Subagio S.Waluyo
Masih Ada Waktu
Ebiet G. Ade
Bila masih mungkin kita menorehkan batin
Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas
Mumpung masih ada kesempatan buat kita
Mengumpulkan bekal perjalanan abadi
Kita pasti ingat
Tragedi yang memilukan
Kenapa harus mereka yang terpilih menghadap
Tentu ada hikmah yang harus kita petik
Atas nama jiwa mari heningkan cipta
Kita mesti bersyukur
Bahwa kita masih diberi waktu
Entah sampai kapan
Tak ada yang bakal dapat menghitung
Hanya atas kasih-Nya
Hanya atas kehendak-Nya
Kita masih bertemu matahari
Kepada rumput ilalang
Kepada bintang gemintang
Kita dapat mencoba
Meminjam catatan-Nya
Sampai kapankah gerangan
Waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng
Semuanya terdiam
Semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah
Segeralah bersujud
Mumpung kita masih diberi waktu
***
Akhir tahun lalu (walaupun Cuma beberapa hari dari awal tahun ini) seorang teman di grup mengirim teks lirik lagu di atas. Lagu yang ditulis Ebiet G. Ade pada tahun 1988 itu menginspirasi saya untuk melakukan yang terbaik dalam menjalani hidup ini. Di tengah-tengah kesumpekan hidup melihat perilaku baik pemimpin maupun masyarakat di sekitar saya merenungkan muatan yang terdapat lirik di atas membuat saya sadar bahwa sebagai hamba Allah lebih baik merenungkan arti sebuah kehidupan daripada terbawa arus emosional. Arus emosional membuat saya galau, jiwa ini tidak tenang, rasa-rasanya ingin marah, tapi marah pada siapa? Daripada tidak tahu harus pada siapa saya menumpahkan kegalauan ini lebih baik saya mengetuk pintu langit. Syukur-syukur dengan mengetuk pintu langit Allah akan memberikan jalan keluarnya.
Mengetuk pintu langi dengan zikir dan doa tidak boleh kering dari seorang hamba karena dengan cara seperti itu hati menjadi tenang. Orang yang hatinya gundah gulana boleh jadi orang yang jarang mengetuk pintu langit dengan zikir dan doa. Allah tidak akan bosan mendengar hamba-Nya yang kerap berzikir dan berdoa. Allah tidak akan menjadi kaya dengan sekian juta orang yang berzikir dan berdoa karena Allah Maha Kaya. Justru zikir dan doa kembali pada orang yang mengucapkannya. Walaupun tertuju pada Allah sebagai Sang Khalik dan Pemilik alam semesta ini, zikir dan doa merupakan kebutuhan mutlak manusia di luar kebutuhan fisik dan akal. Zikir dan doa kebutuhan bathiniah sama halnya kebutuhan akan fisik yang sehat dan akal yang sempurna. Zikir dan doa mewujudkan keseimbangan dalam diri manusia. Tanpa zikir dan doa tidak akan mungkin terwujud sebuah keseimbangan hidup. Justru keseimbangan hidup itu merupakan kebutuhan manusia yang paling mutlak.
***
Sebagai makhluk Tuhan kita perlu keseimbangan dalam hidup. Salah satu keseimbangan yang harus dimiliki adalah adanya ketenangan batin. Batin ini tidak boleh gundah. Kalau gundah, batin ini akan mempengaruhi bagian tubuh yang lain. Supaya tidak gundah batin ini harus diisi dengan zikir dan doa pada Sang Khalik. Untuk itu, manusia sebagai makhluk yang lemah harus memenuhi seluruh relung hidup ini dengan bergantung pada Allah. Selain itu, dia juga harus mempersiapkan bekal hidup yang abadi: akhirat. Sebagai hamba Allah kita harus menyadari bahwa ada kehidupan yang abadi, yaitu kehidupan di akhirat nanti. Sementara kehidupan kita di dunia ini hanya sementara. Karena akan ada kehidupan yang abadi, kita harus memiliki persiapan sebagaimana dikatakan Ebiet dalam lirik di atas:
Mumpung masih ada kesempatan buat kita
Mengumpulkan bekal perjalanan abadi
Jadi, selagi masih diberi kesempatan (hidup di dunia ini singkat), manfaatkan kesempatan itu untuk banyak beramal saleh (berbuat baik) baik pada Allah maupun pada sesama manusia (hablum minaallah wa hablum minannaas).
Salah satu wujud dari berbuat baik (beramal saleh) pada Allah dan sesama manusia adalah sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
“Sebagian dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berguna” (HR Abu Hurairah RA).
Rasulullah SAW lewat hadits tersebut mengajarkan kepada umatnya agar setiap kita melakukan pekerjaan yang bermanfaat bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Karena itu, Rasulullah SAW melarang keras umatnya untuk melakukan pekerjaan yang bisa merusak baik diri sendiri maupun orang lain. Bukankah ini merupakan sebuah tausiah yang demikian berharga bagi kita? Jika sudah ada ajaran yang demikian indah itu, coba kita menghisab (mengevaluasi) diri kita mana lebih banyak selama hidup di dunia ini pekerjaan yang bermanfaat atau sebaliknya pekerjaan yang justru banyak merugikan baik diri sendiri maupun orang lain? Kalau dari hasil hisab ternyata lebih banyak perbuatan buruk, selagi masih ada waktu kita manfaatkan waktu yang tersisa ini untuk mengisi waktu-waktu kita baik saat ini maupun waktu-waktu yang akan datang dengan beramal saleh.
***
(https://images.app.goo.gl/zuLxuxuJwqPczcoC6)
Ternyata, mengisi waktu-waktu yang masih tersisa sesuatu yang menuntut kesabaran, ketabahan, dan kekonsistenan. Sebagian besar manusia tidak bisa menahan kesabaran, ketabahan, dan kekonsistenan. Buktinya, banyak di antara kita yang tergoda kehidupan dunia sehingga mereka cenderung mengikuti hawa nafsu. Walaupun sudah diingatkan oleh Ebiet:
Kita pasti ingat
Tragedi yang memilukan
Kenapa harus mereka yang terpilih menghadap
Tentu ada hikmah yang harus kita petik
Atas nama jiwa mari heningkan cipta
Kita mesti bersyukur
Bahwa kita masih diberi waktu
Entah sampai kapan
Tak ada yang bakal dapat menghitung
bahwa masalah kematian bisa saja terjadi suatu saat. Kematian bisa lewat sebuah tragedi yang memilukan (ketika lirik lagu ini ditulis baru saja ada “Tragedi Bintaro” berupa tabrakan kereta api yang banyak memakan korban). Mereka-mereka yang jadi korban tabrakan kereta api itu tentu saja tidak menduga kalau pada hari yang naas itu harus menghadap Allah begitu cepat. Di sini kita sebagai makhluk yang lemah harus pandai mengambil hikmah dari sebuah peristiwa. Kita selayaknya bersyukur karena masih diberi waktu yang kita sendiri juga tidak tahu kapan waktu kita menghadap Sang Khalik.
Semuanya menggeleng
Semuanya terdiam
Semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah
Segeralah bersujud
Mumpung kita masih diberi waktu
Daripada kita tidak bisa memberikan jawaban tentang kapan waktunya akan dipanggil Allah selayaknya kita segera mengerjakan perintah-Nya. Kita juga meninggalkan, bahkan mencegah, perbuatan maksiat yang kerapkali muncul di dalam diri ini. Jadi, selagi diberi waktu apa salahnya kalau kita menghindari yang telah Allah gariskan dalam Surat Al Maun: 1-7:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Kita berupaya agar tidak menjadi orang yang mendustakan agama yang ditandai dengan orang yang tidak peduli dengan anak-anak yatim dan orang-orang duafa (miskin). Orang-orang seperti ini walaupun menjaga solatnya, tapi digolongkan sebagai orang yang lalai karena solat tidak memberikan bekas. Orang-orang seperti ini seandainya beramal cenderung riya (ingin dilihat orang sebagai orang yang dermawan) yang jauh di lubuk hatinya tidak ada keinginan untuk membantu orang lain.
***
Ebiet G. Ade telah mengingatkan kita untuk memanfaatkan waktu yang masih tersisa. Hadits Nabi di atas juga sama agar kita bisa menjadi hamba Allah yang bisa bermanfaat baik buat diri sendiri maupun orang lain di saat kita masih diberi umur. Kita pun diingatkan agar tidak menjadi pendusta agama, yaitu orang yang tidak punya rasa sosial pada sesama manusia terutama anak-anak yatim dan orang-orang duafa. Tapi, kenapa masih banyak orang yang tertipu dengan kehidupan dunia? Kenapa masih banyak orang yang terjerat oleh budaya materialistik? Dari budaya materialistik itu merembet ke dalam budaya hedonis yang juga merembet ke budaya korupsi dan kolusi (Rudiaji Mulya dalam Feodalisme dan Imprealisme di Era Global, 2012: 331-350). Masih dari sumber yang sama ternyata masih banyak juga masyarakat kita yang cenderung menjadi penganut budaya paternalistik. Munculnya semua budaya itu yang cenderung negatif lebih disebabkan oleh masyarakat kita yang telah terjerat dalam hawa nafsu. Artinya, masyarakat kita belum bisa lolos dari kerangkeng hawa nafsu (lihat tulisan saya baik di website maupun blogspot saya: “Berkisah tentang Mengkrangkeng Nafsu”). Karena tidak bisa melepaskan diri dari kerangkeng hawa nafsu, wajar-wajar saja jika sebagian besar masyarakat kita terbelenggu oleh budaya-budaya negatif: paternalistik, materialistik, konsumtif, hedonis, kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Gambaran orang yang telah terkerangkeng hawa nafsu bisa dilihat dalam petikan cerpen yang ditulis Komala Sutha “Nafsu Serakah”. Di cerpen tersebut Hambali yang telah terpedaya dengan kehidupan dunia menjadi seorang suka melamun. Bukan saja melamun, Hambali juga mengalami depresi. Buktinya, bibirnya bergerak-gerak, tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak ketika melihat dua ekor cicak yang bercengkrama di langit-langit rumahnya. Perilakunya menunjukkan adanya penyakit kejiwaan, Semua itu bermula dari keserakahan Hambali dan istrinya yang tidak menyisakan sedikitpun warisan dari mertuanya pada adik-adik mertuanya sehingga dia dimusuhi. Bukan hanya adik-adik dari mertuanya, anak-anaknya pun menjauhinya. Mereka tidak peduli lagi pada kedua orang tuanya. Kekayaan yang dimilikinya tidak membuat dirinya tenang. Harta yang dimilikinya pun lama kelamaan habis. Selain itu, Hambali dan istrinya terjerat hutang dengan bank. Itu semua membuat batinnya tertekan yang membuat Hambali mengalami depresi berat.
Keluarga Hambali menjadi tak betah tanpa ada ketenteraman walaupun harta warisan melimpah kalau tinggal di sekitar orang-orang yang memusuhinya. Akhirnya mereka sekeluarga pindah ke kampung lain. Berusaha merasakan kedamaian, dengan kekayaan yang tak habis-habisnya. Terlebih dibarengi hidup hemat dan pelit. Menjadi orang terkaya walau sesekali dalam jiwanya menyelusup kesepian yang dalam jika teringat semua saudara istrinya yang balik membenci karena keserakahannya. Lama-lama Hambali acapkali terlihat merenung sendiri. Anak-anaknya kurang memerhatikan. Sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu ketika ada yang mengajaknya berbincang hingga larut malam. Seminggu kemudian dibelinya mobil baru lalu pergi dengan tamu yang baru dikenalnya itu. Hingga berbulan-bulan. Sekali pulang, Hambali menjual kekayaan, sedikit demi-sedikit hingga nyaris habis. Teman yang dikenalnya itu sering mengajak jarah dan konon punya kesaktian. Saban kekayaan Hambali dijual dan digunakan pelesiran ke tempat jarah, ada keyakinan kekayaannya akan bertambah dalam waktu yang sudah dijanjikan oleh penguasa gunung setelah melewati beberapa kali ritual malam Jumat. Selama lima tahun menjalani seperti itu hingga kekayaannya benar-benar habis. Yang tersisa hanya rumah yang ditempatinya yang tak lama lagi akan disegel pegawai bank lantaran tak mampu mengangsur tunggakan. Rahmi kerap berjualan makanan basah mengelilingi kampung. Keempat anaknya yang sudah berumahtangga dan entah tinggal dimana, tak peduli dengan kekayaan orangtuanya yang kian melarat. Hambali kerap melamun berkepanjangan. Sendirian di beranda rumah. Terperanjat jika teringat ibu kandungnya yang pernah dilukai hatinya. Kaget jika terbayang wajah-wajah adik mendiang Amih Dinah yang keruh merasa tak mendapat ketidakadilan. Terlintas masa sebelumnya, menjalani hidup yang anti berbagi pada sesama. Kepala Hambali pusing lalu berputar-putar. Bibirnya perlahan bergerak-gerak. Tersenyum. Lalu tertawa terbahak-bahak melihat dua cicak yang tengah bercengkrama di langit-langit atap beranda. Ia seolah-seolah diajak bercanda. Lalu beranjak, melompat dan hendak menungkup cicak yang jatuh di lantai. Dahinya terbentur ubin yang keras. Ia meraung sakit. Lalu menangis sekeras-kerasnya seperti anak kecil yang tak diberi jajan oleh ibunya. |
***
Walaupun hanya sebuah cerpen yang merupakan karya fiktif, hasil dari sebuah imajinasi dan kontemplasi sang penulis, dalam kehidupan sehari-hari boleh jadi ada orang seperti Hambali di cerpen tersebut. Orang-orang yang lupa bahwa hidup di dunia ini sementara. Orang-orang yang tidak sadar bahwa ada kehidupan yang abadi, yaitu kehidupan akhirat. Orang-orang yang tertipu dengan kehidupan dunia sehingga lebih mengedepankan hawa nafsu daripada keimanan. Padahal hawa nafsu terbukti telah banyak menipu orang. Orang yang tertipu kehidupan dunia jangan berharap dia akan mengkahiri kehidupan dengan husnul khotimah (penutup yang baik). Justru, dia mengakhiri kehidupannya di dunia ini dengan suul khotimah (penutup yang buruk), naudzu billahi min dzalik. Cukup banyak di hadapan kita orang yang mengakhiri kehidupan di dunia ini dengan suul khotimah. Mudah-mudahan kita diselamatkan dari perilaku yang buruk itu. Wallahu a`lam bissawab.