Subagio S.Waluyo

Tulisan TOKOH KITA (10) masih merupakan kelanjutan dari TOKOH KITA (9). Maksudnya, kedua tulisan masih membahas yang berkaitan dengan kritik sosial. Kalau di TOKOH KITA (9), bahan tulisan diambil dari buku Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Penegakan Good Governance. Di tulisan kali ini, bahan yang diambil dari buku Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil. Kedua buku yang diambil sebagai bahan tulisan sama-sama merupakan kumpulan tulisan. Kedua-duanya juga sama banyak bermuatan kritik sosial. Meskipun demikian, kritik sosial yang disampaikan TOKOH KITA bersih dari nyinyir atau hoax. Justru, TOKOH KITA berusaha memberikan pendapat dan sekaligus penilaian. Agar tidak berpanjang kalam, silakan simak dua buah tulisan yang diambil dari buku Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil.

***

Bangsa Berperilaku Degil

…………………………………………………………………………………………………………………..

Pejabat-pejabat negara yang mengerecoki kerja kepala daerah yang benar-benar cepat dan tepat dalam menghadapi serangan virus Corona ini setelah melihat semakin hari semakin banyak korban yang berjatuhan, pada akhirnya mulai kooperatif. Sikap pejabat-pejabat negara ini jelas-jelas menunjukkan ketinggian hati sehingga ada kecenderungan meremehkan kerja orang lain. Sikap tinggi hati yang melahirkan sikap meremehkan jelas menunjukkan perilaku keras kepala (degil). Perilaku degil di negara ini bukan hanya ada pada para pejabat di negara ini, masyarakatnya juga sama degilnya. Bukti, masyarakat kita degil coba lihat di sekitar kita, walaupun sudah ada kebijakan yang berkaitan dengan menjaga jarak aman dan menggunakan masker, tetap saja masyarakat kita cuek bebek. Di mana-mana dijumpai orang masih saja kumpul-kumpul, merokok, dan tidak pakai masker. Boleh jadi sikap masyarakat seperti itu disebabkan oleh pemberitaan tentang perkembangan korban virus Covid-19 yang cenderung tidak menakutkan.

Sampai dengan sabtu (18/4-2020) ada 325 kasus baru sehingga berjumlah 6.248 orang. Sementara yang meninggal bertambah 15 orang sehingga jumlah orang yang meninggal karena Covid-19 menjadi 535 orang (https:// nasional.kompas.com/ read/ 2020/ 04 /18/15542141/update-kasus -covid-19-di -indonesia-kini-6248-bertambah-325). Mungkin karena mereka berpikir yang meninggal se-Indonesia hanya bertambah 15 orang dianggap kecil. Penambahan orang yang terkena virus Corona juga sedikit cuma 24 orang (itu pun se-Indonesia) terang saja tidak membikin  masyarakat panik. Kita tidak tahu persis jumlah korban yang berjatuhan disebabkan oleh virus Covid-19. Kalau memang pemberitaan itu benar-benar menyesatkan, pemerintah telah melakukan kebohongan publik. Perilaku seperti itu jelas perilaku degil karena meremehkan nyawa orang banyak. Perilaku degil ini menunjukkan sikap tinggi hati pejabat negara kita yang sebenarnya juga  menunjukkan kegagalannya dalam mengelola negara.

***

Seorang pemimpin yang tinggi hati ketika suatu saat mengambil kebijakan bisa dipastikan kebijakan yang dilahirkan akan menimbulkan masalah. Bisa juga pemimpin jenis ini dengan kasat mata memperlihatkan sisi kelemahannya dalam mengelola negara. Salah satu contoh kebijakan yang dikritisi oleh banyak orang adalah program kartu prakerja yang didanai pemerintah sebesar 20 triliun rupiah. Memang, program ini merupakan wujud janji Jokowi ketika kampanye presiden tahun lalu, tapi di tengah-tengah kondisi negara ini yang saat ini menghadapi pendemi Covid-19 jelas menimbulkan masalah. Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang juga anggota DPR dari Fraksi PKB,  Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan kalau   rakyat dan karyawan yang kehilangan pekerjaan saat ini membutuhkan bantuan  bahan makanan, bukan pelatihan kerja online. Kalau sekedar untuk menambah keterampilan kerja secara online orang bisa lewat sarana lain, seperti Youtube. Kenapa negara harus repot-repot menggelontorkan dana begitu besar?

Pemimpin negara ini sepertinya tidak memahami prioritas utama yang dibutuhkan rakyatnya yang saat ini sebagian besar terpaksa tidak bekerja (cenderung menyepelekan). Masih syukur kalau ada di antara warganya yang masih mendapat gaji walaupun ada sedikit pemotongan. Bagaimana mereka yang setiap hari di jalanan seperti pengemudi ojek online (Ojol) yang sangat mengandalkan masukan dari pengguna jasanya? Atau bagaimana para guru ngaji dan para kyai di pesantren-pesantren yang terpaksa tidak ada masukan selama kebijakan PSBB diberlakukan di daerahnya? Mereka ini menurut Yaqut yang harus lebih diperhatikan ketimbang program kartu pekerja yang menelan biaya yang tidak sedikit itu. Bagaimana pula dengan mereka yang terpaksa di-PHK karena adanya pendemi Covid-19 ini? Semua orang kecil yang masih tercatat sebagai warga negara Indonesia membutuhkan bantuan pangan yang masih digunakan dalam rentang waktu 1-2 bulan. Kalau pemerintah masih tetap mempertahankan program kartu prakerja yang dari semula memang sudah kontroversial, justru makin membenarkan dugaan publik tentang adanya konflik kepentingan.

Masalah Konflik kepentingan tampaknya masalah yang boleh dikatakan sulit untuk dihindari. Setiap pejabat baik negara maupun daerah yang mengelola negera atau daerah di negeri ini ketika berhadapan dengan pihak swasta (dalam hal ini pengusaha) bisa dipastikan mereka pasti menuruti kemauan sang pengusaha. Mereka sadar kalau yang mau dijadikan sebagai mitra kerjanya adalah pemilik modal. Tapi, karena baik sang penguasa maupun pengusaha masing-masing punya kepentingan mau tidak mau ada yang harus mengalah. Biasanya sang penguasa di negara ini yang mengalah pada kemauan pengusaha. Karena sang pengusaha merasa di atas angin, sang penguasa yang sudah terlanjur mengeluarkan kebijakan yang sudah jelas-jelas menguntungkan pengusaha bergeming untuk membatalkan kebijakan yang sudah digelontorkan. Boleh jadi program kartu kerja yang sudah gelontorkan sulit ditarik kembali karena sudah terlanjur dalam merealisasikan program ini sang penguasa juga melibatkan pihak-pihak lain (termasuk pejabat-pejabat di bawahnya). Di sini sudah bisa dipastikan terjadi konflik kepentingan penguasa, pengusaha, dan pejabat-pejabat di bawahnya yang gampang diintimidasi. Dengan demikian, karena konflik kepentingan juga yang membuat bangsa ini degil sehingga tidak aneh jika ada kecenderungan meremehkan masukan baik yang datangnya dari rakyat biasa maupun pejabat di daerahnya.

***

Bangsa yang degil jelas menunjukkan bangsa yang diibaratkan seperti (maaf) seekor anjing yang ketika didiamkan sang anjing tetap menjulurkan lidah. Begitu juga ketika diusir, sang anjing juga tetap menjulurkan lidah (Al-A`raf: 176). Perilaku seperti ini juga digambarkan sebagai bangsa degil seperti yang disebutkan dalam Al-Qur`an (Al-Baqarah: 8-16). Gambaran karakteristik bangsa degil dalam Surat Al-Baqarah ayat 8-16 disebutkan sebagai bangsa yang sebenarnya punya kelemahan dan kehinaan. Orang yang kuat imannya tentu saja tidak suka `nyinyir`, tidak akan menipu, tidak akan melakukan konspirasi jahat, tidak akan memfitnah, tidak akan melakukan provokasi,dan tidak akan mencaci-maki (Tafsir Fi Zhilalil Qur`an Jilid 1/Sayyid Quthb, hlm. 73). Agar terhindar dari perilaku buruk seperti yang disebutkan di atas di saat-saat kita sedang mengkarantina diri ada kesempatan untuk bertaubat (taubatan nasuha), mengoreksi diri bahwa musibah yang menimpa kita saat ini lebih karena banyaknya kesalahan kita, memperbanyak ibadah kepada Allah SWT, dan memperbanyak bersedekah kepada sesama kita yang saat ini mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya karena terdampak Covid-19. Yang lebih penting lagi, mudah-mudahan saja kita terhindar dari bangsa degil, bangsa yang dipimpin bangsa harimau yang memimpin dengan cakarnya, dengan taringnya, dan dengan kekuatannya.

  (Dikutip dari buku: Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil)

Sebuah tulisan yang berisikan kritik sosial jelas akan membuat orang, kelompok, atau pemerintah sekalipun tersinggung. Tapi, sebatas memberikan kritikan yang tidak bertendensi menjatuhkan entah itu orang, kelompok, atau pemerintah sekalipun tidak akan membahayakan. Kalau tulisan di atas ada pernyataan-pernyataan yang ditujukan pada pemerintah, alangkah eloknya pemerintah melakukan introspeksi diri. Jadi, tidak harus sebentar-sebentar orang yang melakukan kritik sosial harus berhadapan dengan hukum. Ini `kan negara demokrasi. Semua orang bebas menyampaikan pendapatnya sebatas pendapat yang dikemukakan bisa dipertanggungjawabkan. Tulisan di atas, Insya Allah, bisa dipertanggungjawabkan karena yang disampaikan benar-benar objektif, jauh dari nyinyir, apalagi hoax.

***

Apa yang bisa disampaikan dengan gambar karikatur di atas? Seorang pria berpeci, berkemeja putih, berdasi, tapi menutup mata, mulut, dan telinga sehingga orang perlu bertanya siapa dia? Agak jauh di belakang pria itu, dua orang jelata  mengangkat kedua tangannya, entah mereka memanggil pria itu atau sekedar menyapanya. Kita yang melihatnya juga tidak tahu apa yang mereka kehendaki? Bisa juga kita berkontemplasi bahwa pria itu wakil rakyat yang telah menutup mata, mulut, dan telinganya dari keluhan-keluhan yang disampaikan rakyatnya? Kalau memang itu benar, wakil rakyat di negara ini telah menciptakan `menara gading`. Artinya tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan atau bisa juga didefinisikan dengan tempat untuk menyendiri, misalnya tempat studi, yang memberi kesempatan untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. (https://kbbi.lektur.id/menara-gading). Bukankah anggota dewan kita, diakui atau tidak, memang telah bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya? Untuk mengetahui lebih jelas, silakan disimak tulisan berikut ini.

 Wakil Rakyat Fatalis

………………………………………………………………………………………………………

Anggota dewan kok fatalis? Kenapa fatalis? Bagaimana caranya anggota dewan sampai fatalis? Memang aneh ya kalau anggota dewan fatalis karena mereka kata Iwan Fals disebut sebagai “Wakil rakyat Kumpulan orang hebat.” Jadi, mereka (anggota dewan) itu bukan orang sembarang, mereka orang-orang hebat karena mereka dilihat dari tingkat pendidikannya rata-rata tinggi. Ini buktinya, sebanyak 53 orang berpendidikan S3 (9,2%), 210 orang berpendidikan S2 (36,5%), 198 orang berpendidikan D4/S1 (34,4%), 6 orang berpendidikan D3 (1%), 56 orang berpendidikan SLA (9,7%), dan lainnya sebanyak 52 orang (9%) (https://www.inews.id/news/nasional/ anggota-dpr-terpilih-periode-2019-2024-mayoritas-berusia-41-60-tahun).

Dari data di atas kita mencatat ada 467 orang (81,2%) anggota dewan (DPR) berpendidikan tinggi (minimal D3). Berarti, memang benar mereka bukan orang-orang sembarang. Mereka orang-orang yang intelektualnya cukup tinggi. Mereka dipastikan orang-orang yang realistis. Karena orang-orang yang realistis, mereka membuang jauh-jauh budaya patron-klien atau partenalistik. Mereka sebagai wakil rakyat diharapkan punya kepedulian. Iwan Fals berharap agar “Suara kami tolong dengar lalu sampaikan.” Jadi, anggota dewan sebagai wakil rakyat, yang dipilih  oleh rakyat, harus berani menyampaikan suara rakyat. Apapun yang dirasakan oleh rakyat harus disampaikan. Untuk itu, anggota dewan sebagai orang-orang hebat tidak boleh ragu dan takut walaupun harus berhadapan dengan kekuasaan yang kata Iwan Fals, “Jangan ragu jangan takut karang menghadang.” Dia harus berani bicara karena memang kerja utamanya adalah bicara (“Bicaralah yang lantang jangan hanya diam”) sehingga anggota dewan pantangan untuk diam apalagi tidur ketika rapat (“Jangan tidur waktu sidang soal rakyat”). Ingat, anggota dewan ketika rapat harus punya sikap. Mereka harus berani mengatakan tidak kalau memang tidak setuju. Jangan sebaliknya, walaupun hati nuraninya mengatakan tidak setuju, karena ada faktor `tekanan`, akhirnya mengatakan setuju persis seperti paduan suara kata Iwan Fals (“Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagu “setuju……”).

Semua yang diwanti-wanti Iwan Fals kepada anggota dewan sekarang menjadi kenyataan. Fenomena yang terjadi di kalangan anggota dewan saat  lirik lagu “Suara Wakil Rakyat” yang ditulis Iwan Fals di tahun 1987 (https: //id.wikipedia.org/wiki/Wakil_Rakyat_(album) memang sama dengan yang terjadi saat ini. Artinya, peristiwa yang terjadi di masa Orde Baru sekarang terulang kembali. Anggota dewan kita saat ini, walaupun telah memasuki dua puluh tahun reformasi, sama perilakunya dengan anggota dewan di masa Orde Baru. Memang, anggota dewan kita sekarang benar-benar dipilih oleh rakyat lewat pemilu yang demokratis. Tapi, begitu memasuki gerbang parlemen, mereka diibaratkan `kacang lupa dengan kulitnya`. Mereka lupa dengan misi utamanya sebagai anggota dewan. Mereka lupa, bisa juga memang sengaja melupakan, janji-janjinya ketika kampanye dulu. Bisa juga karena di bawah tekanan (ancaman) dari pimpinan partai atau penguasa, mereka menjadi anggota paduan suara.

Gambar karikatur di atas representasi sebagian anggota dewan kita saat ini yang memperlihatkan pada kita ketidakseriusannya ketika mereka rapat. Mereka tidur kalau masalah tersebut tidak menguntungkan atau tidak merugikan mereka. Tetapi, mereka akan melek dan teriak `setuju` kalau masalah yang diangkat akan menguntungkan mereka. Masalah korupsi, misalnya, jelas sangat menguntungkan mereka. Suatu saat ketika mereka korupsi, dengan adanya revisi UU Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) mereka akan aman-aman saja karena UU KPK yang baru ini jelas-jelas sudah dikebiri. Artinya, ada 26 butir yang melemahkan KPK karena sejumlah kewenangan yang dulu dimiliki  KPK, untuk selanjutnya sudah tidak ada lagi. Salah satu butir yang melemahkan KPK adalah pelemahan independensi KPK. KPK yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang independen, untuk selanjutnya sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif (https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/10382471/ini-26-poin-dari-uu-kpk-hasil-revisi-yang-berisiko-melemahkan-kpk).

……………………………………………………………………………………………………

***

Selain masalah korupsi yang membuktikan sebagian anggota dewan kita seperti anggota paduan suara adalah lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dinilai kontroversial. Perppu itu dianggap kontroversial karena menurut Mohammad Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dalam orasinya di acara Milad ke-22 PKS menyampaikan kalau Perppu tersebut lahir karena ada agenda terselubung pemerintah yang berkaitan dengan Omnibus Law Perpajakan yang isinya memberikan insentif pemotongan pajak bagi korporasi-korporasi besar yang beroperasi di negara ini. Intinya pemerintah cenderung memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Selain itu, lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini juga menabrak rambu-rambu good governance dalam pengelolaan fiskal dan moneter. Di sini Bank Indonesia akan kehilangan independensinya karena pemerintah  nantinya bebas bisa berhutang dalam skala dan jumlah yang tidak terbatas. Apa yang terjadi kalau demikian bebasnya pemerintah berhutang dalam skala dan jumlah yang tak terbatas? Boleh jadi akan terjadi kerusakan penataan demokrasi yang sejak awal berdirinya negara ini telah  memilih demokrasi sebagai sistem politiknya.

Perppu tersebut berpotensi merusak penataan demokrasi. Bagaimana itu bisa terjadi? Fakta sejarah di negara ini tidak bisa dimanifulasi, selalu saja setiap ada krisis akan muncul dua kemungkinan: jatuhnya pemerintahan yang otoriter dan lahirnya pemerintahan yang demokratis. Atau sebaliknya, munculnya pemerintahan yang otoriter dan matinya demokrasi. Munculnya Perppu ini berpotensi memunculkan benih-benih otoritarianisme. Sebagai bukti bisa dilihat, tanpa melalui proses legislasi UU pemerintah tanpa persetujuan DPR RI mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Padahal sudah jelas kalau mekanisme keluarnya Perppu itu mutlak mendapat persetujuan dari DPR RI karena hal itu sesuai dengan amanat UUD NRI 1945. Dengan keluarnya Perppu tanpa persetujuan DPR RI, kontrol legislatif terhadap presiden saat ini terhitung lemah. Dengan demikian, gerak langkah presiden dalam menjalankan roda pemerintahannya sudah melenceng dari relnya (“Titik Balik Bangsa Indonesia” oleh Mohammad Sohibul Iman dalam Acara Milad ke-22 PKS, tanggal 22 April 2020).

***

Masih berkaitan dengan Perppu Nomor 1Tahun 2020, Ahmad Yani (mantan anggota dewan dari PPP, 2009-2014), menyebutkan istilah Pandemi Corana Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dilekatkan pada Perppu tersebut hanya sebagai alasan pembenaran untuk mengeluarkan Perppu. Pemerintah dalam hal ini memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Maksudnya, dalam kondisi seperti ini masih sempat-sempatnya pemerintah berupaya mengamankan ekonomi yang sudah jelas-jelas  mengalami defisit anggaran sejak beberapa tahun sebelum muncul pandemi Covid-19. Timbulnya defisit ekonomi dan keuangan negara disebabkan oleh tidak becusnya negara mengelola perekomian dan keuangan. Masalah ini tidak main-main karena teras terang saja akan berpotensi terancamnya stabilitas keuangan negara. Wajar saja ketika menghadapi pandemi Covid-19 negara ini perekonomian dan keuangannya ambruk. Jangan dibalik kalau negara ini ambruk disebabkan oleh Covid-19 tapi memang negara ini sudah mengalami krisis ekonomi dan keuangan.

Seandainya tidak mengalami krisis ekonomi dan keuangan, pemerintah di negara ini tidak perlu panik. Tidak perlu juga mengeluarkan Perppu yang ujung-ujungnya merupakan akal-akalan pemerintah untuk menghadapi Covid-19 negara perlu stabilitas sistem keuangan. Publik bisa membaca kalau negara ini sebenarnya sudah tidak mampu mengelola perekonomian dan keuangan negara. Perppu ini yang begitu sangat berkuasa selain tidak menghormati keberadaan DPR RI sebagai lembaga legislatif juga berpotensi membungkam kekuasaan kehakiman (yudikatif). Kekuasaan kehakiman yang termasuk lembaga indenpenden dalam hal ini tidak bisa berbuat apa-apa Kalau kekuasaan kehakiman juga dilangkahi oleh presiden, bisa dipastikan kekuasaan presiden memiliki kekuasaan yang lebih besar, yaitu yang meliputi tiga cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Dengan demikian, Perppu ini tidak memberikan kesempatan check and balances antara tiga cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif (https://www.tero-pongsenayan.com/111271-ada-apa-dibalik-perpu-nomor-1-tahun-2020).

***

Bagaimana sikap anggota dewan melihat rusaknya tatanan demokrasi di negara ini yang dikhawatirkan akan memunculkan otoritarianisme? Apakah anggota dewan melakukan pembiaran? Bambang Soesatyo selaku ketua MPR RI dalam suatu kesempatan pernah mendengungkan tentang jabatan presiden lebih dari dua priode. Dengungan Ketua MPR RI itu spontan ditanggapi negatif oleh publik. Kalau wacana itu disetujui, negara ini akan kembali ke masa Orde Lama dan Orde Baru (https://www.rmoljakarta.com /read/2019 /11/ 21/ 60050/Wacana-Presiden-3-Periode,-Pengamat:-Bisa-Otoriter-). Wacana itu memberikan isyarat kalau boleh jadi sebagian anggota dewan menghendaki sistem otoriter berlaku kembali di negara ini. Sistem demokrasi yang sudah ditegakkan di masa reformasi sampai saat ini akan diganti dengan sistem otoriter. Dengan kata lain, wacana itu akan memunculkan rezim otoriter. Kita sudah merasakan bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan yang memasung kebebasan orang untuk bebas menyampaikan pendapat. Sudah cukup buat kita agar tidak mengulang kembali masa-masa pahit itu. Untuk itu, pikiran-pikiran miring menambah masa jabatan presiden lebih dari dua kali dibuang jauh-jauh karena pikiran miring itu akan berujung pada munculnya sistem pemerintahan otoriter.

(Dikutip dari buku: Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil)

Tulisan TOKOH KITA di atas walaupun mengkritisi perilaku anggota dewan tidak ada indikasi menyudutkan mereka. Memang, kalau disimak kata-katanya atau kalimat-kalimatnya dipastikan bisa membuat siapapun yang membacanya akan tersinggung. Tapi, siapapun tidak akan keberatan kalau memang didapati banyak fakta yang menunjukkan ada indikasi yang tidak bisa dipungkiri bahwa anggota dewan kita memang ada kecenderungan fatalis. Kalau memang kenyatannya seperti itu, kenapa harus dipungkiri? Kenapa harus tersinggung dengan melakukan pembelaan seraya mengeluarkan kata-kata yang tidak layak didengar oleh rakyat? Sikap terbaik anggota dewan yang terkena tudingan negatif adalah menerima saja apa adanya. Selain itu, juga ada upaya untuk memperbaiki diri bukan malah bersikap sebaliknya. Ingat, kalian para anggota dewan dipilih oleh rakyat dan di pundak kalian ada tanggung jawab terhadap rakyat yang memilih kalian! Untuk itu, jangan khianati rakyat!

***

Dalam sistem demokrasi setiap warga negara diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya termasuk menyampaikan kritik sosial. Kalau kritik sosial yang disampaikan seorang warga negara tidak ada indikasi mau menjatuhkan pemerintahan atau merongrong kewibawaan pemerintah, apa salahnya? Jadi, seorang penguasa tidak harus tersinggung kalau seorang warga negara mengkritisi kebijakannya karena yang dikritisi kebijakannya juga untuk kepentingan rakyat. TOKOH KITA yang juga turut terlibat dalam mengkritisi kebijakan pemerintah juga tidak perlu ditanggapi secara serius. Juga tidak perlu penguasa bertindak represif dengan melakukan penangkapan atau, misalnya, penghapusan mural sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat seperti yang tertera dalam gambar di atas. Dengan melakukan cara-cara represif, pemerintah tanpa disadarinya telah mencederai demokarasi yang sejak masa reformasi telah dibangun. Siapapun tidak ada orang yang mau membalikkan jarum sejarah dengan merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun bangsa ini. TOKOH KITA termasuk orang yang tidak bersedia merusak tatanan demokrasi yang telah terwujud di negara ini. Oleh karena itu, siapapun warga negara yang masih cinta dengan negeri ini harus memiliki tekad untuk tidak mencederai demokrasi yang salah satu di antaranya adalah menghidupkan kritik sosial.

Sumber Gambar:

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat