidupan bangsa dan negara.

…………………………………………………………………………………..

Pengaturan Dwifungsi ABRI dalam undang-undang sendiri baru dimulai pada era Orde Baru, undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahaan Keamanan Negara, dan UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.

(https://www.kompasiana.com/uda_well/551b2594a33311ec21b65d56/dwifungsi-abri

Matinya demokrasi akan menyuburkan kembali totalitarisme kekuasaan. Totalitarisme kekuasaan justru akan menyuburkan masalah-masalah sosial seperti yang tercantum di atas. Tidak mustahil di berbagai instansi baik instansi pemerintahan, BUMN, maupun swasta penempatan orang bukan lagi pada prinsip-prinsip yang digunakan dalam good governance seperti profesionalisme. Bisa saja penempatan orang berdasarkan hubungan kekeluargaan, almamater, atau kekuasaan. Supaya kekuasaan itu langgeng sehingga tidak terjadi pemakzulan partai yang berkuasa, seperti yang disebutkan di atas, tidak mustahil penguasa akan merekrut orang-orang yang satu suara. Sangat diharamkan adanya oposisi sehingga check and balance dihindari. Kalau sudah seperti itu, tidak perlu lagi ada pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.  Penguasa yang didominasi oleh militer berkolaborasi dengan anggota dewan yang sama-sama punya kepentingan akan mendorong adanya undang-undang yang cenderung melindungi usaha-usaha mereka sehingga apapun yang mereka lakukan dilindungi oleh negara. Kalau ada yang menentangnya, orang atau LSM atau partai sah-sah saja dianggap penghalang atau bisa juga radikal sehingga perlu disingkirkan. 

***

Kita tidak menghendaki adanya kematian demokrasi. Dengan matinya demokrasi, boleh jadi tidak akan ada lagi pemilihan kepala daerah (gubernur, walikota, atau bupati). Sebagai gantinya semua jabatan kepala daerah akan dijabat oleh militer entah dari TNI atau Polri. Memang ada pemilu, tetapi tidak akan ada suasana seperti sekarang ini karena yang dipilih oleh rakyat bukan anggota dewannya. Rakyat hanya memilih partai bukan calon anggota dewannya. Lembaga yang mengelola pemilu seperti KPU dan Bawaslu memang ada, tetapi lebih sebagai lembaga seperti macan ompong (bukan hanya ompong tapi juga kuku-kukunya telah dicopot) sehingga ketika ada kecurangan cuek-cuek saja. Anggota dewan yang terpilih bukan anggota dewan pilihan rakyat. Bukan juga anggota dewan yang mau memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka seperti `paduan suara.` Mereka hanya berprinsip pada 3D: Datang, Duduk, Duit. Karena menganut prinsip tersebut, tidak mustahil mereka juga seperti `kerbau yang dicocok hidungnya`. Mereka yang mengaku wakil rakyat kalau sudah seperti itu tentu saja kepentingan politik lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Kalau kepentingan politik sudah lebih diutamakan, kita tidak bisa berharap banyak pada wakil-wakil rakyat simbolis itu. Karena itu, kita tidak menghendaki kehadiran dwi fungsi ABRI. Bukankah dampak yang ditimbulkan memang benar-benar mematikan demokrasi?    

Dampak negatif dari dwi fungsi ABRI

(a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”,

(b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu,

(c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.

(d). Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut,

(e). Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur masyarakat, dan

(f). Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan kontrol terhadap bawahannya.

(https://www.kompasiana.com/uda_well/551b2594a33311ec21b65d56/dwifungsi-abri )

***

Wakil rakyat simbolis yang lebih mengutamakan aspirasi politik tidak bisa diharapkan bisa mempertahankan sistem desentralisasi yang saat ini kita anut dan terapkan di negara ini. Sistem sentralisasi kekuasan akan diberlakukan lagi. Dengan sendirinya, tentu saja otonomi daerah juga lambat-laun akan dihapus. Kalau otonomi daerah sudah tidak ada lagi, jangan diharapkan ada daerah yang benar-benar bisa melakukan inovasi daerah. Dengan kata lain, akan terjadi juga kematian kreativitas. Semua daerah akan dibuat seragam dalam melakukan apapun. Jadi, tidak boleh ada daerah yang berprestasi misalnya dalam hal pelayanan publik. Anggota dewan yang ada cenderung seperti diuraikan di atas menjadi penurut dan dihindari adanya oposisi. Oposisi buat pemerintah yang berkuasa sah-sah saja kalau dianggap sebagai penghalang atau radikal. Tidak mustahil mereka yang dianggap oposisi tidak bersih lingkungan. Akhirnya, cara-cara orde baru agar orang benar-benar bersih lingkungan dilakukan  screening  atau akan habis-habisan diinterogasi. Orang yang di-screening mau salah atau tidak salah harus masuk Rumah Tahanan Militer (RTM). Kisah tentang nasib rakyat kecil yang belum tentu salah sehingga harus masuk RTM bisa dilihat pada petikan cerpen di bawah ini.

Ketika Kamil tiba di pintu gerbang kantor, dia dicegat dua petugas keamanan. Atas perintah Pak Mayor, Kamil tidak diizinkan meninggalkan kantor. Satu jam kemudian, Kamil diantarkan Pak Mayor dan Lettu Samuel ke kantor polisi militer.

Sepuluh jam Kamil diinterogasi di kantor polisi militer.

“Berhubung pemeriksaan belum selesai, Saudara Kamil harus ditahan di Rumah Tahanan Militer atau RTM,” kata Letnan Satu Polisi Militer Alfonso.

(dikutip dari cerpen K. Usman “Ikan Di Dalam Batu”, Kumpulan Cerpen Kompas Pilihan Kompas 2001, Mata yang Indah, hlm. 80-81).

Apa kesalahan Kamil sehingga tidak dibolehkan meninggalkan kantor? Kamil dianggap bersalah karena dituduh membocorkan korupsi di sebuah perusahaan percetakan dan penerbitan milik negara yang dipimpin militer tempat dia bekerja. Semua urusan-urusan kecil sampai dengan urusan belanja, bengkel, dan pengiriman hasil produksi diambil alih oleh pimpinan yang dalam cerpen tersebut dilakukan oleh Pak Mayor. Tentu saja, semua urusan kecil itu dalam pelaporan keuangannya telah di-mark up harganya. Dalam pembelian tanah yang rencananya untuk lahan karyawan di perusahaan tersebut juga tidak luput dari manipulasi harga. Harga satu meter tanah yang sebenarnya hanya Rp500.000,00 di-mark up menjadi Rp1.500.000,00. Bahkan, Pak Jenderal, Pak Kolonel, dan Pak Mayor pernah minta uang kontan untuk didepositokan atas nama-nama pribadi mereka. Benar-benar gila-gilaan bukan? Kebijakan di masa orde baru yang menempatkan ABRI baik di instansi pemerintah, BUMD, BUMN, maupun instansi swasta tidak menjamin tidak adanya korupsi. Apakah pemerintah yang saat ini berkuasa yang katanya sudah benar-benar menerapkan prinsip-prinsip good governance menjamin sepenuhnya tidak ada korupsi di lembaga yang dipimpinnya? Silakan tanya pada rumput yang bergoyang!

Kamil pun teringat laporan Bahrumsyah, anak buahnya yang menjual tanah warisan ayahnya. Pak Mayor datang sendiri ke lokasi. Harga tanah ditawarkan lima ratus ribu rupiah per meter. Pak Mayor menyuruh bikin kuitansi penagihan ke  kantor satu juta lima ratus ribu rupiah per meter. Rencana, tanah seluas satu hektar itu untuk lahan perumahan karyawan perusahaan.

“Gila bener!” komentar Kamil sambil geleng-geleng kepala.

Manajer keuangan, Zakari SE, saat makan siang berbisik-bisik kepada Kamil.

Pak Jenderal, Pak Kolonel, dan Pak Mayor minta uang kontan kepadaku”

“Buat apa?”

“Untuk didepositokan atas nama pribadi-pribadi mereka di bank langganan kita. Aku mumet,” cerita Zakari, lelaki berdarah Sunda yang alim dan jujur.

(Ibid, hlm. 74)

Di atas disebutkan bahwa ABRI sebagai kekuatan sosial, memiliki dua buah fungsi, yaitu fungsi stabilisator dan fungsi dinamisator. Sebagai stabilisator ABRI berupaya menstabilkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena memang kebijakan dwi fungsi ABRI berkenaan dengan upaya menstabilkan negara dari ancaman komunisme, ABRI secara ketat melakukan screening atau dengan istilah yang popular bersih lingkungan. Di perusahaan tempat Kamil bekerja juga dilakukan bersih lingkungan. Salah seorang karyawan yang menjadi korban aktivitas tersebut adalah Wilson Manurung. Wilson yang sarjana psikologi menjabat Manajer SDM suatu kali membela mati-matian anak buahnya terpaksa di-PHK. Rupanya, tidak hanya di-PHK, Wilson juga ditahan di RTM dengan alasan tidak bersih lingkungan karena menurut Pak Mayor mertuanya adalah tokoh buruh yang berafiliasi ke komunisme. Kehadiran mereka di perusahaan milik negara itu telah tidak membuat kenyamanan buat karyawan-karyawatinya karena mereka selalu menggunakan ungkapan tidak bersih lingkungan atau bahasa sarkasmenya entah orang tua atau kakek-neneknya pengikut komunis. Masalah bersih lingkungan selalu saja disampaikan setiap apel.

Ketika teringat pengumuman Pak Mayor saat apel pagi tiap hari Senin kemarin, membayang wajah Wilson. Lelaki temperamental itu di-PHK.

“Di perusahaan milik negara ini masih banyak karyawan-karyawati yang belum bersih lingkungan. Ingat! Kami datang, antara lain, untuk membersihkan lingkungan di sini dari orang-orang yang berbau komunisme,” kata Pak Mayor Senin kemarin. “Saudara-saudara sudah mendengar kabar mengenai Wilson Manurung? Dia sangat radikal. Ternyata, mertuanya adalah tokoh buruh yag berafiliasi ke komunisme. Ingat! Tampaknya, akan banyak yang menyusul Wilson di-PHK dan ditahan di Rumah Tahanan Militer,” lanjut Pak Mayor berapi-api.

Sejak Pak Jenderal dan anak buahnya datang, mereka selalu mengumandangkan bersih lingkungan, disiplin, dan melanggar perintah atasan. Tiga hal itu mereka jadikan alasan untuk menggebuk setiap perlawanan. Stempel-stempel itu menyebabkan karyawan-karyawati gerah, panas-dingin, dan tidak tenteram.

(Ibid, hlm. 75-76)

***

Kita tidak menginginkan kembalinya kebijakan yang berkaitan dengan dwi fungsi ABRI di negara ini. Dari petikan cerpen di atas kita sudah melihat ternyata tidak menjamin dwi fungsi ABRI itu bisa menstabilkan negara. Terbukti, banyak anak bangsa yang merasa tidak nyaman dengan penempatan anggota ABRI di instasi-instansi atau perusahaan-perusahaan. Di samping selalu berlindung di balik konsep bersih lingkungan, mereka juga masih berperilaku `aji mumpung`. Hal itu terbukti banyak juga anggota ABRI yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan atau instansi-instansi pemerintah yang berkongkalikong dengan para konglomerat. Para konglomerat atau importir `nakal` yang mempunyai kepentingan selalu menggunakan ABRI sebagai alatnya sehingga mereka dengan amannya bisa `mengemplang` anggaran. Praktek-praktek seperti itu jelas merugikan negara. Kalau memang sudah seperti itu, jangan lagi negara ini memberlakukan kebijakan yang jelas-jelas salah. Jadi, tidak usah lagi ada dwi fungsi ABRI. Biarkan saja ABRI seperti sekarang ini cukup berperan dalam mempertahankan negara dari gangguan luar. Bukankah kita sekarang ini juga sudah mulai ada rongrongan dari para nelayan Cina yang sudah mulai bermain-main di Natuna?

Di era Orde Baru, badan usaha penting seperti Pertamina, Bulog, dan berbagai BUMN besar dipegang oleh perwira senior Angkatan Darat.

Dalam aturan mainnya, badan usaha tersebut adalah milik pemerintah. Namun menurut Andreas (2014), dalam praktiknya mereka beroperasi layaknya perusahaan swasta, hanya bertanggung jawab pada pimpinan militernya saja.

Andreas (2014) menyebut, di masa itu terjadi banyak kasus pengemplangan dana di sektor-sektor ekonomi milik negara, baik untuk mengisi kas kesatuan militer ataupun untuk menumpuk kekayaan pribadi para perwira.

Harold Crouch (1986) pun mencatat, saat itu militer kerap melakukan kongkalikong dengan importir-importir “nakal”.

Para importir “nakal” biasa melakukan pemalsuan dokumen impor dan memanipulasi data keuangan hingga merugikan Indonesia puluhan juta dolar Amerika.

Biarpun sempat ada beberapa tersangka yang ditahan, tapi menurut Harold tak ada seorang pun yang pernah dituntut dan diadili.

Penyebabnya: karena mereka punya hubungan dagang dengan pejabat dari kalangan tentara.

(https://kbr.id/nasional/03-2019/kasus_robertus_robet__ mengingat _lagi_ mu arat_dwi-fungsi_abri/98923.html )

Kita jangan menjadi bangsa yang diibaratkan dalam sebuah pepatah `hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.” Cukup sekali saja kita merasakan sejarah kelam kehidupan berbangsa akibat adanya dwi fungsi ABRI. Kita banyak berharap agar tuntutan reformasi yang sampai sekarang belum dicabut tetap harus dipertahankan. Kita berharap pimpinan negara ini masih berpikir jernih agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya dengan mewujudkan negara oligarki karena kita juga telah merasakan pahit getirnya hidup bernegara. Kita menginginkan negara ini benar-benar menerapkan sepenuhnya baik pilar-pilar maupun prinsip-prinsip good governance karena hanya dengan cara itu kita bisa mewujudkan negara yang adil dan sejahtera. Semoga harapan ini bisa diwujudkan. Kita pun yakin harapan itu masih ada. Wallahu`alam bissawab.

Sumber Gambar:

  1.  (https://images.app.goo.gl/paRpmFEa62Twsd8Z7)
  2. (https://images.app.goo.gl/xiuFpFLUUnLgD2fL7)
  3. (https://images.app.goo.gl/1H2ZD6YNnGydL5QW9)
  4. (https://images.app.goo.gl/MTDduMyfSb3ix3Az7)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *