Subagio S. Waluyo

/1/

 

Setiap orang yang pernah mengecap bangku sekolah pasti mengenal orang yang pernah mendidiknya.  Orang tersebut dinamakan guru.  Setiap kali orang menyebut guru terbayanglah di benak setiap orang bahwa guru adalah makhluk alit.  Dia disebut alit karena profesi guru adalah profesi yang belum mendapatkan kesejahteraan yang memadai, baik di Masa Orde Baru maupun di Masa Reformasi sekarang ini.  Dia juga disebut alit karena jarang orang yang berprofesi guru menunjukkan dengan bangga tentang profesinya sebagai guru.  Kalau boleh dikatakan orang yang berprofesi guru tidak akan menampakkan sisi superioritasnya.  Dengan kata lain, seorang guru akan lebih memunculkan sosok egaliternya.

Meskipun guru adalah makhluk alit (walaupun banyak guru yang secara fisik sama seperti seorang olahragawan atau militer), profesi guru tetap profesi terhormat di manapun dia berada.  Dia dikatakan terhormat karena  melalui guru terciptalah manusia yang memegang jabatan tertinggi di setiap negara (presiden atau raja sekalipun).  Melalui guru tercipta milyaran manusia yang bisa baca tulis, bisa mengenal ilmu, dan bisa mengenal setiap detil dari sisi-sisi kehidupan manusia.  Melalui guru dengan segudang ilmu pengetahuan yang ditransferkan kepada setiap anak didiknya terciptalah jutaan hasil penelitian, buku-buku, dan lautan ilmu pengetahuan yang tak terhingga.  Melalui guru ada makhluk-makhluk Tuhan yang bisa mengatur jalannya roda pemerintahan, aturan birokrasi, dan aturan  tatacara bermasyarakat. Tanpa guru sangat sulit dibayangkan akan jadi apa wujud dunia ini?  Akan jadi apa pula penduduk dunia ini?  Kata yang paling tepat, tanpa guru dunia dan seluruh isinya akan mengalami kegelapan karena tidak ada seorang pun yang bisa membaca dan menulis atau mengenal dan menemukan ragam  ilmu.

Berbicara tentang guru tentu saja tidak akan melepaskan diri dari kehidupannya sehari-hari.  Justeru, sisi-sisi kehidupan seorang guru adalah sisi-sisi kehidupan yang paling menarik. Sisi-sisi kehidupannya yang demikian luas dari aktivitasnya sebagai guru, yang setiap kali tidak lepas dari dunia buku dan kurikulum sampai dengan kehidupannya di rumah tangga.  Sisi-sisi kehidupan seorang guru tidak akan selesai hanya dengan berpuluh-puluh seminar.  Dengan sekian banyak seminar tidak akan terkupas sisi-sisi unik kehidupan seorang guru. Kehidupan seorang guru akan lebih efektif jika dituliskan dalam bentuk karya seni (Iwan Falls yang meneriakkan sosok Umar Bakri lebih menyentuh perasaan manusia bila dibandingkan dengan seminar tentang guru).  Jadi, melalui sebuah karya seni, baik dalam wujud syair lagu, seperti Iwan Falls yang telah menampilkan sosok Umar Bakri, cerpen-cerpen, novel-novel, maupun puisi-puisi akan lebih banyak menyentuh perasaan manusia.

Adalah Hartojo Andangdjaja (1930–1990) dan WS Rendra yang menampilkan sosok perilaku guru dalam sekian banyak puisi yang diciptakannya.  Mereka menampilkan sosok guru karena ada sesuatu yang menyentuh lubuk hatinya yang paling dalam.  Mereka melihat guru sebagai makhluk alit yang tidak berdaya.  Alit dari segi kesejahteraannya, alit dari segi keberadaannya di hadapan hukum yang cenderung menguntungkan bagi masyarakat elit tertentu, alit dari segi pandangan anggota keluarganya (meskipun tidak semuanya berpikiran demikian) yang terbius oleh kehidupan yang serba materialistis, dan alit dari segi jenjang profesi yang masyarakatnya belum menempatkan guru sejajar dengan pegawai tinggi atau direktur sekalipun.   Singkatnya, profesi guru adalah profesi alit bagi negara yang belum memperhatikan dunia pendidikan.

Melalui puisi-puisinya mereka menampilkan sosok perilaku guru yang sebenarnya.  Hartojo Andangdjaja (selanjutnya disingkat HA) menampilkan sosok perilaku guru dalam puisinya “Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya”. Sementara itu, WS Rendra (selanjutnya disingkat WSR) juga menyoroti sosok perilaku guru dalam “Sajak SLA“ dan “Orang Biasa”.  Dari puisi-puisi hasil karya kedua penyair tersebut tampak di hadapan penikmat sastra sosok positif dan negatif perilaku guru yang sebenarnya.  Dengan membicarakan puisi-puisi kedua penyair tersebut, setidak-tidaknya hati nurani manusia yang bersih akan terpanggil untuk memperhatikan nasib makhluk Tuhan yang alit dari sisi profesi tetapi mulia di hadapan manusia.

/2/

 

Ada orang yang mengatakan puisi merupakan sarana untuk mengungkapkan pengalaman batin.  Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetik.  Pengalaman batin yang dicurahkan/diekspresikan ke dalam sebuah puisi dikemas dengan bahasa yang indah (estetis).  Karena keestetikan itulah, puisi menggunakan bahasa yang khas, bahasa yang semata-mata bertujuan untuk menggugah perasaan pembaca/ penikmatnya.

Puisi diciptakan, di antaranya,  untuk menggugah perasaan pembaca/ penikmatnya. Salah satu puisi yang setidak-tidaknya dapat menggugah perasaan orang di antaranya yang ditulis HA berikut ini.

DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA

Hartojo Andangdjaja

Apa yang kupunya, anak-anakku

selain buku-buku dan sedikit ilmu

sumber pengabdianku kepadamu

 

Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku

aku takut, anak-anakku

kursi-kursi tua yang di sana

dan meja tulis sederhana

dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya

semua padamu akan bercerita

tentang hidupku di rumah tangga

 

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita

depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja

—–horison yang selalu baru bagiku—-

karena kutahu, anak-anakku

engkau terlalu muda

engkau terlalu bersih dari dosa

Untuk mengenal ini semua

 

(Solo, 1955)

Puisi di atas mencerminkan egaliternya seorang guru.  Sisi egaliternya sudah tampak terlihat di bait pertama. Apa yang kupunya anak-anakku

selain buku-buku dan sedikit ilmu sumber pengabdianku kepadamu

Bait puisi di atas menjelaskan kepada pembaca bahwa guru benar-benar makhluk alit.  Makhluk yang hanya punya buku-buku dan sedikit ilmu karena itu semua merupakan modal sang guru untuk mentransferkan ilmunya kepada murid-muridnya.

Dari bait itu juga tercermin bahwa guru adalah makhluk pengabdi, yang mengabdikan ilmunya pada sesama manusia dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa.  Tetapi, makhluk pengabdi itu belum diberi imbalan jasa yang setimpal meskipun berjuta-juta manusia (bahkan milyaran) manusia bisa terbebaskan dari buta aksara, buta matematika, dan buta ilmu pengetahuan.  Dengan kata lain, kesejahteraan mereka belum diperhatikan.  Karena itu, sangat wajar kalau sang guru melarang (tidak menghendaki) murid-muridnya datang ke rumahnya.

 

Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku

aku takut, anak-anakku

Kursi-kursi tua yang di sana

dan meja tulis sederhana

dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya

semua padamu akan bercerita

tentang hidupku di ruma tangga.

 

Kemiskinan.  Barangkali itulah kata yang tepat untuk menggambarkan bait puisi di atas.  Guru memang tidak memiliki apa-apa.  Dia hanya memiliki buku-buku dan sedikit ilmu.  Barang-barang yang ada di rumahnya adalah barang-barang yang, kalau bisa dikatakan,  sudah tidak layak pakai, seperti kursi-kursi tua dan meja tulis sederhana.  Kemiskinan yang membelenggu kehidupannya yang mau tidak mau menjadikan ia tidak pernah berpikir untuk hidup sehat yang terlihat dari jendela-jendela yang tidak pernah diganti kainnya sehingga warna kain-kain jendela itu kusam.

 

Itulah sisi kehidupan rumah tangga seorang guru.  Kehidupan yang jauh dari sederhana.  Tetapi, mungkin juga, sisi mulia perilaku seorang guru.  Ia masih ingin menampilkan sosok perilaku guru yang masih memiliki harga diri (prestise) terbukti dari tidak maunya ia bercerita di depan kelas.

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita

depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja

—– horison yang selalu baru bagiku ——

karena kutahu, anak-anakku

engkau terlalu muda

engkau terlalu bersih dari dosa

untuk mengenal ini semua

 

Prestise yang dimunculkan oleh sang guru bukan berangkat dari ‘gengsi’,  tetapi dari ketidakinginannya untuk mengetahui aib diri dan rumah tangganya di hadapan murid-muridnya yang masih bersih dari dosa.  Ia masih menganggap murid-muridnya adalah harapan masa depan bangsa ini dengan memberikan permisalan sebagai ‘horison yang selalu baru bagiku’.  Karena mereka adalah horison yang selalu baru, ia tidak mau merusak horision yang selalu baru itu untuk mengenal sisi-sisi kehidupan guru yang sangat sulit dijangkau oleh murid-muridnya.  Hal serupa juga diungkap oleh HA dalam puisi lainnya  (“Dari Seorang Bapa kepada Anaknya”) tentang nilai-nilai kebaikan, yang mencakup cinta kasih, kejujuran, kerendah-hatian, dan segala yang terlahir dari kebenaran.

 

Suatu ketika nanti bila tiba saatnya

akan kuajarkan padamu, anakku, apa yang berharga

akan kuajarkan cinta kasih, kejujuran, kerendahhatian

dan segala hal yang terlahir dari kebenaran

 

Bermodalkan nilai-nilai kebenaran itulah, sang guru tidak berkeinginan untuk berterus-terang pada murid-muridnya tentang kehidupannya sebagai guru.

 

          HA memang seorang guru.  Ketika puisi itu ditulis, HA mengajar di SMP dan SMA di kota kelahirannya (Solo). Profesinya sebagai guru tersebut tetap dipertahankan sampai akhir hayatnya meskipun pada tahun 1962 – 1970 ia sempat berkecimpung di dunia jurnalistik.

 

/3/

 

Gambaran sosok guru yang dimunculkan olehHA adalah gambaran guru di tahun `50-an.  Gambaran guru dua puluh tahun kemudian bukan lagi seperti itu. Gambaran guru tahun `70-an adalah gambaran guru yang seperti diungkapkan oleh Taufik Ismail ‘Guru kencing berdiri/Murid mengencingi guru’.  Gambaran guru tahun `70-an, bahkan memasuki milenium ketiga ini, adalah gambaran guru yang sudah tidak mempunyai nilai-nilai kebenaran di hadapan murid-muridnya sebagaimana terlihat pada bait puisi ini.

Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang

Ibu guru ingin hiburan dan cahaya

Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor,

Dan juga ingin jaminan pil penenang,

tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter

 

Kalau guru sudah begitu banyak yang ia inginkan, bagaimana ia bisa mempertahankan nilai-nilai kebenaran?  Bagaimana ia bisa memberi contoh terbaik bagi murid-muridnya?  Bukankah guru seperti orang-orang bijak mengatakan “digugu lan ditiru”?  Mau dibawa ke mana anak-anak didiknya kalau guru sudah tidak bisa mempertahankan kebenaran?  Apakah guru cukup dengan mengatakan ini:

“Kemajuan akan berjalan dengan lancar.

Kita harus menguasai mesin industri.

Kita harus maju seperti Jerman,

Jepang, dan Amerika.

Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma”

yang kemudian dijawab dengan:

murid-murid tertawa

dan mengeluarkan rokok.

 

dan terjadilah sebuah dialog yang menarik:

“Kami tidak suka daftar logaritma.

Tidak ada gunanya!”

 

 

“Kalian tidak ingin maju?”

 

“Kemajuan bukan soal logaritma.

Kemajuan adalah soal perundingan.”

 

“Jadi apa yang kalian inginkan?”

 

“Kami tidak ingin apa-apa.

Kami sudah punya semuanya.”

 

Kalau sudah begitu, biasanya guru hanya mengatakan: “Kalian mengacau!”

 

Apakah murid-murid itu pengacau?  Murid-murid bisa berperilaku seperti itu karena merupakan cermin betapa buruknya dunia pendidikan di negara ini. Mereka bisa berperilaku demikian karena di depan mata mereka sendiri tampak gambaran keburukan budaya bangsa ini yang dicontohkan oleh orang tua mereka sendiri.

“Kami tidak mengacau.

Kami tidak berpolitik.

Kami merokok dengan santai.

Seperti ayah-ayah kami di kantor mereka:

santai, tanpa politik

berunding dengan Cina,

berunding dengan Jepang,

menciptakan suasana girang.

Dan di saat ada pemilu,

kami membantu keamanan,

meredakan partai-partai.”

 

Jadi, mereka memprotes keadaan buruk itu dengan tidak lagi mengindahkan perintah gurunya karena di hadapan mereka sudah tidak ada lagi orang yang menjaga nilai-nilai kebenaran.

Kebenaran.  Itulah tema yang ingin disampaikan oleh WSR dalam “Sajak SLA”  Penyair yang tetap konsisten dengan nilai-nilai kebenaran ini sengaja menampilkan puisi-puisi yang sarat protes sosial, seiring dengan bertambahnya usia, ia juga berupaya menyampaikan nilai-nilai kebenaran dalam puisi-puisinya yang lain.  Salah satu puisinya yang juga menampilkan nilai-nilai kebenaran (juga menggambarkan sosok guru) adalah “Orang Biasa”.

Dalam puisi “Orang Biasa” WSR sengaja menampilkan seseorang yang telah memilih jalan hidupnya sebagai guru yang tidak terikat oleh ikatan sejarah, revolusi kemerdekaan, dan sejarah nasional.  Tetapi ia juga jadi korban tindakan ketidakadilan penguasa yang telah memotong tanahnya.

Aku lahir di desa Sengon, Yogyakarta.

Setelah tamat Sekolah Guru Bawah

aku hana punya satu lowongan

tanpa pilihan lain:

sebuah Sekolah Dasar

di Rangkasbitung.

 

Barangkali ada ikatan sejarah?

Juga tidak.

Di zaman revolusi kemerdekaan,

meskipun aku masih sangat muda,

aku di Mranggen ikut bergerilya,

melawan imperialis Inggris dan Belanda

Tidak. Tidak.

Di Rangkasbitung.

aku tidak pernah terlibat dalam sejarah besar.

Aku hanya mengajar di Sekolah Dasar

sampai pensiun,

dan tanahku terpotong

gara-gara pembangunan jalan raya.

Jelas ini bukan sejarah nasional

apalagi internasional.

 

Meskipun ia sebagai guru dan mantan pejuang yang pernah melawan penjajah, ia dengan menjadi guru dirinya benar-benar lengkap.  Dengan menjadi guru, semangatnya bergelora.  Ia juga sadar bahwa profesi guru bukanlah profesi yang istimewa buat ukuran dunia.

Tetapi aku hanya mengalami kelengkapan diriku

apabila menjadi guru

Semangatku bergelora,

gairah hidupku menyala,

dalam suku maupun duka,

apabila aku menjadi guru.

Memang tidak istimewa untuk ukuran dunia.

Sangat, sangat  biasa .

 

Sebagai pensiunan guru ia tidak ingin anak-anaknya gelisah karena dirinya hanya sebagai orang biasa.  Ia beranggapan bahwa profesi guru adalah anugerah yang harus ia terima.  Ia tidak pernah putus asa dan merasa menderita.  Ia selalu gembira dan tidak menunjukkan rasa rendah diri.  Bahkan, ia merasa bangga dengan pilihan hidupnya sebagai guru.  Karena itulah, barangkali, pilihan hidupnya yang paling indah.

Kenapa anak-anakku menjadi gelisah,

hanya karena aku mantap menjadi orang biasa?

Aku bukan panglima.  Aku bukan bankir.

Bahwa aku mendapat ijazah itu

sudah anugerah

Ilmu hitung dan bahasa Inggris mendapat nilai lima.

Tetapi! Te-ta-pi …..

aku bukan orang yang putus asa

ataupun menderita.

Aku gembira.

Dan aku juga tidak rendah diri.

Aku bangga.

Hidupku indah.

 

Demikianlah WSR telah menyampaikan nilai-nilai kebenaran melalui dua buah puisinya yang menggambarkan sosok perilaku guru yang berbeda satu dengan lainnya.  Kalau di tahun `70-an ia menampilkan sosok perilaku guru sebagai orang yang tidak layak untuk diteladani, di tahun `90-an justeru sebaliknya ia menampilkan orang yang bangga pilihan hidupnya sebagai guru meskipun guru juga tidak luput dari tindakan kesewenang-wenangan penguasa Orbe Baru.

 

/4/

Yang ingin ditampilkan oleh kedua penyair melalui puisinya adalah nilai-nilai kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap pendidik (dalam hal ini guru). Nilai-nilai kebenaran itu tercermin dari perilaku guru yang benar-benar egaliter dan murid-murid SLA yang memprotes keadaan yang demikian buruknya di negara ini.  Kalau di tahun-tahun `50-an (beberapa tahun setelah kemerdekaan) puisi HA menampilkan sosok guru yang sederhana dan egaliter, yang benar-benar menunjukkan diri sebagai makhluk pengabdi dalam rangka mencerdaskan anak bangsa, maka di tahun-tahun `70-an memasuki era Orde Baru terjadi penjungkirbalikan dalam dunia pendidikan.  Penjungkirbalikan dalam dunia pendidikan mau tidak mau juga mengena pada penjungkirbalikan perilaku guru dan murid.

Guru memasuki milenium ketiga ini telah mengalami suatu perubahan sosial (kalau bisa dikatakan degradasi moral) meskipun dalam puisi tersebut tercermin sebagai protes sosial WSR terhadap segala sisi kehidupan bangsa ini. Penjungkirbalikan itu berakibat pada ketidakmampuan intelektual muda menterjemahkan makna kehidupan sebagaiman terefleksikan pada bait puisi ini.

Kita adalah angkatan gagap

yang diperanakkan oleh angkatan takabur

Kita kurang pendidikan resmi

di dalam hal keadilan,

karena tidak diajarkan berpolitik,

dan tidak diajar dasar ilmu hukum.

 

(“Sajak Anak Muda”).

 

Apakah di masa depan bangsa ini menghendaki adanya generasi gagap seperti yang tergambar pada bait puisi di atas?  Sudah tentu hal itu tidak dikehendaki.

Sebagai tambahan, perlu juga dijelaskan di sini bahwa HA dan WSRsebagai penyair telah berhasil membangun sosok perilaku guru. Masih banyak penyair Indonesia lainnya yang menyoroti perilaku guru yang tidak kalah menariknya untuk dibahas.  Namun, sebagai sebuah studi bandingan puisi-puisi yang ditampilkan kedua penyair itu dianggap sudah mewakili perilaku guru yang sebenarnya.

 

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat