Subagio S. Waluyo
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
sebelum mereka mau mengubah dirinya sendiri.
(Ar-Ra`ad: 11)
Ayat Qur`an di atas kalau kita renungkan sebenarnya bisa memotivasi kita untuk melakukan perubahan. Di ayat tersebut jelas sekali Sang Khaliq sudah berkomitmen pada setiap hamba Allah (apakah dia orang yang beriman atau tidak beriman) agar punya semangat atau keinginan yang kuat untuk melakukan perubahan. Melakukan perubahan dalam banyak hal termasuk perubahan paradigma kita. Kalau paradigma diartikan sebagai cara kita memandang alam sekitar, kita bisa mengartikan memandang dalam arti, melihat dengan mata, memahami, kemudian menafsirkannya. Pada saat kita dituntut untuk memunculkan suatu perubahan penting dalam hidup kita, yang harus kita lakukan pertama kali adalah meneliti kembali paradigma kita. Setelah itu kita mantapkan, kita perbaharui, boleh juga kita melakukan perubahan. Kalau paradigma yang kita gunakan salah, maka kita pun akan salah memandang sesuatu sehingga efeknya adalah salah dalam berprilaku dan berinteraksi dengan sesuatu itu (https:// www. Kompasiana. com/ibnuabidin/54ff5b47a33311b14b50fd45/paradigma-berpikir). Adalah Kadis, tokoh utama dalam cerpen “Kadis” (Mohammad Diponegoro) yang salah memandang sesuatu sehingga juga salah dalam berperilaku dan berinteraksi dengan sesuatu. Kadis telah salah memandang bunyi ayat tentang orang beriman dan beramal saleh akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya (At-Tiin:6). Karena salah memandang, akibatnya dia beranggapan kalau dalam satu minggu hari-harinya diisi pengajian, maka dia telah beramal saleh dan dia akan mendapat pahala yang tidak akan ada putus-putusnya. Dalam konteks ini, Kadis telah salah paradigmanya.
“Ya, berapa saja pengajian di kota yang ia kunjungi? Kadis menyoali pikirannya sendiri. Kyai Dofir setiap hari Sabtu, Kyai Humam hari Jum`at, Kyai Sobron hari Rabu, Kyai Hamim, Kyai Toha. Bukankah ini amal saleh? Tuhan sudah berjanji dalam Kitab Suci, bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan mendapat pahala yang terus menerus. Falahum ajrun ghairu mamnun.
Memang betul, kalau menuntut ilmu itu hukumnya wajib apalagi ilmu agama. Juga tidak ada yang salah kalau ikut berbagai pengajian, orang tersebut telah melakukan amal soleh dan ada balasan pahala yang tidak ada putus-putusnya. Tetapi, dengan mengaitkan ikut pengajian semakin bertambah rezeki (harta atau uangnya) masalahnya jadi lain.
Ketawa Kadis terdengan meningkahi derit roda sepedanya yang berputar di bawah pantatnya. Bukan saja ia tertawa terkenang pada ajaibnya Tuhan menepatkan waktu ketika memberi rejeki, tapi juga karena rasa-rasanya Kadis mngetahui rahasia keajaiban itu. Tuhan selama ini selalu memberi pertolongan kepadanya tepat pada detik yang terakhir, yakni saat Kadis sudah memuncak kebutuhannya tanpa melihat kelipnya terang. Ini tidak lain, dan inilah rahasia, karena Kadis selalu rajin mengikuti pengajian-pengajian.
Sama halnya dengan ikut pengajian, anggapan bahwa dengan silaturahim akan memperpanjang umur dan meluaskan rezekinya memang betul ada dalam hadits shohih Bukhari Muslim. Dalam hal ini Kadis tidak salah kalau membiasakan diri untuk silaturahim.
Kadis mengusap keringat yang berceceran di dahi dan pipinya, dan ketika ia mengibaskan tangannya, muncullah rahasia lain dari kepalanya. Yaitu bahwa Kadis tidak pernah lupa untuk bersilaturakhmi pada kenalan-kenalannya setiap kali ia pergi ke kota. Silaturakhmi ialah salah satu kunci rejeki, itu pelajaran dari Kyai Dofir. Dan Kadis sudah terlalu sering membuktikan kebenaran rahasia itu.
Yang jadi masalah jika dia salah dalam memandang dan memaknai kata silaturahim. Memang, dengan silaturahim akan memperpanjang umur dan itu dianjurkan Rasulullah SAW. Tetapi, kalau di balik silaturahim itu ada unsur meminta-minta, baik bab maupun pasalnya sudah berbeda.
Kopyak yang dipakainya sekarang ialah pemberian Haji Abdur Rasyid ketika ia berkunjung ke rumah bekas juragannya itu. Jas tutupnya itu dari Kadiran, seorang penjual kelontong. Celana panjangnya dari Sarpan pegawai kereta api yang dulu pernah jadi tetangganya. Dan sepatu tenis itu dari Ujang, seorang guru SD yang waktu kecilnya dulu pernah diasuhnya.
Karena silaturahim, seluruh yang melekat di tubuh Kadis dimulai dari kopiah, jas, celana panjang, sampai sepatu tenis adalah hasil meminta-minta yang dibungkus dengan baju silaturahim. Puncak kegilaannya terjadi ketika Kadis menyampaikan niatnya untuk silaturahim ke adiknya dan kenalan-kenalannya di Jakarta. Tentu saja istrinya, Dalijah, tidak setuju dengan niatnya itu karena kondisi ekonomi keluarganya yang morat-marit.
“Kau ini bagaimana, Kang?” kata Dalijah. “Yang pikir hanya silaturakhmi dan silaturakhmi. Malah sekarang mau silaturakhmi ke Jakarta lagi. Apa kau tidak pernah pikir bagaimana kerja keras cari duit? Anakmu sudah empat, Kang, sudah besar-besar.”
Kadis, tidak berkutik kalau istrinya sudah bicara tentang pekerjaan. Kadis sudah buntu pikirannya. Usahanya yang pernah dilakoni sudah lama dia tinggalkan karena sudah tidak menghasilkan. Dia beranggapan sudah tidak punya keahlian apa-apa. Buat dia rasa-rasanya sudah sangat sulit untuk melakukan pekerjaan.
Kalau istrinya sudah berbicara soal kerja cari duit, Kadis biasanya hanya diam saja. Luar dalam ia hampir tidak bisa beringsut, karena itulah titik yang paling peka dari hatinya. Pikiran Kadis memang sudah buntu juga memikirkan bagaiama ia bisa bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Betapa tidak? Ia selalu berdalih dengan dirinya sendiri, ia tidak punya keahlian apa-apa, kecuali membuat pelana dan pakaian kuda. Tapi sejak delman mulai berkurang, karena terdesak oleh lalulintas bis atau oplet atau bemo, dagangannya ikut merosot dn akhirnya kehilangan pasaran. Sudah lama Kadis gulung lampit. Sekarang ini harus bekerja apa? Menarik becak atau jadi kuli?
Namun, Kadis bukan tipe orang yang pantang menyerah kalau sudah punya niat. Dia nekad untuk melaksanakan niatnya dengan cara apapun (apalagi kalau bukan meminta-minta dengan baju silaturahim). Bukan Kadis kalau tidak nekad dan tidak ndableg. Akhirnya, satu per satu teman-temannya disilaturahimi sambil dengan berbagai cara meminta-minta uang sangu untuk berangkat ke Jakarta. Sepulang dari silaturahim, Kadis yang membawa uang cukup banyak menyerahkan sebagian uangnya ke Dalijah, istrinya.
Ketika sore harinya menghela sepedanya pulang di sakunya Kadis sudah mengantongi tidak kurang dari sebelas ribu rupiah.
“Nih, Ijah,” katanya pada istrinya.”Kau kutinggali enam ribu. Aku besok jadi berangkat ke Jakarta.”
“Ini uang dari mana?” Dalijah bertanya dengan tangan menggigil, seolah-olah uang di tangannya itu terbuat dari timbal.
Kadis sepulang dari Jakarta memang bawa uang cukup banyak. Dia disambut dengan kegembiraan oleh keempat anaknya. Tapi, tidak demikian dengan istrinya. Istrinya adem-ayem saja. Bahkan, ada kecurigaan ketika Kadis datang. Walaupun dia berusaha menunjukkan pada isterinya kalau dompetnya penuh uang, sang istri menolak menerima uang itu. Kadis tersinggung melihat sikap Dalijah, istrinya. Kebuntuan itu terjawab setelah Dalijah menyampaikan bahwa dia sudah ketemu Kyai Dofir, guru suaminya. Dalijah lagi-lagi tidak mau berterus terang tentang yang dibicarakannya dengan guru suaminya, Kyai Dofir. Kadis yang menyerah dengan sikap istrinya itu, pada akhirnya memutuskan untuk ketemu Kyai Dofir besok pagi.
Itulah ketika Kadis tiba di rumah dari Jakarta disambut oleh keempat anaknya dengan girang tapi oleh istrinya dengan kecurigaan. Kadis merasakan kecurigaan itu, lalu cepat-cepat mengeluarkan dompet dari saku jaketnya, membukanya di depan Dalijah dan tampaklah kantong dompet itu meringis dengan uang-uang kertas.
“Namun anehnya Dalijah menolak menerima uang itu. Dompet itu tidak dibongkar isinya, hanya disentuh sedikit kulitnya, tapi yang justru keras tersinggung ialah Kadis. Apakah Ijah mengira uang itu hasil curian atau penipuan? Tanyanya.
“Demi Allah, Ijah ini uang halal.”
Dalijah diam seperti patung kayu yang patah tengkuknya, ketika Kadis terus menohok-nohoknya dengan pertanyaan kenapa uang sekian banyak ditolak. Akhirnya, Dalijah tanpa mengangkat kepala menyahut dengan lirih tapi jelas. “Pokoknya aku sudah ketemu Kyai Dofir. Itulah sebabnya.”
“Kyai Dofir?”
Istri Kadis tidak mau juga mengaku apa yang dikatakan Kyai Dofir kepadanya, atau apa yang dilaporkannya pada Kyai itu. Ia kembali menjadi patung kayu yang patah tengkuknya, terus diam menunduk. Karena itu pada malam harinya Kadis tidur sendirian di balai-balai dan baru benar tidur terlelap ketika ia memutuskan untuk menemui sendiri Kyai Dofir keesokan harinya.
Kadis terkejut ketika bertemu dengan gurunya, Kyai Dofir, karena sang guru tampaknya berpihak pada sikap istrinya. Dia diancam Kyai Dofir untuk tidak boleh lagi ikut pengajiannya. Sang Kyai memandang bahwa pelajaran-pelajarannya yang selama ini diberikan tidak diamalkan oleh muridnya, Kadis. Selain itu, sang guru juga mengingatkan bahwa tangan yang di atas jauh lebih baik daripada tangan yang di bawah. Lebih baik memperoleh sedikit rezeki dari hasil kerja keras darpada meminta-minta dengan dalih silaturahim. Meskipun berupaya mengelak, mau tidak mau Kadis harus menerima putusan sang guru.
“Mulai sekarang, Kadis,” Kyai Dofir berkata dengan tenang kepada Kadis yang menunduk di depannya. “Kau aku larang untuk mengaji di sini. Juga kau kularang ngaji di tempat Kyai Humam atau Kyai Sobron.”
“ Tapi apa salah saya, Kyai?” Kadis terlanjur mengajukan pertanyaan itu dan seketika merasa menyesal, karena selama hidupnya ia tidak pernah membantah gurunya.
“Karena kau tidak belajar apa-apa dari pengajian itu!” perkataan Kyai Dofir kedengaran melangking di telinga Kadis. “Kau pergi mengaji hanya untuk alasan, untuk dalih yang dicari-cari, suapaya kau tidak usah bekerja untuk memberi nafkah pada anak istrimu.”
“Tapi, Kyai, selama ini saya selalu memberi nafkah ………”
“Ya, memang kau memberi nafkah,” suara Kyai Dofir memotong dengan cekatan dan keras,”tapi nafkah itu kan kau dapat dari hasil meminta-minta pada orang lain. Betul tidak, Kadis?”
Kadis mengangguk.
“Nah, aku tidak pernah mengajarkan begitu kepadamu,” Kyai Dofir terdengar lagi. “Kau tahu, Kadis, nafkah yang kau dapat dari keringatmu sendiri, meskipun hanya kecil, lebih besar nilai dan pahalanya dari hasil meminta-minta. Mengerti?”
Ucapan sang guru, Kyai Dofir, yang tidak bertele-tele tapi penuh ketegasan terbukti ampuh. Ternyata Kadis mau mengubah perilakunya. Kadis yang semula sempit pemikirannya, mulai meniti pekerjaan baru, yaitu sebagai tukang potong hewan di pasar hewan dekat tempat tinggalnya. Kadis sesuai anjuran gurunya hanya datang ke pengajian sebulan sekali atau dua kali karena dia telah disibukkan dengan pekerjaan barunya itu. Perubahan sikap Kadis jelas harus diapresiasi. Bukankah Kadis juga tergolong orang yang sabar menghadapi istrinya yang tidak mau menerima uang pemberiannya? Kalau saja Kadis tidak sabar, mungkin akan terjadi keretakan rumah tangga.
Sejak peristiwa itu Kadis hanya sekali atau dua kali iap bulan pergi ke kota untuk mengaji, karena sekarang ia sangat sibuk dengan pekerjaannya yang baru. Ia menjadi tukang menyembelih ternak di pembantaian di dekat desanya.
Dengan melakoni pekerjaan yang sekarang sebagai tukang potong hewan (tukang jagal) Kadis telah berubah total. Dari seorang yang cenderung malas menjadi rajin bekerja. Dari yang semula meminta-minta dengan dalih silatuahim menjadi orang yang memberi (pemberi). Walaupun, aktivitas mengajinya telah berkurang (semula seminggu bisa 5-6 kali mengaji) hanya sekali atau dua kali sebulan. Kadis telah belajar untuk menafsirkan dan memahami ayat-ayat Qur`an yang berkaitan dengan amal soleh. Dia juga telah belajar ayat-ayat Qur`an yang memotivasi orang untuk berpenghasilan dengan bekerja. Dia telah berhasil belajar mengubah paradigma. Di titik ini orang sulit untuk mengubah paradigma. Justru Kadis dengan pekerjaannya sekarang ini, walaupun hanya sebagai tukang jagal, telah menunjukkan diri sebagai orang yang mandiri.
Di balik itu semua ada peran istrinya, Dalijah, yang terang-terangan sangat tidak setuju dengan kebiasaan Kadis yang suka silaturahim sambil meminta-minta. Istri Kadis tergolong istri yang masih punya harga diri atau muru`ah (kehormatan). Istri Kadis merasa terganggu kehormatannya kalau melihat suaminya punya kebiasaan buruk suka meminta-minta dengan dalih silaturahim. Istri Kadis mengambil langkah yang tepat dengan cara mengadukan perilaku suaminya pada sang guru, Kyai Dofir. Kadis patut bersyukur memiliki istri seperti Dalijah. Kalau saja dia memiliki istri yang sejenis perilakunya atau justru mendukung kebiasaan suaminya, Kadis akan selamanya bergantung pada bantuan orang lain. Kalau sudah seperti itu, Kadis di hadapan anak-anaknya bahkan di hadapan keluarga besarnya atau masyarakatnya akan dipandang sebelah mata karena dia sudah tidak punya harga diri lagi. Wallahu `alam bissawab.