Subagio S.Waluyo

Ingat orang miskin, ingat WS Rendra menulis dalam puisinya “Blues untuk Bonie”. Rendra menggambarkan tentang seorang penyanyi negro tua yang bernyanyi di sebuah cafe, di Boston yang pengunjungnya hanya tujuh pasang kaki (tujuh orang). Si negro tua sambil bernyanyi dan memetik gitar menyanyikan tentang Georgia tempat tinggalnya yang jauh yang digambarkan di sana didapati gubug-gubug kaum negro yang atapnya bocor dan masih banyak ditemukan cacing dan pellagra. Yang jelas, daerah tempat tinggal si negro tua adalah lingkungan kumuh dan tidak sehat. Selanjutnya, Rendra menggambarkan meskipun si negro tua meninggalkan istrinya di Georgia, sang istri tetap setia tapi merana. Digambarkan juga tentang anak-anak negro yang lebih suka bermain di selokan daripada sekolah. Sementara yang tua-tua terkena penyakit sosiopat karena suka mabuk, banyak hutangnya, dan di hari minggu mereka ke gereja yang khusus untuk orang-orang negro. Georgia (mungkin sebagian dari negara bagian tersebut yang dihuni orang-orang negro) digambarkan kondisinya sangat mengenaskan karena tempat tinggal orang-orang negro jauh dari sehat. Silakan disimak bagian puisi tersebut.

……………………………………………………………

Georgia.

Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.

Istrinya masih di sana

setia tapi merana

Anak-anak Negro bermain di selokan

tak krasan sekolah.

Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual

banyak hutangnya.

Dan di hari Minggu

mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro

Di sana bernyanyi

terpesona pada harapan akherat

kerna di dunia mereka tak berdaya.

 

Georgia.

Lumpur yang lekat di sepatu.

Gubug-gubug yang kurang jendela.

Duka dan dunia

sama-sama telah tua

Sorga dan neraka

keduanya usang pula.

Dan Georgia?

Ya, Tuhan

Setelah begitu jauh melarikan diri,

masih juga Georgia menguntitnya.

 

(dikutip dari Puisi “Blues untuk Bonie”/WS Rendra)

***

Itu gambaran kemiskinan di negara `Paman Sam, Amerika Serikat, di penghujung tahun 60-an ketika WS Rendra berkesempatan melawat ke negara itu. Kemiskinan di Amerika Serikat (AS) lebih disebabkan oleh sikap deskriminatif Pemerintah AS terhadap orang-orang negro. Bagaimana gambaran kemiskinan di negara ini, Indonesia, di saat negara ini telah menginjak usianya yang ke-78? Tentu saja, jangan membandingkan kondisi kemiskinan di negara ini dengan AS yang boleh dikatakan terbilang maju. Di negara ini memang tidak ada deskriminatif antara satu suku dan suku lainnya. Jadi, tidak ada pengistimewaan terhadap salah satu suku di negara ini. Tetapi, sikap deskriminatif yang muncul baik disadari maupun tidak yang terjadi di tengah-tengah bangsa ini adalah penganaktirian terhadap orang-orang yang tergolong miskin. Sebaliknya, orang-orang kaya dianakemaskan.

Adanya sikap penganakemasan terhadap orang-orang yang tergolong kaya mencerminkan gagalnya pimpinan di negara ini dalam menerapkan konsep kepemimpinan. Coba perhatikan gambar karikatur di atas itu, apa yang diinginkan oleh sang ibu ketika sedang menyuapi anaknya? Dia hanya menginginkan adanya pemimpin yang bisa membikin negara ini aman dan rakyat hidup tentram. Selanjutnya, apa makna di balik kata-kata sang ibu itu? Selama ini negara ini boleh dikatakan tidak mencerminkan adanya keamanan karena sering terjadi konflik horisontal. Kalau mau digali lagi, mengapa itu bisa terjadi? Karena negara ini dipimpin oleh orang yang hanya memecahkan masalah bukan orang yang merumuskan kebijakan (lihat tulisan saya tentang “Naik Kereta Api Tut..tut..tuut”) sehingga wajar saja kalau selama ini pimpinan di negara ini hanya memecahkan masalah dari satu masalah ke masalah lainnya. Terkadang, bahkan mungkin juga sering, ketika satu masalah belum selesai dipecahkan muncul masalah lainnya. Akibatnya, negara ini hanya berkutat pada pemecahan-pemecahan masalah. Kalau begitu kapan negara ini benar-benar mau mewujudkan visinya? Atau kalau mau dikaitkan dengan cita-cita luhur bangsa ini, yaitu mewujudkan sila kelima dalam Pancasila `Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia`, kapan itu bisa benar-benar bisa diwujudkan?

Kata `keadilan` sesuatu yang mudah untuk ditulis dan diucapkan. Tapi, ketika dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari selalu berhadapan dengan tembok tinggi yang menghalanginya. Memang, tidak ada pernyataan `sekolah ini hanya untuk orang kaya, orang yang miskin tidak boleh sekolah di sini` tetapi uang pangkal yang dipatok sekolah-sekolah yang tergolong bermutu ditambah lagi dengan uang SPP yang tinggi, siapa yang bisa duduk manis menikmati bangku sekolah di sekolah itu? Bukan hanya uang pangkal dan SPP, di akhir tahun ketika sekolah melakukan semacam study tour atau field trip setiap siswa masih dikutip dananya yang tidak sedikit. Karena itu, tidaklah aneh kalau yang bisa duduk manis bangku sekolah di sekolah-sekolah tergolong berkualitas hanya anak-anak orang kaya. Anak-anak orang miskin hanya gigit jari.

Bukan hanya menyangkut masalah pendidikan, kalau ada orang miskin sakit juga mereka mengalami deskriminatif. Hampir di semua masalah yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, orang miskin tetap mengalami deskriminatif kecuali untuk melakukan kewajiban keagamaan (ibadah). Untuk beribadah, di negara ini, Alhamdulillah, tidak ada deskriminatif. Tidak seperti orang-orang negro di AS seperti yang ditulis Rendra dalam “Blues untuk Bonie”, buat mereka ada gereja khusus yang tentu saja dalam beribadah mereka tidak bisa bergabung dengan orang-orang kulit putih. Mudah-mudahan saja hal semacam itu tidak ada akan terjadi di kalangan orang-orang beragama di negara ini untuk bersikap deskriminatif dalam hal beribadah pada Tuhannya.

***

Sikap deskriminatif terhadap orang miskin apakah dilandasi oleh definisi yang disampaikan kalangan ahli-ahli sosiologi karena seperti, Parsudi Suparlan, secara singkat mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah (Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat, 1986:129). Karena mereka standar tingkat hidupnya rendah, mau tidak mau berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, pendidikan, kehidupan moral, dan harga diri sehingga perlu sikap deskriminatif terhadap mereka (orang-orang miskin)? Kalau sikap semacam ini masih bercokol di negara ini, di mana letaknya negara? Bukankah tujuan mendirikan negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya secara adil tanpa adanya diskriminasi? Berkaitan dengan hal itu negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan rakyatnya. Dengan demikian, negara mempunyai kewajiban untuk mengabdi pada kepentingan dan kehendak rakyatnya (Luthfi J. Kurniawan, dkk, dalam Negara Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial, 2015:89).

Berkaitan dengan penguatan peran negara dalam bentuk pengabdiannya pada kepentingan kehendak rakyatnya, Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State Building: Governance and World Order in the 21st Century  menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Selanjutnya, kata Fukuyama, bukan hanya memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial,melainkan juga menyulut konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Keruntuhan atau kelemahan negara telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak azasi manusia. Karena itu, negara harus diperkuat. Kesejahteraan, kata Fukuyama, tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat, yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Sebaliknya, negara yang kuat tidak bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya (Edi Suharto dalam Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, 2007:x).

Dalam rangka menciptakan kesejahteraan warganya, pascareformasi Pemerintah Indonesia mengubah formasi kekuasaan dari pemerintahan yang sentralistik menuju pemerintahan yang desentralistik. Diharapkan dengan formasi seperti itu akan terjadi adanya sistem yang lebih dekat dengan warganya ( Edi Suharto dalam Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, 2007:177). Wujud dari pelaksanaan desentralisasi adalah mencoba diterapkannya otonomi daerah (otda). Dalam kurun waktu lima belas tahun (otda pertama kali diterapkan pada tanggal 1 Januari 2001), telah tiga kali perubahan undang-undang yang berkaitan dengan otda atau pemerintah daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Diharapkan dengan diterapkannya desentralisasi (yang di dalamnya ada otda) akan ada angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan aktivitas pembangunan. Jika memang benar-benar hal itu bisa terlaksana, tidak mustahil akan terjadi peningkatan kesetaraan antargolongan, perluasan keadilan sosial, dan perbaikan kualitas kehidupan rakyat banyak. Harapan ini sama persis seperti yang diungkapkan secara tersirat oleh Sang Ibu ketika menyuapi anaknya di gambar kartun di atas.

Apakah harapan Sang Ibu yang menyuapi anaknya akan terkabul? Bagaimana realisasinya dengan harapan Sang Anak yang menginginkan sekolah gratis? Bagaimana pula dengan harapan Sang Ayah untuk memperoleh pekerjaan sehingga bisa menghidupi keluarganya? Kalau memang gambar kartun yang ada di sebelah kiri ini mencerminkan hasil pelaksanaan otda selama ini, tampaknya sudah bisa terjawab bahwa itu semua hanya sebuah harapan yang berakhir pada isapan jempol belaka. Artinya, pelaksanaan otda selama ini belum menyentuh harapan semua orang yang dalam hal ini sampai ke semua masyarakat tergolong miskin. Percuma saja bangsa ini gonta-ganti undang-undang pemerintah daerah yang tujuannya untuk menguatkan pelaksanaan desentralisasi kalau kemakmuran hanya dinikmati oleh sebagian dari rakyat Indonesia. Gaya hidup mereka konsumtif dan hedonistik. Sebaliknya, sebagian rakyat negeri ini masih dibelit oleh aneka keterpurukan. Mereka harus banting tulang demi sesuap nasi. Ironis memang.

***

Selagi belum terlambat, harus ada niat baik untuk benar-benar mewujudkan negara sejahtera. Jangan lagi ada niat mau kotak-katik lagi undang-undang yang mengatur tentang pemerintah daerah. Laksanakan saja secara konsisten. Semua orang yang telah diamanahkan untuk mengelola negeri ini harus punya komitmen mengubah nasib sebagian anak bangsa ini agar mereka di suatu saat nanti bisa menikmati hidup yang lebih baik daripada hari ini. Adalah dosa besar bagi orang-orang yang telah mendapat amanah tetapi malah bersikap khianat sehingga membuat sebagian anak bangsanya sendiri hidup dalam kemiskinan. Satu hal lagi yang perlu diingat, jangan remehkan keberadaan orang-orang miskin karena suatu saat nanti, seperti yang dikatakan WS Rendra dalam puisinya “Rajawali”, mereka akan memberontak pada orang-orang yang diberi amanah tapi khianat (`dia akan mematuk kedua matamu/wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka`). Silakan disimak puisi WS Rendra berikut ini.

Rajawali

                                                   W.S Rendra

 

Sebuah sangkar besi

tidak bisa mengubah rajawali

menjadi seekor burung nuri

 

Rajawali adalah pacar langit

dan di dalam sangkar besi

rajawali merasa pasti

bahwa langit akan selalu menanti

 

Langit tanpa rajawali

adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma

tujuh langit, tujuh rajawali

tujuh cakrawala, tujuh pengembara

 

Rajawali terbang tinggi memasuki sepi

memandang dunia

rajawali di sangkar besi

duduk bertapa

mengolah hidupnya

 

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan

yang terjadi dari keringat matahari

tanpa kemantapan hati rajawali

mata kita hanya melihat matamorgana

 

Rajawali terbang tinggi

membela langit dengan setia

dan ia akan mematuk kedua matamu

 

wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

 

Sumber Gambar:

(https://images.app.goo.gl/B89xWzDkAEQ7kGh37)

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat