Subagio S. Waluyo

 

          Awal tahun 1980-an, ketika Soeharto sebagai presiden sedang berada di puncak kekuasaannya, dalam rangka menanggulangi kejahatan yang pada saat itu memang cukup tinggi diadakan operasi rahasia. Operasi rahasia itu di belakang  hari dikenal dengan nama Penembakan Misterius (petrus). Operasi itu berupa penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat terutama di DKI Jakarta dan Jawa Tengah (termasuk DIY). Pelakunya sendiri tidak diketahui dengan jelas sehingga wajar saja muncul ungkapan petrus.

 

Peristiwa petrus memakan korban cukup besar. Sejak tahun 1983 sampai dengan 1985 ada 713 korban petrus. Umumnya, korban petrus yang ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat (https://id. wikipedia.org/wiki/Penembakan_misteri-us). Peristiwa petrus itu tidak luput dari perhatian para sastrawan kita di Indonesia. Salah seorang sastrawan yang menulis tentang korban petrus adalah Ahmad Tohari dalam salah satu cerpennya  yang berjudul “Ah Jakarta”. Dalam cerpen tersebut Ahmad Tohari sama sekali tidak menyinggung tentang petrus. Tapi, terbunuhnya teman Tokoh Aku yang ditemukan di Kali Serayu dalam kondisi wajah yang sudah tidak karuan bisa  menunjukkan bahwa cerpen “Ah Jakarta” berisikan korban petrus. Di luar itu semua, ada keunikan, yaitu adanya unsur  kemanusiaan yang ada pada Tokoh Aku sehingga mau mengurusi jenazah temannya yang jadi korban petrus sementara sebagian besar orang cenderung bersikap masa bodoh dan tidak mau menanggung risiko.

          Teman Tokoh Aku diburu oleh pelaku-pelaku petrus karena dikenal sebagai `gali` (akronim yang kepanjangannya Gabungan Anak-Anak Liar) atau preman. Kata `gali` itu sendiri merujuk pada sekolompok orang bertato yang terorganisasi dengan rapi melakukan berbagai tindak kejahatan, seperti pemerasan, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan yang di tahun-tahun 1980-an berhasil membombastis Kota Yogyakarta dan sekitarnya (https://kumparan.com/potongan-nostalgia/gali-gabungan-anak-liar-dan-petrus-penembak-misterius-yogyakarta-1983-1984). Karena tindakan mereka dinilai meresahkan, pemerintah yang berkuasa pada waktu itu (Soeharto) mengambil kebijakan sepihak berupa pembasmian pelaku-pelaku kejahatan tanpa pengurungan (penjara), tapi langsung dieksekusi di tempat dengan cara-cara seperti yang diuraikan di atas. Teman Tokoh Aku termasuk salah seorang yang diburu pelaku-pelaku petrus karena kejahatannya di Jakarta dinilai membahayakan dan meresahkan masyarakat. Sang teman yang ketakutan berusaha  menyembunyikan diri ke rumah Tokoh Aku. Padahal pada waktu itu teman Tokoh Aku baru mau beroperasi, tapi terjadi kecelakaan yang  menewaskan tiga orang temannya. Sedangkan dia sendiri selamat walaupun kakinya tergores kaca belakang mobil. Sang teman berupaya menyelamatkan diri karena di dalam mobilnya, menurut pengakuannya, ada peralatan yang biasa digunakan untuk  merampok.

……………………………………………………………………………………..

Malam itu dia datang. Jalannya terpincang-pincang. Lima jari kaki kanannya luka. Perbannya sudah kumal. Maka pertama-tama aku membantunya mengganti perban itu. Baru kemudian aku mengajaknya ngobrol. Hati-hati, sebab wajah temanku itu jelas gelap.

“Aku mau lihat koran kemarin, atau hari ini,” pintanya.

“Ada apa?”

“Nanti kuceritakan.”

“Ceritakan dulu.  Kamu harus memulai pertemuan ini dengan keterbukaan. Ingat siapa aku dan siapa kamu.”

Matanya menatapku sebentar. Lalu menunduk. Lehernya kelihatan kecil. Masih ada sisa kebagusan wajahnya yang kukenal sejak kami masih kanak-kanak. Dia mulai cerita. Sedan yang disewanya menabrak tiang listrik di Jalan Matraman. Tiga temannya tidak bisa bangun, mungkin mati. Dia duduk di jok belakang ketika itu. Karena bekas sopir, dia tahu suasana kritis dalam kendaraan. Ketika mobil mulai gontai karena slip dia meringkuk seperti trenggiling. Benturan dengan tiang listrik begitu hebat. Tidak ada secuil pun dia cedera. Luka di kaki karena tergores kaca belakang ketika dia berusaha lolos keluar.  Orang-orang berdatangan. Dan dia menyelinap lalu menjauh. Dia tidak mungkin lama di situ. Di dalam mobilnya ada golok, ada gunting kawat buat melumpuhkan kunci gembok sebesar apa pun, dan ada clurit.

          Sebagai teman yang masih punya rasa kemanusiaan Tokoh Aku menyediakan tempatnya untuk bersembunyi walaupun sebenarnya tindakan itu salah. Tokoh Aku teringat pada masa kanak-kanak dulu ketika di kampung.

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

          Kami bertatapan. Aku  tahu dia sedang menyelidik sikapku, apakah kedatangannya tidak membuatku susah. Sedangkan aku melihatnya untuk melihat masa lampau ketika aku dan dia sama-sama telanjang bulat dan berlarian di pematang sawah. Kami suka mencari telur burung hahayaman, membalutnya dengan tanah lempung kemudian membakarnya. Enak, tak ubahnya seperti telur rebus. Kami suka menyelam di lubuk mencari udang batu. Membenamnya dalam pasir panas di tepi kali sampai warnanta jadi merah, kemudian mengunyahnya. Enak, gurih, dan manis.

Jadi, Tokoh Aku dan temannya terhitung sahabat karib. Sebagai sahabat karib wajar kalau Tokoh Aku cenderung melindungi temannya untuk sementara waktu bermalam di rumahnya. Tokoh Aku tidak ingin kehilangan temannya dan tidak menyuruhnya pergi. Bahkan, tidak ada keinginan untuk melapor pada Ketua RT di tempat tinggalnya.

…………………………………………………………………………………………….

Dia tidak bohong. Apa yang telah diceritakannya termuat sepenuhnya. Dadaku menyesak. Di hadapanku kini duduk seorang karib yang pasti buronan. Aku langsung teringat konsekuensi hukum bagi orang yang menyimpan oknum yang sedang dicari polisi. Tapi detik itu juga kuputuskan, menerima karibku seperti biasa. Aku tak ingin kehilangan rasa persahabatan. Tidak ingin menyilakannya pergi, apalagi melaporkannya kepada ketua RT.

Saking kuatnya persahabatan Tokoh Aku dengan temannya, ketika istrinya memberi wanti-wanti pun Tokoh Aku bersikap masa bodoh. Tokoh Aku membiarkan saja istrinya nyerocos sampai sang istri akhirnya diam.

…………………………………………………………………………………………………

Dia anak sini asli, teman sepermainanku dulu.”

“Ceritanya mengesankan. Gali ya?”

“Seperti yang kamu dengar sendiri.”

“Nah, awas kamu. Aku tidak ingin ada bangkai manusia yang pernah menginap di rumah ini. Kau tahu orang-orang macam dia yang kini mayatnya tercampak di mana-mana?”

Aku menutup mata dengan bantal. Istriku masih menyerocos. Tetapi akhirnya dia mengalah, diam setelah berkali-kali mendesah panjang.

          Sang teman yang berprofesi sebagai `gali`, yang memang sedang diburu pelaku petrus sebelum Tokoh Aku dan istrinya bangun telah pergi entah kemana. Tokoh Aku berusaha mencari temannya. Dia berharap agar temannya kembali ke Jakarta dan bersembunyi di sana. Dia pun berharap agar temannya menyerahkan diri saja. Tapi yang dia khawatirkan pada akhirnya terjadi. Temannya ditemukan di kelokan Kali Serayu dalam kondisi sudah mengembung dan wajahnya tak keruan. Di hadapan polisi dia mengaku kalau itu temannya. Tokoh Aku pun demi menyelamatkan siapa temannya dan juga dirinya yang sebenarnya juga berbohong. Tapi, rupanya polisi tidak bertanya lebih jauh (termasuk tidak meminta KTP-nya). Orang-orang di sekitarnya heran melihat Tokoh Aku yang demikian nekad mau melindungi temannya yang sudah jelas-jelas `gali` yang sedang diburu para pelaku petrus. Orang-orang di sekitarnya cenderung untuk berlepas tangan. Bahkan, mereka mungkin menatap Tokoh Aku dengan tatapan keji.  Ketika diminta pertolongannya untuk ikut mengurus jenazah temannya, mereka justru menghilang.

……………………………………………………………………………………………….

Aku tergagap. Orang-orang bergumam mungkin menatapku dengan keji. Mereka sedang memperhatikan karib seorang gali, aku.

“Pak, aku akan menunggu di sini. Mungkin nanti ada saudaraku yang lewat sehingga aku ada teman buat mengurus mayat ini.”

 Polisi pergi, kelihatan dengan wajah puas. Orang-orang pun mulai pergi. Soal mayat tercampak sudah sering mereka lihat. Akhirnya hanya aku dan karibku yang tinggal. Sekali pun aku sama sekali tidak cengeng, namun terasa air mataku meleleh. Ada dua orang anak pencari rumput. Tetapi mereka menghilang ketika kumintai bantuan mengurus mayat karibku.

          Hati nurani mereka sudah hilang. Entah kemana perginya hati nurani mereka. Mereka tidak mau menanggung risiko.Mereka juga mungkin telah luntur nilai-nilai agama yang mengajarkan kepedulian kepada sesama. Akhirnya, Tokoh Aku harus mengerjakannya sendiri. Tokoh Aku yang masih punya hati nurani karena didorong rasa persahabatan dan kemanusiaan yang disertai juga dengan nilai-nilai agama yang masih melekat mengurusi jenazah temannya yang sudah terlanjur dicap sebagai gali. Sementara orang-orang di sekitarnya, termasuk dua orang yang tadi diminta pertolongannya menghilang, hanya menonton yang dia lakukan.

………………………………………………………………………………………….

Lama aku berdiri bingung tak tahu harus berbuat apa. Mayat karibku teronggok hanya dengan cawat cassanova. Ah, Jakarta. Ucapan itu lagi-lagi terngiang. Aku masih bingung. Bila bukan karena sebuah tempurung yang tergeletak di tempat itu mungkin aku masih diam. Tetapi karena tempurung itu, aku bisa berbuat sesuatu. Mayat karibku kusirami. Aku memandikannya. Lalat beterbangan. Kemudian dengan tempurung itu pula aku menggali pasir membujur keutara. Dia kutarik dan ku masukkan ke dalam lubang pasir sedalam lutut. Kusembahyangkan kemudian kumiringkan kebarat. Daun-daun jati kututupkan, lalu pasir kutimbunkan. Sebuah batu sebesar kepala kubuat nisan.

           Tokoh Aku menunjukkan kepedulian yang sangat tinggi. Bukan saja di masa hidupnya sang teman yang `gali` dilayani, ketika telah tiada pun dia masih mau mengurusi jenazahnya. Hal ini tidak mungkin terjadi jika tidak dilandasi oleh rasa kemanusiaan. Bukan hanya karena terikat persshabatan. Tapi, juga Tokoh Aku menunjukkan bahwa seorang Muslim saudara bagi Muslim lainnya. Lebih jauh dari itu, semua yang dia lakukan semata-mata karena Tokoh Aku terikat pada bunyi ayat Qur`an yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah: 148:”Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” Coba bila dibandingkan dengan nasib yang dialami Maria Zaitun, seorang   pelacur, dalam puisi yang ditulis WS Rendra “Nyanyian Angsa.”

………………………………………………

Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.

Tanpa koper.

Tak ada lagi miliknya.

Teman-temannya membuang muka.

Sempoyongan ia berjalan.

Badannya demam.

Sipilis membakar tubuhnya.

Penuh borok di klangkang

di leher, di ketiak, dan di susunya.

Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.

Sakit jantungnya kambuh pula.

Ia pergi kepada dokter.

Banyak pasien lebih dulu menunggu.

Ia duduk di antara mereka.

Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.

Ia meledak marah

tapi buru-buru jururawat menariknya.

Ia diberi giliran lebih dulu

dan tak ada orang memprotesnya.

“Maria Zaitun,

utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.

“Ya,” jawabnya.

“Sekarang uangmu brapa?”

“Tak ada.”

Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.

Ia kesakitan waktu membuka baju

sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.

“Cukup,” kata dokter.

Dan ia tak jadi mriksa.

Lalu ia berbisik kepada jururawat:

“Kasih ia injeksi vitamin C.”

Dengan kaget jururawat berbisik kembali:

“Vitamin C?

Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”

“Untuk apa?

Ia tak bisa bayar.

Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.

Kenapa mesti dikasih obat mahal

yang diimport dari luar negri?”

           Maria Zaitun seorang pelacur yang seluruh tubuhnya penuh dengan koreng. Baju yang dikenakannya kalau dibuka koreng-koreng yang ada di tubuhnya akan mengelupas. Maria Zaitun terkena penyakit raja singa (sipilis). Dia diusir oleh bosnya karena sudah tidak menguntungkan. Bahkan, hutangnya pada sang bos sudah demikian besar sehingga tidak mungkin bisa  melunasinya dalam kondisi seperti itu. Orang-orang di sekitarnya (sebagian ada yang pernah berhubungan dengannya) membuang muka. Mereka jijik melihat Maria Zaitun, pelacur yang malang yang sekujur tubuhnya penuh dengan koreng. Maria Zaitun pelacur yang malang itu ketika berobat oleh dokter hanya diberikan injeksi vitamin C. Apakah injeksi vitamin C bisa menyembuhkan penyakit yang diderita Maria Zaitun? Bukankah sang dokter memang sudah tahu kalau Maria Zaitun hampir mati? Jadi, bukan hanya masyarakat yang tidak peduli dengan keadaan Maria Zaitun, sang dokter yang pernah jadi pelanggannya pun cenderung tidak peduli.

          Dalam cerpen “Ah Jakarta” masih ada orang semulia Tokoh Aku yang bersedia menerima dan melayani sang `gali` yang jelas-jelas sedang diburu pelaku-pelaku petrus. Orang seperti Tokoh Aku di negara ini tergolong langka. Dikatakan langka karena orang lebih cenderung berlepas tangan jika berhadapan dengan orang yang dianggap buronan. Mereka hanya melihat pada sisi gelapnya. Orang hanya melihat pada masa lalu orang yang dianggap `gali`. Sama halnya ketika orang berhadapan dengan mantan tapol PKI, banyak orang yang tidak siap menerima kehadiran yang namanya entah `gali` atau mantan tapol PKI. Karena itu, sangat beruntung bagi sang `gali` walaupun telah jadi mayat, masih ada sahabat karibnya yang mau mengurusi kematiannya. Cerpen Ahmad Tohari kali ini sama dengan cerpen-cerpen lainnya dalam “Wangon Jatilawang” yang memunculkan Tokoh Aku yang peduli dengan nasib Sulam orang yang teralienasi karena keterbelakangan mental atau boleh juga dalam “Kang Sarpin Minta Dikebiri” yang juga peduli dengan Kang Sarpin yang dianggap orang sebagai tukang zina (tukang main perempuan).  Ahmad Tohari ingin mengajarkan pada pembacanya agar punya kepedulian pada sesama. Selain itu, ia juga mengajarkan agar semua orang mau memaafkan kesalahan orang walaupun itu sangat sulit mengingat begitu banyak kesalahan yang dibuat oleh orang seperti sang `gali` atau `Kang Sarpin`. Bukankah sikap mau memaafkan kesalahan orang lain memang sebuah sikap mulia? Kalau memang itu sikap mulia, apa salahnya setiap anak bangsa ini belajar untuk memaafkan kesalahan orang lain? Kalau tidak mulai dari sekarang kapan lagi? Wallahu a`lam bissawab.

 

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat