Subagio S.Waluyo

Arief Budiman pernah menulis makalah dengan judul “Menciptakan Manusia Indonesia yang tidak Serakah” (Individu Keluarga dan Masyarakat, 1986:154-172). Makalah tersebut ditulis Arief Budiman dalam Penataran Pengajar Ilmu Sosial Dasar (Bukit Tinggi, 13—19 April 1981)  dan Lokakarya Penyusunan Kumpulan Minimal Bahan Peragaan Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar (Universitas Brawijaya, Malang, 20—27 Januari 1985). Ada kemiripan judul yang ditulis Arief Budiman dengan Penulis. Kemiripannya terletak pada: “Menciptakan ….. yang tidak Serakah”. Yang berbeda hanya pada objeknya, kalau Arief Budiman objeknya `Manusia Indonesia`. Sedangkan Penulis objeknya `Ilmuwan`. Meskipun ada kemiripannya dan ada perbedaannya, keduanya memiliki niat yang sama: agar siapapun orangnya harus menjauhkan diri dari keserakahan.

***

          Setiap orang harus berupaya menjauhkan diri dari keserakahan. Kalau ada seorang ilmuwan yang masih memiliki keserakahan, bisa jadi ilmuwan tersebut belum bisa mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajarinya. Ilmuwan tersebut masih terpenjara dalam kisi-kisi teknologi sehingga terampas rasa kemanusiaannya dan kebahagiaannya. Ilmuwan tersebut seperti dikatakan di atas terpenjara dalam kisi-kisi teknologi karena memandang ilmu bagi dirinya menjadi tujuan hidupnya. Ilmu bagi dirinya bukan dijadikan sebagai sarana untuk membantu mencapai tujuan hidupnya, ilmu baginya telah menjadi tujuan hidupnya. Ilmuwan jenis ini tidak mengetahui ilmu itu dipergunakan untuk apa? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan itu harus diarahkan? Ilmuwan jenis ini telah berpaling dari hakikat moral (Jujun Suria. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 2007:231-231).

          Apa yang terjadi kalau seorang ilmuwan telah berpaling dari hakikat moral? Mudah ditebak, seorang ilmuwan yang beraktivitas di lembaga riset bisa dipastikan akan melakukan apapun agar hasil risetnya menyenangkan dan sekaligus menguntungkan orang yang menggunakan tenaganya. Tanpa ada perasaan bersalah orang jenis ini mau memanipulasi data. Kalau tidak bisa dan biasa terlibat dalam kerja-kerja penelitian, seorang ilmuwan yang kesehariannya memang sudah sibuk mengajar akan bertambah sibuk karena sudah bisa dipastikan orang jenis ini akan minta jam mengajar diperbanyak. Dengan jam mengajar yang cukup banyak sudah bisa dipastikan dia akan memperoleh banyak pemasukan (penghasilannya bertambah). Walaupun cukup melelahkan karena jam mengajar yang cukup banyak, baginya tidak ada masalah.

          Ilmuwan jenis ini yang mengajar sekian bidang ilmu tidak pernah berpikir dan juga tidak punya perasaan kalau telah banyak mengambil jatah orang lain. Bagaimana dengan hasil dari mengajar sekian banyak mata kuliah dan kelas? Wallahu a`lam bissawab, yang pasti Tuhan Maha tahu akan hasil pengajarannya selain itu tentu saja juga anak didiknya. Kalau kualitas anak didiknya diragukan kompetensinya, hal itu lebih disebabkan ilmuwan tersebut tidak fokus pada bidang keilmuan yang didalaminya. Jadi, kalau ada suara miring tentang hasil pengajarannya, ilmuwan jenis ini tidak usah menyalahkan orang lain karena memang dari semula tidak fokus pada bidang keahliannya. Karena tidak fokus pada bidang keilmuan yang digelutinya (yang berakar dari keserakahannya), orang jenis ini tidak akan serius untuk menciptakan intelektual muda di perguruan tinggi tempat dia mengajar. Akhirnya, perguruan tinggi yang dijadikan sang ilmuwan sebagai objek mencari nafkah dari tahun ke tahun hanya menjadi semacam lembaga kursus.

***

Perguruan tinggi jelas bukan lembaga kursus. Perguruan tinggi seperti kata Wilhelm von Humboldt harus menjadi tempat penelitian ilmiah dan kecendekiaan yang melibatkan insan-insan muda dalam penelitian untuk dididik melalui berbagai penelitian (Edward Shills dalam Etika Akademik, 1993:57). Bahkan, lebih dari itu perguruan tinggi juga bisa dijadikan sarana untuk melakukan pengabdian masyarakat. Untuk itu, sejak semula ilmuwan-ilmuwan yang telah mengecap pendidikan tinggi sampai S3 harus fokus pada bidang keilmuannya dan memahami benar tentang manfaat dari ilmu (aksiologi) yang digelutinya. Kalau saja tetap konsisten berpegang teguh pada aksiologi, jenis ilmuwan seperti ini tidak akan serakah. Di lembaga riset, ilmuwan jenis ini tidak akan mau melakukan kecurangan dengan memanipulasi data hasil penelitiannya. Begitu pun jika terjun di dunia pengajaran, ilmuwan jenis ini juga tidak mau disebut sebagai pengajar semua ilmu. Penulis berharap mudah-mudahan saja masih ada ilmuwan yang jauh dari perilaku buruk: serakah karena serakah sudah bisa dipastikan akan merugikan semua pihak.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat