Subagio S. Waluyo

 Sesungguhnya segala perbuatan itu

ditentukan oleh penutupnya

(Hadits Bukhari)

          Seorang Kiai bisa akrab dengan seorang Laki-Laki Penuh Dosa (Lapendos), mungkinkah bisa terjadi? Mungkin saja. Kuntowijoyo dalam cerpennya yang ditulis hampir 54 tahun lalu, “Hati yang Damai Kembalilah kepada Tuhan”  menceritakan kedekatan Sang Kiai dengan seorang Lapendos. Cerita bermula ketika seorang laki-laki tua, 50 tahun, Pak Sujak, seorang Lapendos jumat siang itu dia merasa terpanggil untuk bertobat. Dengan jalan  terhuyung karena pengaruh alkohol dan keringat deras keluar sehingga pakaian yang dikenakannya basah kuyup, dia berjalan ke arah masjid. Di halaman masjid karena sudah tidak sanggup lagi melangkah, dia merangkak. Belum sampai ke pintu masjid dia terkapar di bawah pohon Tanjung. Dia terbaring di pojok halaman masjid.

Batu merah yang melingkari rumah Tuhan itu seolah menjerit. Kami tahu tembok yang selama berpuluh tahun hanya mengagungkan Tuhan, sekarang di siang hari yang panas ini, seorang bajingan tua telah menyentuhnya dengan tangan berlumuran dosa.

Halaman masjid yang dilingkari batu merah dimasuki seorang Lapendos, orang yang dianggap kotor, najis karena sepanjang hidupnya selalu dilumuri dosa. Bukankah masjid merupakan rumah Tuhan yang di dalamnya orang-orang memuji nama-Nya, mensucikan-Nya, mengagungkan-Nya, tapi apakah layak rumah Tuhan suatu saat dimasuki orang semacam Pak Sujak, Sang Lapendos. Wajar saja kalau jamaah masjid banyak yang tidak sudi kalau kedatangan orang kotor seperti Pak Sujak.

“Untuk apa si bajingan ini datang?”

“Kita lemparkan saja dia keluar.”

“Aku tak sudi menyentuh.”

“Tendang dengan kaki saja.”

          Ketika Kiai Hasan (Sang Kiai) memasuki halaman masjid mereka sepakat untuk menyingkirkan tubuh tua renta itu. Mereka mengangkat laki-laki tua kotor itu. Tapi, Sang Kiai yang keburu melihat keributan itu berusaha mencegahnya. Sang Kiai sangat tidak setuju jika jamaah masjid mengambil tindakan dengan cara melemparnya. Sang Kiai berpendapat kesucian masjid tidak akan terkotori oleh kedatangan Pak Sujak, Sang Lapendos.

“Mau diapakan orang itu?”

“Dilempar keluar, Kiai.”

Kiai mengerutkan kening. Dan tiba-tiba mereka yang berusaha untuk menyingkirkan lelaki itu merasa diawasi. Mereka berhenti. Kiai datang mendekat.

“Untuk apa kalian berusaha mengangkat orang ini keluar?”

Tak seorang pun yang menjawab.

“Untuk apa, anak-anak muda?”

“Masjid ini kotor,Kiai.”

“Masya Allah. Kautahu kalau masjid ini jadi kotor?”

Sang Kiai juga menekankan agar para jamaah tidak berprasangka buruk dan main hakim sendiri. Laki-laki yang dianggap kotor oleh jamaah masjid itu kata Sang Kiai sepanjang hidupnya telah menyiksa dirinya. Belum tentu juga Sang Lapendos yang datang itu berniat buruk.

“Lihat,” Kiai berkata. “Laki-laki ini telah menyiksa dirinya seumur hidupnya. Tapi siapakah di antara kita yang tahu, bahwa dia datang untuk maksud jahat? Tidak. Kita tidak tahu. Dan jangan menghukumi sesuatu yang kita tidak tahu persoalannya. Hanya Allahlah yang Mahatahu.”

Sang Kiai juga meminta pada salah seorang jamaah yang tempat tinggalnya terdekat dengan masjid untuk menyediakan air minum buat Sang Lapendos. Jamaah masjid yang berkerumun di sekitar itu tambah tidak mengerti dengan perlakuan Sang Kiai pada laki-laki kotor itu. Karena perintah Kiai, mau tidak mau salah seorang jamaah yang diminta itu menurutinya. Sang Kiai yang sudah sepuh itu bisa meredam kemarahan anak-anak muda, jamaah masjid, sehingga mereka tidak ada keinginan untuk membantahnya.

Tapi tak seorang pun yang mengerti. Lelaki tua itu telah mendapat perlakuan yang tak wajar dari Kiai Hasan. Mereka ingin melihat kemarahan yang keluar dari Kiai. Namun tak seorang pun yang membantah. Ketuaan Kiai telah memadamkan nafsu membantah anak-anak muda.

          Jamaah masjid beranggapan bahwa masjid hanya bisa dihadiri orang-orang yang bersih. Jadi, Sang Lapendos yang terkapar di bawah pohon Tanjung itu bagi mereka sangat tidak layak memasuki masjid, walaupun sebatas halamannya. Mereka beranggapan masjid hanya bisa dihadiri oleh orang-orang yang suci. Masih ingat mereka kalau Sang Lapendos termasuk orang munafik, orang yang memang tidak pernah memasuki masjid untuk beribadah.

Mungkinkah di tengah kesucian itu diperkenankan hadir seseorang tak menghendaki kebersihan jiwa.

Sesungguhnya, lelaki tua di bawah pohon tanjung itu tidak berhak datang. Mereka semua masih teringat, betapa kemunafikan lelaki tua kotor itu.

Pak Sujak, Sang Lapendos itu, memang sejak muda tidak pernah bergaul dengan orang-orang kampung di sekitarnya. Dia lebih banyak bergaul dengan orang-orang di luar kampungnya. Dia biasa hidup bebas, seperti orang-orang jalanan, bohemian. Tidak ada pekerjaan tetap. Biasa nongkrong di warung. Karena bergaul dengan banyak orang yang perilakunya banyak yang tidak baik, lama kelamaan dia juga terpengaruh. Tidak aneh jika hidupnya diisi dengan banyak kemaksiatan sampai-sampai istrinya sendiri tidak mungkin akan punya anak karena benihnya telah dirusak oleh perilaku buruknya.

Camkanlah, bagaimana dia akan punya anak kalau benihnya telah dirusakkan dengan tingkahnya sendiri. Kadang-kadang orang melemparkan itu pada istrinya, kadang-kadang pada dia. Dan yang benar, barangkali pada keduanya.

          Sang Lapendos yang pemalas, yang telah memeras istrinya untuk kerja keras yang mengakibatkan istrinya tersiksa semakin terpukul dengan kematian istrinya. Keponakannya yang menggantikan posisi istrinya mengelola warungnya tentu saja tidak sebaik istrinya. Sang keponakan sempat menuduh kalau kematian istrinya lebih disebabkan oleh siksaan yang dideritanya selama bertahun-tahun. Istrinya memang mati karena serangan jantung setelah Sang Lapendos menghabiskan uang pemberian istrinya di meja judi. Itu merupakan titik akhir yang membawa dia punya niat untuk bertobat. Dia tangkap dan bunuh semua ayam jantannya yang selama ini dipakai untuk berjudi lewat sabung ayam. Dia bakar semua kartunya. Karena dia mau berhenti mabok, dia tenggak minuman beralkohol buatan Bakonang. Setelah itu, dia kuatkan tekadnya berjalan ke masjid dengan langkah sempoyongan.

Keponakannya mengatakan, kematian istrinya sendiri adalah karena dia telah menyiksanya selama bertahun-tahun. Dan istrinya telah mati karena serangan jantung, sesudah ia menghabiskan semua uang yang ada di atas  meja judi. Pagi sekali, ketika keponakannya telah pergi ke pasar, ia menangkap semua ayam jantan yang dipunyainya dan telah dibunuhnya. Semua  kartu telah dibakarnya. Ia tak tahu lagi, diminumnya botol terakhir minuman keras buatan Bakonang. Dan ia pun menuju masjid.

          Dia menyadari kalau dirinya sudah tua. Dia tidak bisa membayangkan kalau sampai setua itu tidak juga sadar. Meskipun hidupnya penuh dengan kemaksiatan, dia ingin seperti orang lain yang ada di dalam masjid yang dia datangi saat ini. Dia memang ingin bertobat. Perjuangannya untuk menjadi orang yang benar-benar bersih cukup panjang. Memang ketika masih muda ada terbesit ingin hidup normal. Tetapi, langkah ke arah itu sangat berat. Terlalu banyak gangguan. Baru pada saat inilah ketika sudah tua, ketika hidup sengsara, dan ketika istri yang selama ini menopang hidupnya mati, baru terpikir dia untuk bertobat. Dia berkeinginan mengakhiri hidupnya dengan kebaikan. Sebuah keinginan yang mulia bukan?

Kedatangannya di situ  melalui pergulatan yang lama. Berpuluh tahun ia telah merencanakan, tetapi baru sekali ini dia dapat, yaitu ketika ia telah lapuk dan tak ada kemungkinan yang lain. Ketika ia dulu masih muda, pikiran untuk datang seperti sekarang ini selalu ditindas oleh nafsunya yang berkuasa. Dan dalam ketuaan yang sengsara itu, hasrat yang lama terpendam timbul kembali dan lebih kuat. Ia bertekad akan mengakhiri hidupnya dengan kebaikan.

          Tekadnya untuk bertobat demikian kuat setelah dia mendengar khotbah Sang Kiai bahwa Tuhan akan memberi setiap balasan berupa pahala kepada setiap hamba-Nya yang ingin mencari keridhan Allah. Bukankah dia datang ke masjid saat ini benar-benar untuk mencari keridhaan Allah? Di luar itu semua, dia bersyukur mendapatkan orang sebaik Kiai Hasan yang bisa menolong dan sekaligus melindunginya. Seandainya saja Sang Kiai berpihak pada jamaah yang cenderung melempar dia dari halaman masjid akan seperti apa nasibnya kelak. Sikap Sang Kiai yang begitu ramah dengan laki-laki tua yang hidupnya telah berlumur dosa itu jelas mengundang perhatian para jamaah masjid. Mereka tidak mengira kalau Sang Kiai bisa bersikap begitu baik pada Sang Lapendos.

Siang itu Kiai memapah si tua kotor itu ke rumah. Di jalan orang memandang dengan tak mengerti. Tak seorang pun akan mengira, si tua yang tergeletak di bawah pohon itu, dipapah dengan kuat oleh Kiai mereka.

Mereka belum pernah mengira Kiai dapat begitu ramah pada lelaki yang selama ini telah mencemarkan kampungnya. Sungguh, tak seorang pun akan  menyangka!

          Pelajaran apa yang bisa diambil dari cerpen yang ditulis Kuntowijoyo 54 tahun lalu? Sebagai hamba Allah, setiap orang beragama (terutama seorang Muslim) meyakini bunyi hadits yang dicantumkan di awal tulisan ini: “Sesungguhnya segala perbuatan itu ditentukan oleh penutupnya” (Hadits Bukhari). Artinya, siapa saja yang telah ditetapkan Allah beriman di akhir hayatnya, meskipun sebelumnya dia kufur dan selalu melakukan maksiat, menjelang kematiannya dia akan beriman dan kemudian dia meninggal dalam keadaan beriman, orang tersebut layak mendapatkan surga. Sang Kiai benar-benar meyakininya. Jadi, bagi Sang Kiai tidak ada istilah pintu tertutup buat semua orang untuk bertobat. Sang Kiai juga sangat meyakini bahwa segala perbuatan itu ditentukan di akhir kehidupan seseorang sebagaimana bunyi hadits di atas. Karena itu, sikapnya yang cenderung menolong dan melindungi Sang Lapendos merupakan langkah konkret  menyelamatkan anak manusia agar mati dalam kondisi khusnul khotimah.

          Pelajaran lain yang juga sangat penting, yaitu sebagai seorang Muslim sebaiknya berbaik sangka pada setiap orang. Tidak boleh seorang Muslim ketika melihat orang dalam kondisi seperti yang digambarkan Sang Lapendos yang ada di cerpen Kuntowijoyo itu langsung berprasangka buruk. Belum tentu orang seperti Pak Sujak melakukan perilaku buruk di masjid. Dia tahu kalau masjid itu tempat suci. Tempat orang-orang mensucikan diri. Justru langkah dia ke masjid untuk bertobat sebuah langkah yang patut diapresiasi. Sang kiai telah mengapresiasinya dengan menjelaskan bahwa masjid tidak akan terkotori oleh kedatangan orang semacam Pak Sujak itu. Sang Kiai juga meyakinkan jamaahnya bahwa kehadiran Pak Sujak, Sang Lapendos, jauh dari maksud jahat. Selain itu, Sang Kiai juga mengingatkan jamaahnya agar tidak main hakim sendiri. Yang lebih penting lagi, tanpa ada kerisihan, tanpa ada rasa hina, Sang Kiai memapah Sang Lapendos ke rumahnya.

          Bagi Pak Sujak, Sang Lapendos, dia layak bersyukur masih ada waktu buatnya untuk bertobat. Keponakannya yang katanya telah mengkhotbahinya dengan mengingatkan penyebab kematian istrinya akibat dari perilakunya juga turut menyadarkannya. Satu hal menjelang dia bertobat ketika dia masih sempat menenggak minuman keras buatan Bakonang jelas sebuah langkah yang salah walaupun itu merupakan minuman terakhir sebelum bertobat. Begitu juga membunuhi semua ayam jantan yang biasa digunakan untuk berjudi juga sebuah langkah yang salah. Pak Sujak pada saat itu boleh jadi dalam kondisi demikian mumet. Pikirannya demikian sempit. Namun, dia masih bisa  mengendalikan diri. Kalau saja pada saat itu dia bunuh diri, tentu dia telah mengakhiri hidupnya dengan keburukan. Pak Sujak walaupun dalam kondisi setengah sadar karena pengaruh minuman keras, dia masih melihat sebuah celah untuk  melakukan kebaikan. Dia yakin masih ada waktu untuk memperbaiki diri sebagaimana ditorehkan Ebiet G Ade dalam liriknya Masih Ada Waktu.

Bila masih mungkin kita menorehkan batin
Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas
Mumpung masih ada kesempatan buat kita
Mengumpulkan bekal perjalanan abadi
Hoo.oo.du.du… du.ouoo… ouoo

…………………………………………………………..

          Baik Sang Kiai maupun Sang Lapendos keduanya adalah orang yang benar-benar telah mengapresiasi bunyi ayat dalam Al-Fajr: 27—30.

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi di-ridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!

Keduanya layak untuk memperoleh surga-Nya karena Sang Kiai telah berjasa menyelamatkan Sang Lapendos dari akhir hidup yang buruk. Sang Lapendos yang punya niat bertobat telah tersampaikan karena melakukan cara yang tepat dengan melangkahkan kakinya, walaupun terasa susah dan berat, ke masjid. Seandainya Sang Kiai bersikap sama dengan jamaah, boleh jadi Sang Kiai telah mempunyai andil yang salah karena telah menjebloskan orang yang mau bertobat ke akhir kehidupan yang buruk, naudzubillahli min dzaalik. Sebaliknya, kalau Sang Lapendos tidak sabar ketika diperlakukan kasar oleh jamaah masjid tidak mustahil dia akan tetap dengan kemaksiatan sampai ajal menjemputnya, naudzubillahi min dzalik. Semua itu tidak terjadi karena Kuntowijojo menutupnya dengan Sang Kiai yang memapah Sang Lapendos ke rumahnya. Subhanallah!

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat