Subagio S.Waluyo
Salah satu kelemahan mahasiswa di tempat Penulis mengabdikan ilmunya selama ini adalah sangat jarang bertanya tentang bahan kuliah yang baru saja dipelajarinya. Kalau ditanya, mereka menjawabnya singkat-singkat dan malu-malu. Ini menunjukkan mereka kurang percaya diri. Boleh jadi keengganan mau bertanya atau berbicara sudah ada sejak dari sekolah. Bisa juga selama pendidikan di sekolah tidak dibiasakan oleh guru-gurunya untuk belajar mengemukakan pendapatnya. Kalau ada anak didik yang salah menjawabnya, ada kebiasaan buruk, baik yang dilakukan gurunya maupun teman-teman sesamanya, yaitu mentertawakannya. Dengan demikian, wajar saja jika anak didik tidak berani untuk mengemukakan pendapatnya.
***
Untuk mengemukakan pendapat di muka umum memang tidak mudah. Meskipun demikian, sejak dini anak-anak didik dibiasakan belajar untuk mengemukakan pendapat. Kalau sejak di sekolah dasar tidak dibiasakan anak didik untuk belajar menyampaikan pendapat, wajar-wajar saja ketika mereka memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi mereka mengalami kegagapan. Agar tidak mengalami kegagapan, para pendidik harus membiasakan anak didiknya untuk berdialog. Di tahap-tahap awal bisa saja sang guru mengajak seorang anak untuk berdialog langsung dengannya. Di tahap berikut ketika anak sudah mulai lancar dalam berdialog dengan gurunya anak tersebut diminta untuk menyampaikannya di hadapan teman-temannya.
Bagaimana dengan anak yang memang sudah punya keberanian untuk bicara di hadapan teman-temannya? Anak-anak seperti ini akan lebih mudah bagi sang guru untuk mengarahkannya. Di sini sang guru di samping banyak memberikan motivasi pada anak tersebut juga perlu menanamkan nilai-nilai kebaikan agar mereka-mereka ini tidak menjadi anak yang tinggi hati karena kemampuannya dalam mengemukakan pendapatnya di depan umum. Bukan hanya guru, orang tua sang anak juga perlu menanamkan hal yang sama. Tidak bisa dipungkiri terkadang dijumpai anak-anak yang sangat percaya diri tanpa disadarinya tumbuh rasa tinggi hati yang justru perilaku seperti itu perlu diperbaiki. Bila penanaman nilai-nilai kebaikan diberikan secara terus-menerus pada anak yang punya percaya diri tinggi, tidak mustahil anak itu di kemudian hari akan menjadi pemimpin yang baik dan benar.
Mahasiswa sebagai intelektual muda harus menjadi pemimpin yang baik dan benar. Untuk menjadi pemimpin yang baik dan benar di samping sang mahasiswa memiliki kompetensi akademis juga harus bisa mengemukakan pendapatnya di muka umum. Mereka harus bisa beretorika. Kemampuan beretorika merupakan modal utama manakala sang intelektual muda dituntut berbicara di hadapan umum. Tentu saja kemampuan itu tidak bisa dilakukan secara instan. Kemampuan itu hanya bisa dilakukan kalau sejak di bangku kuliah di tahap awal para calon intelektual muda itu diajak berdialog. Jadi, hanya dengan berlatih berdialog sang mahasiswa nantinya sanggup untuk berani mengemukakan pendapat.
Sarana untuk berdialog bagi mahasiswa bisa dilakukan di antaranya dengan curah pendapat. Curah pendapat bisa dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. Selain itu, juga bisa dalam bentuk diskusi kelompok. Dalam diskusi kelompok ini setiap anggota diminta untuk mengajukan entah pertanyaan, kritikan, masukan, atau pendapatnya. Biarkan saja mereka saling berdebat asalkan dalam debat itu tidak berakhir dengan keributan atau kerusuhan. Di sini sang dosen sebagai ilmuwan cukup menjadi fasilitator. Bukan hanya debat, sewaktu-waktu bisa juga diadakan acara bedah buku. Buku-buku yang dibedah tentu saja buku-buku yang sedang ngetren saat ini, misalnya, tentang politik dinasti. Sudah bisa dipastikan bedah buku yang berkaitan dengan politik dinasti akan menarik untuk dibedah. Bahkan, di saat-saat seperti sekarang ini memasuki masa kampanye Pemilu 2024 boleh-boleh saja mengundang entah calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) atau kepala daerah sekalipun untuk diadakan dialog terbuka. Salah satu contoh menarik yang bisa diambil di sini ketika Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengundang capres dan cawapres dalam acara dialog terbuka. Untuk lebih jelasnya bisa dibuka link berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=8wTmLMDdzco.
Semua kegiatan itu lebih merupakan kegiatan keilmuan yang masih termasuk dalam lingkup MBA. Para mahasiswa sebagai calon cendekia muda yang sudah terbiasa mengikuti berbagai kegiatan yang terdapat dalam MBA, kelak jika menjadi seorang pemimpin dipastikan menjadi pemimpin yang bukan hanya pintar, cerdas, tapi juga siap menghadapi tantangan. Mahasiswa jenis ini selama mengikuti pembelajaran tidak semata-mata belajar, tapi juga berupaya menempa diri menjadi orang-orang yang kritis dan peduli. Untuk menjadi kritis, sang mahasiswa bisa mengikuti berbagai aktivitas keilmuan yang termaktub dalam MBA. Untuk menjadi peduli, sang mahasiswa akan mengikuti berbagai aktivitas yang berkaitan dengan kemanusiaan dan kesosialan. Aktivitas yang berkaitan dengan kemanusiaan dan kesosialan bisa dilakukan melalui kegiatan pengabdian masyarakat. Tapi, jika mereka tidak puas dengan aktivitas yang ditawarkan dalam pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh PT-nya, bisa saja mereka mengikuti aktivitas di luar kampus seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Di luar itu semua, sekali lagi, tidak ada cara untuk memulainya kecuali sang ilmuwan sebagai dosen harus memulainya dengan berdialog. Dalam hal ini sang ilmuwan harus membuka diri di ruang kuliah berdialog dengan mahasiswanya.
***
Seperti yang telah disampaikan di atas, untuk bisa mengemukakan pendapat dengan baik dan benar mahasiswa harus dilatih belajar berdialog. Di tahap awal dialog bisa dilakukan sang dosen langsung dengan mahasiswanya di kelas. Di sini sang dosen harus pandai-pandai memancing persoalan yang membuat mahasiswa yang diajak dialog terpancing. Kalau kebiasaan seperti ini sudah berjalan baik, sang dosen dibantu para mahasiswanya mengadakan kegiatan dialog yang lebih besar. Untuk bisa melaksanakan kegiatan seperti acara bedah buku, misalnya, sang dosen dibantu dengan para mahasiswanya bisa berkolaborasi dengan organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat fakultas atau bisa juga berkolaborasi dengan program studi. Kegiatan semacam ini harus diprogramkan minimal satu semester sebanyak tiga kali (setiap dua bulan sekali). Akan lebih baik jika dilakukan setiap bulan sekali. Dengan cara seperti itu sang dosen dan para mahasiswa yang dilibatkannya telah menghidupkan MBA.