Subagio S. Waluyo

Ciri yang menandai kota yang makin gigantik adalah terus bermunculan ruang bangunan, dan ikon kota yang merepresentasikan kebutuhan dan kepentingan kekuatan pemilik modal dan kebutuhan kelas menengah ke atas. Ketika di sebuah kota dibangun mal megah, hotel mewah bintang lima plus, apartemen dengan harga miliaran rupiah, siapakah sesungguhnya yang bakal dan mampu menikmatinya?

(Mewariskan Kota Layak Huni oleh Nirwono Joga, 2017:46)

          Jakarta sebagai ibukota negara seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia (bahkan dunia) memang memiliki daya tarik tersendiri. Kota ini setiap saat mengundang orang untuk mengadu nasib. Walaupun banyak di antara mereka yang gagal hidup di kota Jakarta, tetap saja masih banyak orang yang nekad untuk belajar mengubah nasibnya. Berpindahnya orang-orang dari daerah atau desa ke kota yang dinamakan urbanisasi memang tidak bisa dibendung. Akibatnya, kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia semakin padat. Lahan-lahan kosong semakin langka. Rumah-rumah penduduk yang semula berhalaman luas kini disesaki dengan rumah-rumah kontrakan/petak. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab anak-anak `generasi milenial` lebih cenderung duduk manis di rumah seraya bermain gadget atau permainan jenis teknologi canggih lainnya.

          Berbicara tentang kota Jakarta yang menjadi sasaran utama para urban di Indonesia, seorang peneliti berkebangsaan Perancis, Bernard Dorlean, pada tahun 1976 ketika mengadakan penelitian tiga kampung di DKI Jakarta menyimpulkan Jakarta lebih menyerupai aglomerasi kampung daripada sebuah kota yang terstruktur. Karena itu, muncullah sebutan Jakarta sebagai `the big village`. Dengan kata lain, Jakarta sebagai ibukota lebih mencerminkan ciri suatu perkampungan dalam skala besar daripada sebuah kota yang memiliki formalitas yang tinggi, tertata, dan memiliki sistem terpadu (Ekspedisi Ciliwung/Tim Laporan Jurnalistik Kompas, 2009:181). Boleh jadi para pejabat tinggi baik DKI maupun negara ini pada waktu itu merasa terpukul dengan sebutan `the big village` itu sehingga dilakukan langkah besar untuk membenahi Jakarta. Tetapi, pembenahan Jakarta tampaknya tidak berbasis kearifan lokal atau boleh jadi mengabaikan pesan-pesan yang termuat dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang berbasis lingkungan sehingga tempat-tempat bermain untuk anak-anak diabaikan. Wajar-wajar saja kalau kota Jakarta diberi julukan `kota yang tidak ramah terhadap warganya (termasuk anak-anak)`. Bahkan, boleh juga Jakarta disebut sebagai `kota tanpa peradaban` (meminjam judul buku yang mirip sama Kota Tanpa Warga/Jo Santoso, 2006). Bukan hanya Jakarta, kota-kota besar baik di Jawa maupun di luar Jawa juga cenderung mengabaikan pembangunan taman-taman kota, ruang publik, atau ruang terbuka hijau (RTH) yang bisa dimanfaatkan untuk permainan anak-anak tradisional. Aturan tentang RTH sudah ada, tapi yang jadi masalah bagaimana implementasi aturannya?

          Ada dua hal yang setiap kali orang bicara tentang kota adalah masalah-masalah di seputar polusi dan minimnya RTH. Orang-orang di kota-kota besar hanya berangan-angan saja tentang kotanya yang bersih dari polusi dan RTH yang memadai sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan pemerintah lewat Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kenapa itu bisa terjadi? Dari 174 kota yang ada di negara ini hanya sekitar 6% atau 12 kota yang RTH-nya di atas 30%. Selebihnya, hitung sendiri berapa kota yang benar-benar mentaati UU di atas? Pemerintah kota memiliki tata ruang yang berantakan. Mereka lebih mementingkan syahwat politiknya yang cenderung menguntungkan pribadinya. Tidak aneh kalau banyak pejabat publik di daerah lebih mementingkan pembangunan mal atau pusat-pusat perindustrian atau perdagangan daripada memikirkan nasib anak-anak warga kotanya. Mereka tidak pernah memikirkan akibatnya kalau ketidakadaan atau kekurangtersediaannya RTH di kotanya. Hampir sebagian besar kota di Indonesia ketentuan tentang RTH masih terpinggirkan sebagaimana yang terdapat pada kutipan berita berikut ini.

Bisnis.com, JAKARTA — Berpolusi dan minim ruang terbuka. Dua kata itu mungkin tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi sejumlah kota besar di Indonesia.

Masyarakat di kota-kota besar Indonesia masih harus menjadikan keinginannya hidup di lingkungan yang asri dan minim polusi sebagai angan. Pasalnya, pembangunan di mayoritas kota saat ini tidak memperhatikan kondisi lingkungan.

Hal itu tercermin dari data yang dimiliki Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sampai saat ini, baru 13 dari 174 kota di Indonesia yang mengikuti Program Kota Hijau dan memiliki porsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30 persen atau lebih.

Padahal, ketentuan agar kota memiliki 30 persen RTH sudah diatur sejak 2007 melalui Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Beleid itu mengatur proporsi RTH pada setiap kota, yakni paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.

UU Penataan Ruang juga menyebut harus ada minimal 20 persen RTH publik dari luas wilayah kota yang tersedia di masing-masing daerah. Aturan itu membagi RTH ke dalam dua jenis yakni ruang terbuka publik dan privat.

“Dari 174 kota yang ikut program ini, yang [cakupan RTH] lebih dari 30 persen itu cuma 12 kota. Kita jumlah kota berapa sih di Indonesia? Kan banyak. Itu kan enggak sampai 10 persen yang memenuhi [RTH 30 persen]. Hanya 6 persen saja itu yang memenuhi,” kata Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Danis Hidayat Sumadilaga kepada Bisnis, Selasa (23/4/2019).

Dia mengaku belum memiliki data kota-kota mana saja yang sudah mematuhi aturan tersebut. Tetapi, Danis mengakui masih minimnya jumlah kota yang memiliki ruang terbuka layak. Berdasarkan penelusuran Bisnis, saat ini, luas RTH di DKI Jakarta saja masih berada di angka 9,8 persen. Namun, ada versi lain yang menyebut RTH di ibu kota sudah mencapai 14,9 persen dari luar wilayah.

Perbedaan data itu diakui oleh Kepala Seksi Perencanaan Pertamanan Dinas Kehutanan DKI Jakarta Hendrianto. Dikutip dari Tempo, dia menyebut angka 14,9 persen luas RTH didapat dari studi akademis peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan DKI Jakarta.

Kemudian, RTH di Kota Bandung, berdasarkan data di laman Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan baru mencapai 12,15 persen hingga 2015. RTH di kota besar lain yakni Surabaya juga masih berada di kisaran 20 persen.

Mengapa RTH Minim?

 Menurut Danis, minimnya luas RTH di kota-kota besar bisa disebabkan tiga hal. Pertama, minimnya lahan yang dimiliki pemerintah setempat untuk dikembangkan menjadi RTH. Kedua, pemerintah tak memiliki dana untuk menambah ruang terbuka.

Penyebab ketiga, dia menduga pembelian lahan untuk diubah menjadi ruang terbuka tak gampang, entah karena alasan harga atau lokasi yang tidak strategis. Karena itu, banyak Pemerintah Kota (Pemkot) yang hingga kini kesulitan menaikkan porsi RTH di wilayah kekuasaannya.

“Itu yang jadi masalah saat ini. Jadi supply dan demand, ya kurang suplainya, demand-nya tinggi. Makanya misalnya pembangunan hunian kalau kita di perkotaan harus seminimal mungkin menggunakan tanah. Apa jawabannya? Hunian vertikal, jangan rumah tapak,” tutur Danis.

Semrawutnya penggunaan lahan di kota-kota besar selama ini terjadi lantaran belum tersedianya peraturan daerah tentang zonasi di semua daerah. Padahal, UU Penataan Ruang telah mengatur agar pemerintah daerah memiliki aturan soal zonasi untuk pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah masing-masing.

Kementerian PUPR mendorong agar semua Pemkot punya gagasan mengembangkan kawasan perkotaan yang ramah lingkungan. Karena itu, upaya Pemkot menambah RTH dengan membeli lahan serta memelihara lahan terbuka yang sudah ada harus terus dilakukan.

“Kita bisa, misalnya, RTH kita lakukan jangan hanya lihat Jakarta. Tapi lihat kota-kota di Kalimantan, di tepi-tepi sungai kita bikin RTH,” terangnya.

Danis menyampaikan langkah mudah yang bisa dilakukan untuk menambah RTH sebenarnya dengan memanfaatkan lahan di tepi sungai untuk ditanami tanaman alih-alih sekadar membangun jalan inspeksi. Salah satu contoh penataan tepi sungai yang berhasil adalah proyek revitalisasi Banjir Kanal Timur (BKT) di DKI Jakarta.

 Pentingnya RTH

 Sedikitnya kota yang memenuhi luas RTH minimal 30 persen bisa juga disebabkan karena tidak adanya sanksi, baik pidana maupun sosial, atas peraturan itu.

UU Penataan Ruang tidak mengatur sanksi yang bisa diberikan seandainya pemerintah daerah gagal memenuhi RTH minim 30 persen dari luas wilayahnya. Selain itu, masyarakat di perkotaan juga tak banyak yang sadar akan pentingnya ruang terbuka.

Ahli arsitektur dan perkotaan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Profesor Johan Silas mengatakan ruang terbuka memegang peran penting untuk menjaga kesehatan dan penyediaan udara yang baik bagi warga yang tinggal di kota.

Menurutnya, jika masyarakat sadar akan pentingnya RTH maka sanksi sosial harusnya bisa mereka berikan kepada pejabat pemerintah daerah yang gagal menyediakan ruang terbuka. Sanksi itu misalnya, berupa tindakan tak memilih pejabat yang gagal menambah ruang terbuka pada Pemilu.

“Itu masyarakat bisa menekan, jadi kuncinya kesadaran masyarakat. Karena kalau mutu udara jelek juga kan yang dirugikan masyarakat,” ucap Johan kepada Bisnis, Kamis (25/4).

Dia mengemukakan standar RTH minimal 30 persen dari luas suatu wilayah bukan dibuat tanpa konsep. Angka itu muncul berdasarkan perhitungan rigid agar masyarakat dapat tetap menikmati kualitas udara yang baik meski tinggal di kawasan perkotaan.

Menurut Johan, banyak kota besar di Indonesia gagal memenuhi kuota 30 persen RTH karena tata ruang yang berantakan. Pemerintah di tiap kota juga dianggap kurang berani memperjuangkan pemenuhan 30 persen RTH.

“Jadi mereka lebih mementingkan membangun daripada menyediakan tempat-tempat hijau. Kebanyakan alun-alun diubah mal, taman diubah ruko. Keberanian Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk bertindak saya kira penting,” imbuhnya.

Tingginya biaya untuk memperluas RTH pun mestinya tak menjadi halangan. Apalagi, pemerintah pusat sebenarnya bisa membantu pengadaan ruang terbuka dengan cara memberi insentif.

“Pemerintah pusat bisa beri intensif membantu dalam rangka penyediaan itu [ruang terbuka]. Sebetulnya tak ada alasan kok. Saya melihat bisa saja harusnya walau harga tanah mahal,” tegas Johan.

(https://kabar24.bisnis.com/read/20190507/79/919413/ruang-terbuka-hijau-yang-masih-terpinggirkan-di-indonesia)

          Mungkin hanya sebuah mimpi kalau di tengah-tengah kota diisi dengan keriangan anak-anak yang bermain egrang seperti terlihat pada foto di bawah ini.

(https://images.app.goo.gl/GxhwHyUyiQFNHN9K7)

Pemandangan taman kota yang diisi dengan anak-anak yang melakukan permainan tradisional seperti `egrang` sudah demikian langka. Tidak semua kota di Indonesia memfasilitasi warganya untuk melakukan aktivitas seperti yang terdapat dalam foto tersebut. Seandainya, ada luas lahannya terbatas. Tidak sesuai dengan aturan yang ada, yaitu seluas tiga puluh persen dari luas kota. Meskipun demikian, setiap kepala daerah selaku penguasa di daerahnya harus punya keberanian mewujudkan kotanya menjadi kota yang bersih, bebas dari polusi karena ketersediaan RTH. Tetapi, kalau masih ada pikiran mengikuti syahwat kekuasaan dengan mengalahkan rasa empati pada anak-anak generasi mileneal, jangan diharap generasi ini akan seperti generasi terdahulu yang tangkas bermain egrang, yang kreatif menciptakan berbagai permainan tradisional, dan mengutamakan kebersamaan dalam melakukan segala macam permainan. Kota-kota di negara ini hanya akan diisi generasi mileneal yang cenderung egois dan individualis.

          Kota-kota di negara ini sudah menjadi kota khusus untuk anak-anak `generasi milenial` yang dicirikan seperti yang telah diuraikan di atas. Kota-kota di negara ini telah tergerus oleh arus globalisasi. Banyak pemerintah kota di negara ini yang sangat minim menyediakan taman-taman khusus bermain anak-anak. Akibatnya, anak-anak kabur ke tempat-tempat play station atau game online yang cenderung menjadikan anak ke depannya sosiopat karena boleh jadi jenis-jenis permainan tersebut mempengaruhi perilaku anak yang menjurus pada perilaku antisosial. Jalan-jalan lingkungan di tempat-tempat tinggal penduduk kota dimanfaatkan anak-anak untuk bermain. Tetapi, kondisi tempat seperti itu jelas tidak aman karena tempat lalu lalang kendaraan bermotor. Agar mereka tidak melakukan aktivitas di luar rumah, para orang tua mengambil jalan pintas, yaitu melarang anaknya bermain. Sebagai gantinya berikan mainan buatan pabrik atau gadget, ipad, atau notebook karena yang penting anak sambil bermain bisa duduk manis walaupun berjam-jam anak-anak malang ini harus memelototi layar monitor.

          Kota yang sehat adalah kota yang memiliki daya dukung yang sehat bagi warganya. Untuk itu, kota yang sehat memiliki indikator standar kenyamanan. Selain itu, juga memiliki manajemen perkotaan yang mampu menjaga keutuhan kawasan per kawasan. Artinya, kota yang nyaman harus memiliki keberpihakan pada kelestarian lingkungan dengan menyediakan sekurang-kurangnya yang disebutkan di atas, yaitu tiga puluh persen luas lahan kotanya untuk RTH. Sebagai tambahan, kota yang nyaman harus memiliki institusi khusus yang dapat memobilisasi sumber-sumber pembangunan pemukiman dan perkotaan yang berkelanjutan dan sampai batas tertentu harus terlepas dari mekanisme pasar (Mengendalikan Masa Depan/Afthonul Afif, 2015:69). Apakah mungkin pembangunan perkotaan di Indonesia bisa terlepas dari mekanisme pasar kalau masih saja pemerintah ini sangat tergantung pada bantuan luar yang dalam hal ini lembaga-lembaga internasional?

          Menjawab pertanyaan di atas tampaknya bagi negara ini sulit untuk berlepas diri dari cengkeraman lembaga-lembaga internasional yang sudah terlanjur banyak mengucurkan dana pinjamannya ke negara ini. Jangankan lembaga-lembaga internasional, penguasa-penguasa di daerah pun juga sulit melepaskan diri dari cengkeraman pengusaha-pengusaha yang telah begitu banyak mengeluarkan dana agar penguasa yang dijadikan sapi perahnya layak menjadi penguasa daerahnya. Penguasa-penguasa yang telah terkooptasi oleh para pengusaha tidak mungkin lepas dari jeratnya. Mereka akan banyak diatur oleh para pengusaha termasuk mengatur masalah tata ruang kota atau daerahnya. Kalau sudah banyak diatur, jangan heran kota-kota kita hanya menjadi kota-kota yang tampaknya megah, gagah, tapi sebenarnya keropos. Kota-kota itu telah menjadi kota gigantis. Nasibnya lebih kurang sama dengan nasib bangsa ini ketika di masa orde baru kelihatan banyak berhasil dalam melaksanakan pembangunan, tetapi begitu terjadi Krisis Moneter 1997-1998 ternyata negara ini menyisakan utang luar negeri demikian besar. Kota-kota dan daerah-daerah yang penguasanya dikooptasi pengusaha siap-siap saja dia akan menyerah di bawah kendali sang pengusaha. Kalau sudah seperti itu jangan berharap bisa mewujudkan taman kota seperti yang tampak di bawah ini sebuah taman kota yang penuh kehijauan, indah, dan asri dengan langit biru.

(https://images.app.goo.gl/vGBdG6ZM62Qot7kX7 )

   Tanpa kita sadari, kota-kota kita telah menjadi kota-kota gigantisme. Kota-kota yang tampak gagah tapi keropos. Salah satu contoh kota di dunia yang nyaris mengalami kebangkrutan adalah Kota Detroit, Amerika Serikat. Kota ini konon kabarnya sudah seperti kota mati dengan dicirikan oleh tingkat kriminalitas yang tinggi, terlilit utang yang  menumpuk, penegakan hukum yang bermasalah, rusaknya pemukiman, dan sampah yang menumpuk. Kota-kota di Indonesia juga berpotensi mengarah ke sana. Direktur Eksekutif Komite Pelaksana Pemantau Otonomi Daerah (KPPOD) menengarai ada sekitar 291 wilayah baik kota maupun kabupaten di Indonesia yang nyaris mengalami kebangkrutan karena pemerintah daerah (pemda) cenderung boros atau tidak bisa mengelola keuangannya. APBD sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai. Minim sekali dari APBD yang digelontorkan ke kota dan kabupaten digunakan untuk pembangunan. Hal ini bisa terjadi karena pemda kurang inovatif atau tidak memiliki jiwa wirausaha. Selain itu, pemerintah pusat, dalam hal ini mendagri, kurang melakukan pengawasan. Mustahil untuk kota atau kabapaten yang belum bisa melakukan terobosan seperti yang dilakukan Walikota Sawahlunto bisa mewujudkan kota yang nyaman dan aman untuk warganya. Di bawah ini bisa dilihat contoh  sisi kebangkrutan Kota Detroit (AS) dan pemberitaan di seputar kota dan kabupaten yang nyaris bangkrut di Indonesia.

Merdeka.com – Detroit, Amerika Serikat menjadi kota yang nyaris mati setelah bangkrut. Kota ini kini sepi dengan rumah-rumah tidak berpenghuni serta tingkat kriminalitas tinggi.

Detroit terlilit utang menumpuk. Penegakan hukum juga bermasalah. Banyak permukiman penduduk mengalami kerusakan, sampah bertebaran, kriminalitas berada di titik-titik kota yang miskin.

Situasi di Detroit tentu diharapkan tidak terjadi di Indonesia. Bukan tidak mungkin, kota-kota di Indonesia mengalami kebangkrutan seperti Detroit.

“Di Indonesia tentu sangat berpotensi seperti Detroit, apabila pemerintah daerah tidak dapat mengelola keuangan daerahnya secara akuntabel dan efisien, sehingga tidak dapat memberikan pelayanan publik yang baik,” ujar Direktur Eksekutif Komite Pelaksana Pemantau Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jeweng kepada merdeka.com, Selasa (30/7).

Potensi bangkrut muncul jika APBD sebagian besar dipergunakan untuk belanja pegawai, bukan pembangunan daerah. Berdasarkan kajian Fitra, ada sekitar 291 wilayah kota maupun kabupaten yang sebagian besar APBD digunakan untuk belanja aparatur, 11 di antaranya anggaran untuk belanja aparatur sebanyak 70 persen lebih dari APBD.

11 daerah salah satu contohnya Kudus di Jawa Tengah dan Lamongan di Jawa Timur. Kedua daerah tersebut membelanjakan APBD untuk biaya aparatur daerah.

Menurut Robert, kepala daerah harus dapat mengatur APBD secara akuntabel dengan memprioritaskan instrumen fiskal untuk pembangunan ekonomi dan pelayanan publik. Kemudian, kepala daerah diperlukan memiliki jiwa kewirausahaan, sehingga tidak terpatok untuk mengeksploitasi APBD dalam menjalankan pembangunan daerah.

“Contoh saja seperti di Kota Sawah Lunto itu mantan wali kotanya Arman sekarang sudah tidak menjabat telah melakukan inovasi dengan mengubah lubang-lubang bekas galian tambang menjadi objek wisata. Ini tentu, dia dapat melihat potensi di daerah yang dipimpin, tentu saja akan menciptakan pajak dan retribusi baru kan,” ungkapnya.

Menurutnya, efisiensi anggaran harus dibarengi dengan reformasi birokrasi. Maksudnya, jangan melakukan perekrutan pegawai baru apabila dibuat untuk pemborosan anggaran.

“Efisiensi anggaran harus dibarengi untuk reformasi birokrasi, jangan asal rekrutmen pegawai baru terus tapi boros pada akhirnya kan,” ungkapnya.

Selain itu, dia mengungkapkan peran masyarakat di setiap daerah diperlukan untuk mengawasi APBD. Begitu pula pemerintah pusat dalam hal ini Mendagri tidak harus cuci tangan dalam melakukan pengawasan otonomi daerah.

“Selama ini mendagri tidak berperan efektif dan substansial mengawasi daerah, ya walaupun sudah ada kebijakan otonomi daerah tetapi peran pengawasan pemerintah pusat tetap dibutuhkan,” jelasnya. [tts]

(https://www.merdeka.com/peristiwa/kota-kota-di-indonesia-berpoten-si-bangkrut-seperti-detroit.html)

        Bagaimana caranya agar terselamatkan dari kebangkrutan sehingga kota-kota kita tidak mengalami gigantisme? Untuk menyelamatkannya tidak ada cara lain bagi para penguasa, yaitu berusaha melepaskan diri dari belenggu pengusaha. Untuk itu, dalam menghadapi pilkada-pilkada yang akan datang para calon penguasa harus di-back up penuh oleh partainya. Tentu saja, partai-partai yang berkuasa di daerahnya jangan coba-coba mendekati pengusaha. Mereka harus berusaha anggaran yang digunakan untuk pilkada diperoleh dari dana yang diambil dari para kadernya atau dari usaha-usaha partai sepanjang tidak melanggar aturan. Boleh-boleh saja kalau ada calon perorangan maju untuk ikut pilkada. Dia misalnya seorang pengusaha. Tapi, dia juga harus ingat bahwa menjadi kepala daerah bukan kesempatan untuk memperkaya diri. Sikap `aji mumpung` harus disingkirkan. Dia harus punya niat bahwa menjadi kepala daerah merupakan tugas mulia yang balasannya hanya Allah yang menentukan. Kalau itu menjadi landasannya, tidak mustahil kota-kota yang bebas dari polusi dengan langit yang biru bukan hanya angan-angan. Tapi, kalau penguasa daerah masih `mbalelo` tidak mustahil akan terjadi potret kesenjangan seperti tampak pada foto di bawah ini pemukiman kumuh yang dikelilingi gedung-gedung megah. Cermin kota yang paradoks karena masih ada warganya hidup di bawah garis kemiskinan alias jauh dari kesejahteraan.

(https://images.app.goo.gl/wacGV3kwFaKtCf719)

Mudah-mudahan saja tidak ada calon kepala daerah yang berpikiran seperti itu. Wallahu a`lam bissawab.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat