Subagio S.Waluyo

Seorang pejabat tinggi di salah satu PT pernah menyampaikan kalau pernah meminta salah seorang dosen untuk mundur saja sebagai dosen di PT yang dipimpinnya. Alasannya lebih karena dosen tersebut tidak taat pada aturan dan berseberangan dengan kebijakan yang telah ditetapkan PT. Alasan itu bisa saja dinilai oleh para ilmuwan yang ada di sekitarnya cenderung mengada-ada karena orang yang berani menentangnya dinilai dari sisi usia, pendidikan, dan jabatan fungsionalnya jauh di bawahnya. Sang pejabat tinggi adalah seorang tokoh nasional, usianya sudah memasuki masa lansia, pendidikan terakhirnya S3 plus guru besar dari PTN ternama di negeri ini, dan sudah malang melintang pengalamannya, baik di dunia pendidikan maupun politik, dan tentu saja memiliki seabreg penghargaan atas jasa dan prestasinya, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Karena itu, tidak ada seorang pun di PT yang dipimpinnya berani untuk bersuara `miring` menghadapinya.

***

          Dalam tulisan terdahulu (“ Menciptakan Ilmuwan yang tidak Serakah”) disebutkan oleh Wilhelm von Humboldt bahwa PT harus menjadi tempat penelitian ilmiah dan kecendekiaan yang melibatkan insan-insan muda dalam penelitian untuk dididik melalui berbagai penelitian (Edward Shills dalam Etika Akademik, 1993 :57). Untuk melakukan penelitian ilmiah yang nantinya bisa menciptakan para cendekiawan muda diperlukan berbagai aktivitas ilmiah. Aktivitas ilmiah bukan saja dalam bentuk pembelajaran di ruang kelas, tapi juga bisa lewat berbagai mimbar ilmiah, seperti diskusi ilmiah, seminar, konferensi, dan debat publik. Di forum-forum ilmiah seperti itu sah-sah saja kalau setiap sivitas akademika, entah itu mahasiswa atau dosen bebas untuk menyatakan pendapatnya. Bukan hanya di forum-forum ilmiah, dalam rapat-rapat struktural PT atau rapat-rapat dosen juga sah-sah saja kalau setiap orang yang menghadiri rapat bebas menyatakan pendapatnya. Namanya juga PT sah-sah saja jika ada orang yang mengkritisi kebijakan PT. Hal itu suatu bukti bahwa PT tersebut memiliki dinamika kehidupan kampus yang sehat.

Kampus yang sehat tidak hanya ditunjukkan oleh pembelajaran yang tertata apik dengan ketaatan menjalankan aturan yang sudah tercantum, baik menurut aturan pemerintah maupun aturan PT bersangkutan. Kampus yang sehat tidak hanya ditunjukkan oleh para mahasiswanya yang mentaati aturan perkuliahan sehingga IPK lulusannya rata-rata minimal di atas 3 (B+). Kampus yang sehat bukan tidak boleh adanya perdebatan antara dosen dan mahasiswa. Selama dalam beraktivitas di kampus, di ruang kelas apa salahnya ada perdebatan? Sering dijumpai ketika terjadi perdebatan antara mahasiswa dan dosen, sang dosen yang mengalami kesulitan untuk menentang pendapat sang mahasiswa, mau tidak mau harus menggunakan jurus pamungkas: mematikan jawaban mahasiswa dengan cara menunjukkan tentang jati dirinya. Maksudnya, sang dosen di hadapan sang mahasiswa yang mendebatnya akan mengatakan tentang prestasi yang diperolehnya selama ini yang membuat sang mahasiswa akan terpojok alias tidak berkutik. Sang dosen dengan tidak memiliki sedikitpun rasa bersalah bangga kalau bisa membuat sang mahasiswa yang kritis dikunci sehingga sang  mahasiswa terdiam dan tidak berkeinginan lagi melakukan perdebatan.

Sikap sang dosen dan sang pejabat tinggi berkaliber nasional (bahkan internasional) itu jelas menunjukkan sosok ilmuwan yang tidak memperoleh manfaat dari ilmu yang dipelajarinya (aksiologi). Sosok ilmuwan seperti ini telah dengan sengaja mematikan mimbar bebas akademik. Sosok ilmuwan seperti ini di berbagai forum bisa dipastikan ketika ada orang yang mencoba menentang, mengkritisi, atau mempertanyakan pendapatnya akan dilihat dulu siapa orangnya (who). Dengan kata lain, ilmuwan semacam ini berpegang teguh pada siapa who bukan pada apa (what) yang dikatakan orang padanya. Prinsip yang dianut ilmuwan jenis ini jelas prinsip yang salah. Memang, sang ilmuwan berpendidikan tinggi, orang yang sudah malang melintang di forum-forum ilmiah nasional dan internasional. Tetapi, itu semua tidak perlu dibanggakan. Justru, semakin tingginya pendidikan, semakin banyaknya pengalaman hidup di dunia pendidikan, semakin banyaknya tanda jasa atau penghargaan yang diperolehnya, semakin menunjukkan ketundukan hatinya: rendah hati. Ilmuwan yang rendah hati adalah ilmuwan yang mengedepankan konsep aksiologi. Ilmuwan yang rendah hati menunjukkan bahwa dia telah memperoleh manfaat yang demikian banyak dari ilmu yang dipelajarinya. Ilmuwan yang rendah hati yang telah memahami dan menerapkan aksiologi dengan sendirinya menghidupkan dinamika kehidupan kampus. Sebaliknya, ilmuwan yang tinggi hati, yang tidak mau ditentang pendapatnya malah meredupkan dinamika kehidupan kampus.

***

          Sebagai seorang ilmuwan yang banyak berkecimpung di dunia PT hanya ada dua pilihan ketika berhadapan dengan orang-orang di sekitarnya: who atau what. Ilmuwan yang tinggi hati tentu akan lebih memilih who ketika berhadapan dengan orang yang dianggap rendah, entah mahasiswanya atau tenaga kependidikan yang hanya berpendidikan paling tinggi S2. Sikap seperti ini jelas akan mematikan kehidupan kampus yang penuh dengan dinamika keilmuan. Sebaliknya, ilmuwan yang rendah hati dengan sendirinya akan menghidupkan kehidupan kampus karena ilmuwan jenis ini banyak mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajarinya (aksiologi). Jadilah ilmuwan yang rendah hati karena ilmuwan yang rendah hati yang mengedepankan what daripada who yang justru akan menciptakan mimbar bebas ilmiah di kampus. Dengan demikian, kampus yang bisa mewujudkan mimbar ilmiah akan melahirkan insan-insan muda yang cendekia. Wallahu a`lam bissawab.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat