Subagio S.Waluyo
WS Rendra dalam salah satu puisinya pernah mengatakan, “Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet. Dan papan tulis papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan?” (https://www.merdeka.com/jateng/27-kata-kata-mutiara-ws-rendra-tentang-perjuangan-hidup-inspiratif-dan-penuh-makna-kln.html). WS Rendra ketika menyampaikan pernyataan yang tertuang dalam puisinya itu diungkapkan di masa Orde Baru. Di masa itu memang kehidupan kampus sudah mulai redup karena rezim Orde Baru perlahan namun pasti mematikan yang namanya mimbar bebas akademik (MBA). Apakah sekarang ini ketika masyarakat sudah mulai muak dengan yang namanya reformasi masih bercokol di kalangan ilmuwan mematikan MBA seperti yang dilakukan rezim Orde Baru?
***
Sosok ilmuwan yang tidak memperoleh manfaat sama sekali dari ilmu yang dipelajarinya (aksiologi) telah dengan sengaja mematikan MBA. Kalau MBA sudah mati, sudah bisa dipastikan para lulusan yang diproduk dari PT tersebut adalah lulusan yang tidak memiliki kepedulian terhadap sekitarnya. Mereka-mereka (para lulusan PT) begitu selesai kuliah yang terpikirkan adalah mencari kerja atau meneruskan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Tujuan akhirnya apa lagi kalau bukan perbaikan nasib. Mereka-mereka yang dari PT itu lebih cenderung belajar dan belajar. Kalau ada kegiatan kemahasiswaan, bisa ditebak kegiatan kemahasiswaan yang dimasuki adalah yang lebih mengarah pada kegiatan penempaan minat dan bakat. Kegiatan seperti itu sah-sah saja, tetapi kegiatan yang menumbuhkan kekritisan dan kepedulian pada sesama juga penting. Termasuk kekritisan terhadap kondisi negara ini yang kehidupan politiknya semakin amburadul.
Sarana yang paling pas untuk menumbuhsuburkan kekritisan para calon cendekiawan muda adalah menghidupkan MBA. Tanpa MBA bisa saja diibaratkan kehidupan kampus seperti sayur tanpa garam: hambar. Sesuatu yang hambar bisa dipastikan tidak mengenakkan. Agar kehidupan kampus tidak hambar, tidak stagnan, dan tidak menyuburkan paham pembodohan karena para calon cendekia hanya dicekoki dengan pembelajaran yang serba hafalan (verbalistis), perlu dihidupkan MBA. Biarkan mereka-mereka belajar mengkritisi negara agar rakyat juga tahu kalau mahasiswa masih punya yang namanya kepedulian terhadap negara dan bangsa. Bukankah sesuatu yang indah jika para ilmuwan (dosen dan para mahasiswanya) dalam suatu forum membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan demokrasi dan HAM seperti yang terlihat dalam video ini: (https://www.youtube.com/ watch?v= rZJaKcXACNo&t=12s).
Menghidupkan MBA bukan berarti mahasiswa sang calon intelektual muda menjadi radikal. Mereka memang aktif turun ke jalan. Mereka bisa saja menciptakan parlemen jalanan. Tetapi, selama mereka turun ke jalan tetap dalam kondisi santun. Bukankah selama ini juga banyak massa yang turun ke jalan seperti aksi demo Aksi Bela Palestina tertib tidak ada kericuhan walaupun dalam jumlah massa sampai ratusan ribu orang seperti terlihat pada video ini: (https://www.youtube.com/watch?v=lmYxMSwLpkI). Jadi, biarkan mereka ikut (kalau perlu para dosen bahkan struktur pimpinan PT juga ikut terlibat) demo aksi apapun asal ada pihak yang bertanggung jawab dan mengaturnya agar tidak terjadi kericuhan atau tindakan vandalisme. Bukankah kehidupan kampus akan terlihat dinamikanya kalau diwarnai dengan demo-demo mahasiswa yang tertib, aman, dan nyaman? Justru, dengan tidak adanya aksi-aksi demo mahasiswa mencerminkan kampus yang menciptakan menara gading.
Menghidupkan MBA bukan hanya dalam aksi-aksi demo mahasiswa, kegiatan di perkuliahan juga boleh-boleh saja sang dosen selaku ilmuwan di hadapan peserta didiknya menyuarakan kebenaran. Menyuarakan kebenaran di ruang kuliah sesuatu yang wajib dilakukan oleh dosen sepanjang dalam penyampaiannya dilakukan secara santun. Selain itu, yang disampaikannya bisa dipertanggungjawabkan (bukan rumor atau hoax). Silakan saja untuk menyampaikan kebenaran disertai dengan video-video klip atau tiktok yang memuat, misalnya, ketimpangan sosial di masyarakat atau penyimpangan kehidupan demokrasi seperti terlihat pada diskusi publik tentang demokrasi dan HAM di FH UGM baru-baru ini. Dengan cara seperti itu mahasiswa akan melek politik. Mereka bukan hanya dicekoki teori-teori tentang kebenaran sementara ketidakbenaran berseliweran di depan mata mereka. Mereka harus bangkit dari tidur panjang karena dininakbobokan oleh ilmuwan-ilmuwan yang cenderung memanjakan mereka dengan verbalistis. Para cendekia muda harus terbebaskan dari generasi gagap. Bahkan, kalau perlu mereka juga harus terbebaskan dari generasi strawberry.
***
Mewujudkan generasi yang terbebaskan dari kegagapan atau generasi strawberry jelas merupakan pekerjaan berat. Meskipun demikian, setiap insan akademis harus memiliki tanggung jawab untuk setiap saat menyelamatkan generasi ini dari kerapuhan. Mereka harus menjadi pemimpin masa depan yang kelak siap memperbaiki kondisi bangsa ini yang dilihat dari beberapa sisi kehidupan telah carut-marut. Mereka harus menjadi tokoh-tokoh perubahan. Untuk mewujudkan tokoh-tokoh perubahan yang dicirikan dengan ketangguhan, kecerdasan, dan kesiapan menghadapi tantangan masa depan tidak ada cara kecuali hidupkan kembali MBA. Dengan MBA bisa dipastikan akan lahir para cendekia muda yang siap melakukan perubahan dan perbaikan. Bukankah negara ini juga dibangun oleh orang-orang muda yang punya tekad untuk melakukan perubahan dan perbaikan?