Subagio S.Waluyo

Bagaimana kabarnya Indonesia? Indonesia tidak baik-baik saja. Ah, jawabannya kok, tidak mengenakkan? Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri, apa yang terjadi di negara ini? Memangnya ada apa dengan negara ini? Coba perhatikan saja foto-foto dan gambar-gambar di bawah ini! Apa yang bisa kita katakan? Bukankah negara ini beragam fenomena sosial mudah dijumpai? Supaya tidak penasaran, silakan diperhatikan foto-foto dan gambar-gambar yang berbicara tentang fenomena sosial berikut ini! Jangan lupa juga dibaca uraian-uraian yang Penulis sampaikan!

***

1. Kemiskinan

Foto di atas merupakan potret kemiskinan di negara ini (bukan di India atau Afrika). Kemiskinan tercermin dari anak-anak bertelanjang dada. Mereka tampak kusam dan kumal. Dari rambutnya saja bisa menunjukkan kalau mereka kurang gizi.Kalau ditanyakan lagi, kenapa mereka kurang gizi? Kurang gizi itu menunjukkan, baik kuantitas maupun kualitas makanan yang masuk ke perutnya termasuk kurang. Bagaimana tidak kurang kalau anak-anak itu mungkin sehari cuma sekali makan. Makanan yang masuk ke perutnya juga tergolong rendah gizinya. Jadi, kalau tampak kusam dan kumal,menunjukkan mereka itu kurang gizi. Keluarga mereka bisa dipastikan sebagai keluarga yang terlilit oleh kemiskinan. Inilah salah satu fenomena sosial yang harus dihadapi oleh para ilmuwan dari `Menara Gading`.

2. Pengangguran

Naiknya tingkat pengangguran berakibat pada kenaikan kemiskinan. Bukan hanya kemiskinan, pengangguran juga bisa berakibat menjadi pemicu kenaikan kriminalitas. Bukankah memang banyak ditemukan kriminalitas yang dilatarbelakangi oleh pengangguran? Selain itu, pengangguran juga bisa berakibat munculnya ketidaksetaraan politik dan sosial. Tentang yang terakhir ini, ketidaksetaraan politik dan sosial, silakan saja kalau ada ilmuwan yang mau melakukan penelitian! Buat saja penelitian yang entah itu berkaitan dengan implikasi pengangguran terhadap ketidaksetaraan politik dan sosial. Boleh juga korelasi pengangguran dengan ketidaksetaraan politik dan sosial. Mudah-mudahan saja ilmuwan dari kampus `Menara Gading` menemukan memang ada pengaruhnya penggangguran terhadap ketidaksetaraan politik dan sosial atau ada korelasi antara pengangguran dan ketidaksetaraan politik dan sosial. Penelitian tentang fenomena sosial yang berkaitan dengan pengangguran tetap menarik untuk diteliti.

3. Korupsi

Jagat bernama Indonesia yang kabarnya tidak baik-baik saja selalu saja diwarnai oleh hal-hal yang aneh tapi nyata. Bagaimana tidak aneh tapi nyata kalau lembaga yang giat mencegah dan memberantas seperti KPK saja sang pimpinan, Firli Bahuri, terlibat korupsi? Tidak tanggung-tanggung Firli Bahuri selaku pimpinan yang seharusnya menjaga marwah bangsa bukan hanya menerima suap tetapi juga telah melakukan pemerasan. Mantan Penyelidik KPK, Aulia Postiera mengatakan kalau pemerasan merupakan kejahatan korupsi tertinggi karena dilakukan oleh orang yang berdaya kepada orang yang lemah. Firli Bahuri selaku pemeras memanfaatkan ketidakberdayaan Syahrul Yasin Limpo demi mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri (https://nasional.tempo.co/read/1802297/firli-bahuri-tersangka-dugaan-pemerasan-syl-kejahatan-korupsi-tertinggi-di-atas-gratifikasi-dan-suap). Sang pimpinan KPK yang berpangkat Komisari Jenderal Polri itu menjadi tukang peras. Anehnya, kenapa sampai sekarang tidak juga ditahan oleh pihak berwajib? Nah, ini benar-benar fenomena sosial yang bisa dikatakan langka tapi nyata.

4. Ketimpangan Ekonomi

Orang miskin di Indonesia semakin terpuruk walaupun BPS kerap mengatakan bahwa gambaran ketimpangan ekonomi di negara ini cenderung fluktuatif. Namun, perlu dicatat orang yang kondisi ekonominya rentan juga bisa jadi jatuh ke jurang kemiskinan. Ironisnya, dari golongan orang-orang yang terbilang terkaya semakin meningkat pendapatannya. Untuk itu, tidak aneh ada ungkapan yang menyatakan bahwa orang miskin makin miskin dan orang kaya makin kaya. Kalau sudah seperti itu kondisinya, ada jurang yang menganga yang memperlihatkan adanya ketimpangan ekonomi yang demikian parah. Bahkan, lebih jauh lagi bisa jadi adanya ketimpangan sosial dan juga kesenjangan pendidikan. Dampak apa saja yang akan muncul jika telah terjadi ketimpangan ekonomi yang merembet pada ketimpangan sosial dan tentu saja juga kesenjangan pendidikan? Silakan para ilmuwan dari kampus `Menara Gading` mengimplementasikan dharma kedua dan ketiga dari tri dharma PT.

5. Ketimpangan Sosial

Ketimpangan ekonomi bisa saja merembet pada ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial bisa diartikan sebagai kondisi ketidakseimbangan atau jarak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang disebabkan oleh adanya perbedaan, baik status sosial, ekonomi, dan budaya (https://pahamify.com/ blog/pahami-materi/materi-ips/pengertian-dan-bentuk-bentuk-ketimpangan-sosial/). Gambar karikatur di atas mencerminkan adanya perbedaan ekonomi masyarakat homeless people (tuna wisma) dengan peopleless homes (rumah yang dihuni sedikit orang atau nyaris tanpa orang). Golongan pertama (tunawisma) tergolong ekonominya lemah sampai-sampai tidak mampu untuk jangankan membeli rumah, menyewa rumah/flat pun sudah tidak mampu. Golongan kedua jelas menunjukkan orang-orang yang tergolong memiliki harta berlebih (kaya) sehingga saking kayanya rumah-rumah yang dihuni hanya diisi oleh segelintir orang. Bahkan, rumah-rumah itu ditempatinya. Rumah-rumah itu hanya dijadikan investasi yang sewaktu-waktu ketika libur mereka tempati. Ini menunjukkan adanya ketimpangan sosial di antara dua masyarakat antara masyarakat yang miskin dan masyarakat yang kaya.

6. Kesenjangan Pendidikan

Di negara ini juga terjadi kesenjangan pendidikan antara masyarakat berekonomi lemah (miskin) dan masyarakat berekonomi kuat (kaya). Bahkan, bisa juga antara masyarakat yang tinggal di pedesaan yang di masa Orde Baru disebut sebagai desa IDT (Inpres Desa Tertinggal). Sebutan buat desa yang benar-benar tertinggal karena infrastruktur jalan yang jauh dari memadai, tidak adanya aliran listrik, sarana pendidikan yang menyedihkan seperti pada gambar di sebelah kiri di atas, dan sarana kesehatan yang sama sekali tidak ada. Bandingkan dengan masyarakat kota, seperti Jakarta, yang dilihat dari segi sarananya dibandingkan dengan desa tertinggal diibaratkan bumi dengan langit. Gambaran perbedaan itu di masa Reformasi sudah masuk 25 tahun ternyata masih ada. Anehnya, untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang anggarannya mencapai lebih dari 400 triliun rupiah (itu pun belum selesai pembangunannya) pemerintah negara ini begitu jor-joran untuk melaksanakannya?

7. Pembangunan Tidak Merata

Munculnya kesenjangan pendidikan bisa disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata. Artinya, pembangunan di Jawa dan Sumatra tampaknya lebih diutamakan. Bisa juga pembangunan infrastruktur seperti jalan tol lebih diutamakan daripada jalan nontol. Di sini pemerintah lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur yang lebih mengedepankan prestise daripada kebutuhan masyarakat.  Lewat pembangunan seperti IKN, misalnya, di sini pemerintah ingin menunjukkan bahwa bangsa ini sanggup melaksanakan pembangunan sebuah kota baru yang megaproyek yang berorientasi pada kota masa depan. Padahal untuk melaksanakan pembangunan IKN pemerintah harus jor-joran menguras habis APBN yang ujung-ujungnya bisa saja harus berutang ke lembaga-lembaga keuangan internasional. Tetapi, ironisnya, pembangunan infrastruktur yang juga kebutuhannya sangat mendesak, seperti pembangunan jembatan di pedesaan sama sekali tidak dipedulikan. Foto di atas mencerminkan abainya pemerintah untuk membangun jembatan sehingga anak-anak didik di negara ini harus berjuang dengan nyawa untuk menyeberangi sungai. Bisa dibayangkan kalau suatu saat jembatan itu putus tali penghubungnya, apa yang terjadi dengan anak-anak didik dan orang-orang yang menyeberangi sungai lewat jembatan yang rentan dengan bahaya itu? Apakah harus menunggu korban yang berjatuhan baru dilakukan pembangunan?

8. Deforestasi Hutan

Di akhir tahun `70-an seorang vokalis New Rollies, Delly Rollies, lewat lagunya `Kemarau` melantunkan bagian teks terakhir dari lagunya yang kalau diamati (walaupun hanya sebuah pertanyaan) nyaris sebuah satire. Di bagian akhir lirik lagu itu, Delly Rollies melantunkan “Mengapa, mengapa hutanku hilang. Dan tak pernah tumbuh lagi”. Sebuah pertanyaan yang boleh disebut satire karena tidak mungkin hutan akan tumbuh lagi kalau sang pembabat hutan yang telah berbuat durjana sehabis membabat hutan tidak melakukan reforestasi. Sekali pun ada reforestasi anggarannya malah dikorup. Jadi, sang pembabat hutan setelah membabat hutan habis-habisan diberi dana oleh pemerintah yang sudah demikian berbuat baik padanya, demikian kejinya sang pembabat hutan mengembat dana APBN untuk reforestasi. Mau tahu seberapa besar negara ini telah kehilangan hutan? Selama tahun 2022 negara ini telah kehilangan Hutan Primer sebesar 230.002 Ha. Jumlah Hutan Primer yang hilang itu menempatkan Indonesia sebagai negara keempat kehilangan Hutan Primer dari lima negara di dunia (https://id.linkedin.com/pulse/5-negara-teratas-yang-kehilangan-hutan-primer-tropis-terbanyak-kwflc).

9. Masalah Kesehatan Masyarakat

Sampai sekarang belum diketahui persis seberapa besar korban Covid-19 yang meninggal dunia. Entah karena jumlah korban yang tidak diketahui persis jumlahnya atau upaya pemerintah (walaupun sudah ditahui datanya) untuk menutup-nutupi kelemahannya, seorang menteri di negara ini meminta jenazah-jenazah yang ada di hadapannya diminta mengangkat tangannya. Mana mungkin orang yang sudah wafat diminta mengaku kalau dia wafat karena Covid-19? Ini benar-benar sebuah satire yang sarkasme! Dikatakan satire karena lebih merupakan sindiran pada pemerintah yang tidak percaya tentang jumlah korban Covid-19. Bukankah pemerintah selama ini terbiasa menutup-nutupi sebuah kejadian yang dikhawatirkan merusak nama baik negara? Di sisi lain, karikatur di atas juga merupakan sarkasme (ejekan kasar yang pedas) buat pejabat yang cenderung tidak percaya pada data yang sudah jelas-jelas menunjukkan adanya korban yang cukup besar akibat dari Covid-19. Di sini, pemerintah negara ini selayaknya melakukan evaluasi terhadap masalah kesehatan masyarakat yang demikian rentan menghadapi epidemi seperti Covid-19. Seandainya pemerintah mau saja belajar dari kebijakan yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta ketika menghadapi epidemi tidak mustahil korban yang berjatuhan akan mudah terdeteksi. Selain itu, upaya-upaya yang mengarah pada penyelamatan masyarakat dari epidemi Covid-19 sangat mungkin bisa dilakukan bukan malah minta diulang data jumlah korban (karena tidak percaya dengan data yang diterimanya) sampai-sampai muncul karikatur di atas.

10.Urbanisasi yang tidak Terkendali

Setiap orang bisa dipastikan ingin mengubah nasibnya. Orang desa pun sama, mereka juga mau mengubah nasibnya. Orang yang tinggal di pedesaan, walaupun pendidikannya rendah, ketika melihat kehidupan kota-kota besar yang sering dilihatnya di berbagai media, baik media mainstream maupun media online membuat dirinya tergerak ingin mengubah nasib di kota-kota yang pernah dilihatnya. Orang desa tanpa pendidikan yang mencukupi dan keterampilan yang terbatas hanya bermodal nekad mencoba nasibnya di kota-kota besar. Bagaimana dengan nasibnya? Apakah orang desa itu berhasil dalam mengarungi kehidupan di kota besar yang dimasukinya? Kalau ada kemauan untuk bekerja keras disertai dengan menambah pengetahuan lewat pendidikan, entah itu yang namanya pendidikan formal maupun nonformal (intinya dia ada kemauan untuk meningkatkan keterampilan hidupnya), bisa saja  dia berubah nasibnya. Sebaliknya, kalau sekedar mengandalkan tenaga untuk bekerja keras tanpa pendidikan, bisa dikatakan kurang berhasil orang seperti ini mengarungi kehidupan di kota besar. Masih untung kalau orang desa itu bisa tinggal di rumah-rumah kontrakan, bagaimana kalau sebaliknya dia hanya bisa tinggal di kolong jembatan, di pinggiran rel kereta api, atau di tempat-tempat pemakaman? Orang desa semacam ini hanya membuat daftar panjang sebagai bagian dari homeless people. Tidak mustahil orang desa itu termasuk bagian dari masyarakat bermasalah yang bisa saja menjadi sampah masyarakat.

11. Disorganisasi Keluarga

Seorang ilmuwan dalam suatu acara diskusi ilmiah mengatakan bahwa pertahanan negara sangat ditentukan oleh ketahanan keluarga. Sebagian peserta diskusi itu ada yang tidak setuju dengan pendapatnya. Meskipun demikian, tidak sedikit yang menyetujuinya. Jika dianalisis pendapat sang ilmuwan tersebut, bisa jadi semua orang akan sependapat dengannya. Jadi, menurut pendapat sang ilmuwan pertahanan suatu negara bukan semata-mata oleh adanya kecanggihan persenjataan yang dimiliki dan keterampilan tentaranya dalam berperang, tetapi kalau semua itu tidak didukung oleh kesiapan setiap anggota masyarakat menghadapi peperangan akan percuma saja. Dalam hal ini, lanjutnya, ketika sebuah negara berperang dengan negara lain rakyat di negara itu juga harus siap menghadapi segala macam bentuk serangan yang dilakukan pihak musuhnya. Kalau masyarakat di negara yang diperangi negara lain tidak mendukungnya, bisa dipastikan semua tentara yang berperang tidak akan sanggup menghadapi serangan dari musuhnya karena sebentar-sebentar bisa saja masyarakatnya sendiri akan membikin repot perjuangan melawan musuh-musuhnya. Dalam hal ini yang dinamakan ketahanan keluarga adalah keluarga yang di dalamnya tidak terjadi namanya disorganisasi. Di sini disorganisasi bukan saja diartikan pasangan suami-istri yang tidak lagi harmonis, tapi juga terjadi perpecahan di tubuh keluarga itu sendiri, misalnya anak-anaknya tidak lagi ada ketaatan pada orang tuanya. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Tidak ada hubungan yang harmonis di antara mereka. Bahkan, baik orang tuanya maupun anak-anaknya pecandu narkoba. Seandainya suatu saat ada kebahagiaan, tentu saja kebahagiaan yang semu. Itu hanya terjadi pada saat, misalnya, foto bersama yang diabadikan dalam potret keluarga. Potret keluarga itu hanya sebuah tipuan karena di balik itu semua tetap saja di antara mereka tidak terjadi keharmonisan, tidak terjadi kebahagiaan, dan kebahagiaan yang ada adalah kebahagiaan semu. Itulah yang dinamakan sebagai disorganisasi keluarga.

12. Penyebaran Informasi Palsu (Hoax)

Hoax menurut Robert Nares (brilio.net dari WikiWand) berasal dari kata `hocus` yang berarti `menipu`. `Hocus` sendiri semula digunakan dalam permainan mantra sulap yang merupakan kependekan dari `hocus pocus`. Istilah `hoax` menjadi popular sejak pemutaran film The Hoax (2006). Film yang dibintangi  Richard Gere dan disutradarai Lasse Hallstrom yang skenarionya ditulis oleh William Wheeler ini diangkat dari sebuah buku oleh Clifford Irving dari judul yang sama, yakni The Hoax. Kepopuleran film ini menyebabkan setiap orang manakala berhadapan dengan sebuah berita atau informasi yang patut diduga memuat kebohongan (sumbernya tidak jelas dan kurang dipercaya) dengan mudahnya ikut-ikutan (latah) menyebutnya sebagai `hoax`Sejak saat itu kata `hoax` menjadi sangat populer. Berkatian dengan hoax, apakah ada hoax terbaik sebagaimana disampaikan Rocky Gerung pada gambar di atas? Rocky Gerung pada gambar di atas menyebutkan bahwa penguasa merupakan pihak pembuat hoax terbaik karena didukung oleh peralatan yang lengkap, yaitu statistik, intelijen, editor, panggung, dan media. Apakah penjelasan Rocky Gerung tentang hoax terbaik adalah hoax versi pemerintah? Kalau perlu diteliti, silakan saja para ilmuwan `Menara Gading` menelitinya!

***

Sebenarnya bisa lebih dari dua belas fenomena sosial yang bisa ditulis di sini. Namun, sebagai sebuah stimulus tidak ada salahnya kalau Penulis hanya menampilkan dua belas butir. Bisa saja nanti di saat menuliskan tulisan-tulisan utuh seperti layaknya sebuah wacana Penulis menambahkan, seperti politik uang, pencucian uang, politik dinasti, syahwat politik, dan terakhir yang sekarang populer di era pemilu ini: cawe-cawe politik. Selain itu, ada kemungkinan masalah-masalah sosial yang dianggap besar dan krusial ditulis secara bersambung. Mudah-mudahan dengan cara seperti itu ada keinginan para ilmuwan `Menara Gading` tergerak untuk melakukan sesuatu sehingga mereka bisa ke luar dari `Menara Gading` yang semakin lama semakin pengap.

Wallahu `alam bissawab!

Sumber Gambar :                                                              

  1. (https://www.kompasiana.com/nisahd/59ddab80cfea6f66db1cb212/menelusuri-standar-kemiskinan-di-indonesia)
  2. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200625193015-4-168138/64-juta-jadi-pengangguran-pekerjaan-ini-paling-rawan-phk)
  3. (https://www.suarakalbar.co.id/2023/11/pertama-dalam-sejarah-indonesia-ketua-kpk-terlibat-korupsi-terancam-penjara-seumur-hidup/)
  4. (https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/600ae1cc246d2/ketimpangan-ekonomi-indonesia-ada-di-berbagai-sisi)
  5. (https://quizizz.com/admin/quiz/600e1850586b53001b3e4b15/soal-uh-ketimpangan-sosial)
  6. (https://tulisandila.wordpress.com/2011/08/18/ratakan-kesenjangan-pendidikan-kota-dan-desa-2/)
  7. (http://sioge.com/ogeberita-348-pembangunan-tidak-merata-akibatkan-kesenjangan.html)
  8. (https://goodstats.id/article/sumatra-dan-kalimantan-menjadi-lahan-deforestasi-terbesar-di-indonesia-76soh)
  9. (https://majalah.tempo.co/read/kartun/163893/kartun-jika-pemerintah-menghapus-data-kematian-covid-19)
  10. (https://itaely.wordpress.com/2015/10/28/urbanisasi-dan-pro-kontaranya/)
  11. (https://www.aanwijzing.com/2019/11/pemecahan-permasalahan-akibat-keberagaman-budaya.html)
  12. (https://satriadharma.com/2017/01/19/rocky-gerung-dan-definisi-hoaxnya/)

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat