Subagio S.Waluyo

Tim Nichols dalam Matinya Kepakaran (2019: 128) menulis:

Nyeri dada? Tanya komputer Anda. “Mengapa dada saya nyeri?” Akan muncul sebelas juta lebih hasil (setidaknya di mesin pencari yang saya gunakan) dalam waktu tepat 0,52 detik.Aliran informasi akan memenuhi layar Anda, berisi  nasihat yang membantu dari sumber-sumber yang bervariasi, mulai dari Institut Kesehatan Nasional sampai organisasi lain yang tampak kurang meyakinkan. Sebagian situs bahkan akan membimbing calon pasien melalui diagnosis. Dokter Anda mungkin memiliki pendapat yang berbeda, tetapi siapa yang bisa membantah layar bersinar yang menjawab pertanyaan Anda dalam waktu tak sampai satu detik?

Diakui atau tidak teknologi digital telah banyak membantu kita menjalani segala macam aktivitas kita sehari-hari. Di kalangan mahasiswa, misalnya, ketika ujian tertulis di kelas, soal-soal ujian bisa diselesaikan hanya dengan menggunakan mesin pencari yang bernama google di telpon genggam yang mereka sudah sangat bergantung padanya. Bagaimana dengan hasil ujiannya? Karena ujian tertulis yang diberikan para dosen cenderung hapalan, sudah bisa dipastikan lewat google mereka memperoleh nilai sangat baik atau bisa juga minimal baik. Kita sepakat yang pintar dalam kasus itu mesin pencari yang bernama google. Para mahasiswanya yang sudah sangat bergantung pada si pemberi informasi (bisa juga bocoran) tetap saja menjadi makhluk akademis yang bodoh atau minimal kurang cerdas.

***

          TOKOH KITA juga melakukan hal yang sama dalam banyak aktivitas selalu memanfaatkan google. Tapi, TOKOH KITA bukan seperti mahasiswa yang menjadikan google sebagai bahan contekan ujian tertulis. TOKOH KITA memanfaatkan google terutama ketika mencari informasi yang diperkirakan akan banyak membantunya dalam mengembangkan tulisannya. Salah satu aplikasi yang kerap digunakan di google di antaranya adalah Wikipedia. Lewat Wikipedia (dalam hal ini Wikipedia Indonesia), TOKOH KITA mengembangkan tulisannya sehingga menjadi sebuah tulisan yang utuh. Sebagai contoh ketika mengangkat kasus Kanjuruhan, TOKOH KITA bukan mengutip tapi langsung meng-copy paste tulisan yang ada di Wikipedia Indonesia. Dari situ TOKOH KITA mengajak pembacanya untuk berempati terhadap sebuah peristiwa yang terjadi di Kanjuruhan karena persitiwa Kanjuruhan memakan korban yang tidak sedikit. Di sisi lain, TOKOH KITA juga menjelaskan dengan adanya peristiwa itu bisa dibuktikan bahwa betapa buruknya praktek pelayanan publik di negara ini. Bisa juga dikatakan di negara ini lagi-lagi terjadi kasus maladministrasi. Bahkan, boleh jadi di negara ini kasus-kasus serupa telah menjadi fenomena sosial yang pembenahannya bukan sebatas adanya regulasi tapi juga dibutuhkan keterlibatan pihak-pihak yang terkait dalam pelayanan publik.

          Meskipun mengutip sana-sini dari google, TOKOH KITA sebagai insan akademis tidak lupa mencantumkan sumber tulisan yang di-copy paste-nya. TOKOH KITA menyadari berapapun banyaknya kutipan yang diambil dari berbagai sumber harus disebutkan sumber kutipannya. TOKOH KITA sangat menghindari cap plagiator karena cap tersebut akan membuat orang menjadi tercemar nama baiknya. Bahkan, TOKOH KITA (sebagai orang yang dinilai religius) sangat menghindari tudingan sebagai orang tidak konsisten terhadap komitmennya. Dengan demikian, TOKOH KITA terhindar dari cap plagiator dan orang yang tidak punya pendirian (mencla-mencle).

           Di atas disebutkan bahwa TOKOH KITA memanfaatkan google terutama ketika mencari informasi yang diperkirakan akan banyak membantunya dalam mengembangkan tulisannya. Ketika menulis tentang ide—aktivitas—produk—ide, sebagai ilustrasinya TOKOH KITA meng-copy paste dari  (https:// www. liputan6.com/citizen6/read/2062070/kreatif-foto-foto-hasil-manipulasi-yang-menakjubkan). Kalau ditanya, kenapa TOKOH KITA harus meng-copy paste tulisan tersebut? Namanya juga ilustrasi, menurut Wikipedia ilustrasi `kan hasil visualisasi dari suatu tulisan dengan teknik gambar, lukisanfotografi, atau teknik seni rupa lainnya yang lebih menekankan hubungan subjek dengan tulisan yang dimaksud daripada bentuk. Sedangkan kalau dilihat dari tujuannya `kan untuk menerangkan atau menghiasi suatu cerita, tulisan, puisi, atau informasi tertulis lainnya. Dengan adanya ilustrasi yang disertai dengan bantuan visual tulisan tersebut lebih mudah dicerna (https://id. wikipedia.org/wiki/Ilustrasi). Jadi, sudah jelas tujuan TOKOH KITA mengutip (bukan hanya sebagian tapi juga mengutip lengkap) agar gagasan/idenya mudah dicerna oleh pembacanya. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat beberapa contoh tulisan yang memuat kutipan dari mesin pencari google.

Suatu saat TOKOH KITA menyampaikan gagasannya tentang langkah-langkah mengantisipasi kelangkaan buku-buku teks perguruan tinggi. TOKOH KITA menyampaikan bahwa semua aktivitas pembelajaran di perguruan tinggi entah itu yang namanya diskusi/curah pendapat, tanya-jawab, presentasi, atau penugasan sudah saatnya dibukukan. Bayangkan saja, seandainya hasil-hasil penelitian termasuk ke dalamnya hasil-hasil aktivitas pembelajaran di kelas dibukukan, tulis TOKOH KITA, tidak mustahil di semua itu memperkaya wawasan berpikir para insan akademis. Penerbitan buku-buku teks yang semula lebih merupakan hasil-hasil penelitian dan pembelajaran di kelas, baik buku cetak maupun e-book diharapkan sekali bisa mengantisipasi kelangkaan buku-buku teks perguruan tinggi yang selama ini sering dikeluhkan oleh para insan akademis. Bukankah hal itu relevan dengan yang disampaikan Penerbit Deepublish?

……………………………………………………………………………………………………………………………..

Buku Teks | Kegiatan riset atau penelitian memiliki tujuan, yakni mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan, di samping menafsirkan dan mengungkapkan fakta. Kegiatan penelitian bukan lagi hal yang awam bagi sebagian besar akademisi. Terlebih di dunia pendidikan tinggi, penelitian adalah hal yang bahkan wajib untuk dilaksanakan.

“Pada dasarnya penelitian adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilik, memeriksa, atau mencoba dengan seksama dan mendalam suatu masalah dengan sistem tertentu. Hasilnya bisa dipresentasikan, diaplikasikan secara langsung, maupun ditulis dalam bentuk buku teks.”

Kegiatan meninjau ulang suatu teori atau menemukan sesuatu yang belum pernah dikaji ini dapat dijadikan sebagai sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan nantinya. Selain itu, penelitian juga dapat dijadikan sebagai penyesuaian, pembaruan, pengalihan teknologi, rekacipta, dan pengungkapan. Hal-hal yang ditemukan dalam penelitian dapat secara nyata melebarkan peta pengetahuan dan ranah ilmu tertentu.

Dengan melihat banyaknya tujuan yang dapat dicapai dalam penelitian, hasil penelitian seharusnya didaftar, direkam, diakui, disetujui, didokumentasikan, dan disebarluaskan. Muara dari tindak lanjut penelitian ini adalah publikasi dengan hak paten. Tujuan utama dari publikasi ini tentunya memberikan informasi terbaru kepada khalayak luas. Selain itu, penelitian yang dipublikasikan juga bertujuan mendapatkan hak paten agar karya tidak diakui oleh orang lain.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan hak paten sekaligus mempublikasikan hasil penelitian adalah menuliskannya dalam bentuk buku teks. Dalam buku tersebut, ia dapat memaparkan berbagai hal terkait penemuannya sehingga bisa dibaca, dimengerti, diaplikasikan, atau dijadikan sebagai acuan bagi dunia pendidikan.

Pada dasarnya, buku teks merupakan buku yang digunakan untuk mendalami suatu ilmu pengetahuan, teknologi, atau seni sehingga mengandung penyajian asas tentang kelimuan tersebut. Buku ini dijadikan sebagai bahan ajar yang memaparkan materi tentang suatu disiplin ilmu, mata kuliah, atau mata pelajaran. Oleh karena itu, isi buku teks hendaknya disesuaikan dengan kurikulum. Isinya perlu disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik untuk pembelajaran suatu disiplin ilmu terkait.

Dalam perguruan tinggi, buku teks akan berisi pengetahuan yang lebih tersistematisasi dengan adanya hukum dan metode ilmiah. Para mahasiswa yang menggunakannya akan terbantu untuk mengembangkan dan memajukan ilmunya dengan menelaah dan meneliti. Di sini buku teks memiliki peran yang penting untuk menuntun para mahasiswa melakukan hal tersebut. Selain itu, buku ini digunakan dengan tujuan menggembleng mahasiswa untuk terus memutakhirkan pengetahuan dan ilmunya.

Tindak lanjut dari hasil penelitian ini juga nantinya dapat memiliki manfaat bagi para peneliti yang menulisnya. Mereka yang meneliti sekaligus menuliskan hasil penelitiannya dalam bentuk buku teks dapat membumikan hasil temuannya. Selain itu, mereka juga akan memiliki kiprah penting bagi ilmu pengetahuan di Indonesia. Mereka juga bisa menjadi sosok yang bisa mendarmabaktikan pengetahuannya.

Menulis buku teks yang berisi hasil-hasil penelitian merupakan sebuah jalan yang dapat ditempuh untuk menyederhanakan berbagai teori yang tersimpulkan dalam penelitian. Dalam buku itu terdapat berbagai pemaparan yang saling berkaitan dan menyeluruh serta disusun dalam suatu alur yang tuntas, runtut, bertahap, dan menjurus. Selain itu, hasil-hasil penelitian yang dikumpulkan dan dikembangkan juga harus utuh dan mampu dicerna oleh kalangan mahasiswa. Dengan demikian, buku teks dapat dijadikan sebagai salah satu media pembelajaran yang berguna untuk “memanggil” mahasiswa untuk terinduksi, terangsang, dan melakukan penelitian berikutnya.

(https://penerbitdeepublish.com/buku-teks-a/)

TOKOH KITA ketika membahas masalah korupsi mengatakan penegakan supremasi hukum di negara ini hanya jargon dan retorika. Buktinya, masih banyak orang yang diperlakukan tidak adil di hadapan hukum. Lembaga peradilan di negara ini masih sama perilakunya dengan peradilan di masa orde baru. Masih ada praktek-praktek jual-beli hukum sehingga orang kecil yang memang kecil nasibnya dan pendidikannya diperlakukan tidak adil. Masih dalam masalah penegakan supremasi hukum, dalam pemberantasan korupsi, misalnya, masih ada kecenderungan tebang pilih. Buktinya, kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat publik tertentu masih belum bisa disentuh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berikut ini kutipan yang menunjukkan adanya peningkatan tren korupsi di negara ini.

……………………………………………………………………………………………………………………………..

Pukulan lain terjadi pada wibawa Presiden Yudhoyono adalah perginya Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Indonesia dari tahun 2005 sampai tahun 2010. Sri Mulyani, yang memiliki reputasi integritas tinggi (meskipun sedikit dinodai oleh skandal Bank Century), ditugasi untuk mereformasi kantor pajak dan bea cukai yang korup di Indonesia. Dia cukup sukses dan bisa mengandalkan dukungan dari banyak orang Indonesia. Tetapi kinerjanya juga menciptakan musuh. Pada Mei 2010 ia meninggalkan politik Indonesia untuk menjadi Direktur Pelaksana di Grup Bank Dunia. Meskipun demikian, spekulasi yang menyebar luas, adalah bahwa pengunduran dirinya disebabkan tekanan politik dari pengusaha yang memiliki koneksi politik yang tinggi. Secara khusus, Grup Bakrie sering disebutkan dalam media Indonesia dalam hubungan ini (waktu itu Aburizal Bakrie jadi ketua partai Golkar, anggota koalisi pemerintahan Yudhoyono). Kritikus menyatakan bahwa Yudhoyono seharusnya mendukung menteri keuangan ini.

…beberapa kasus korupsi – yang melibatkan anggota partai Yudhoyono dan beberapa menteri – terjadi menjelang akhirnya pemerintahan SBY dan ini sangat merusak reputasi Partai Demokrat (PD) maupun citra Yudhoyono sendiri (yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai pemimpin yang lemah karena munculnya skandal korupsi dalam partainya dan kabinetnya). Dalam dua tahun terakhir kepresidenannya Yudhoyono, Menteri Pemuda & Olahraga (Andi Mallarangeng) dan Menteri Agama (Suryadharma Ali) mengundurkan diri setelah menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Sementara itu, pada tahun 2013 Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dituduh menerima suapan senilai USD $260.000. Ini berarti bahwa – setelah awal yang menjanjikan – munculnya banyak kasus korupsi profil tinggi menjelang akhir masa jabatannya yang kedua, Yudhoyono tidak akan dikenang sebagai seorang yang berhasil memberantas korupsi.

(https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/risiko/korupsi/item 235?)

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai hingga tahun 2018, angka kasus korupsi di Indonesia masih terbilang cukup tinggi.

“Kami, ICW, belum puas dengan kondisi sekarang ini. Ada beberapa indikator, tren pemberantasan korupsi, tren vonis, dan lain-lain. Kalau dilihat trennya, jumlah kasus korupsi tetap tinggi,” kata Ade Irawan.“Kalau lihat pola korupsi sekarang, polanya jauh berbeda dari sebelumnya. Ada kombinasi antara korupsi politik dan korupsi birokrasi. Kalau melihat kombinasi itu ada problem di parpol terkait pendanaan parpol,” kata Ade.

Diketahui, berdasarkan catatan ICW, selama 2017 ada 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun dan kasus suap senilai Rp 211 miliar, serta jumlah tersangka mencapai 1.298 orang.

ICW menyebut, tren korupsi ini mengalami peningkatan dari tahun 2016.

Pada 2016 kerugian negara dari 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun. Angka ini naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2017. Bahkan, peningkatan tidak hanya dari jumlah kerugian uang. Tercatat, tahun 2016, terdapat 1.101 tersangka kasus korupsi dan naik menjadi 1.298 tersangka kasus korupsi pada 2017.(https://www.tribunnews.com/nasional/2018/09/17/icw-sebut-angka-kasus-korupsi-di-era-pemerintahan-jokowi-tetap-tinggi)

Ketika berbicara tentang negara demokrasi, TOKOH KITA mengajak para pembacanya untuk melihat pemilu (pileg dan pilpres) yang diselenggarakan secara masif. Khusus untuk pilpres, misalnya, TOKOH KITA mengutip Sekum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mut`i, yang memberikan penilaian tentang isu-isu yang diperdebatkan ketika debat calon presiden beberapa waktu lalu tidak membikin bangsa ini cerdas. Artinya, ada pembodohan demokrasi karena keduanya ketika berdebat tidak mengangkat program bangsa Indonesia untuk lima tahun ke depan. Keduanya lebih cenderung saling menangkis. Berikut bisa dilihat kutipan Abdul Mut`i selaku Sekum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Jakarta – Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai isu-isu yang diperdebatkan kedua kubu capres-cawapres tidak bermutu. Abdul menilai isu tersebut sebagai pembodohan demokrasi.

“Terus terang saja saya melihat perdebatan akhir-akhir ini sangat tidak bermutu. Sangat mengecewakan bagi saya secara pribadi karena tidak ada debat program, tidak ada adu argumentasi menyangkut Indonesia 5 tahun ke depan. Yang ada saling tangkis-menangkis isu, yang sesungguhnya itu sebuah proses yang saya menyebutnya sebagai pembodohan demokrasi,” kata Abdul, di Hotel Grand Melia, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (13/12/2018).

Ia mendorong secepatnya paslon capres-cawapres melakukan debat yang substantif terkait program Indonesia 5 tahun ke depan. Menurutnya lebih baik agama dapat berperan mempercepat konsolidasi demokrasi.

“Menurut saya jadi agenda penting sehingga paling tidak mulai Januari ini sudah dimulailah ada debat-debat substantif yang menggambarkan bagaimana Indonesia 5 tahun ke depan dari program para capres-cawapres,” ungkapnya.

Selain itu dia juga menyoroti masyarakat yang bersikap apatis terhadap calon legislatif, masyarakat dinilai berfokus pada Pilpres saja. Padahal calon legislatif dinilai penting untuk penyusunan undang-undang.

“Kalau soal legislatif saya kira masyarakat apatis. Ini menurut saya sebagai pertanda karena peran DPR luar biasa mereka yang membuat UU dan regulasi sehingga kalau terlalu fokus pada presiden dan wakil presiden dan mengabaikan anggota legislatif ini juga bisa jadi malapetaka demokrasi,” ungkapnya.

Oleh karena itu dia meminta para tokoh agama ikut berperan meningkatkan peran aktif masyarakat mengikuti proses demokrasi. Serta jangan sampai ada lagi politisasi agama karena saat ini salah satu tantangannya adalah isu politisasi agama.

“Sehingga peran tokoh agama menurut saya perlu untuk kita tingkatkan bagaimana untuk tidak ada politisasi agama tetapi juga tidak boleh ada apatisme umat beragama dalam proses demokrasi,” ujarnya.

(https://news.detik.com/berita/d-4342395/sekum-muhammadiyah-isu-isu-di-pilpres-2019-pembodohan/komentar)

Dalam Pembukaan UUD 1945 sudah jelas-jelas tercantum di sana bahwa salah satu cita-cita luhur para pendiri negara ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, apa yang terjadi? Ungkapan mencerdaskan bangsa diartikan sebagai mengejar nilai akademis. Akibatnya, anak-anak didik itu bukan saja oleh gurunya, orang tuanya pun punya nafsu besar agar anak-anaknya berprestasi melakukan segala macam cara. Salah satu di antaranya bagaimana caranya agar anaknya memiliki nilai akademis yang tinggi. Karena sudah ada konspirasi antara orang tua anak dan guru, terjadilah perilaku buruk yang dilakukan para guru, yaitu me-mark up nilai anak-anak didiknya. Kalau sejak dini anak-anak bangsa itu sudah diberi banyak kemudahan dengan cara-cara yang tidak etis, akan jadi apa anak bangsa itu di masa depan? Apakah mereka juga akan meneruskan generasi sebelumnya yang sudah jelas-jelas banyak di antaranya yang diduga melakukan praktek-praktek KKN? Kalau sudah seperti itu, nasib sebagian besar anak bangsa ini tidak akan pernah berubah. Sebagian besar anak bangsa ini tetap saja hidup tidak nyaman, tidak aman, tidak sejahtera, dan selalu diliputi kegelisahan. Di bawah ini bisa dilihat kutipan yang menunjukkan adanya penyimpangan yang dilakukan orang tua siswa dan guru dalam mengartikan mencerdaskan bangsa.

Mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah salah satu cita-cita luhur para pendiri negara ini. Cita-cita luhur ini tertuang pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Untuk mencerdaskan bangsa ini, masalah pendidikan pun menjadi prioritas pembangunan.

Bahkan, masyarakat cenderung mengartikan mencerdaskan ini sebagai mengejar nilai akademis. Padahal, mencerdaskan kehidupan bangsa seperti termaktub dalam UUD 1945 cakupannya jauh lebih luas.

Mencerdaskan kehidupan bangsa seperti cita-cita para pendiri negara ini, lebih dari sekadar melahirkan manusia cerdas seperti para ahli. Kehidupan yang cerdas menyangkut kesadaran akan harga diri, harkat, dan martabat, kemandirian, kejujuran dan sejenisnya. Bukan cerdas hanya pintar dalam akademis.

Cerdas dalam hal ini mampu menciptakan solusi bagi masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata. Cerdas dalam arti mampu mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari pendidikan untuk dirinya dan lingkungan serta kondisi yang dihadapi.

Kekeliruan mengartikan cerdas terfokus pada akademis, berdampak pada antusiasme masyarakat mengejar prestasi akademik anak-anak mereka. Bahkan, ini telah menjadi semacam gengsi di masyarakat. Antusiasme dan gengsi para orangtua ini melahirkan peluang berdirinya berbagai tempat bimbingan belajar (bimbel), les dan sejenisnya.

Bahkan, para guru ikut membuat bimbel, memberikan les pada murid-muridnya. Hanya sangat disayangkan, banyak oknum guru menjalankan tujuan mulia ini dengan menyimpang. Di antaranya, sengaja mengurangi materi pelajaran yang diberikan di dalam kelas agar bisa diberikan pada bimbel atau les yang dibukanya. Parahnya lagi, ada yang sampai melakukan ‘’intimidasi’’ pada peserta didik yang berani tidak ikut di tempat bimbel atau les guru bersangkutan.

Misalnya, dengan memberikan nilai jelek meski sebenarnya si anak itu lebih pintar dari anak-anak asuhnya di bimbel atau les yang dimiliki sang guru. Mirisnya lagi, banyak oknum guru pemilik bimbel atau les yang membocorkan soal, memberi kunci jawaban pada anak-anak yang ikut di bimbel atau les miliknya. Ini tentu tidak adil dan sangat merugikan anak-anak yang tidak ikut belajar di bimbel atau tempat les guru yang bersangkutan.

(http://www.balipost.com/news/2019/01/22/66738/Pembodohan-dalam-Mencerdaskan-Kehidupan-Bangsa.html)

***

Empat contoh kutipan di atas merupakan suatu bukti bahwa TOKOH KITA ketika menulis untuk menguatkan argumentasinya mau tidak mau harus mengutip dari google. Dalam mengutip bahan dari google walaupun hanya satu-dua kalimat, TOKOH KITA tidak pernah lupa menuliskan sumber kutipannya. Hal itu dilakukan agar TOKOH KITA terhindar dari tudingan sebagai plagiator. Sebutan plagiator tentu saja akan mematikan aktivitas dan kreativitas TOKOH KITA sebagai penulis. Untuk itu, dalam setiap kesempatan TOKOH KITA selalu mengingatkan pada siapapun untuk menumbuhkan budaya baca. TOKOH KITA mengingatkan biar bagaimanapun kebiasaan membaca, entah itu namanya buku atau media cetak, bagi setiap orang yang mau belajar menulis hasil tulisannya akan lebih baik daripada meng-copy paste tulisan orang lain. Percayalah, buku-buku atau media cetak (boleh juga e-book atau media online lainnya) yang dibaca tanpa disadari akan turut memperkaya khasana kota kata seseorang.

 Sumber Gambar:

  1.  (Logo Wikipedia ensiklopedia Online, Wikimedia Foundation Wiki Loves Monuments)
  2. (https://www.ideapers.com/2018/11/fenomena-penghamba-dunia-semu.html )

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat