Subagio S.Waluyo

Penulis beranggapan kekritisan dan kepedulian tidak boleh dipisahkan. Artinya, orang yang kritis kalau tidak peduli tidak akan berbuat apa-apa. Pada akhirnya, orang seperti itu diberi gelar `omdo: `omong doang` atau dia hanya bisa berwacana. Lebih konkritnya, dia hanya bisa bicara tapi tidak berbuat apa-apa. Orang yang peduli tapi tidak kritis,dia cuma bisa melakukan sesuatu tapi tidak pernah memikirkan yang dilakukannya. Jadi, dia tidak tahu alasan melakukan aktivitasnya, tujuannya, dan mungkin juga manfaatnya. Untuk itu, kedua kata itu,baik kekritisan maupun kepedulian tidak bisa terpisahkan. Kekritisan tidak akan sempurna tanpa kepedulian. Begitupun sebaliknya, kepedulian tidak akan sempurna tanpa kekritisan.

***

 Sebagai tenaga pendidik di PT terus terang saja Penulis mendapati anak didiknya sebagai calon cendekia muda minim kekritisan dan kepedulian. Penulis mencoba mengaitkannya dengan keminiman ruang dialog yang boleh jadi para dosen sebagai ilmuwan lalai menghidupkannya. Ada kecenderungan di kalangan sebagian ilmuwan hanya menjadikan anak didik sebagai tempat dituangkannya ilmu sesuai dengan konsep pembelajaran CBSA seperti yang dikemukakan Penulis di “Dicari Ilmuwan Kreatif dan Inovatif”. Di sini sang calon cendekia muda hanya dicekoki ilmu tanpa ada kesempatan untuk bertanya, berdebat, atau berupaya mengkritisinya. Buat sang calon cendekia muda sudah tertutup semua itu karena dosennya yang sudah terlanjur mengecap dirinya sebagai ilmuwan sebatas mentransfer ilmu tanpa melihat timbal balik dari ilmu yang ditransfernya. Sang mahasiswa mau memahami atau tidak bukan urusannya. Hal ini bisa terjadi, baik sang dosen maupun sang mahasiswa tidak memahami dan mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajarinya.

Kekritisan dan kepedulian akan muncul pada diri mahasiswa manakala sang mahasiswa sudah bisa mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajarinya. Selama dia tidak bisa mengambil manfaatnya, selama itu juga sang mahasiswa tidak akan memiliki kekritisan. Perlu diketahui, seorang mahasiswa yang kritis menunjukkan bahwa selain memahami konsep objek yang dikritisinya,dia juga bisa mengambil manfaat ilmu yang dipelajarinya. Sebagai contoh, mahasiswa yang mempelajari Pendidikan Antikorupsi kalau memahami benar dampak yang akan terjadi akibat korupsi di sebuah negara, dia akan memprediksi tidak mustahil negara tersebut akan masuk ke dalam jurang kegagalan. Agar tidak terjadi hal seperti itu, sebagai mahasiswa dia akan berupaya menjadi aktivis gerakan antikorupsi. Bisa saja dia dan teman-temannya yang seide membuat kelompok mahasiswa antikorupsi di kampusnya. Kalau idenya tidak diapresiasi oleh pihak pimpinan PT, dia akan mencari LSM atau organisasi yang peduli dengan gerakan antikorupsi. Dengan demikian, jangan disalahkan mereka-mereka yang aktif di luar kampus karena kampus sebagai lembaga PT yang terhormat (karena di kampus tempat berkumpul `orang-orang intelek`) tidak siap menerima ide-ide mereka.

Ide-ide mereka yang berawal dari kekritisan dan kepedulian merupakan bukti bahwa ada generasi muda yang bisa mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajarinya. Ide-ide mereka bisa saja disalurkan lewat pembentukan forum-forum diskusi mahasiswa entah bisa dibentuk di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau di BEM. Ide-ide mereka yang cemerlang bisa saja disalurkan lewat kegiatan mimbar ilmiah yang diadakan di tingkat program studi (prodi) atau fakultas. Ide-ide mereka yang mungkin dianggap idealis perlu diapresiasi oleh pihak pimpinan PT dengan menyalurkannya ke UKM, BEM, atau bisa saja lewat kegiatan-kegiatan di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Ide-ide mereka harus diterima dengan tangan terbuka oleh para dosen yang mengaku sebagai ilmuwan yang mumpuni. Sikap tinggi hati atau masih adanya pandangan yang berpegang teguh pada who (siapa yang bicara) sudah saatnya disingkirkan. Ganti sikap itu dengan what (apa yang disampaikan). Kalau ide-ide mereka benar-benar diapresiasi, tidak mungkin mereka mencari aktivitas di luar kampus (meskipun sebenarnya dengan aktifnya mereka di LSM menjadikan mereka kaya pengalaman dan luas pergaulannya). Di sini pihak pimpinan PT dan seluruh ilmuwan harus memiliki kepedulian terhadap mereka.

Pimpinan PT dan para ilmuwannya yang mengapresiasi ide-ide para mahasiswanya dengan menyediakan waktu, tenaga, dan (kalau perlu) juga dananya akan membuat mahasiswa betah berlama-lama di kampus. Selama mereka di kampus waktunya diisi dengan aktivitas yang bermanfaat. Jadi, bukan hanya kuliah atau `nongkrong-nongkrong` yang tidak `karuan`, mereka akan benar-benar memanfaatkan sarana yang sudah disediakan pihak PT untuk melakukan aktivitas kemanusiaan dan kesosialan. Meskipun demikian, pihak pimpinan PT dan para ilmuwan juga harus melakukan pengawasan dan pengevaluasian. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

***

Mahasiswa sebagai calon cendekia muda adalah orang-orang muda yang dinamis. Karena kedinamisannya, sangat mungkin mereka belajar mencari pengalaman di luar kampus manakala kehidupan kampus menjenuhkan. Tidak mustahil mereka-mereka yang pernah aktif di luar kampus (seperti di LSM) suatu saat manakala telah meraih jenjang pendidikan tertingginya akan mencoba membuka aktivitas semacam LSM seperti yang dilakukan alumni Universitas Hasanudin (Unhas) yang mendirikan Sulawesi Community Foundation (https://www.unhas.ac.id/alumni-unhas-kembangkan-cara-berpi kir-dan-pertahankan-idealisme-melalui-lsm/?lang=id). Ini merupakan suatu bukti bahwa mereka-mereka adalah orang-orang yang memiliki kekritisan dan kepedulian. Bukankah kritisan juga merupakan bukti tanda kepedulian? Oleh karena itu, sejak dini tanamkan pada para mahasiswa dua hal ini: kekritisan dan kepedulian.

Sumber Gambar:

(https://lensamedianews.com/2021/10/23/mahasiswa-kritis-tanda-peduli)

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat