Subagio S. Waluyo

“Manusia selalu butuh bantuan banyak orang dan sia-sialah mengharap bantuan itu datang dari kebaikan hati. Ia akan mendapatkannya dengan cinta diri mereka sendiri, dan menunjukkan mereka bahwa memberikan apa yang ia minta adalah demi keuntungan mereka sendiri dan menunjukkan mereka bahwa memberikan apa yang ia minta adalah demi keuntungan mereka sendiri”

(Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi/B. Herry Priyono, 2018:189)

Faktor ekonomi menjadi penyebab utama alasan terjadinya perceraian di Indonesia. Ada hampir setengah juta orang yang bercerai di Indonesia sepanjang tahun 2018. Data lengkapnya adalah 419.268 pasangan bercerai. Dari jumlah tersebut inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan, yaitu sebanyak 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang (https:// news. detik. Com /berita/d-4495627/hampir-setengah-juta-orang-bercerai-di-indo-nesia-sepanjang-2018). Dari sekian banyak kasus perceraian paling tidak sudah bisa dipastikan penyebab utamanya  adalah masalah ekonomi. Dalam hal ini patut diduga suami sebagai kepala keluarga sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Kenapa bisa seperti itu? Sang suami sudah tidak lagi bekerja alias menganggur karena korban PHK.

Menjadi pengangguran sebenarnya bukan akhir segala-galanya. Begitu juga ketika diketahui sang suami menganggur dan tidak berpenghasilan bercerai bukan jalan keluar terbaik. Masih banyak cara untuk menyelesaikan setiap masalah yang muncul. Sering kali pasangan suami istri, baik yang masih muda maupun yang sudah cukup lama berumah tangga, kalau menghadapi masalah ekonomi cepat panik. Dunia rasa-rasanya bagi mereka sudah mau kiamat. Hidup rasa-rasanya sudah akan berakhir. Padahal dunia belum lagi kiamat dan hidup belum berakhir. Kenapa harus panik? Sebagai orang yang beragama dan mengaku beriman tidak sepantasnya ketika berhadapan dengan masalah ekonomi jalan keluarnya bercerai karena belum tentu hal itu menyelesaikan masalah. Kalau alasannya sulit mencari pekerjaan sehingga berujung pada perceraian, coba banting stir ke dunia lain selain dunia kerja. Dunia ini bukankah masih luas? Bukankah negara kolam susu ini juga dikaruniai Tuhan `gemah ripah loh jinawi`? Tanah yang subur sampai-sampai tongkat kayu jadi tanaman. Setiap jengkal tanahnya kalau tidak bisa ditanami masih memungkinkan di dalamnya ada sumber kekayaan alam berupa barang-barang tambang dan gas alam (entah minyak, emas, batubara, geotermal). Lautnya yang luas (lebih luas dari daratan) menghasilkan ikan dan sejenisnya yang tidak akan ada habis-habisnya dikail. Belum lagi dari laut itu ada sumber-sumber kehidupan manusia di luar ikan dan sejenisnya. Sekarang tinggal masyarakat dan pemerintahnya mau tidak  mengelola kekayaan alam negara ini secara benar.

Di luar kekayaan alam Indonesia yang memang tidak akan habis-habisnya untuk dimanfaatkan, bukankah Tuhan memberikan kita akal? Bukankah dengan akal yang sempurna kita bisa melakukan apa saja? Kita harus memaksimalkan yang Tuhan berikan pada kita agar kita bisa melakukan berbagai terobosan. Ada contoh menarik ketika seorang mantan PNS yang pulang kampung dan membuka usaha di tempat tinggalnya. Laki-laki itu begitu dia melepaskan statusnya sebagai PNS berbekal pengetahuan yang ada dan disertai semangat untuk berkreativitas, dia mengolah barang bekas menjadi barang  yang punya nilai jual tinggi. Laki-laki itu, Arianto (45), warga Bawang, Banjarnegara, mampu membuat kursi `bakpao` yang bahan bakunya dari bekas ban ring 13. Satu set kursi `bakpao` (3 kursi dan 1 meja) harganya variatif. Harga satu set kursi berkisar Rp900.000,00 sampai dengan Rp2.000.000,00. Bukan hanya kursi `bakpao` yang dibuat Arianto, dia juga membuat sepeda motor, robot-robot, kuda, dan sebagainya yang semuanya dari ban bekas. Hasil karyanya juga tersebar di 80 desa wisata. Produk-produk yang disebar di 80 desa wisata itu disewakan pada pengunjung yang mau berfoto selfie. Hasil dari usahanya jauh lebih besar daripada ketika dia menjadi PNS di Dinas Peternakan Purwerejo. Bisa kita lihat produk-produk hasil kreativitasnya berikut ini.     

 Kursi Bakpao

Motor dari Ban Bekas

Kursi Selfie

(https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3928360/mundur-dari-pns-pria-banjarnegara-ini-pilih-olah-barang-bekas)

***

Di atas telah disampaikan bahwa masalah ekonomi jangan menjadi alasan utama sepasang suami-istri untuk melakukan perceraian. Kalau masalahnya ekonomi, bukankah bisa dipecahkan bersama? Di sini, sang istri juga harus bisa membantu. Kalau memang punya keterampilan, apa salahnya sang istri memanfaatkan keterampilannya? Yang penting bagi sang istri ada yang harus dilakukan untuk  menyelamatkan bahtera rumah tangganya. Juga sebuah tindakan yang kurang tepat, jika ada istri yang berkeinginan bekerja sebagai TKI di luar negeri. Bukankah dengan dia bekerja meninggalkan suaminya (mungkin juga anaknya) justru akan ada celah untuk terjadi penyimpangan. Kalau bukan suaminya yang selingkuh karena ditinggal lama istrinya, mungkin juga istrinya yang entah selingkuh atau jadi korban pelecehan seksual selama jauh di negeri orang. Kans untuk melakukan perceraian sangat-sangat mungkin bagi sang istri (yang tujuan semula untuk menyelamatkan ekonomi rumah tangganya) yang bekerja sebagai TKI di luar negeri.

Sang suami sebagai kepala rumah tangga setelah di-PHK jangan cepat putus asa. Harus selalu ada pikiran positif bahwa PHK ini lebih merupakan ujian dari Sang Khalik. PHK ini justru menjadi stimulus yang harus direspons agar ada motivasi untuk  melakukan upaya penyelamatan ekonomi keluarga dan sekaligus rumah tangganya. Di samping itu, upaya pendekatan diri pada Tuhan tidak boleh kendur. Tetap beribadah, berdo`a, dan bersedekah (walaupun kondisi ekonomi pas-pasan). Selain itu, kalau memang mau mengubah mindset, belajar menjadi pengusaha bukan menjadi pekerja. Arianto, warga Banjarnegara, adalah salah satu contoh terbaik yang nekad keluar dari PNS. Dia belajar menjadi pengusaha. Dia ubah mindset-nya dari pekerja yang hanya berharap dari gajinya sebagai PNS (yang terkadang juga belum tentu mencukupi untuk hidup sehari-hari) menjadi pengusaha barang-barang bekas. Ternyata, kerja kerasnya dan kreativitasnya membuahkan hasil. Begitu cara Tuhan mengatur rezeki hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, kita tidak boleh cepat berputus asa karena di balik semua yang kita hadapi dalam hidup ini ternyata rahasia Allah sulit untuk diungkapkan.

(https://images.app.goo.gl/7pyxomzEv5nzzuy79)

Keluarga yang sedang dilanda masalah ekonomi harus mau belajar berhemat. Kebiasaan buruk masyarakat kita pada saat kondisi ekonominya stabil ada kecenderungan boros. Di sini suami-istri (termasuk anak) harus belajar mengelola penggunaan uangnya. Dari penghasilan yang diperoleh sang suami (dan juga istri kalau memang berpenghasilan) harus diatur mana yang merupakan kebutuhan primer dan mana yang sekunder. Di luar itu, kebutuhan yang bersifat tersier, baru dikeluarkan kalau memang ada kelebihan setelah dipenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Usahakan sedini mungkin menghindari kebutuhan tersier (menunjukkan kemewahan) yang semata-mata ditujukan untuk menaikkan status, derajat sosial, dan gengsi. Kalau memang sebuah keluarga membutuhkan kendaraan bermotor (sepeda motor), sesuaikan dengan kemampuannya sehingga tidak perlu memaksakan diri motor yang tergolong cukup mahal. Apa salahnya kalau membeli motor bekas yang harganya terjangkau daripada harus mengutang sampai tiga tahun yang setiap bulannya harus berkurang penghasilannya karena dipotong gajinya untuk bayar cicilan motor?

Seringkali kita dapati di masyarakat orang cenderung menunjukkan status dirinya. Supaya dianggap berhasil hidup di kota besar, terpaksa dia harus memenuhi kebutuhan tersiernya. Bukan kebutuhan primer yang harus dipenuhinya. Untuk itu, sering kita dapati orang lebih cenderung memakai, misalnya, gadget yang dilihat dari harganya saja bisa satu-dua bulan gaji. Karena punya uang pas-pasan, terpaksa dia harus berhutang dengan cara membelinya secara cicilan. Kalau beli motor saja sudah cicilan, disusul dengan gadget yang juga cicilan, setiap bulan penghasilannya sudah pasti berkurang. Berapa besar anggaran yang harus disiapkan untuk kebutuhan pokoknya seperti sandang, pangan, dan papan? Selain itu, berapa besar anggaran yang disiapkan untuk biaya pendidikan? Masih untung kalau anak-anaknya di sekolah negeri yang menggratiskan biaya pendidikan. Tapi, juga perlu dipikirkan sejak dini biaya pendidikan ketika anak meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Artinya, ketika nanti anak masuk perguruan tinggi karena biarpun sang anak diterima di PTN, biaya pendidikan di PTN sekarang ini sudah cukup tinggi. Tidak mustahil banyak keluarga yang sejak dini boros ketika anak mau meneruskan ke perguruan tinggi terpaksa harus kandas pendidikannya. Masih untung kalau masih ada lembaga-lembaga sosial yang peduli dengan sesama anak bangsanya. Atau ada pemerintah daerah yang siap membantu membiayai warganya yang mau  meneruskan pendidikannya di PTN atau PTS.

Tidak banyak lembaga sosial atau pemerintah daerah di negara ini yang bersedia memberikan bantuan pendidikan pada sesama anak bangsa yang mau meneruskan pendidikan ke PTN atau PTS. Bisa dihitung dengan jari lembaga-lembaga sosial atau pemerintah daerah yang benar-benar peduli dengan sesama anak bangsa. Seandainya ada, mereka sudah pasti akan menyeleksinya secara ketat. Selain itu, dana mereka juga terbatas. Jadi, tidak sembarang membantu sesamanya. Daripada nanti merepotkan orang lain atau lembaga sosial atau pemerintah sekalipun, sebaiknya sejak dini masyarakat belajar berhemat. Sisihkan uang untuk biaya pendidikan anak-anaknya sehingga ketika anak-anaknya masuk ke PTN atau PTS tidak kasak-kusuk ke sana kemari cari bantuan. Hindari budaya konsumtif yang cenderung merugikan kita. Kebutuhan-kebutuhan tersier yang hanya sekedar menaikkan gengsi, status, dan derajat sosial bukan ciri orang modern yang sebenarnya. Orang modern dicirikan dengan orang yang hidup hemat. Bukan orang yang sok pamer kekayaan. Bukan orang yang demi gengsi, derajat sosial, atau status harus banyak berhutang sehingga anak-anaknya terlantar pendidikannya.

***

(https://images.app.goo.gl/3Qztqpis9QrvGxbV8)

Pendidikan anak-anak kita harus lebih diutamakan daripada sekedar mencari kesenangan duniawi dengan cara memenuhi kebutuhan tersier. Anak-anak kita itu aset kita, aset masyarakat, dan aset bangsa yang harus lebih baik (nasibnya, perilakunya) daripada kita. Untuk menyelamatkan aset kita, mau tidak mau kita harus berupaya menghindari gaya hidup hedonis yang menjadi ciri masyarakat modern. Modernisasi di masa globalisasi ini bisa kita jalani tapi bukan berarti kita harus terbawa arus globalisasi yang cenderung mengajarkan kita hidup konsumtif. Sekali lagi, kita bisa hidup di zaman modern ini tanpa dipengaruhi budaya konsumtif kalau bisa mengelola kebutuhan hidup kita. Dunia modern yang serba glamour, gemerlap, menyenangkan sesaat, yang membuat orang terbutakan oleh kegemerlapan dunia bisa kita hindari kalau kita banyak melakukan pendekatan pada Sang Khalik. Kalau jauh dari-Nya, tidak mustahil kita kepincut dengan kegemerlapan dunia. Kalau sudah seperti itu, kita akan dimakan oleh modernisasi dan globalisasi. Kita  akan menjadi hamba-hamba budaya konsumtif yang gaya hidupnya hedonis.  

Sumber Gambar:

(https://images.app.goo.gl/F6Km8DPMdxDg9DJa9)

    

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *