Subagio S.Waluyo

Suatu saat ketika masuk ke perpustakaan, Penulis memergoki teman lama yang sudah tidak aktif lagi mengajar di PT tempat Penulis mengajar. Teman lama ini bercerita kalau sudah pindah homebase di PT lain dekat tempat tinggalnya. Penulis kurang tertarik untuk bertanya lebih jauh tentang kepindahan homebase teman lama itu. Penulis lebih tertarik pada kebiasaan teman lama itu sejak sama-sama mengajar di PT tempat Penulis selama ini mengabdi sebagai tenaga pendidik. Kebiasaan yang menurut Penulis  tertarik adalah membawa buku catatan, menulis (lebih tepatnya menyalin) isi buku-buku yang dibacanya dari perpustakaan, dan dari buku catatan itu digunakan sebagai bahan mengajar. Penulis kurang tahu ketika menyampaikan materi di hadapan anak didiknya teman Penulis itu menyebutkan sumbernya atau tidak. Penulis hanya tahu para mahasiswanya belajar menggunakan sistem CBSA (Catat Bahan Sampai Abis kebalikan dari Cara Belajar Siswa Aktif).

***

Sistem CBSA banyak dianut para ilmuwan di banyak PT di negara ini. Kalau ada pertanyaan, mengapa ada kecenderungan ilmuwan menggunakan sistem itu? Jawabannya mudah saja kok, para ilmuwan di negara ini punya penyakit malas, yaitu keengganan melakukan perubahan. Mereka cenderung stagnan (tidak mau berubah). Memang, di antara mereka banyak yang sudah meraih pendidikan lebih tinggi (S3). Bahkan, mereka juga sudah kenyang ikut berbagai pelatihan yang berkaitan dengan metode pembelajaran. Tapi itu, mereka tidak mau belajar untuk pengembangan diri. Bagi mereka dengan menempuh pendidikan lebih tinggi (S3) mereka berharap ada peningkatan pendapatan. Tidak heran jika selesai pendidikan mereka lebih sibuk mengajar di level yang lebih tinggi (S2). Kalau perlu, mereka juga sibuk mengajar di luar dan tentu saja juga disibukkan dengan bimbingan skripsi dan tesis. Wajar-wajar saja dengan kesibukan yang luar biasa ada peningkatan kesejahteraan.

Kesibukan mengajar dan membimbing mahasiswa memang merupakan tugas mulia sebagai tenaga pendidik. Meskipun demikian, bagi sang ilmuwan juga perlu melakukan pengembangan diri. Aktivitas pengembangan diri bagi seorang ilmuwan sebenarnya tidak perlu berbiaya tinggi sampai harus ikut kuliah S3 (walaupun sebenarnya itu juga merupakan tuntutan) atau aktivitas keilmuan yang ditawarkan berbagai PTN/PTS yang harus merogoh kantong cukup dalam dengan tempat kegiatannya di hotel-hotel berbintang. Di era semua aktivitas berbasis IT dengan cukup duduk manis di depan PC, laptop, atau notebook sudah cukup asal sarana untuk bekerja terhubung dengan internet. Kalau sudah terhubung dengan internet, tinggal coba saja masuk ke google. Dari google silakan dicari yang diinginkan. Dijamin google banyak membantu siapa saja yang memerlukan bantuannya.

Penulis yakin banyak ilmuwan yang sudah berinteraksi dengan google. Bahkan, sudah banyak yang sangat bergantung pada google. Bukan hanya ilmuwan dari kalangan tenaga pendidik, para anak didiknya pun tidak mau ketinggalan. Sampai-sampai untuk menjawab ujian, para ilmuwan muda itu pun harus buka-buka google. Itu efek dari pembelajaran yang mengarah pada verbalistis (https://subagiowaluyo.com/ilmuwan-dan-verbalistis/). Untuk itu, tidaklah aneh jika tumbuh penyakit pragmatis di kalangan ilmuwan muda. Di hampir banyak aktivitas keilmuan, seperti menulis karya ilmiah atau naskah akademik sekalipun para ilmuwan tidak segan-segan meng-copy paste dari hasil temuannya di google. Bukan itu saja, untuk keperluan akreditasi PT juga sama, para ilmuwan mencuri data orang yang terdapat di google. Penulis yakin yang namanya asesor dari Badan Akreditasi Nasional PT (BAN PT) juga tahu kalau hasil temuannya di lapangan yang ditunjukkan oleh pihak PT yang diasesori itu hasil rekayasa. Dengan demikian, ilmuwan PT, baik yang disebut sebagai dosen maupun mahasiswa sama-sama melakukan manipulasi data.

Apakah perilaku buruk semacam itu didiamkan saja? Sebagai ilmuwan yang mengedepankan aksiologi perilaku semcam itu tidak bisa dibiarkan. Seorang ilmuwan yang lebih mengedepankan aksiologi harus punya sikap untuk berubah. Tidak bisa seorang ilmuwan karena sudah keenakan mencuri data dari google terus-terusan dari waktu ke waktu melakukan hal yang sama. Dia harus punya tekad kuat untuk berubah. Memang, akan ada risiko dengan mengubah kebiasaan buruk ke kebiasaan baik. Salah satu risikonya, kalau PT yang punya kebiasaan buruk, misalnya, ketika akan ada akreditasi bersikap jujur sudah bisa dipastikan hasil akreditasinya akan turun. Kalau mengalami penurunan, misalnya dari baik menjadi cukup (dulu dari B menjadi C), mau tidak mau juga akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah mahasiswa yang akan masuk ke PT-nya. Kemudian juga akan berpengaruh terhadap pemasukan keuangan PT dan seterusnya sehingga terbayanglah di benak sang pimpinan PT yang dikelolanya mengalami kebangkutan. Selain itu, sebagai pimpinan juga harus siap dengan tudingan dari atasannya dan juga dari kalangan mahasiswa yang kecewa dengan hasil akreditasinya. Gara-gara hasil akreditasi BAN berbuntut panjang yang membuat setiap orang yang terlibat di PT tersebut tidak mustahil mengalami depresi.

Apakah harus sampai sejauh itu akibat yang ditanggung pihak PT? Bagi sivitas akademika yang terbiasa berpikiran pragmatis memang seperti itu. Tapi, bagi sivitas akademika yang inovatif dan kreatif akan melakukan kerja-kerja yang baik dan benar. Artinya, sivitas akademika itu akan menempuh cara-cara yang sesuai dengan aturan yang telah digariskan pemerintah (dalam hal ini BAN PT). Bukankah sebenarnya cukup bijak kalau ditentukan masa berlakunya hasil akreditasi itu lima tahun? Dalam masa lima tahun itu PT yang, misalnya, hasil akreditasinya cukup (C) bisa melakukan perbaikan. Caranya,apalagi kalau bukan melakukan langkah-langkah inovatif dan kreatif. Kalau di PT itu, misalnya, tingkat pendidikan para tenaga pendidiknya rata-rata cuma sampai S2, apa salahnya mereka secara bertahap dikuliahkan ke S3? Mustahil dalam kurun waktu lima tahun tidak ada seorang pun yang bisa meraih pendidikan S3. Selain itu, dalam kurun lima tahun juga pihak PT memberi kesempatan pada setiap dosennya untuk melakukan penelitian yang sepenuhnya biayanya disediakan PT. Kemudian dari laporan penelitian itu dibuat makalah yang dipresentasikan di mimbar ilmiah. Makalah-makalah dari mimbar ilmiah itu kalau memang layak bisa dijadikan sebagai bahan tulisan di jurnal PT setempat. Bahkan, tidak mustahil kalau memang bagus makalahnya bisa saja dimasukkan ke jurnal-jurnal berkelas nasional atau internasional.

Bagaimana dengan aktivitas pengabdian masyarakat (PM)? Sebaiknya, aktivitas PM tidak diadakan di tingkat program studi (prodi). Kalau bentuk PT itu sebuah universitas, kegiatan PM dilakukan oleh universitas saja. Nanti dalam kegiatannya bisa melibatkan sivitas akademika yang ada di prodi-prodi PT tersebut. Begitu juga halnya dalam penerbitan buku-buku teks yang ditulis para dosen, sebaiknya universitas memiliki semacam badan penerbitan. Akan lebih baik lagi kalau pihak universitas menjadikan penerbitan buku sebagai proyek yang bisa diikuti oleh setiap ilmuwan yang akan menerbitkan bukunya. Dalam hal ini pihak universitas menyediakan dana untuk penulisan buku-buku teks sekaligus juga menerbitkannya. Dengan cara seperti itu banyak dosen yang mau terlibat dalam penulisan buku teks. Singkatnya, segala cara untuk memenuhi permintaan borang-borang dari BAN PT bisa dipenuhi dengan cara yang baik dan benar. Dengan cara kerja seperti yang disampaikan di atas, akan menghasilkan produk-produk yang inovatif dan kreatif sehingga ketika tiba saatnya dilakukan akreditasi buat PT tersebut tidak mustahil akan bisa mendongkrak perolehan angka hasil akreditasi. Jadi, sudah saatnya orang-orang yang terlibat dalam aktivitas keilmuan melakukan cara-cara kerja yang inovatif dan kreatif. Tinggalkan cara-cara kerja yang serba `grabak-grubuk` yang sudah jelas menempuh cara-cara yang tidak baik. Bukankah seorang ilmuwan harus berlaku jujur?  Bukankah dengan kejujuran itu menunjukkan bahwa ilmuwan itu mengedepankan aksiologi?

***

Perilaku menyesakkan yang ditunjukkan dengan melakukan cara-cara yang menyimpang dalam mewujudkan PT yang bersih dari penyakit pragmatis harus segera disingkirkan. Untuk bisa mewujudkannya diperlukan kerja keras dan serius serta tentu saja dibutuhkan ekstra kesabaran. Memang, kerja keras yang bertujuan untuk mewujudkan PT yang inovatif dan kreatif penuh dengan tantangan. Tantangan itu memang harus dihadapi. Tantangan itu memang penuh dengan risiko. Kalau memang tantangan dan risiko itu bisa dihadapi, tidak mustahil sesuatu yang ingin diperoleh atas jerih payah para ilmuwan yang dibantu dengan sivitas akademika lainnya akan tercapai. Manakala sudah tercapai kerja berikutnya juga akan lebih mudah lagi. Untuk itu, sudah saatnya setiap ilmuwan memiliki niat yang baik dalam mengelola PT. Dengan niat yang baik disertai dengan kerja yang juga baik, Insya Allah akan terwujud sebuah kebaikan. Wallahu a`lam bissawab.

 

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat