Subagio S. Waluyo

Penulis pernah bertanya pada mahasiswa kalau pada saat UTS cari jawaban di google atau tidak. Serempak secara jujur mereka mengaku mau tidak mau membuka google. Penulis bertanya seperti itu karena sudah bisa dipastikan mereka-mereka yang tidak mau repot-repot buka catatan, jalan pintas yang paling mudah apalagi kalau bukan mencari jawabannya di google. Mengapa mereka mencari jawabannya di google? Jawabannya mudah saja kok, apalagi kalau bukan karena soal ujiannya bersifat hafalan (verbalistis)!

***

Kalau soal ujian sudah bersifat verbalistis, bisa dipastikan ilmuwan yang kesehariannya mengajar di depan kelas dipastikan ketika mengajar juga tidak terlepas dari pembelajaran yang bersifat verbalistis. Ingat, verbalistis ada kelemahannya. Kelemahan yang pertama, metode ini hanya bisa digunakan ketika orang menyiapkan diri untuk mengikuti ujian. Pada saat mau dan ketika ujian boleh jadi sang mahasiswa akan ingat yang dihafalkannya. Tetapi, selang beberapa hari kemudian semua yang diingatnya akan hilang. Yang kedua, sesuatu yang dihafal belum tentu ketika berhadapan dengan kasus bisa digunakan oleh sang mahasiswa. Jadi, pembelajaran dengan metode verbalistis sudah harus disingkirkan. Sang mahasiswa adalah orang dewasa. Ketika belajar, mereka juga harus diperlakukan dengan pembelajaran orang dewasa. Sekali lagi, bukan lagi mahasiswa diajarkan pembelajaran yang cenderung verbalistis.

Agar terhindar dari pembelajaran yang verbalistis, ajarkan mereka untuk memahami isi bacaan. Sebagai contoh bisa dibuka tautan berikut ini yang berisikan bahan tentang  pencegahan korupsi dengan cara mengklik tautan ini: https://subagiowaluyo.com/10-mahasiswa-vs-koruptor/. Setelah diklik tautan itu, coba dibaca dan dipahami dengan baik isi tulisan tersebut. Untuk memudahkan mahasiswa memahami isi bacaan itu bisa dilakukan dengan cara pemetaan pikiran. Pemetaan pikiran ialah diagram yang menggambarkan secara visual tentang ide, konsep, informasi, atau hal-hal lain. Selanjutnya, setiap ide, konsep, atau informasi tersebut berada dalam sebuah kotak peta pikiran yang saling terhubung secara terorganisir dengan garis (https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/apa-itu-mind-mapping-kepoin-tentang-peta-pikiran-dan-cara-membuatnya. Untuk lebih jelasnya,bisa dilihat contoh gambar pemetaan pikiran di bawah ini.

(https://www.pijarbelajar.id/blog/cara-membuat-peta-pikiran)

Setelah memahami isi bacaan, coba sang ilmuwan meminta para mahasiswanya untuk menganalisis isi bahan tersebut. Biasakan mahasiswa untuk belajar menganalisis atas setiap masalah yang ditemuinya. Dengan cara seperti itu, nantinya mahasiswa ketika terjun ke masyarakat terbiasa untuk melakukan analisis terhadap masalah-masalah yang ditemuinya. Mahasiswa yang hanya dijejali hafalan tanpa analisis ketika nanti mereka terjun ke masyarakat akan mengalami kegamangan. Justru, yang dituntut dari seorang yang mengaku dirinya cendikiawan adalah kemampuannya dalam melakukan analisis.

Jika mahasiswa sudah memiliki kemampuan menganalisis, langkah berikutnya adalah berikan pada mahasiswa studi kasus yang berkaitan dengan bahan yang dibacanya. Di sini sang ilmuwan bertindak sebagai fasilitator. Biarkan saja mahasiswa yang memecahkan kasus yang diajukan. Sudah saatnya mahasiswa belajar dari setiap kasus yang ditemuinya. Ajarkan mereka untuk menganalisis setiap kasus yang ditemuinya. Sang ilmuwan yang mengampu mata kuliah yang berkaitan dengan pendidikan antikorupsi, misalnya, coba cari kasus-kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang akhir-akhir ini melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jangan tanyakan pada mahasiswa apa itu tipikor atau KPK! Tapi, cari berita-berita di seputar keterlibatan anggota atau pimpinan KPK dalam tipikor! Setelah menemukan berita-beritanya, pilih salah satu berita menarik yang bisa dijadikan objek studi kasus. Sebelum dikaji dengan studi kasus, mahasiswa diminta membuat pemetaan pikiran seperti yang tercantum di atas. Jika sudah dilakukan, barulah mahasiswa diminta memecahkan kasus yang ditemukan dari berita itu. Pola pembelajaran seperti itu akan lebih menarik ketimbang pembelajaran verbalistis. Dikatakan menarik karena mahasiswa dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran. Dengan cara demikian, fokus pembelajaran bukan pada dosen tapi pada mahasiswa. Bisa dipastikan pembelajaran model ini akan menciptakan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.

***

Sudah saatnya ilmuwan yang mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik melakukan perubahan. Dalam hal ini salah satu perubahan yang mendasar adalah pola pembelajaran yang semula terpusat pada dosen bertransformasi ke objek yang diajarkannya (mahasiswa). Dengan berpusat pada mahasiswa diharapkan akan terjadi perubahan, baik pada pengetahuan maupun perilaku mahasiswa. Bukankah pembelajaran yang ideal adalah terjadinya perubahan perilaku dan sekaligus kompetensi mahasiswa? Kalau memang sudah mengetahuinya, sudah saatnya para ilmuwan sebagai tenaga pendidik mempraktekkannya sekarang juga. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Sekedar Informasi:

* Ilmuwan yang ingin mengetahui tentang pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (mahasiswa) bisa mengklik tautan di bawah ini.

( https://www.youtube.com/watch?v=ovRQjsF9nPE)

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat