Subagio S. Waluyo
Di negeri ini kita semua mafhum bahwa kapitalisme telah menjadi semangat zaman. Harapannya orang-orang akan berhenti bertikai untuk kemudian berkompetisi secara sehat menggunakan produk-produk mereka. Adanya kawasan industri sekala besar, perekonomian dijital, peningkatan kemacetan di desa-desa yang tiba-tiba menjadi kawasan wisata adalah semacam anugerah bagi pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin harum pamor pemerintah di mata masyarakat internasional.
(Cerpen “Kredit” oleh Ferry Fadhillah)
Teknologi canggih memang memberikan dampak bagi kehidupan manusia. Bisa dampak positif, bisa dampak negatif. Dampak positifnya manusia semakin dimudahkan dalam banyak bidang kehidupan. Dampak negatifnya juga tidak sedikit. Kejahatan penipuan SIM SWAP hanya sebuah contoh dari sekian banyak contoh kejahatan di bidang komunikasi. Tetapi, manusia patut bersyukur. Justru dengan adanya teknologi canggih terjadi interaksi antarbudaya. Interaksi antarbudaya menghasilkan perubahan. Budaya yang lebih maju (dalam hal ini barat) memberikan pengaruh yang demikian kuat. Budaya barat berpengaruh kuat dalam hal pengaturan organisasi kemasyarakatan. Maksudnya, organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia menggunakan sistem atau aturan-aturan yang ada di barat. Bukan hanya di Indonesia, semua negara di muka bumi ini menggunakan aturan-aturan organisasi kemasyarakatan yang berasal dari barat. Wajar-wajar saja kalau di negara kita menggunakan aturan-aturan dari barat mengingat negara ini cukup lama dijajah oleh Belanda.
Belanda (salah satu negara barat) sebagai penjajah juga telah berhasil menanamkan perubahan hidup bernegara. Sebelum masuknya Belanda di negara kita banyak kerajaan. Begitu Belanda menjajah negara kita, satu persatu kerajaan-kerajaan di Indonesia rontok. Kalau sampai saat ini masih ada kerajaan lebih merupakan simbol saja. Artinya, raja-raja yang ada di berbagai tempat di Indonesia tidak lagi punya kekuasaan kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang rajanya menjadi gubernur seumur hidup. Sebagai bukti bahwa sistem kerajaan tidak lagi digunakan di negara ini, begitu Indonesia merdeka, negara ini langsung berbentuk republik. Kita namakan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Empat pilar yang menjadi landasan negara ini bukankah merupakan pengaruh dari barat yang di negara-negara barat (juga di belahan bumi lainnya) juga menggunakan aturan yang lebih kurang sama? Dengan adanya interaksi antarbudaya terjadi perubahan sosial dalam hal kehidupan bernegara. Dari interaksi antarbudaya itu melahirkan salah satu di antaranya sistem politik yang dianut negara ini, yaitu demokrasi Pancasila.
(https://images.app.goo.gl/KzbXufjNNsUBxPUo8)
***
Bagaimana pelaksanaan demokrasi Pancasila di masa orde baru? Pemerintah yang berkuasa pada waktu itu bertekad ingin menjalankan pemerintahan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Tapi, apa yang terjadi? Pemerintahan cenderung terpusat atau tersentralisasi. Dalam menegakkan demokrasi juga tidak sedikit terjadi penyimpangan. Di masa orde baru bukan hanya dibatasi jumlah partai, tetapi juga ada pembatasan hasil perolehan hasil pemilu di luar partai pemerintah, Golkar. Sejak awal orde baru Golkar sebagai partai pemerintah selalu menang. Di luar Golkar, PPP dan PDI seperti dibongsai, tidak pernah memperoleh kemengangan. Seperti sudah diatur di setiap pemilu Golkar selalu mendapat 2/3 (bisa kurang bisa lebih) sementara sisanya dibagi dua antara PPP dan PDI. Agar Golkar tetap eksis, partai pemerintah itu juga menggandeng birokrat (PNS) dan ABRI (TNI dan Kepolisian). Kalau banyak kecurangan dalam setiap pemilu, itu sudah dianggap wajar. Tidak ada lembaga yang bertanggung jawab untuk menuntaskan masalah kecurangan hasil pemilu. Bukan hanya kecurangan pemilu, negara ini mulai terjangkit penyakit kronis (walaupun bukan penyakit baru): KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Penyakit KKN ini sampai sekarang pun masih ada. Bahkan, konon kabarnya kalau di masa orde baru tersentralisasi penyakitnya, di masa reformasi justru tersebar ke seluruh pelosok negeri alias terdesentralisasi.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada masa orde baru telah bertekad untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan dasar hidup Negara yakni pancasila dan UUD 1945. Selalu ditekankan bahwa seluruh kegiatan pemerintahan bersumber dari pancasila dan UUD 1945. Seiring perkembangan, lembaga kepresidenan menjadi pusat dari seluruh kegiatan politik yang mengarah pada pemerintahan yang sentralistis. Sama juga halnya dengan demokrasi pada masa orde lama, kehidupan politik orde baru pun mengalami berbagai penyimpangan. Seperti halnya pemberantasan hak politik rakyat seperti: pembatasan jumlah parpol, Pegawai negeri dan ABRI wajib mendukung partai penguasa yakni Golkar, dan hilangnya kebebasan rakyat dalam mengkritik kinerja pemerintahan. Kekuasaan berada ditangan presiden sepenuhnya, pemilu tidak berjalan demokratis bahkan banyak kecurangan. Selain itu KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merajalela sehingga terjadi krisis multi dimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan. |
***
Di atas disebutkan di masa orde baru penyakit KKN mulai berjangkit. Berjangkitnya penyakit KKN sebagai bukti bahwa bangsa ini terjangkit penyakit pragmatisme. Pragmatisme menurut A. Mangunhardjana dalam Isme-Isme dari A sampai Z (2001:189) lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran (maksudnya ajaran agama). Karena lebih mengutamakan tindakan, sangat wajar kalau bangsa ini masih ada perilaku yang mengarah ke `aji mumpung`. Mumpung masih berkuasa sah-sah saja kalau mempraktekkan KKN. Mumpung masih berkuasa sah-sah saja kalau menumpuk kekayaan dari hasil korupsi. Mumpung masih berkuasa sah-sah saja kalau harus berkolusi dengan pengusaha untuk memuluskan proyek-proyeknya. Mumpung masih berkuasa sah-sah saja kalau ada keinginan melanggengkan kekuasaannya dengan mengangkat istri, anak, atau kerabat untuk menjabat jabtan-jabatan strategis baik di tingkat daerah maupun nasional.
Wujud perilaku KKN lebih disebabkan oleh masih adanya penyakit patronase (patron klien). Sebangsa dengan patronase di masa reformasi ini dikenal juga penyakit klientenisme. Penyakit jenis ini sangat sulit dientaskan di negeri kolam susu ini. Justru penyakit sosial jenis ini yang banyak berperan dalam cepatnya perubahan sosial. Coba saja kita perhatikan di dunia politik, ketika masuk masa-masa kampanye praktek-praktek politik uang yang sudah dianggap biasa-biasa saja oleh bangsa kita merupakan wujud penyakit klientenisme. Di sini partai politik bekerja sama dengan ormas-ormas tertentu untuk mendapatkan suara yang memadai terpaksa harus mengeluarkan uangnya. Klientenisme juga terjadi pada salah satu pemerintah kota di Indonesia, yaitu ketika pemerintah setempat melibatkan salah satu ormas untuk memungut parkir. Bukankah praktek-praktek semacam ini akan merusak demokrasi?
PELIBATAN organisasi kemasyarakatan dalam pungutan parkir di Kota Bekasi merupakan salah satu contoh praktik klientelisme. Hubungan timbal balik antara pejabat dan ormas seperti ini akan merusak demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Relasi aneh itu terungkap seusai unjuk rasa massa ormas di pompa bensin di Jalan Raya Narogong, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Oktober lalu. Mereka memblokade jalan, menuntut pengelolaan parkir minimarket yang berada di pompa bensin itu. Kepala Badan Pendapatan Daerah Kota Bekasi Aan Suhanda tidak mencegah premanisme ini. Ia justru meminta manajer minimarket bekerja sama dengan ormas dalam soal parkir. Sikap pejabat itu menggambarkan adanya klientelisme, yakni hubungan patron-klien yang bersifat berulang dan timbal balik. Berbeda dengan konsep patronase yang lebih simpel, klientelisme lebih luas dan melibatkan banyak pihak. Pemberian duit kepada pemilih, misalnya, merupakan praktik patronase. Pejabat atau politikus tak harus mengenal pemilih. Adapun hubungan klientelisme lebih rumit, berulang, dan personalistik. Fenomena itu tumbuh subur lagi di banyak daerah pada era reformasi. Banyak ormas baru muncul untuk menjual dukungan kepada elite politik. Pejabat dan politikus pun menghalalkan segala cara demi meraup suara dalam pemilihan. Setelah menang, mereka membalas budi klien-klien pendukung. Pejabat biasanya membagi-bagi konsesi seperti parkir, proyek pemerintah, dana hibah, dan jabatan. Kota Bekasi, yang dipimpin Rahmat Effendi, tak lepas dari pola klientelisme. Dalam banyak pernyataan, ia seolah-olah menempatkan diri sebagai patron sejumlah ormas. Rahmat telah lama berkuasa di kota ini. Sebelum menjadi wali kota, ia menjabat wakil wali kota sejak 2008. Kader Partai Golkar ini kemudian memenangi pemilihan Wali Kota Bekasi pada 2013. Dalam pemilihan tahun lalu, Rahmat menang lagi untuk periode 2018-2023. Praktik klientelisme ala Kota Bekasi hanya menguntungkan pejabat dan sejumlah ormas, tapi merugikan masyarakat luas. Pengelolaan pemerintah daerah menjadi tidak efektif dan efisien karena harus mengakomodasi kepentingan ormas dan para klien lainnya. Masyarakat dan pengusaha pun dirugikan dengan berkembangnya premanisme dalam perparkiran, dampak buruk dari pelibatan ormas. Relasi yang tak sehat itu juga akan menghancurkan demokrasi. Klientelisme menyebabkan calon kepala daerah yang bersih dan antikorupsi akan sulit memenangi pemilihan. Apalagi tingkat literasi politik masyarakat kita masih rendah. Tapi solusinya bukan mengubur pemilihan kepala daerah langsung, lalu kembali ke pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seperti pada era Ode Baru. (https://kolom.tempo.co/read/1273698/klientelisme-pejabat-dan-ormas#&gid=1&pid=1) |
Kalau salah satu kota sudah terjangkit penyakit seperti diuraikan di atas, karena terjadi kontak budaya, di era globalisasi ini cepat sekali terjadi penularan penyakit klientelisme. Atau barangkali di tempat-tempat lain sudah ada hanya tidak terekspos saja? Atau mungkinkah salah satu pemerintah kota di negara kolam susu ini memang sedang apes saja sehingga jadi bulan-bulanan kritik yang cukup pedas dari para pengamat sosial dan politik? Biasanya walaupun banyak kritikan ada kecenderungan pemerintah daerah di negara kita di mana pun cenderung `cuek bebek`, atau EGP (emang gue pikirin) saja. Perilaku ini persis sama dengan para atasannya di lembaga negara yang sudah menutup mata dan telinga kalau ada kritikan sehingga wajar-wajar saja anak bangsanya pun berperilaku sama. Jadi, bangsa ini sudah mati rasa. Bangsa ini sudah tidak punya rasa peduli. Semua itu lebih disebabkan adanya pembelajaran yang sama dari para pimpinan baik di level daerah maupun negara.
(https://images.app.goo.gl/AZ4Mu4rmsRfebssF6)
Klientelisme bukan hanya terjadi para pemerintah daerah atau partai politik dengan preman, tetapi bisa juga partai politik dengan ulama atau kyai. Kyai sebagai tokoh umat bukan hanya di pondok pesantrennya tetapi juga di masyarakat sekitar tempat tinggalnya (bahkan bisa sampai daerah, negara) menjadi tumpuan utama para calon anggota legislatif (bahkan calon presiden atau pimpinan daerah) dalam mendulang suara. Para kyai yang memang punya kekayaan jumlah umat memanfaatkan momen-momen pemilu, pilpres, dan pilkada untuk menuai keuntungan dalam bentuk uang. Tentu saja dari keuntungan tersebut sebagian untuk dirinya dan sebagian untuk pembiayaan pembelajaran di ponpesnya. Tapi, tidak semua kyai seperti itu. Masih banyak kyai yang masih berpegang teguh dengan nilai-nilai ke-Islam-an. Mereka tidak tergiur dengan kehidupan dunia yang menyilaukan. Mereka fokus pada pembinaan umat walaupun dalam jika diamati keseharianya penuh dengan kesederahanaan. Tapi, coba lihat umat yang dibinanya, mereka menjadi orang-orang soleh-solehan yang sedikit banyak bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya.
***
Bagaimana supaya kita tidak terkena virus-virus penyakit sosial semacam klintelisme atau patronase? Benahi sistem pendidikan di negara kita. Pendidikan di negara ini jangan lagi berorientasi sekedar mendidik anak bangsa menjadi orang yang pintar, cerdas, dan tangkas. Atau menjadi anak yang bisa meraih gelar S1 dalam usia di bawah dua puluh tahun dengan IPK nyaris sempurna (seperti yang pernah digembar-gemborkan beberapa waktu lalu). Tapi, bagaimana dengan perilakunya? Jadi, kita harus lebih mengutamakan anak didik kita menjadi orang yang berakhlak baik. Tentang capaian akademis itu tidak harus nomor satu. Oleh karena itu, agar anak didik kita berakhlak baik, sejak dini harus ditanamkan setidaknya ada lima pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang sangat mendesak dilakukan di antaranya adalah pendidikan karakter religius, cinta kebersihan dan lingkungan, sikap jujur, sikap peduli, dan rasa cinta tanah air. Penjelasan tentang kelima karakter yang harus ditanamkan itu bisa dilihat pada tulisan berikut ini.
Menurut Sahabat Keluarga Kemendikbud, setidaknya ada 5 karakter perlu ditanamkan pada anak di lingkungan sekolah. 1. Karakter Religius Menanamkan karakter religius adalah langkah awal menumbuhkan sifat, sikap, dan perilaku keberagamaan pada masa perkembangan berikutnya. Masa kanak-kanak adalah masa terbaik menanamkan nilai-nilai religius. Upaya penanaman nilai religius ini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan. Harus diingat, kesadaran beragama anak masih berada pada tahap meniru. Untuk itu, pengondisian lingkungan sekolah yang mendukung proses penanaman nilai religius harus dirancang semenarik mungkin. Pada tahapan ini, peran guru menjadi sangat penting sebagai teladan memberi contoh baik bagi para siswa. Peran guru bukan hanya sekedar menjadi pengingat akan tetapi juga sebagai contoh bersama melaksanakan kegiatan bersifat religius dengan para siswa. 2. Cinta Kebersihan dan Lingkungan Penanaman rasa cinta kebersihan ditunjukkan pada 2 hal, yaitu menjaga kebersihan diri sendiri dan kebersihan lingkungan. Kebersihan terhadap diri sendiri dimaksud agar membentuk pribadi sehat dan jiwa kuat. “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Apabila anak dalam kondisi sehat dan jiwa yang kuat maka anak dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan baik. Sedangkan, penanaman rasa cinta kebersihan terhadap lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan sekolah mulai dari jalan, halaman, hingga kelas terbebas dari debu dan sampah. Pembuatan jadwal piket di tiap kelas, agenda bersih-bersih bersama seminggu sekali, ataupun lomba kebersihan lingkungan sekolah adalah contoh lain dapat diterapkan di lingkungan sekolah sebagai upaya menanamkan rasa cinta kebersihan terhadap lingkungan. 3. Sikap Jujur Sikap jujur memberikan dampak positif terhadap berbagai sisi kehidupan, baik di masa sekarang ataupun akan datang. Kejujuran merupakan investasi sangat berharga dan modal dasar bagi terciptanya komunikasi efektif dan hubungan yang sehat. Anak sebagai pribadi jujur dan peka terhadap berbagai rangsangan berasal dari lingkungan luar dapat memiliki hubungan yang harmonis dan komunikasi baik terhadap orang lain. Dari hubungan seperti ini akan tercipta rasa saling percaya di antara keduanya. Pada masa sekolah inilah merupakan saat ideal guru menanamkan nilai kejujuran pada siswa. 4. Sikap Peduli Peduli merupakan sikap dan tindakan selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan yang membutuhkan. Kepedulian anak dapat ditanamkan di sekolah melalui berbagai cara. Misal saat ada teman kelas sakit maka bisa menjenguk atau bisa juga mengumpulkan uang dari teman-teman satu kelas kemudian dibelikan sesuatu sebagai bawaan saat menjenguk sebagai wujud kepedulian. Dengan adanya sikap peduli yang melekat dalam diri anak sejak dini maka akan disenangi oleh banyak teman. Dan saat si anak tiba-tiba sedang dalam keadaan sulit pasti akan ada yang mau mengulurkan tangan dan segera membantunya. 5. Rasa Cinta Tanah Air Cinta tanah air atau nasionalis adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Karakter nasionalis dapat ditanamkan melalui beberapa hal, diantaranya melalui upacara bendera. Dengan ditanamkannya sikap nasionalis ini, saat dewasa terjadi ancaman terhadap negara ia akan menjadi orang yang rela berkorban dan berani memosisikan diri di barisan paling depan demi menjaga dan menyelamatkan negara tercinta. Melalui penanaman kelima karakter di lingkungan sekolah ini, harapannya anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kecerdasan intelektual dan cara bersikap yang prima. Menjadi pribadi memiliki ilmu dan pengetahuan tinggi saja tentu tidak cukup, anak juga harus dibekali dengan sikap atau karakter baik. |
Kelima karater di atas jelas memang sangat dibutuhkan oleh anak didik kita. Di tengah-tengah kondisi bangsa ini yang boleh dikatakan telah terpecah kepribadiannya sehingga tidak memiliki kepribadian yang utuh atau tidak lagi punya integritas. Bukti bahwa bangsa ini tidak punya integritas bisa dilihat pada uraian di atas di antaranya mulai berjangkitnya penyakit sosial bernama klientelisme. Untuk membenahi integritas anak didik kita, sebagaimana terlihat pada tulisan di atas dimulai dari membenahi pendidikan agama. Karakter yang akan dimunculkan dalam pendidikan agama yang benar (bukan agama yang teoritis dan verbalistis yang miskin dengan praktek kehidupan beragama) dalam Islam dimulai dengan penanaman nilai-nilai aqidah (tauhid). Di sini anak didik sejak dini sudah ditanamkan akan adanya pengawasan Allah. Memang, Allah Maha Pengasih dan Penyayang, tapi juga Allah sangat tahu yang dilakukan hamba-Nya. Kalau seorang hamba Allah sudah tahu bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah, rasa-rasanya mustahil hamba Allah itu akan melakukan tindakan-tindakan yang bukan hanya merugikan dirinya, tapi juga orang lain bahkan negara. Pendidikan karakter yang mengarah pada religiusitas diharapkan akan anak didik yang punya sikap jujur baik jujur pada diri sendiri maupun orang lain.
Anak didik pun perlu ditanamkan akan rasa cinta akan kebersihan dan cinta akan lingkungan. Kalau anak sudah punya rasa cinta akan kebersihan dan lingkungan, mau tidak mau anak didik itu juga punya rasa kepedulian. Artinya, anak didik itu peduli terhadap lingkungannya. Jadi, kalau di lingkungan sekolah masih banyak sampah yang berserakan, di dinding-dinding kelas banyak coretan (jangan katakan itu kreativitas anak), dan toilet dan kamar mandinya kotor dan bau sehingga terkesan sekolah itu kumuh, menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang mengarah pada cinta kebersihan dan lingkungan di sekolah itu belum berhasil. Boleh jadi bisa merembet ke yang lain, yaitu anak-anak didiknya (bahkan guru dan karyawannya) tidak punya kepedulian, dan bisa juga semua orang yang ada di sekolah itu diragukan kejujurannya. Kalau sudah seperti itu, sekolah itu bukan lagi tempat yang nyaman dan layak untuk belajar. Anak didik yang dihasilkan sekolah itu walaupun nilai akademisnya sangat memuaskan, anak didiknya sudah dipastikan diragukan integritasnya, tidak punya kepeduliaan (terhadap kebersihan dan lingkungan), dan jangan-jangan juga cinta pada tanah air telah luntur.
Lewat pendidikan akan terjadi perubahan sosial yang luar biasa. Artinya, luar biasa memproduk anak didik yang pintar, cerdas, dan tangkas yang terbentuk nilai-nilai religiusnya, punya integritas, punya kepedulian, dan punya rasa cinta pada tanah air. Sebaliknya, bisa juga pendidikan yang gagal akan memproduk anak didik boro-boro pintar, cerdas, dan tangkas (kalau ada juga sebuah pengecualian) malah anak didiknya diragukan agamanya karena agama hanya sebatas pelengkap penderita (asal ada saja). Anak didiknya karena diragukan ketaatan pada agamanya sehingga wajar-wajar saja kalau anak didiknya tidak punya integritas. Jadilah anak didik model ini ketika dewasa mempraktekkan perilaku yang negatif. Mereka menjadi orang-orang yang diragukan tingkat kejujurannya. Anak didik model ini juga jelas tidak punya kepedulian terhadap kebersihan lingkungan karena di sekolah tidak pernah dibimbing oleh guru-gurunya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Jangan terlalu banyak berharap kalau produk dari sekolah seperti ini akan menghasilkan anak-anak yang cinta tanah air karena boro-boro mencintai tanah air, peduli terhadap lingkungan saja tidak ada. Dengan demikian, pendidikan punya pengaruh besar membentuk pribadi anak didik. Baik pribadi yang mengarah pada pribadi yang baik maupun pribadi yang buruk adalah hasil pendidikan di sekolah.
***
Harus diingat juga bahwa pendidikan di keluarga memegang peranan penting. Keluarga yang tidak pernah menanamkan nilai-nilai agama, nanti ketika anak-anaknya dewasa dijamin mereka akan gamang menghadapi kehidupan. Mereka akan mudah putus asa. Ketika putus asa mereka akan sangat mudah terjatuh pada kemaksiatan. Tidak mustahil karena saking putus asanya mereka jatuh ke lembah dunia miras dan narkoba. Mereka juga dijamin tidak akan punya integritas. Mereka tetap saja tidak akan punya kepedulian terhadap kebersihan dan lingkungan. Orang-orang seperti ini akan menjadi anggota barisan perusak negeri ini. Orang-orang seperti ini diragukan rasa cintanya pada negaranya. Sebaliknya, keluarga yang sejak dini ditanamkan nilai-nilai agama, mereka dijamin akan baik perilakunya. Mereka dijamin menjadi orang yang jujur, sangat peduli pada kebersihan dan lingkungan, dan pasti memiliki rasa cinta pada tanah air. Lewat pendidikan, baik di keluarga maupun di sekolah akan melahirkan tokoh-tokoh perubahan. Bisa jadi tokoh-tokoh perubahan sosial yang mengarah pada kebaikan atau bisa juga tokoh-tokoh perubahan sosial yang mengarah pada keburukan. Sekarang silakan tinggal pilih, mau perubahan sosial yang baik atau yang buruk?
Sumber Gambar: