Subagio S. Waluyo

          Setiap penulis (tidak terkecuali penulis kawakan) bisa dipastikan suatu saat mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan kata-kata yang berakhiran -isme. Kalau kata-kata seperti aktivisme, ideologisme, komunisme, atau konservatisme, itu kata-kata yang sudah dianggap akrablah. Semua orang sudah bisa dipastikan memahami arti kata-kata tersebut. Tetapi, bagaimana dengan kata-kata seperti altruisme, anomianisme, autentisisme, desisionisme, atau environmentalisme? Sudah bisa dipastikan untuk mengetahui artinya orang pasti mencarinya di google. Apakah ada di luar mesin pencari seperti google yang bisa dimanfaatkan? Kalau sekedar mencari artinya, google pasti bisa memberikan jawaban. Bagaimana kalau bukan sekedar mencari arti tapi juga ingin melihat lebih jauh uraian di seputar asal-usul atau penggunaannya misalnya? Nah, dalam hal ini tidak bisa kita mengandalkan google sebagai mesin pencari yang dinilai orang paling tangguh.

***

TOKOH KITA ketika berhadapan dengan kata-kata yang berakhiran –isme boleh dikatakan jarang memanfaatkan google. Ada sebuah buku yang boleh dikatakan buku langka yang memuat kata-kata berakhiran –isme yang biasa digunakan TOKOH KITA. Buku tersebut berjudul Isme-Isme dari A sampai Z. Buku tersebut ditulis oleh A.Mangunhardjana (1997) dan diterbitkan olen Penerbit Kanisius. Buku yang ada pada TOKOH KITA (2001) sudah masuk cetakan ke-5. Tidak ada informasi yang jelas, apakah buku tersebut masih dicetak ulang oleh Penerbit Kanisius atau sudah diterbitkan dalam bentuk e-book. Meskipun demikian, buku tersebut oleh TOKOH KITA dijadikan sebagai buku pegangan manakala ketika sedang menulis berhadapan dengan kata-kata yang berakhiran –isme.

          Buku tersebut memuat 64 kata yang berakhiran –isme. Dimulai dari aksiologisme sampai dengan zelotisme. Buku tersebut tidak mungkin terwujud tanpa adanya keseriusan untuk menuliskan setiap kata yang berakhiran –isme. Sangat mungkin buku tersebut suatu saat bisa dikembangkan bukan saja memuat 64 kata yang berakhiran –isme. Bisa saja jika ada orang yang mau meneruskannya menjadi entah seratus atau dua ratus kata berakhiran –isme mengingat perkembangan kosa kata yang berakhiran –isme itu semakin hari semakin bertambah. Di sini dibutuhkan orang yang tentu saja memiliki wawasan yang luas di bidang filsafat (buku ini oleh penerbitnya dimasukkan ke dalam pustaka filsafat). Selain itu, juga bidang agama dan bidang-bidang ilmu sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik. Tentu saja dibutuhkan sekian banyak bidang keilmuan mengingat isi buku tersebut bukan sebatas mengartikan makna yang terkandung dalam setiap kata berakhiran –isme, tetapi juga di setiap entri yang dibahas harus memuat uraiannya. Di bawah ini sekedar contoh bisa dilihat tulisan TOKOH KITA yang memuat kata yang berakhiran –isme.

***

  1. “Menyoal tentang Nyinyir”
………………………………………………………………………………………………………………..

Istilah sinisme menurut A.Mangunhardjana dalam Isme-Isme dari A sampai Z (2001:213) ialah sikap suka mengejek, mengolok-olok, mencari kesalahan, dan melemparkan kritik. Dalam istilah yang ada di media sosial (medsos) biasa disebut `nyinyir`. Sebagai bukti kalau istilah sinisme ada kemiripan dengan `nyinyir di dunia medsos bisa dilihat dari pengertian `nyinyir` menurut orang-orang yang terlibat di dunia maya (netizen). Para netizen sepakat menganggap nyinyir ini sama artinya dengan menggunjing, menyindir atau mengkritik seseorang atau pihak lawan. Si tukang nyinyir ini, menurut para netizen artinya sama saja dengan tukang gosip, tukang sebar aib orang, tukang kritik, dan menggunjing orang lain dan tukang sebar berita hoax (https://inspirasipedia.com/2019/04/20/ apa-itu-nyinyir/). Bisa juga mereka orang-orang yang tukang gosip, tukang sebar aib orang, tukang kritik dan menggunjing orang lain, dan tukang sebar berita hoax adalah orang-orang yang sinis. Orang-orang penganut paham sinisme.

Orang-orang penganut paham sinisme adalah orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri, emosi, atau (boleh juga) hawa nafsu. Hawa nafsu yang tidak bisa dikendalikan akan memunculkan hal-hal yang negatif dalam diri seseorang. Wajar-wajar saja kalau orang yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu memunculkan penyakit-penyakit hati entah dengki, iri, atau hasad. Penyakit-penyakit hati inilah yang menjadi faktor penyebab orang yang biasa di dunia medsos memunculkan ungkapan-ungkapan `nyinyir`. Orang yang biasa `nyinyir` tidak pernah berpikir akibat dari perbuatannya.  Ajo Sidi, dalam “Robohnya Surau Kami”, misalnya, adalah orang yang tidak pernah berpikir akibat dari bualannya. Begitu juga orang yang terbiasa membuat cuitan-cuitan yang negatif di medsos tidak pernah berpikir akibat cuitan-cuitannya. Contoh-contoh cuitan `nyinyir` yang biasa ditemukan di dunia medsos bisa dilihat berikut ini.

1.   “Rame gini palingan piara jin”

2.   “Hamil duluan ni pasti”

3.   “Riya` amat, sedekah diumbar-umbar pahalanya abis woy”

4.   “Apaan, sayang sekolah tinggi-2 kalo di rumah nyuci gosok momong anak doang”

(https://www.idntimes.com/hype/humor/danti/10-komen-kocak-ditwitter-sindir-mulut-netizen-indo-yang-suka-nyinyir-1/10)

Dari `nyinyiran` di atas, coba kita ungkapkan satu persatu isi `nyinyiran` tersebut. `Nyinyiran` nomor satu ditujukan buat pedagang yang baru saja membuka usahanya yang langsung diserbu pengunjung. Orang yang suka `nyinyir` ada  kemungkinan mengeluarkan `nyinyiran`: “Rame gini palingan piara jin” (Banyaknya pengunjung ada kemungkinan sang pedagang menggunakan jin). Orang yang menyampaikan `nyinyiran` ini sudah pasti orang yang berprangsaka buruk. Kalau berpikir positif, dia akan menyampaikan boleh jadi banyaknya pengunjung karena ketika launching ada diskon besar-besaran atau doorprize yang menarik. Masih banyak lagi hal positif yang dilakukan pedagang ketika membuka usahanya. Untuk `nyinyiran` nomor dua ditujukan buat mereka yang menikah muda. Repotnya ketika orang yang punya hobi `nyinyir` sering kelewatan menyampaikan `nyinyiran`. Ini bisa menyinggung perasaan orang (tujuan utama orang bikin `nyinyiran` `kan untuk menyakiti orang?). Pasangan pengantin yang menikah muda kok ditulis: “Hamil duluan nih pasti”? Bukannya mendoakan orang yang menikah malah memunculkan `nyinyiran` yang `nyelekit` dan bikin orang tersinggung berat. Masih untung kalau tersinggung, tapi kalau sampai dituntut ke pengadilan?

Untuk `nyinyiran` nomor empat, kalau saja tidak memunculkan `nyinyiran`:  “Riya` amat, sedekah diumbar-umbar pahalanya abis woy” orang akan mengapresiasinya (tapi kalau bukan seperti itu pernyataannya bukan lagi  `nyinyiran`). Di sini sang pembuat `nyinyiran` (mudah-mudahan) punya maksud baik. Dia mengingatkan pada orang yang bersedekah agar tidak menyebut-nyebut entah jumlah uangnya yang disedekahkan atau memamer-mamerkan barang yang disedekahkannya. Karena kalimatnya seperti tertera di atas, terkesan sarkasme sehingga tidak mustahil orang yang membacanya menilai sebagai orang yang tidak berakhlak. Niat baik seharusnya disertai dengan komentar yang baik.

`Nyinyiran` terakhir tertuju pada seorang ibu rumah tangga yang tentu saja berpendidikan tinggi. Sang ibu cenderung lebih memilih mengurus rumah tangga daripada bekerja. Sang ibu yang memilih menjadi ibu rumah tangga ini aktivitas kesehariannya bisa ditebak mengurusi anak-anak, suami, dan urusan rumah tangga lainnya (memasak, mencuci, menyetrika, bersih-bersih rumah). Kalau sang suami termasuk orang yang mapan pekerjaan dan usahanya, sebenarnya tidak ada masalah. Tapi, kalau sebaliknya dari sisi penghasilan tidak mencukupi, tidak ada salahnya sang istri juga ikut bekerja atau berwirausaha (apalagi sekarang juga ada bisnis online yang tidak perlu seorang istri keluar rumah). Jadi, orang yang mengomentari keputusan seorang ibu rumah tangga yang mau sepenuhnya mengurus rumah tangganya perlu diapresiasi. Bukan malah dikomentari dengan nada sumbang yang bikin orang tidak berempati.

(http://subagiowaluyo.blogspot.com/2020/08/all-you-need-is-love-76.html?q=menyoal+tentang+nyinyir)

2. “Mewujudkan Bangsa Rajawali”

………………………………………………………………………………………………………………………………

EGP itu merupakan perwujudan dari egoisme yang cenderung tidak sehat. Egoisme yang tidak sehat adalah pandangan dan sikap hidup yang mendewakan/mempertuhankan pemenuhan kebutuhan ego dan penghargaan  (A. Mangunhardjana, Isme-Isme dari A sampai Z, 2001:58). Jadi, orang yang terkena sindrom EGP tergila-gila pada penghargaan karena mereka telah diperbudak oleh kebutuhan egonya yang selalu harus dipenuhi. Singkatnya, mereka gila status, gila tanggung jawab (tapi juga kalau ada masalah saling lempar tanggung jawab), gila reputasi. Saking semangatnya untuk menggapai yang tertinggi dalam Hirarki Kebutuhan Teori Maslow, yaitu aktualisasi diri, demi pengembangan diri dan pemenuhan ideologi kalau perlu lawan-lawan politiknya disingkirkan. Mereka ingin menunjukkan `we are the champion my friend` tetapi melakukan cara-cara tidak terpuji sehingga banyak orang yang menjadi korbannya. Sampai kapan orang-orang dhuafa, orang-orang jelata, orang-orang miskin menjadi korban penguasa-penguasa EGP?

          Dalam memandang hidup, mereka yang tergolong EGP (yang terkena sindrom egoisme) itu kata A.Mangunhardjana hanya berisi kepentingan pribadi sehingga seluruh isi bumi hanyalah alat untuk mencapai pemenuhan pribadi (Isme-Isme dari A sampai Z, 2001:60). Kalau sudah seperti itu sikap mereka, wajar-wajar saja mereka yang tergolong EGP itu sibuk dengan dirinya sendiri dan kepentingannya. Mereka juga tidak segan-segan jika ada orang yang mengganggu kepentingannya, tidak mustahil mereka juga akan berupaya menyingkirkannya. Hal ini yang berakibat pada marginalisasi orang-orang kecil yang tergolong dhuafa, jelata, miskin. Kasihan nasib orang-orang alit, sudah tidak punya kemampuan baik materi maupun intelektual, dipinggirkan lagi posisinya (kalau perlu jadi korban yang mengatasnamakan keadilan). Ah, elit politik bangsa ini, elit politik yang mengelola negeri kolam susu ini begitu teganya mereka menghabisi bukan hanya nasib tapi juga nyawa sesama anak bangsa. Anak bangsa yang dihabisi nasibnya dan nyawanya oleh para elit politik negeri kolam susu itu akhirnya menangis bukan hanya air mata yang mengalir tapi juga darah. Ya, darah keluar dari seluruh tubuhnya. Sampai kapan anak-anak bangsa yang dimarginalkan itu meregangkan nasib dan nyawanya karena ulah orang-orang EGP?

          Ingat anak-anak bangsa yang dimarginalkan sehingga mereka harus meregangkan nasib dan nyawanya, ingat puisi yang ditulis Taufik Ismail yang berbicara tentang nasib bangsa yang cenderung menjadi pengemis. Bangsa ini menjadi pengemis karena tertanam budaya meminjam uang ke mancanegara. Akibatnya, bangsa ini punya penyakit rendah diri. Kekayaan bangsa kolam susu yang sebenarnya sangat kaya ini digadaikan pada bangsa-bangsa asing. Akhirnya, bangsa ini tidak punya apa-apa. Bangsa ini jadi pengemis dan tidak punya harga diri. Sampai demikian rendahnya harga diri bangsa ini, sampai-sampai bangsa ini harus membeli barang-barang kebutuhannya dari bangsa yang jelas-jelas mengeruk kekayaan bangsa ini. Untuk membelinya juga harus berhutang?! Bukankah ini cermin bangsa yang sudah terlanjur gaya hidup konsumtif, hedonis, dan materialistis?

(Dikutip dari buku Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil oleh Subagio S.Waluyo, 2022: 450—452)

3. “Menyoal tentang Environmentalisme”

……………………………………………………………………………………………………………………………..

Ada hal yang menarik ketika Pandemi Covid-19 melanda negeri ini, yaitu kebiasaan mencuci tangan setelah melakukan aktivitas dan menggunakan masker jika ke luar rumah. Selain itu, tentu saja  juga ada kebiasaan baru, yaitu membiasakan menjaga jarak sosial ketika berinteraksi dengan orang lain. Di luar itu ada aktivitas yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu kebiasaan bercocok tanam di setiap jengkal tanah yang ada di rumahnya. Hasil cocok tanam (di luar tanaman hias) yang berupa sayur-mayur dan palawija terkadang modalnya jauh lebih besar daripada hasilnya. Bahkan, tidak mustahil banyak juga yang gagal. Meskipun demikian, semua itu tidak menyurutkan ibu-ibu rumah tangga untuk bercocok tanam. Ada sebuah kegembiraan tersendiri ketika memetik hasil dari bercocok tanam dan membagikannya pada para tetangga di sekitar rumahnya karena dalam kondisi sulit masih bisa berbagi.

Kebiasaan baru ini seandainya bisa dijaga dan ditingkatkan kesadarannya bukan saja sekedar bercocok tanam, tetapi juga adanya keinginan keras untuk menjaga kelestarian alam tidak mustahil sebagian masyarakat ini akan menjadi penggerak dan penjaga lingkungan hidup. Mereka yang boleh dikatakan masyarakat perkotaan kalau sudah seperti itu akan menjadi masyarakat yang disebut environmentalis. Environmentalis adalah gerakan melawan pengrusakan alam entah  itu yang namanya pencemaran atau pengotoran lingkungan. Mereka-mereka yang memiliki pandangan untuk menggerakkan dalam bentuk menjaga dan  melindungi kelestarian alam disebut environmentalisme (A.Mangunhardjana dalam Isme-Isme dari A Sampai Z, 2001:76). Dengan demikian, Pandemi Covid-19 yang boleh dikatakan telah banyak memakan korban ternyata di satu sisi juga melahirkan gerakan environtalisme di sebagian masyarakat perkotaan.

Sebenarnya, kesadaran untuk melestarikan lingkungan bukan saja setelah hadirnya Pandemi Covid-19. Masyarakat kita sejak dulu pun kalau saja ada aturan yang jelas dan pengawasan yang ketat baik dari pemerintah maupun masyarakat pasti mau berpartisipasi terlibat dalam menjaga lingkungan. Lihat saja yang dilakukan masyarakat pinggiran Kali Code, Yogya yang rela mengubah letak rumahnya. Rumah-rumah mereka yang semula banyak yang membelakangi kali, begitu ada yang menggerakkan dan adanya aturan yang jelas dari pemerintah setempat serempak diubah letaknya. Tidak cukup sampai di situ, sepanjang Kali Code bersih dari pipa air kotor yang semula dibuang ke kali tersebut. Di sini bukan saja ada regulasi untuk itu, tapi juga ada penggerak dari kalangan LSM dan akademis yang berperan mengarahkan dan mengawasi program gerakan restorasi Kali Code. Tanpa melibatkan masyarakat LSM dan akademis mustahil program gerakan restorasi Kali Code tidak akan bisa terwujud.

(Dikutip dari buku Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil oleh Subagio S.Waluyo, 2022: 246—248)

4. “Ngibul”

……………………………………………………………………………………………………………………………….

Anak bangsa yang jadi `tukang ngibul` cenderung egois. Kalau sifat egois telah mendarah daging mereka telah menjadi pengikut aliran egoisme. Egoisme itu sendiri menurut A.Mangunhardjana (Isme-Isme dari A sampai Z, 1997: 58) ialah ajaran atau sikap hidup yang berhubungan dengan ego (aku, keakuan, saya). Orang yang telah menjadi penganut aliran egoisme (walaupun ada egoisme yang sehat) cenderung mementingkan diri sendiri dan mencari kepentingan diri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Untuk itu, karena didasari mementingkan kepentingan diri sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain, orang yang sudah dikuasai egoisme melakukan cara apapun termasuk `ngibul`.Predikat `tukang ngibul` layak disematkan pada mereka-mereka penganut egoisme.  

          Anak bangsa yang telah didominasi egoismenya tanpa disadari mereka sebenarnya telah menjadi pengikut barisan orang-orang yang cenderung pragmatis. Kalau kata pragmatis sudah mendarah daging, mereka telah menjadi penganut pragmatisme. Pragmatis dalam bahasa Inggris pragmatic yang artinya `berkaitan dengan hal-hal yang praktis`. Mungkin karena saking praktisnya orang lebih memprioritaskan tindakan daripada hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan ajaran (Mangunhardjana,Isme-Isme dari A sampai Z, 1997:189).  Bahkan, Wona mengatakan bahwa  pragmatis ini lawan dari idealis, yakni konsep yang lebih menitikberatkan untuk melalui cara atau jalur apapun yang sifatnya jangka pendek dengan melakukan hal-hal yang bersifat praktis serta mengesampingkan sisi ketidakbergunaan (http://www.corinnerogero.com/ pengertian-pragmatis-dan-contohnya-dalam-kehidupan). Dengan demikian, orang-orang yang tergolong pragmatis menurut pendapat Wona di atas mengesampingkan hal-hal yang idealis. Karena mengesampingkan yang idealis, wajar-wajar saja orang-orang yang pragmatis melakukan cara-cara tidak terpuji, salah satu di antaranya `ngibul`.

          Orang yang pragmatis karena mempraktekkan cara-cara yang onator (termasuk suka ngibul) mau tidak mau bisa juga digolongkan orang yang oportunis (penganut paham/aliran oportunisme). Oportunisme sendiri didefinisikan sebagai suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok,atau suatu tujuan tertentu (Ensiklopedi Nasional Indonesia. Bekasi: Delta Pamungkas, 2004:289). Tampaknya, semakin jelas, orang yang `suka ngibul` karena perbuatan atau perkataannya tidak dilandasi kejujuran yang bertujuan hanya untuk mencari kepentingan diri sendiri selain orang itu tergolong egois, juga pragmatis. Karena untuk memenuhi kepentingan diri sendiri (boleh juga keluarga, kelompok, masyarakat, atau institusinya) terpaksa harus `ngibul`, mereka juga menjadi orang-orang yang oportunis.   

          Pola hidup pragmatis yang diiringi dengan perilaku oportunis telah melanda sebagian besar bangsa ini. Pola hidup pragmatis dan oportunis juga melanda para onat politik. Tidak aneh kalau muncul pragamatisme politik yang ditujukan siapa lagi kalau bukan pada onat-aktor politik. Artinya, menjadikan politik sebagai sarana untuk mencapai keuntungan dan kepentingan pribadi. Karena terkena sindrom onatorsm politik, para onat politik melakukan berbagai cara, salah satu di antaranya apalagi kalau bukan `ngibul`. Kalau sudah `ngibul` dan kata `ngibul` sendiri sudah dijadikan cara untuk memenuhi egonya, jadilah onat-aktor politik di negara ini onat politik yang pragmatis dan oportunis.

          Aktor-aktor politik yang semula mengedepankan egonya, kemudian menjadi orang yang pragmatis, dan terakhir melakukan cara-cara kerja orang-orang yang oportunis selain berperan menghancurkan kekayaan daerah atau negara sekalipun, juga berperan merusak karakter anak-anak bangsa. Tatanan birokrasi yang dibangun pemerintah bersama rakyat dan swasta juga bisa rusak. Kalau birokrasi yang dibangun sudah rusak, rasa-rasanya cita-cita luhur bangsa ini ingin mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan makmur jauh dari harapan. Sebaliknya, yang terjadi adalah kehancuran atau tidak mustahil negara ini akan termasuk negara gagal. Kita sudah melihat contoh-contoh konkrit gambaran negara yang tergolong gagal. Mereka di samping sudah terbelit hutang yang rasa-rasanya sulit untuk melunasi hutang-hutangnya, kekayaan negara yang dieksplorasi habis-habisan oleh negara-negara yang menamakan dirinya sebagai `negara onator` juga makin hari makin menipis. Tidak mustahil negara-negara semacam ini akan dijajah oleh `negara-negara onator`. Kita tidak ingin negara ini memasuki fase penjajahan jilid kesekian karena kita sudah bertekad sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”  Jadi, sudah jelas kalau kita tidak menghendaki adanya penjajahan karena penjajahan itu telah merampas hak-hak kita sebagai bangsa Indonesia. Agar kita terhindar dari penjajahan jilid kesekian jauhkan kebiasaan `ngibul` yang sudah jelas-jelas menjadikan kita egois, pragmatis, dan oportunis. Sekarang saatnya kita menjauhkan virus-virus itu. Kalau bukan sekarang kapan lagi?

(Dikutip dari buku Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Penegakan Good Governance oleh Subagio S.Waluyo, 2019: 143–146) 

5. “Berkisah tentang Verbalisme”

……………………………………………………………………………………………………. 

Aku Tulis Pamplet Ini

Aku tulis pamplet ini

karena lembaga pendapat umum

ditutupi jaring labah-labah.

Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk

dan ungkapan diri ditekan

menjadi peng-iya-an.

Apa yang terpegang hari ini

bisa luput esok pagi.

Ketidakpastian merajalela.

Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki,

menjadi marabahaya,

menjadi isi kebon binatang.

……………………………………………….

***

Jika Rendra sebagai sastrawan berhasil menggunakan komunikasi verbal lewat tulisan dengan kata-kata yang cenderung sarkasme, lain lagi dengan Budi Darma dalam cerpennya “Sebuah Kisah di Candipuro” yang juga menggunakan komunikasi verbal lewat perbuatan. Tokoh-tokohnya minim ucapan (bahasa lisan). Seandainya ada ucapan, lebih pada ucapan-ucapan kasar. Di cerpen tersebut ada unsur kekasaran seperti `membodoh-bodohi istrinya`. Meskipun demikian, Budi Darma juga menggunakan komunikasi nonverba seperti `… membawa pelacur ke rumahnya`, `… pasti Jemprot menyiksanya`, dan ` Siksaan bisa memakai tangan kosong, gada besar yang terbuat dari kayu jati, bisa juga memakai palu dari besi baja`. Jadi, jika ditilik lebih jauh tampak dalam cerpen yang ditulis Budi Darma kali ini lebih condong menggunakan bahasa perbuatan dalam bentuk kekerasan. Seandainya ada ancaman, ungkapan-ungkapan berbau ancaman (yang boleh jadi sarkasme) tidak dimunculkan sehingga nyaris cerpen tersebut yang sebenarnya bisa saja bermuatan komunikasi nonverbal menjadi komunikasi verbal.

Dalam cerpen yang ditulis Budi Darma, “Sebuah Kisah di Candipuro”, diceritakan seorang laki-laki yang sudah berkeluarga mempunyai kebiasaan membawa pelacur ke rumahnya. Laki-laki itu, Jemprot, ketika berhubungan seks dengan setiap pelacur meminta istrinya, Bik Rimang, ikut menyaksikannya. Kalau tidak mau, Bik Rimang akan disiksa. Kejadian itu terus berkelanjutan. Sebagai manusia biasa Bik Rimang lama kelamaan tidak tahan juga dengan perlakuan suaminya. Suatu saat ketika mereka bermain kuda-kudaan Bik Rimang mengambil celurit. Bik Rimang menancapkan celuritnya ke kepala suaminya. Dengan demikian, Bik Rimang di cerpen tersebut telah mempraktekkan komunikasi nonverbal (tidak perlu ucapan tapi cukup dengan perbuatan).     

Sering dia membawa pelacur ke rumahnya, lalu diajaknya main kuda-kudaan. Pelacurnya tidak pernah sama. Setiap kali Jemprot membawa pelacur lagi, pasti pelacur baru. Dan, Bik Rimang mau tidak mau harus menyaksikan suaminya main kuda-kudaan. Sebab, kalau menolak, sehabis main kuda-kudaan pasti Jemprot menyiksanya. Siksaan bisa memakai tangan kosong, gada besar yang terbuat dari kayu jati, bisa juga memakai palu dari besi baja.

Pada suatu hari, ketika Jemprot mengancam akan membunuh istrinya apabila tidak mau menyaksikan Jemprot main kuda-kudaan, istrinya hanya menunduk. Permainan kuda-kudaan pun dimulailah. Mula-mula istrinya merasa lemah, keringat dinginnya membasahi tubuh, pandangan matanya menjadi gelap. Lalu, dengan mendadak dia merasa mendengar bisik-bisik sebuah lagu, sama dengan lagu dari ibunya dulu. Tubuh Bik Rimang merasa kuat, tapi pandangannya tetap gelap. Tanpa diketahui Jemprot karena terlalu asyik dengan permainannya, Bik Rimang menari, berjalan ke dapur, mengambil celurit, dan dengan gerakan tari yang sangat indah, celurit itu dilayangkan ke kepala Jemprot.

Dikutip dari Cerpen Budi Darma “Sebuah Kisah di Candipuro”

(https://lakonhidup.com/2020/04/26/sebuah-kisah-di-candipuro/)

Begitulah cara Budi Darma menyelesaikan masalah verbalisme yang sering dilakukan Jemprot, laki-laki yang sering memaksa istrinya (Bik Rimang) untuk menonton adegan seks dirinya dengan seorang pelacur. Di mata Jemprot istrinya hanya sebagai boneka yang bisa dipaksa dan dikasari. Dia tidak pernah berpikir kalau suatu saat Bik Rimang sebagai istrinya juga bisa melampiaskan sakit hatinya. Suatu saat Bik Rimang saking tidak tahannya menyelesaikan sakit hatinya dengan tega dia membunuhnya secara keji (menggunakan celurit) sehingga sang suami, Jemprot, bersamaan dengan hilangnya nyawa, hilang juga penyakit verbalismenya. Meskipun perbuatan tersebut jelas melanggar hukum, bagi Bik Rimang tidak ada cara yang paling efektif kecuali menghabisi nyawa suaminya daripada seumur-umur dia harus hidup menderita di bawah tekanan suaminya. Dengan demikian, untuk sementara dia merasakan kebebasan yang tidak bisa dinilai dengan materi sekalipun:kebebasan dari penindasan, kebebasan dari verbalisme sang suami yang sudah jelas dzolim.

***

Verbalisme bisa berarti ungkapan verbal. Dalam hal ini bisa berwujud kata-kata,perkataan, ungkapan, ucapan.Verbalisme juga dapat digunakan untuk menyebut tulisan atau uraian yang mempergunakan terlalu banyak kata sedangkan isinya terlalu sedikit atau tanpa isi (A.Mangunhardjana, Isme-Isme Dari A sampai Z, 2001: 233). Verbalisme juga bisa digunakan untuk mengaburkan kenyataan atau mendekati eufemisme (menggantikan kata atau ungkapan yang kurang enak didengar menjadi ungkapan yang enak didengar). Frase `pelacur` diganti dengan `wanita tuna susila` atau `pekerja seks komersil (PSK)` merupakan salah satu contoh eufemisme dan masih banyak lagi contoh yang biasa orang gunakan untuk melakukan verbalisme dalam mengaburkan kenyataan (A.Mangunhardjana, 2001:234).

Dalam petikan puisi “Aku Tulis Pamflet Ini” di atas tidak ada kata atau ungkapan yang diperhalus. Rendra menggunakan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti walaupun mengganti DPR dengan lembaga pendapat umum (misalnya). Begitu juga dalam cerpen yang ditulis oleh Budi Darma (“Sebuah Kisah di Candipuro”) juga tidak ada penghalusan kata sehingga cerpen itu mudah dicerna oleh pembaca awam sekalipun. Kedua sastrawan itu telah berhasil berkomunikasi dengan pembacanya lewat komunikasi verbalisme (komunikasi verbal dan nonverbal). Keberhasilan itu bisa dilihat dari reaksi pembacanya. Untuk pembaca puisi-puisi Rendra boleh jadi ada yang tersinggung atau ada juga yang berempati. Bahkan, bisa termotivasi untuk sama-sama mengkritisi ketimpangan sosial. Sedangkan pembaca cerpen Budi Darma kali ini, orang bisa geram dengan perilaku Jemprot yang telah memaksa istrinya menonton kebiasaan buruknya ketika berzina dengan seorang pelacur di depan mata sang istri. Pembaca bisa berempati dengan keputusan akhir sang istri (Bik Rimang) yang telah menancapkan celuritnya ke kepala Jemprot, sang suami, yang telah sering berbuat dzolim terhadap istrinya. Dengan demikian, lewat verbalisme kedua sastrawan (WS Rendra dan Budi Darma) telah berhasil membangun empati dan kepedulian pada sesama manusia.

***

Verbalisme yang banyak digunakan dalam karya sastra bisa memberikan manfaat besar manakala  orang bisa berempati dengan isi puisi atau pesan yang disampaikan penulis dalam karya fiksinya (cepen, novel, dan bisa juga naskah drama). Verbalisme juga bisa bermanfaat dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan pada seorang hamba Allah sepanjang menggunakan diksi yang baik (diksi yang tidak membuat seseorang tersinggung). Verbalisme sebagai sesuatu yang netral terkadang juga bisa membuat orang naik darah karena tersinggung. Semua itu sangat bergantung pada penggunaan diksi. Bagi orang yang aktif dalam aktivitas dakwah atau pendidik (termasuk ke dalamnya dosen atau guru) yang setiap hari aktif berkomunikasi baik verbal maupun non-verbal harus berhati-hati menggunakan diksi. Sesuai dengan bunyi hadits di atas bahwa orang yang lurus hatinya tercermin dari kelurusan kata-kata. Dengan demikian, seorang Muslim yang baik harus memiliki kelurusan kata-kata sehingga orang yang mendengarkannya akan bisa menyimpulkan Islam merupakan agama yang mengajarkan kesantunan berbahasa.

(Dikutip dari buku Dari Menjauhi Hipokrit ke Mengetuk Pintu Langit oleh Subagio S.Waluyo, 2022: 165—170)

***

          Dengan mengambil lima contoh tulisan yang dijadikan sampel di atas sudah bisa disimpulkan kalau TOKOH KITA ketika berhadapan dengan kata atau istilah yang berakhiran –isme menggunakan bukan hanya mesin pencari (google) tetapi juga buku-buku. Dalam hal ini salah satu buku yang sampai saat ini digunakan adalah buku yang disusun oleh A.Mangunhardjana: Isme-Isme dari A sampai Z. Boleh dikatakan TOKOH KITA sangat bergantung pada buku tersebut. Dari buku tersebut oleh TOKOH KITA diakui atau tidak kerap menjadi sumber inspirasi dalam menulis. Tulisan dengan judul “Berkisah tentang Verbalisme”, misalnya, sumber inspirasinya diambil dari membaca buku yang ditulis A.Mangunhardjana itu. Boleh jadi sampai kapanpun TOKOH KITA akan menjadikan buku yang memuat 64 kata-kata berakhiran –isme itu sebagai sumber inspirasi dalam tulisannya. Kita pun sebagai pembacanya layak mengikuti cara kerjanya.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat