Subagio S. Waluyo

Tulisan ini bertujuan mengetahui tentang sikap Taufiq Ismail terhadap PBB melalui puisinya “Surat Amplop Putih untuk PBB” yang terdapat dalam buku kumpulan puisi Bosnia Kita. Karena tulisan ini bertujuan mengetahui tentang sikap Taufiq Ismail terhadap PBB, ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan,antara lain: bagaimana sikap Taufiq Ismail terhadap PBB?; apakah Taufiq Ismail sebagai penyair bersikap positif atau negatif terhadap PBB? dan mengapa pula penyair bersikap positif atau negatif terhadap PBB? Puisi Taufiq Ismail kali ini yang kita bahas seperti puisi‑puisinya yang terdahulu, yaitu bersifat naratif dan prosais (Teori dan Apresiasi Puisi oleh Josef Walujo, 1991:264).  Karena itu puisinya sangat mudah untuk kita ketahui isinya.Namun, meskipun bersifat naratif dan mudah untuk diketahui isinya misi yang diemban dalam puisi tersebut cukup sarat, yaitu tentang kemanusiaan dan keadilan.  Agaknya, puisi‑puisi yang sarat dengan misi kemanusiaan dan keadilan akan selalu menarik perhatian pembacanya. Puisi‑puisi WS Rendra, misalnya, yang terdapat dalam kumpulan puisinya Potret Pembangunan dalam Puisi (WS Rendra, 1978:2)  sarat dengan misi kemanusiaan. diharapkan dengan menelaan puisi‑puisi Taufiq Ismail yang sarat dengan misi kemanusiaan dan keadi­lan itu akan tergoda hati nurani kita sebagai pembaca tentang eksistensi diri kita yang sering terbelenggu oleh berbagai kea­daan buruk.  Keadaan buruk itu seringkali membawa kita pada pelecehan nilai‑nilai kemanusiaan dan keadilan.

 Di atas telah disebutkan bahwa puisi Taufiq Ismail kali ini sama seperti puisi‑puisinya yang terdahulu, yaitu bersifat naratif dan prosais.  Karena itu, baik isi maupun misi­nya cukup mudah untuk diketahui oleh pembacanya. Berikut ini dapat kita lihat puisi yang mencerminkan sikap/ pandangan penyair­nya terhadap PBB.

          SURAT AMPLOP PUTIH UNTUK PBB

                       kepada sekjen PBB

                       Boutros‑Boutros Ghali

          Dulu aku pada PBB percaya penuh sekali

          Ketika Haji Agoes Salim dan Soedjatmoko

          Kesana pergi berdiplomasi

          Memperjuangkan RI di zaman revolusi

          Lalu tentang PBB datanglahlah ke diriku keragu‑raguan

          Ketika perang Vietnam berlarut berkepanjangan

          Berikut selusin invasi lainnya lagi

          Kini pada PBB aku tidak percaya lagi

          Menilik caramu mendistribusikan veto dan memilih negeri

          Melihat caramu mengurus masalah Palestina, Afghanistan

          Perang Teluk, Kashmir, Myanmar, dan Bosnia‑Herzegovina

          Karena serakah pada uang dan minyak bumi,

          Berbondong‑bondong dulu kalian mengirim pasukan dan

                                                     senjata

          Ke negeri sebesar telapak kaki tapi kaya raya

          Dan memperagakan otot kalian dengan congkak di media

          Lalu menggaruk dolar bermilyar yang jadi upahnya

          Karena tak terbayang uang dan tiada minyak bumi

          Kalian kirim pasukan asal‑asalan saja kini

          Padahal inilah negeri yang kecil dan tak berdaya

          Si alit yang lemah Bosnia‑Herzegovina

          Telah dibantai di sana berpuluh ribu manusia tanpa

                                                   senjata

          Beribu perempuan digilas kehormatan utamanya

          Beratus kanak‑kanak dipotongi tangan dan kakinya

          Beribu orang jadi kerangka berkulit dikamp konsentrasi

          Beratus ribu diusir, mengungsi, terancam dingin dan

                                                     mati

          Tak kudengar kalian dengan penuh semangat melindungi

                                                    mereka

          Bersama surat ini kukirimkan ludahku padamu

          Dipinggir amplop berwarna putih bersih

          Yang kutulis dengan hati yang sangat pedih

                                                            1992

Dengan membaca puisi di atas kita sudah bisa menjawab tentang sikap Taufiq Ismail kepada PBB yang dipertanyakan pada butir pendahaluan tulisan ini.  Sikapnya yang dituangkan dalam puisinya mencerminkan misinya sebagai seorang penyair.  Penyair bukan lagi berbicara semata‑mata tentang estetika yang terkadang membikin jarak dengan pembacanya.  Penyair yang ingin akrab dengan publik­nya harus mencerminkan dalam karya‑karyanya tentang misi kemanu­siaan dan keadilan karena apabila tidak demikian akan terjadi kesenjangan antara penyair dan peminatnya (Arief Budiman, 1985:83).  Penyair yang berha­sil adalah penyair yang menyuarakan hati nurani masyarakat pembacanya meskipun di sisi lain sebuah kritik dalam karya sastra diibaratkan lebah tanpa sengat (Sapardi, 1986:128).  Penyair semacam Taufiq Ismail agaknya perlu dijadikan contoh sebagai penyair yang konsekuen dan konsisten dengan misinya.

Dalam salah satu puisinya yang berjudul Aku Ingin Menulis Puisi Yang“, Taufiq menyatakan:

Aku ingin menulis puisi, yang tidak semata‑mata beurusan dengan cuaca,  warna, cahaya, suara, dan mega

Dari bait di atas saja sudah dapat diketahui bahwa ia bukan hanya ingin menulis  puisi tentang cuaca, warna, cahaya, suara, dan mega, tetapi juga ia ingin menulis yang lain, yang salah satu di antaranya adalah keadilan.  Karena itu, masih dalam judul puisi  yang sama, ia menulis:

Aku ingin menulis bagi para pensiunan yang pensiunannya dipersulit otorisasinya, tahanan politik, dan kriminal, siapa juga yang tersiksa sehingga mereka ingat bahwa keadilan tak putus diperjuangkan

Kata keadilan memang tidak pernah luput dari puisi‑puisinya. Agaknya, tema keadilan pula yang diangkat Taufiq dalam “Surat Amplop Putih untuk PBB”. Taufiq Ismail dalam rangka memperjuangkan keadilan, apabila ditelaah puisinya kali ini secara mendalam akan tampak di hadapan kita bahwa sikapnya terhadap PBB ada tiga tahap.  Pada tahap pertama, ia percaya sekali pada PBB karena PBB dapat memperjuang­kan negara Republik Indonesia lewat dua orang utusannya, yaitu  Haji Agoes Salim dan Soedjatmoko.  Bait pertama puisi berikut iniakan memperjelas sikapnya pada PBB pertama kali.

Dulu aku pada PBB percaya penuh sekali

Ketika Hadji Agoes Salim dan Soedjatmoko

Kesana pergi berdiplomasi

Memperjuangkan RI di zaman revolusi

Hadji Agoes Salim pada tahun 1947‑‑1949: Menteri Luar Negeri dan Wakil RI di PBB (Hassan Shadilly, 1984:114)  dan Soedjatmoko (1947—1952) adalah Anggota delegasi Indone­sia ke DK PBB (Hassan Shadilly, 1984:231) keduanya mempunyai misi bolak‑balik untuk memperjuangkan RI pada zaman revolusi.  Misi mereka dalam rangka berdiplomasi tentu saja tidak dengan mudah dapat dicapai, merekajuga mengalami sedikit banyaknya hambatan dari anggota‑ anggota tetap DK PBB.  Namun, untuk saat itu Taufiq patut mengacungkan jempolnya pada PBB karena PBB benar‑benar dapat menunjukkan dirinya sebagai lembaga yang berhasil memperjuangkan RI pada waktu itu.

Pada tahap kedua, kepercayaan Taufiq pada PBB mulai luntur. Mengapa?  Taufiq mulai luntur kepercayaannya pada PBB karena PBB tidak dapat mencegah terjadinya Perang Vietnam (1965‑‑1975).

Lalu tentang PBB datanglah kediriku keragu‑raguan

Ketika Perang Vietnam berlarut berkepanjangan

Berikut selusin invasi lainnya lagi

PBB tidak dapat mencegah AS, tempat bercokolnya kantor pusat PBB di negara tersebut, untuk tidak terlibat dalam sengketa di Vietnam Selatan yang pada waktu itu, Vietnam Selatan, pemerintahannya terancam oleh kehadiran gerilyawan komunis (vietcong).  Amerika Serikat dengan dalih membantu pemerintah Vietnam Selatan mengerahkan pasukan tempur besar‑besaran sehingga berjumlah 545.000 tentara dalam tahun 1968.  Amerika Serikat bukan saja mengirimkan pasukan besar‑besaran, tetapi juga mengebomi Vietnam Utara (1965) Setelah upaya pengeboman tidak berhasil, dalam rangka menahan lajunya tentara Vietcong yang berkubu dengan baik, mulailah AS menggunakan bom‑bom napalm dan perontok hutan.  Penggunaan bom‑bom napalm dan perontok hutan itu tentu saja membangkitkan pertentangan pendapat internasional (Hassan Shadilly, 1984:323)

Kekejaman AS harus dibayar mahal dengan hengkangnya AS dari Vietnam.  Digambarkan oleh Taufiq Ismail dalam puisinyaMela­wan dengan Gaya Orang Miskin Seadanyaberikut ini.

Vietnam dihujani bom bertahun-tahun. Bermacam merek senjata berat dicobakan di sana, sawah-sawah hijaunya berubah jadi kawah-kawah hitam, berjuta penduduknya jadi orang

paling malang di dunia, mereka melawan dengan gaya orang miskin seadanya, dan

bayangkanlah betapa derita perlawanan mereka.

Tapi saksikan Barat-Amerika jadi letih sendiri, lututnya patah, ekonominya payah dan lantas

mundur diam-diam, benderanya terkulai kalah.

AS memang pada akhirnya letih sendiri walaupun mengerahkan tenta­ranya yang sangat besar, terlatih, dan persenjataan ultra modern Bukan itu saja, AS selama ini selalu beranggapan sebagai negaraadidaya dan polisi dunia.  Namun, semua itu tidak ada artinya bagi gerilyawan Vietcong yang digambarkan Taufiq …mereka melawan dengan gaya orang miskin seadanya…., yang telah berhasil mengusir AS dari bumi Vietnam.  Bahkan, AS telah diper­malukan di muka dunia oleh sebuah bangsa yang ditinjau dari sudutapapun bukan lawannya.  Sama dengan Uni Sovyet (Rusia sekarang) yang kalah perang dengan gerilyawan Mujahidin Afghanistan (1989).

Pada tahap ketiga Taufiq Ismail benar‑benar tidak percaya lagi pada PBB karena PBB lewat DK‑nya bersikap berat sebelah dalam mendistribusikan veto dan memilih negeri.  Begitu­pun dalam mengurus masalah Palestina, Afghanistan, Perang Teluk, Kashmir, Myanmar, dan Bosnia Herzegovina PBB ternyata tidak menanggapi dengan serius.

                   Kini pada PBB aku tidak percaya lagi

Menilik caramu mendistribusikan veto dan memilih negeri

Melihat caramu mengurus masalah Palestina, Afghanistan,

Perang Teluk, Kashmir, Myanmar, dan Bosnia Herzegovina.

Alasan Taufiq untuk tidak percaya lagi pada PBB bisa ditunjukkan ketika PBB membolehkan (bahkan merestui AS mengirimkan pasukannya ke Kuwait, yang dilukiskan oleh Taufiq sebagai negara sebesar telapak kaki tapi kaya raya, karena bermaksud menggaruk kekayaan negera tersebut sebagai jerih payahnya.

Karena serakah pada uang dan minyak bumi

berbondong‑bondong dulu kalian mengirim pasukan dan senjata

Ke negeri sebesar telapak kaki tapi kaya raya

Dan memperagakan otot kalian dengan congkaknya di media

Lalu menggaruk dolar bermilyar yang jadi upahnya

PBB kemungkinan besar, bahkan sudah dapat dipastikan, di bawah pengaruh AS mengingat negara tersebut adalah salah satu anggota tetap DK PBB yang memiliki hak veto.  Karena memiliki hak veto dan termasuk negara kuat (adidaya), sering kali AS mendominasi DK sehingga tindak-tanduknya seolah‑olah merupakan pemaksaan terhadap  negara‑ negara lemah.  Di samping itu, AS memiliki andil untuk menciptakan ketidak-seimbangan dan perlakuan deskriminatif dalam masyarakat internasional. Hal itu terbukti ketika Kuwait merasa terdesak oleh sepak terjang negara tetangga­nya (Irak) AS segera mengirimkan pasukannya dan memperagakan kebolehannya di mata dunia dengan memborbardir Irak di luar batas‑batas kemanusiaan.  Baru‑baru ini pun AS melakukan hal yang sama terhadap Irak.  Semua itu pun atas persetujuan PBB.Namun, ketika menghadapi Afghanistan, Palestina, Kashmir, Myanmar, dan Bosnia Herzegovina sikap PBB tidak demikian. PBB terkesan tidak serius, bahkan ada kecenderungan mengun­tungkan pihak Serbia yang jelas‑jelas berbuat biadab.  Cara‑cara yang ditempuh PBB ditulis oleh William Pfaff hanya untuk memuas­kan opini masyarakat yang berang sambil menghindari isu‑isu serius dalam krisis ini (William Pfaaf, 1992:75).  Tulisan William Pfaff dikutip oleh Prasanti dalam puisinya  “Dialog dalam Bisik” berikut ini.

di The New York Review, 27 Agustus 1992, William Pfaff

          menulis:

          menolong warga yang terperangkap

tanpa menghentikan pengepungan itu sendiri

sama halnya dengan menolong korban hari ini

          untuk dibiarkan mati esok hari

          Mengevakuasi warga sipil dan tawanan

dari wilayah yang terkena “pembersihan etnis”

 sama saja dengan membantu Serbia mengusir orang Bosnia

 atas biaya dunia internasional

          Pendek kata, pemerintah Barat hanya berusaha mencari jalan

          untuk memuaskan opini masyarakat yang berang

          sambil menghindari isu‑isus serius dalam krisis ini.

          Paris, London, dan Washington

          bukan berusaha mencegah atau menyetop agresi,

          melainkan mencari jalan untuk menyelamatkan muka sendiri

          (Majalah Tempo 17 Oktober 1992)

Kebiadaban Serbia, yang seolah‑olah mendapat angin dari PBB, yang telah membunuh berpuluh ribu manusia tanpa senjata, memerko­sa para wanitanya, memotong-motong tangan dan kaki anak‑anak Bosnia, menyiksa orang‑orang Bosnia di kamp‑kamp konsentrasi, dan mengusir orang‑orang Bosnia dari negerinya.  Semua itu terjadi di depan mata tentara‑tentara perdamaian PBB.  Tetapi, apa yang dapat mereka lakukan?

Karena tak terbayang uang dan tiada minyak bumi

Kalian kirim pasukan asal‑asalan saja kini

Padahal inilah negeri yang kecil dan tak berdaya

Si alit yang lemah Bosnia‑Herzegovina

Telah dibantai di sana berpuluh ribu manusia tanpa senjata

Beribu perempuan digilas kehormatan utamanya

Beratus kanak‑kanak dipotongi tangan dan kakinya

Beribu orang jadi kerangka berkulit di kamp konsentrasi

Beratus ribu, mengungsi, terancam dingin dan mati

Tak kudengar kalian dengan penuh semangat melindungi mereka

PBB memang tidak berkeinginan melindungi orang‑orang Bosnia yang sudah dilanggar hak‑hak azasi sebagai manusia.  Bukan saja PBB, mata dunia pun sudah dipalingkan dari pelanggaran hak‑hak azasimanusia memasuki awal abad XXI ini.  Bahkan, pasukan‑pasukan yang dulu dielu‑elukan sebagai pasukan pembela tatanan dunia baru ke mana perginya sekarang ini.  Mereka tidak berminat menjadi polisi dunia karena di Bosnia tidak ada ladang‑ladang minyak yang bisa memperkaya mereka seperti yang ditulis Ikranegara dalam puisinya “Saya di sini Sekedar Membaca Kenyataan” pada bait puisi di bawah ini.

          Seperti saudara

saya juga ikut bertanya‑tanya

:kemana mata dunia sedang dipalingkan?

:apa?

dunia sedang asyik bermabuk‑mabuk

menenggak bir di Jerman ?!

              dunia sedang asyik menghadiri mode‑show celana dalam

di klub de la paris di Perancis?!

dunia sedang asyik menggosipkan skandal

putera‑puteri kerajaan Inggris?!

dunia sedang asyik menikmati album porno ?!

penyanyi Madonna di Amerika

dunia sedang asyik menembaki burung‑burung

di tepi danau di Kanada?!

          dunia sedang asyik ma`syuk menonton video cabul

buatan Jepang di Tokio?!

dunia sedang asyik menghisap ganja dalam‑dalam

di lorong‑lorong  kota Moskow?!

dunia sedang asyik menyuntikkan narkotik ke lengannya

di pantai Australia

:ke manakah perginya

          pasukan pembela tatanan dunia baru

           yang kedahsyatannya dielu‑elukan

          di Washington, di London, dan di Paris

          :ke manakah perginya

           pasukan yang kedahsyatannya

          dielu‑elukan bagai badai padang pasir itu?

          :ataukah mereka tak berminat

          jadi polisi dunia untuk Bosnia

          hanya karena sudah tahu

          di Bosnia cuma ada ladang sayur‑mayur

          di Bosnia tak ada ladang‑ladang minyak?

Sebagai ungkapan kekesalannya pada PBB, Taufiq Ismail mengi­rimkankan ludahnya, sebagai simbol penghinaan, kepada Sekjen PBB Boutros‑Boutros Ghali.

Bersama surat ini kukirimkan ludahku padamu

Di pinggir amplop berwarna putih bersih

Yang kutulis dengan hati yang sangat pedih

Dengan pengiriman ludahnya, lengkap sudah ketidakpercayaannya pada PBB karena pengalaman hidupnya telah menyaksikan sendiri tentang sikap PBB yang tidak konsekuen dan konsisten. Semua sakit hatinya dan kekecewaan- nya dituangkan di surat beramplop putih yang ditulis dengan hati yang sangat pedih.Memang, apabila kita perhatikan bait terakhir puisi di atas akan terasa pada kita sikap penyair yang terkesan sarkasme. Namun, di balik itu masih ada nilai‑nilai keindahan.  Keindahan itu sendiri menurut Arief Budiman sangat berkaitan dengan dimensi ruang dan waktu (Perdebatan Sastra Konteksual, 1985:80).  Artinya, nilai keindahan itu subjektif dan tidak universal.  Yang paling penting bagi kita bukan indah tidaknya sebuah karya sastra, melainkan kita harus melihat bahwa lahirnya sebuah puisi berkaitan dengan penyair dan latar belakang sejarah saat puisi itu diciptakan (Josef  Walujo, 1991: 30).

Puisi tersebut lahir karena sikap spontan penyairnya seusai menyaksikan penayangan video kumpulan berita dan laporan peristi­wa tragedi Bosnia‑Herzegovina (Bosnia Kita oleh Chaerul Umam : 1992:6). Gambaran kebrutalan tentara‑ tentara dan milisi‑milisi Serbia dengan melakukan pembantaian secara massal, penganiayaan terhadap jenazah, pemerkosaan, peng­hancuran tempat‑tempat pemukiman dan rumah‑rumah ibadah, pengusi­ran orang‑orang Bosnia dari tempat tinggalnya, dan yang lebih menyakitkan lagi sikap tutup mata dan telinga negara‑negara besar yang memualkan itu membuat Taufiq Ismail sangat tercekam dan geram.  Semua yang membuat dirinya tercekam dan geram, ia ek­spresikan dalam bentuk puisi.  Oleh karena itu, hanya dengan puisi Taufiq Ismail mengekspresikan luapan emosinya yang terpen­dam menyaksikan agresi yang sedemikian jahatnya pada masa abad XXI sudah di ambang pintu.  Bukankah hanya dengan puisi Taufiq Ismail bernyanyi, bercinta, mengenang, menangis, mengutuk, dan berdoa seperti yang tercermin pada puisinya berikut ini.

DENGAN PUISI, AKU

Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang

Keabadian yang akan datang

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk

Napas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdo`a

Perkenankanlah kiranya

Setelah kita menelusuri pandangan Taufiq Ismail tentang PBB lewat puisinya “Surat Amplop Putih untuk PBB” tibalah kita menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan di awal tulisan ini.  Tentang sikap Taufiq Ismail pada PBB sudah jelas, yaitu pada awalnya percaya sekali, kemudian mulai tidak percaya (keraguraguan), dan yang terakhir sama sekalil tidak percaya.  Dengan demikian sikap dan penilaiannya terhadap PBB cenderung negatif.  Apakah penilaiannya yang negatif terhadap PBB akan terus berta­han?  Wallahu`alam bisawab. Sebaiknya kita tunggu saja pernya­taan‑pernyataannya lewat puisi‑ puisinya seperti yang tertuang dalam bait puisinya di bawah ini.

Menunggu itu sepi

Menunggu itu nyeri

Menunggu itu teka‑teki

Menunggu itu ini

                                                                     “Menunggu itu”

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *