Subagio S.Waluyo

Salah satu ciri tulisan TOKOH KITA kalau diamati ada sesuatu yang menarik. Apakah itu? TOKOH KITA sebelum menulis selalu menampilkan gambar-gambar entah itu gambar ilustrasi, karikatur, atau foto. Di luar karikatur dan foto, gambar-gambar ilustrasi ada yang diambil dari google, ada juga memang sengaja digambar oleh anak-anak TOKOH KITA. Yang menjadi pertanyaan, apakah tanpa gambar ilustrasi, karikatur, atau foto TOKOH KITA tidak bisa menyampaikan gagasannya? Apakah gambar ilustrasi, karikatur, atau foto ada kaitannya dengan gagasan yang disampaikan oleh TOKOH KITA. Mengapa TOKOH KITA harus mendahuluinya dengan gambar ilustrasi, karikatur, atau foto ketika menyampaikan gagasannya? Sangat mungkin akan banyak pertanyaan yang diajukan pembacanya ketika melihat tulisan TOKOH KITA. Meskipun demikian, semua pertanyaan yang berkenaan dengan penggunaan gambar ilustrasi, karikatur, dan foto akan dijawab oleh TOKOH KITA.

***

Kebiasaan menampilkan gambar ilustrasi, karikatur, atau foto pada saat memulai menyampaikan gagasannya lewat tulisan baru dimulai setelah TOKOH KITA memiliki blogspot dan website. Sebelumnya, TOKOH KITA tidak pernah melakukan hal seperti itu. Seringkali, baik gambar ilustrasi, karikatur, maupun foto yang ditampilkan di awal tulisannya belum tentu gagasan yang mau disampaikan berkaitan dengan gambar ilustrasi, karikatur, atau foto. Gambar ilustrasi Kapal Titanic yang tenggelam pelan-pelan seperti gambar ilustrasi di atas justru tulisannya terdapat di bagian paragraf terakhir di tulisan dengan judul “Negeri Kolam Susu”. Yang jadi pertanyaan kenapa bukan gambar grup band Koes Ploes yang memang mendendangkan lagu “Kolam Susu”? malah justru gambar Kapal Titanic yang terbelah dan akhirnya perlahan-lahan tidak tampak di permukaan laut (tenggelam). Tentang tidak ditampilkannya foto grup band Koes Ploes itu menjadi rahasia TOKOH KITA. Sedangkan gambar ilustrasi Kapal Titanic yang lama kelamaan tenggelam bisa dilihat uraiannya di bawah ini.

Indonesiaku “negeri kolam susu” yang membuat rakyatnya selayaknya hidup seperti di surga karena “tiada badai tiada topan kau temui” sehingga nelayan bisa mengail ikan dengan nyaman dan aman. Indonesiaku “negeri kolam susu” yang rakyatnya seharusnya hidup berkecukupan karena “kail dan jala cukup menghidupimu” sehingga lautan yang membentang luas itu siap memenuhi kebutuhan para nelayan. Indonesiaku “negeri kolam susu” yang “orang bilang tanah kita tanah surga” karena “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Dari “tongkat kayu” yang ditancapkan itu akan tumbuh tunas-tunas pohon yang kelak bisa dinikmati oleh para penanamnya. Indonesiaku “negeri kolam susu” ternyata jauh panggang dari api. Pengelola “negeri kolam susu”  ini karena keserakahannya, kebodohannya, kehausan kekuasaannya, dan tentu saja kealpaannya sampai-sampai tidak ingat pada rakyat kecil yang mereka selayaknya juga mendapat bagian dari kekayaan negeri ini. Indonesiaku “negeri kolam susu” berubah jadi “negeri kolam air mata” karena banyak rakyat negeri ini yang setiap hari menangisi kemiskinannya. Ah, “negeri kolam susu” yang telah berganti jadi “negeri kolam air mata” sudah seperti nasibnya Kapal Titanic.

(Dikutip dari “Negeri Kolam Susu” oleh Subagio S.Waluyo)

Ketika berbicara tentang pelayanan publik yang acakadul di negara ini TOKOH KITA juga menampilkan gambar ilustrasi seorang laki-laki berkopiah yang dari tampilannya jelas dari kalangan orang-orang desa. Orang tersebut datang ke kantor pemerintahan entah kantor desa/kelurahan atau kantor kecamatan. Orang tersebut karena dari tampilannya memang orang desa oleh pejabat publik (pegawai ASN) yang ada di kantor tersebut cenderung bersikap `cuek-bebek`, tidak dianggap kehadirannya. Gambar ilustrasi ini jelas bukan mengada-ada atau imajiner, tapi memang dalam kenyataannya seperti itu. Pejabat publik yang seharusnya melayani siapapun orang yang datang lebih melihat siapa orang yang akan dilayaninya. Kalau terlihat `perlente` seperti cukong yang sudah pasti banyak uang, orang itu akan dilayani seperti raja. Tapi, kalau yang datang orang desa seperti gambar di bawah ini, sampai kapanpun orang itu tidak dipedulikan (kasihan memang nasib orang kecil di negara ini). Silakan diperhatikan gambar berikut ini berikut uraian di bawahnya!

Sebagai warga negara, kita berhak mendapatkan pelayanan publik dari pelayan publik. Kita tidak ingin menjadi anggota masyarakat seperti terlihat di gambar di atas yang sama sekali tidak dipedulikan kehadirannya oleh para pejabat publik. Mereka (para pejabat publik) asyik dengan kesibukannya sendiri. Orang yang seharusnya mendapat pelayanan (mungkin karena orang tersebut rakyat biasa yang miskin) sama sekali tidak dilayani. Perilaku seperti ini jelas telah melanggar, baik yang terdapat dalam UU Pelayanan Publik maupun UU Pemerintah Daerah. Kalau masih ada perilaku seperti ini, pihak-pihak yang terkait dengan ASN layak melakukan  tindakan tegas. Perilaku seperti gambar di atas tidak bisa dibiarkan. Mereka harus diubah, baik mindset maupun kinerjanya.

(Dikutip dari “Pelayanan…Pelayanan…Pelayanan Publik” oleh Subagio S. Waluyo)

Meskipun semua tulisan TOKOH KITA yang diunggah, baik ke website maupun blogspot-nya bisa dihitung dengan jari kalau tulisannya itu diawali dengan menjelaskan atau menguraikan gambar ilustrasi yang ditampilkan. Dari sekian banyak yang bisa dihitung dengan jari ada tulisan dengan judul “7. Sekedar Pembekalan (3)” yang memang mendeskripsikan isi gambar yang ditampilkan di awal tulisannya. Meskipun demikian, jika dibaca secara teliti, tulisan tersebut tidak melulu bicara tentang seorang pemuda brewok yang terkurung di dalam ruang berkaca seperti akurium. Justru tulisan tersebut lebih banyak membahas tentang persiapan yang harus dimiliki oleh para pemuda (mahasiswa) dalam mengantisipasi tindak pidana korupsi. Panjang tulisan yang membahas sang pemuda brewok itu hanya dua paragraf. Uraian berikut ini bisa dijadikan bukti bahwa TOKOH KITA pernah dalam tulisannya mendeskripsikan gambar ilustrasi yang ditampilkan.

Seorang pemuda duduk dalam ruang kaca tertutup sambil merapatkan kedua kakinya dengan kedua lengannya. Boleh jadi pandangannya kosong ke depan entah apa yang dilihatnya. Pemuda `brewok` dalam ruang kaca tertutup dengan pandangan kosong seperti orang frustrasi. Dia gambaran orang yang tidak berdaya. Gambaran orang yang (mungkin) menyesalkan karena merasa beban hidupnya demikian berat? Kalau ruang kaca itu menyimbolkan ruang yang terkungkung, berarti dia hidup dalam keterkungkungan yang sulit untuk  melepaskan diri dari kungkungannya. Dia terpenjara oleh namanya kehidupan yang demikian sulit. Kesulitan hidup itu boleh jadi disebabkan oleh entah gaya hidupnya yang cenderung konsumtif, hedonis, dan serba instan sehingga pada suatu saat ketika keinginannya tidak terpenuhi, dia hanya bisa duduk dengan merapatkan kedua kakinya dengan kedua lengannya disertai dengan pandangannya yang kosong.

Tipe pemuda `brewok` di atas adalah tipe pemuda `masa depan suram` (madesu). Sah-sah saja kalau juga disebut tipe pemuda `makan enak ogah kerja` alias `meok`. Kalau dulu pernah belajar, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, dia cenderung melakukan kebiasaan `copy paste` atau `copas` (bisa saja disebut `mencotek, `menjiplak`). Kebiasaan-kebiasaan buruk itu berakibat pada keterkungkungan dia di sebuah tempat yang membuat dia teralienasi. Jelas, itu merupakan gambaran yang buruk. Gambaran yang tidak layak dijadikan contoh buat kita. Agar terhindar dari perilaku seperti itu, kita harus melawan gaya hidup  konsumtif. Termasuk ke  dalamnya kita juga harus menyingkirkan gaya hidup hedonis. Kalau perlu, kita juga menyingkirkan kebiasan `copas`. Kita harus menjadi orang yang siap bekerja keras dan memiliki kemandirian. Dua hal itu, kerja keras dan kemandirian, harus kita camkan dan terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Diharapkan dengan kerja keras dan kemandirian kita terhindar dari tipikor yang bisa merugikan bukan saja negara, tapi juga bangsa ini. 

(Dikutip dari “7. Sekedar Pembekalan (3)” oleh Subagio S.Waluyo)

***

Kalau uraian di atas mengambil dari gambar-gambar ilustrasi, pada uraian berikut ini TOKOH KITA sengaja mengambil gambar-gambar karikatur. Sama halnya ketika mengambil gambar-gambar ilustrasi, walaupun banyak mengambil gambar ilustrasi TOKOH KITA tetap saja ketika mendeskripsikan isi gambar cukup singkat saja. Uraian berikutnya justru tidak ada kaitannya dengan gambar karikatur yang ditampilkan. Kalau bisa dikatakan, dari gambar karikatur tersebut TOKOH KITA sekedar membuat stimulus untuk mengembangkan uraiannya. Dari gambar karikatur di atas, misalnya, TOKOH KITA sekedar ingin menunjukkan bahwa dalam hal membicarakan pelayanan publik masih ada perilaku yang mengarah pada nepotisme. Nah, gambar karikatur di atas itu merupakan contoh perilaku nepotisme yang dianggap oleh TOKOH KITA perlu ditampilkan dalam tulisannya berjudul “5. Pengaruh Politik dan Nepotisme”. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada petikan tulisan berikut ini.

Di pojok kanan bawah pada gambar karikatur di atas ada pertanyaan sang anak yang `nyelekit`: “…Bapak nanti jadi abdi rakyat, abdi kekuasaan, atau ….petugas partai?” Sang bapak yang sambil bawa map bertuliskan Pilkada sambil melirik ke anaknya boleh jadi terpukul dengan pertanyaan anaknya itu. Kalau sang bapak seorang pejabat ublic yang tentu saja tugas utamanya melayani publik, hanya ada dua jawaban, pertama dia akan renungkan pertanyaan sang anak walaupun terasa menusuk hatinya. Bisa juga bersikap `cuek bebek`, `masa bodo amat`, `emang gue pikirin`. Sikap kedua tampaknya lebih mendominasi daripada dia harus merenung seraya mengakui betapa ada benarnya  pertanyaan sang anak. Sikap `cuek bebek, `masa bodo amat`, `emang gue pikiran` boleh jadi juga ada pada para birokrat yang menurut hasil survei menunjukkan bahwa netralitas ASN menjadi masalah serius dalam pilkada 2020, utamanya menyangkut politisasi birokrasi dan banyaknya ASN yang melakukan politik praktis.

(Dikutip dari “5. Pengaruh Politik dan Nepotisme” oleh Subagio S.Waluyo)

 `Say no to korupsi!` (katakan tidak untuk korupsi!). Tapi, menghadapi korupsi tidak cukup mengatakan `tidak`. Menghadapi korupsi kita harus siap mengatakan `berantas korupsi`, `perangi korupsi`, `basmi korupsi dari negeri ini sampai ke akar-akarnya`, atau `koruptor harus dihukum mati` (kalau memang kita mau tegas memberantas korupsi dari negeri ini). Atau, minimal, kita berani mengatakan `harus ada pemiskinan buat koruptor`. Dengan cara menyampaikan itu semua, kita berharap ada perbaikan di negeri ini dalam menghadapi penyakit sosial yang sudah menggurita. Kira-kira ada keseriusan tidak, baik rakyat maupun penyelenggara negara ini untuk mengentaskan penyakit sosial yang satu ini? Kalau tidak ada keseriusan, cukup sampai di sini saja usaha kita menghadapi bahaya penyakit sosial ini.

Berkaitan dengan penyakit sosial bernama korupsi, kalau kita amati gambar karikatur di atas, ada hal yang menarik tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negeri tercinta ini: Republik Indonesia. Kalau kita perhatikan, IPK negeri ini bukan menaik nilainya malah menurun dari nilai 38 (2021) turun ke nilai 34 (2022). Dengan angka tersebut, IPK negeri ini menempati peringkat ke-110 (sebelumnya peringkat ke-96). Kesimpulannya, negeri ini dalam menangani korupsi memburuk sepanjang tahun 2022. Wajar saja negeri ini menempati peringkat ke-110 mengingat sepanjang tahun 2022 ada 579 kasus korupsi dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp17,8 triliun ((https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/16/penyalahgunaan-anggaran-jadi-modus-korupsi-paling-jamak-sepanjang-2022).Selain itu semua, negeri ini juga masih punya PR besar terkait buronan koruptor yang sampai saat ini belum juga bisa diringkus. Ada empat koruptor yang sampai saat ini belum diketahui rimbanya. Keempat buronan koruptor itu adalah Harun Masiku, Ricky Ham Pagawak, Paulus Tannos, dan Kirana Kotama (https://www.kompas.com/tren/read/ 2023/02/08/ 203000 965/4-buronan-korupsi-yang-belum-tertangkap-siapa-saja-?page=all.) Sampai kapankah mereka bisa berkeliaran di negara antah berantah? Kita hanya bisa menjawab: wallahu a`lam bissawab. Jawaban itu lebih bijak daripada kita menyampaikan `emang gue pikirin (EGP)`.

(Dikutip dari “ 9. `Say No To Korupsi!` ” oleh Subagio S. Waluyo)

Pada kutipan teks di atas, pembaca diminta mengamati gambar yang ditampilkan. Baru setelah itu terdapat uraiannya di paragraf kedua bukan pada paragraf pertama. Meskipun demikian, justru dari hasil pengamatan yang terdapat di paragraf kedua TOKOH KITA terpancing menulis tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di negara ini. Dari IPK itu TOKOH KITA berupaya mengembangkan gagasannya lewat tulisan itu agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang cenderung bersikap masa bodoh yang dibahasakan oleh TOKOH KITA dengan bangsa yang berprinsip pada `Emangnya Gue Pikirin` (EGP). Sikap EGP ini jelas menurut TOKOH KITA akan menjadikan penyakit sosial bernama korupsi akan semakin merambah. Dengan demikian, bisa dipastikan ada relasi yang erat antara sikap EGP dengan semakin merambahnya korupsi.

***

Bagaimana dengan foto-foto yang juga ditampilkan di beberapa tulisan TOKOH KITA? Foto-foto yang ditampilkan tidak dideskripsikan. Seperti pada tulisannya yang berjudul “Berkisah tentang Environmentalisme”, di tulisan tersebut TOKOH KITA justru menempatkan uraiannya hampir di tengah-tengah tulisan setelah diuraikan terlebih dahulu tentang perilaku masyarakat di sepanjang Kali Malang ketika di saat Covid-19 melanda negeri ini mereka memiliki kebiasaan baru, yaitu bercocok tanam. Terus dilanjutkan tulisannya tentang masyarakat di sepanjang Kali Code yang mereka bisa menata tempat tinggalnya sehingga tidak merusak keberadaan Kali Code. Bahkan, mereka yang tinggal di sepanjang Kali Code bisa melakukan restorasi sungai sehingga bisa dimanfaatkan sebagai salah satu destinasi pariwisata di Kota Yogyakarta. Baru setelah itu dibahas tentang Sungai Citarum yang keberadaannya kini menyedihkan karena telah dirusak oleh perilaku manusianya. Dari situ tulisan berkembang ke program-program restorasi sungai yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjan Umum dan Perumahan Rakyat. Agar program restorasi berjalan mulus dipandang perlu adanya kolaborasi Kementerian PUPR dengan masyarakat setempat. Agar pembacanya memperoleh informasi lebih jelas lagi, silakan saja melihat uraian tulisan di bawah ini!

Salah satu cara yang juga perlu dilakukan masyarakat Indonesia agar memiliki kesadaran akan pentingnya lingkungan sebagaimana terlihat pada aktivitas masyarakat pinggir Kali Code adalah melakuan kunjungan wisata ke beberapa negara yang berhasil melakukan restorasi sungai. Salah satu sungai di Eropa yang sampai saat ini menjadi ikon dan sekaligus objek wisata adalah Sungai Seine, Paris, Perancis. Dalam cerpen “Di Seine Meratapi Citarum” oleh Usep Romli H.M. serombongan wisata dari Kota Bandung dibikin terkagum-kagum oleh kebersihan dan kebeningan air Sungai Seine. Mereka teringat dengan sungai di kotanya yang kotor, bau bangkai, dan warnanya sudah hitam legam. Mereka membayangkan kalau saja Sungai Citarum dan Cikapundung bisa direstorasi seperti Sungai Seine gelar Kota Bandung sebagai `Parisj van Java` akan diraih kembali. Itu hanya bayangan karena faktanya menunjukkan kedua sungai di kotanya telah menjadi tempat pembuangan kotoran manusia dan pabrik. Sungai Citarum saat ini telah dirusak perilaku manusia karena memang tidak ada hukum yang melindunginya sehingga orang hanya meratapi Sungai Citarum yang telah membangkai.

……………………………………………………………………………………………………..

Nasib  yang sama juga dialami oleh sungai-sungai yang mengalir di banyak kota di Indonesia. Sebut saja Sungai Ciliwung di Jakarta yang sampai saat ini masih belum selesai direstorasi. Setiap tahun sungai tersebut menelan korban yang tidak sedikit akibat banjir yang dimuntahkan. Bagaimana pula dengan Sungai Bengawan Solo yang airnya mengalir ke beberapa kota baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur? Sudah bisa dipastikan air Sungai Bengawan Solo juga telah tercemar. Sungai Brantas yang membelah Kota Surabaya juga bagaimana kondisinya saat ini? Apakah ada perubahan yang signifikan setelah dilakukan restorasi? Kita tunggu saja hasil kerja keras pemerintah kota di kota-kota besar di Indonesia yang berusaha merestorasi sungai-sungainya yang mengalir di tengah-tengah kotanya.

***

Pekerjaan merestorasi sungai bukan saja dilakukan oleh  pemerintah kota, pemerintah kabupaten bisa juga melakukan hal yang sama. Pengerjaan restorasi agar terjadi sinergitas di antara pemerintah daerah sebaiknya dilakukan oleh pemerintah pusat yang dalam hal ini di bawah komando Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Meskipun demikian, Kementerian PUPR juga perlu melibatkan masyarakat baik LSM maupun akademis (`orang pintar` dari perguruan tinggi). Lewat LSM dan `orang pintar` dari perguruan tinggi diharapkan masyarakat lokal terutama yang tinggal di sepanjang pinggir kali bisa digerakkan menjadi masyarakat yang sadar akan lingkungan sehingga mereka juga mau terlibat dalam aktivitas restorasi sungai. Dengan melibatkan masyarakat lokal yang tinggal di sepanjang sungai lambat-laun akan terbentuk masyarakat yang environmentalis: masyarakat yang melawan pencemaran, pengotoran, dan perusakan alam (sungai).

(Dikutip dari “Berkisah tentang Environmentalisme” oleh Subagio S.Waluyo)

***

Dengan melihat pada uraian di atas, semua pertanyaan sudah terjawab. Dalam hal ini TOKOH KITA cukup menjawabnya melalui sedikit penjelasan dan beberapa petikan dari teks-teks yang pernah ditulisnya. Jadi, pertanyaan seperti mengapa TOKOH KITA harus mendahuluinya dengan gambar ilustrasi, karikatur, atau foto ketika menyampaikan gagasannya? TOKOH KITA tidak menjawabnya dengan kalimat karena bla…bla…bla. Tapi, TOKOH KITA cukup dengan mengambil sampel dari beberapa tulisan yang di setiap awal tulisan ada gambar-gambar ilustrasi, karikatur, dan foto dipandang sudah cukup untuk memberikan jawaban. Tentang pembacanya yang mungkin saja belum bisa menangkap intisarinya, TOKOH KITA hanya menyarankan agar pembaca tersebut melakukan pembacaan ulang secara kritis.

Sumber Gambar:

  1. (https://www.merdeka.com/jateng/peristiwa-15-april-tenggelamnya-kapal-titanic-ketahui-kronologinya-kln.html)
  2. (https://www.bimteknas.com/bimtek-pelayanan-publik/)
  3. (https://nasional.kompas.com/read/2015/07/21/17055371/Politik.Dinasti.Sebab.atau.Akibat).
  4. (https://investor.id/editorial/26045/peti-mati-untuk-koruptor)
  5. (https://images.app.goo.gl/Lsj82ihBLGp8ALku5)

 

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat