Subagio S. Waluyo
Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai orang-orang yang senang bercerita, terutama dalam proses berkomunikasi antar sesamanya. Si pencerita tak jarang membumbui bahan percakapannya dengan hal-hal di luar fakta. Kadang-kadang si pencerita dijuluki oleh orang-orang sekelilingnya sebagai “si pembual” karena sikapnya yang suka melebih-lebihkan suatu bahan omongan.
(Harris Effendi Thahar, Kiat Menulis Cerita Pendek, 1999:21)
Cerpen ada di mana-mana. Memang, cerpen ada di mana-mana. Cerpen ada di media cetak atau online baik yang ada media mingguan, seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, dan Suara Merdeka maupun di majalah hiburan (cetak dan online). Cerpen juga ada di majalah sastra, seperti Majalah Sastra Horison. Banyak juga majalah atau tabloid terbitan perguruan tinggi yang punya Fakultas Bahasa dan Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya yang memuat cerpen. Bahkan, saking banyaknya orang yang ingin memberikan manfaat buat orang lain, banyak juga blogspot atau website yang memuat cerpen-cerpen. Semua media itu bisa dibaca lewat gadget atau android. Bisa juga (kalau mau agak repot) dibuka lewat laptop atau notebook. Pokoknya, zaman kiwari ini banyak kemudahan orang untuk sekedar menikmati hiburan lewat bacaan. Kalau begitu, apa itu cerpen?
Cerpen itu akronim dari cerita pendek. Namanya juga cerita pendek, ya pendeklah. Tidak usah panjang-panjang ceritanya. Kalau ceritanya panjang, itu novel atau roman. Ada juga orang yang menyebut cerpenpan cerita pendek yang panjang. Tapi, sepanjang-panjangnya cerpen tidak mungkin sampai 40 halaman. Tidak mungkin juga sampai lebih dari 100 halaman. Kalau ada yang mengatakan cerita yang panjangnya cuma satu halaman, juga bisa disebut cerpen. Bisa sih bisa, cuma di dalam cerpen itu apakah sudah memenuhi kriteria seperti yang dikatakan HB Jassin ada kriteria tertentu yang di dalamnya ada bagian perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian? (Korrie Layun Rampan, Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, 2009:1). Kesimpulannya, kalau tidak ada tiga kriteria di atas, tidak bisa disebut cerpen.
***
(https://images.app.goo.gl/gAwLGGPW48osgebv8)
Terlalu repot ya kalau harus memenuhi tiga kriteria itu? Korrie `kan mengutip dari HB Jassin ketika memberi contoh dari cerpen “Tikus dan Manusia” karya Trisno Sumardjo. HB Jassin ketika menganalisis cerpen Trisno Sumardjo menyimpulkan beginilah bentuk ideal sebuah cerpen. Di dalamnya paling tidak ada tiga kriteria seperti disebutkan di atas. Kalau mau mendetail lagi juga boleh seperti yang dikatakan Harris Effendi Thahar dalam Kiat Menulis Cerita Pendek (1999:9) yang mengatakan bahwa dalam cerpen jalan ceritanya bisa lebih padat, latar atau kilas baliknya (kalau memang ada kilas balik) disinggung sambil lalu saja. Jadi, dalam cerpen semuanya serba dipadatkan. Tidak perlu digambarkan tentang misalnya watak tokoh-tokohnya demikian mendetail atau kalau pakai latar dimulai dengan latar yang demikian lengkap seperti novel. Bahkan, kalau mau pakai kilas balik dikisahkan sedemikian rupa sampai sekian halaman dihabiskan hanya untuk kilas balik. Kesimpulannya tidak sejauh itulah. Kalau mau mengutip pendapat Nyoman Tusthi Eddy cukup sebuah cerpen memuat berlangsungnya kejadian/peristiwa. Berlangsungnya kejadian/peristiwa tidak begitu lama. Tempat kejadian/ peristiwanya berkisar antara satu sampai tiga tempat. Jumlah pelaku paling banyak lima orang. Selain itu, watak pelaku tidak dilukiskan secara mendalam (Korrie, 2009:1). Supaya tidak `mudeng` bisa dilihat contoh petikan cerpen berikut ini.
Sebuah persoalan selesai dengan perkataan “maaf” dari pihak petugas barulah Salamat sadar, betapa pentingnya arti kekuasaan. Selama ini ia memang sering membaca dalam surat kabar, tentang banyaknya orang-orang berkuasa yang telah menggunakan kekuasaannya sesuka hati. Tapi soal kekuasaan itu tidak menarik hati. Baru setelah ia sendiri korban dari kekuasaan orang lain, ia menyadari betapa pentingnya untuk memperhatikan keadaan sekitar. Betapa perlunya prihatin kalau ada kemalangan menimpa orang-orang lain, betapa perlunya berjuang bersama-sama memenangkan apa yang dianggap benar. Betapa pentingnya kebersamaan dalam menghadapi suatu peristiwa. Selama ini Salamat lebih senang berjalan sendiri. Apapun yang terjadi di sekitarnya tidak diperdulikannya. Tidak pernah mendapat perhatiannya. Bahwa ada tetangganya yang kemalingan, ia tidak perduli. Ketika sebuah kecelakaan lalu lintas mengambil korban tiga nyawa tetangganya, ia juga tidak acuh. Bahkan ketika atasannya di kantor menampar seorang rekannya yang dianggap melanggar disiplin, ia juga bersikap masa bodoh terus mengetik tanpa berpaling seakan-akan tidak ada apapun terjadi di sekitarnya. Kisahnya peristiwa yang terjadi kemarin dulu menyentuhnya untuk berubah sikap. Kejadiannya sederhana saja. Rantai jam tangannya tidak mau dikatupkan, karena malam sebelumnya, ketika ia bangkit dari kursi, rantai itu terpukul keras ke tangan kursi dan kemudian jam tangannya meluncur jatuh ke lantai. Ketika Salamat mengambil jam tangan itu kembali memasukkannya ke pergelangan tangannya dan mengatupkan rantainya agar melekat dipergelangan tangannya ternyata rantai tidak mau mengatup. Hentakan yang keras dengan tangan kursi membuat ada sesuatu yang tidak beres pada rantai jam tangan itu. Salamat mencoba memperbaikinya dengan menggunakan tang dan gunting. Setelah berkali-kali dicobanya ternyata ia tidak berhasil. Lalu diputuskannya untuk membawanya ke tukang jam yang biasa ahli mereparasi. Esok paginya —itulah dia peristiwa yang terjadi kemarin dulu itu—Salamat membawanya ke tukang jam. Ketika tukang jam sedang menyetel rantai jamnya, seseorang mendekatinya. Setelah menunjukkan identitasnya, orang itu mengajaknya ke kantor. Cerpen “Maaf” karya Sori Siregar |
Apa yang bisa kita katakan setelah melihat kutipan cerpen di atas? Sederhana sekali `kan cara Sori Siregar memulai sebuah cerita? Sori mulai dari mengambil sebuah hikmah atas sebuah kejadian yang menimpa sang tokoh bernama Salamat. Dari situ cerita bergulir. Cerita dimulai ketika rantai jam tangannya lepas. Dia berupaya perbaiki, tetap tidak bisa. Akhirnya, dia bawa jam tangan itu ke tukang servis jam tangan. Tiba-tiba saja ketika dia menyerahkan jam tangan itu ada petugas yang mengajaknya ke kantor (maksudnya kantor polisi). Kira-kira seperti itu sebagai pembuka cerpen itu. Kalau kita amati isi petikan di atas sesuai dengan kriteria yang disampaikan HB Jassin, yaitu masuk kriteria pertama yang berkaitan dengan perkenalan. Sedangkan yang berkaitan dengan kriteria kedua: pertikaian bisa dilihat pada petikan berikutnya.
“Untuk apa?,” tanya Salamat “Untuk itu!,” jawab orang tadi sambi menunjuk ke arah jam yang sedang disetel oleh tukang jam. Tanpa menunggu lebih lama lagi, petugas tadi mengambil jam tangan Salamat dari tukang jam dan kemudian menarik Salamat mengikutinya. Di kantor petugas ia dipaksa mengakui bahwa jam itu adalah jam curian. Tentu saja Salamat ngotot mengatakan jam itu adalah miliknya. Ia tidak pernah merasa mencuri jam. Setelah petugas yang satu tidak dapat memaksa Salamat untuk mengakui bahwa jam itu adalah curian, muncul petugas lain dengan wajah seram. Pertanyaan yang sebelumnya telah diajukan pertama diulang lagi oleh petugas berwajah seram ini. Salamat tetap pada pendiriannya. Tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Walaupun petugas yang kedua ini menginterogasi Salamat dengan menghardik dan menggertak, Salamat tetap tidak mengaku. Pemeriksaan berikut dilakukan oleh petugas ketiga. Wajahnya tidak sekejam petugas kedua. Namun di tangannya ia memegang pentung karet. Pentung itu berkali-kali dipukulnya ke meja untuk mendapatkan pengakuan, Salamat tidak mengaku. “Saya telah memukulkan pentung ini lima belas kali ke atas meja,” kata petugas, “Jangan paksa saya memukulnya ke tubuh Anda. Biasanya setelah pukulan kedua puluh, saya tidak sadar lagi, apakah saya memukul meja atau memukul tubuh orang yang saya periksa.” “Bagaimana saya harus mengaku, kalau saya memang membelinya dan bukan mencurinya,” jawab Salamat. “Jangan banyak omong penjambret jam meningkat akhir-akhir ini, terutama sekali di daerah sekitar sini Anda termasuk yang kami cari dan foto serta keterangan tentang diri Anda lengkap pada kami.” Salamat tentu saja terkejut. Lalu ia menggelengkan kepala. “Jangan main-main. Pak” katanya. “Bangsat,” teriak petugas sambil mengayunkan pentungnya ke meja untuk keenam belas kalinya. Bagaimana keterangan tentang diri saya dan foto saya dimiliki petugas, kalau saya tidak pernah memberikannya,” sahut Salamat dengan sedikit gemetar. “Binatang. Sudah berapa kali kau tertangkap, masih juga kau berlagak pilon,” hardik petugas sambil menghantamkan lagi pentungnya ke meja untuk ketujuh belas kalinya. Salamat sadar petugas ini memang marah sekali. Mungkin ia merasa dirinya dipermainkan. Tapi pengakuan apa yang harus diberikan kalau aku memang tidak pernah mencuri jam?, pikir Salamat. “Hayo mengaku,” teriak petugas itu lagi sambil memukul meja untuk kedelapan belas kalinya. Salamat menatap petugas itu memohon belas kasihan. Ia sadar petugas itu akan berbuat apa saja, kalau ia mau. Ia punya alasan dan kekuasaan untuk itu. Tatapan memohon belas kasihan dibalas petugas dengan pandangan penuh kebencian. “Pak,” terdengar suara Salamat lirih, “Saya menyerah. Namun saya tidak mau memberikan pengakuan yang Bapak minta. Saya menyerah. Saya pasrah untuk diperlakukan apa saja.” Tang-tang terdengan pukulan pentung karet ke atas meja. Dua puluh kali sudah. Dan setelah itu petugas tersenyum. Sekarang tinggal teken proses verbal. Setelah itu beres.” “Beres?” Cerpen “Maaf” karya Sori Siregar |
Pada bagian pertikaian terjadi sesuatu yang menegangkan antara Salamat dan orang-orang yang menginterogasinya. Pertama-tama jam tangan Salamat tanpa ba-bi-bu diambil petugas (polisi). Kemudian Salamat ditarik polisi agar mengikutinya ke kantor polisi. Sesampai di kantor polisi mulailah Salamat diinterogasi. Pertama-tama Salamat diinterogasi oleh polisi yang menangkapnya. Salamat tidak mau mengaku karena memang itu jam tangan miliknya. Karena tidak bisa mengorek pengakuan dari orang yang ditangkapnya, penginterogasi yang pertama meminta rekannya yang lain untuk melakukan hal yang sama. Penginterogasi kedua wajahnya seram. Sama seperti sebelumnya, penginterogasi kedua juga mengajukan hal yang sama. Terang saja Salamat masih tetap tidak mengaku. Akhirnya, karena masih juga tidak mau mengaku, tiba gilirannya penginterogasi yang ketiga. Memang, orangnya tidak seseram penginterogasi kedua tetapi orang yang menginterogasi Salamat kali ini menggunakan pentungan.
Setiap kali mengajukan pertanyaan setiap kali pula sang penginterogasi memukul pentungannya ke meja. Sambil memukul pentungan keluarlah kata-kata (lebih mirip bentakan) yang keras dan kasar. Sampai akhirnya sang penginterogasi memukulkan pentungannya yang kedua puluh. Kalau sampai jatuh pentungan yang kedua puluh satu bukan lagi meja yang dipukul begitu ancaman sang penginterogasi. Salamat karena sudah lelah dan tidak ada jalan lagi pada akhirnya menyerah.
Interogasi yang disertai dengan ancaman dari penginterogasi ketiga membuat Salamat menyerah walaupun tetap saja dia tidak bersedia memberikan pengakuannya. Di detik-detik akhir mendekati keputus-asaannya menghadapi sikap sang petugas yang tidak bisa diajak kompromi tiba-tiba saja ada keajaiban. Dia mendengar ada ucapan `maaf` dari petugas yang menginterogasinya pertama kali. Ternyata, di saat-saat genting yang seharusnya dia masuk penjara istrinya datang sambil membawa surat pembelian jam tangan sebagai bukti bahwa jam tangan yang direbut petugas adalah memang miliknya. Kalau saja istrinya tidak datang ke kantor polisi, boleh jadi dia akan menandatangani proses verbal. Begitu selesai menandatangani proses verbal, dia harus masuk penjara seperti itu prosedurnya. Tetapi, nasibnya memang masih tergolong baik sehingga dia tidak jadi masuk penjara gara-gara istrinya yang datang ke kantor polisi yang membuat sang polisi meminta maaf padanya. Dengan demikian berakhir sudah drama pertikaian Salamat dengan pihak berwajib yang telah berbuat sewenang-wenang terhadap orang yang belum tentu bersalah.
Salamat terhenyak. Selesailah sudah, ia harus menanggung beban yang tidak pernah dibuatnya. Dalam keadaan putus asa ia menunduk. Petugas meninggalkan Salamat di kamar pemeriksaan seorang diri, dalam keadaan putus asa dan akhirnya ia mendengar kata “maaf.” Seseorang telah mengucapkannya. Ia berpaling. Ternyata kata itu dilontarkan petugas pertama yang tadi menghampirinya di tukang jam dan membawanya ke kantor itu. “Maaf,” kata petugas itu lagi, “Kami salah tangkap.” Salamat tidak percaya pada pendengarannya. Ia menggosok matanya berkali-kali. Petugas itu mengamati Salamat dengan tersenyum manis dan kemudian mengajaknya meninggalkan kamar periksa. Petugas yang terus tersenyum itu kemudian mempertemukan Salamat dengan istrinya di kamar tunggu. Salamat tidak mengerti mengapa istrinya berada di sana. Cerpen “Maaf” karya Sori Siregar |
Bagaimana penyelesaiannya? Sesuai dengan judulnya, “Maaf”, cerpen tersebut ditutup dengan ucapan sang polisi yang merasa salah tangkap. Jadi, kalau di bagian pertikaian Salamat dibikin tegang oleh tiga orang polisi yang menginterogasinya, sampai-sampai polisi yang terakhir itu memukulkan pentungannya sampai dua puluh kali. Di bagian penyelesaian sang polisi akhirnya hanya mengucapkan maaf. Dengan ucapan itu dianggap sudah selesai persoalannya. Sang polisi yang membikinnya harus menyerah dan mengakui perbuatannya tidak terlihat batang hidungnya. Begitu sederhana bukan sebenarnya isi cerpen tersebut?
Jika melihat pada pendapat Nyoman Tusthi Eddy bahwa sebuah cerpen cukup memuat berlangsungnya kejadian/peristiwa. Dengan milihat pada petikan cerpen di atas, hal itu sudah terpenuhi. Begitu juga bicara masalah waktu peristiwa atau kejadiannya tidak begitu lama. Cukup setengah hari dari pagi ketika Salamat datang ke tukang jam, diseret ke kantor polisi, diinterogasi polisi, sampai dipersilakan ke luar dari kantor polisi dan (karena masih ada waktu) Salamat masih sempat pamitan ke istrinya untuk berangkat kerja. Jadi, berlangsungnya kejadian atau peristiwa tidak begitu lama. Tempat kejadian/peristiwanya juga tidak banyak makan tempat: dari tukang jam ke kantor polisi. Kalau istrinya, dari rumah ke tukang jam. Setelah urusannya selesai dengan tukang jam langsung ke kantor polisi. Sebagai pelengkap, kalau bicara tentang watak pelakunya, memang watak pelaku-pelakunya oleh penulis tidak dilukiskan secara mendalam. Coba kita bandingkan dengan bagian pembuka dari sebuah novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis berikut ini.
1 Hutan Raya terhampar di seluruh pulau, dari tepi pantai tempat ombak-ombak samudera yang terentang hingga ke Kutub Selatan menghempaskan diri setelah perjalanan yang amat jauhnya hingga ke puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi dan setiap hari diselimuti awan tebal. Hutan raya berubah-ubah wajahnya. Yang dekat pantai merupakan hutan-hutan kayu bakau, dan semakin jauh ke darat dan semakin tinggi letaknya, berubah pula kayu-kayu dan tanaman di dalamnya, hingga tiba pada pohon-pohon besar dan tinggi, sepanjang masa ditutup lumut, yang merupakan renda-renda terurai dari cabang dan dahan. Sebagian terbesar bagian hutan raya tak pernah dijejak manusia dan di dalam hutan raya hidup bernapas dengan kuatnya. Berbagai margasatwa dan serangga penghuninya mempertahankan hidup di dalamnya. Demikian pula tanaman dan bunga-bunga anggrek, yang banyak merupakan mahkota di puncak-puncak pohon tinggi. Di bahagian atas hutan raya hidup siamang, beruk dan sebangsanya dan burung-burung; dan di bawah, di atas tanah, hidup harimau kumbang, gajah dan beruang; di sepanjang sungai tapir, badak, ular, buaya, rusa, kancil dan ratusan makhluk lain. Dan di dalam tanah serangga berkembang biak. Banyak bagian hutan raya yang menakutkan, yang penuh dengan paya yang mengandung bahaya maut dan hutan-hutan gelap yang basah senantiasa dari abad ke abad. Akan tetapi pula ada bahagian yang indah dan amat menarik hati, tak ubahnya seakan hutan dalam cerita tentang dunia peri dan bidadari, hutan-hutan kecil yang dialasi oleh rumput hijau yang rata, yang seakan selalu dipelihara dan dibersihkan, dikelilingi oleh pohon-pohon cemara yang tinggi dan langsing semampai dan yang menyebarkan wangi minyak cemara ke seluruh hutan. Di tengah hutan yang demikian sebuah anak sungai kecil, dengan airnya yang sejuk dan bersih mengalir, menccraeah, menyanyi-nyanyi dan berbisik-bisik, dan akan inginlah orang tinggal di sana selama-lamanya. Di dalam hutan terdapat pula sumber-sumber nafkah hidup manusia, rotan dan damar dan berbagai bahan kayu. Manusia yang dahulu hidup di dalam hutan seperti binatang, dan kemudian meninggalkan hutan untuk membangun kota dan desa, kini pun selalu kembali ke dalam hutan untuk berburu atau mencari nafkah. Mereka bertujuh telah seminggu lamanya tinggal di dalam hutan mengumpulkan damar. Pak Haji Rakhmad, yang tertua di antara mereka. Pak Haji demikian panggilannya sehari-hari, telah berumur enam puluh tahun. Meskipun umurnya telah selanjut itu, akan tetapi badannya masih tetap sehat dan kuat, mata dan pendengarannya masih terang. Mendaki dan menuruni gunung membawa beban damar atau rotan yang berat, menghirup udara segar di alam terbuka yang luas, menyebabkan orang tinggal sehat dan kuat. Pak Haji selalu membanggakan diri, bahwa dia tak pernah sakit seumur hidupnya. Dia bangga benar tak pernah merasa sakit pinggang atau sakit kepala. Di waktu mudanya ketika dia berumur sembilan belas tahun, dia pernah meninggalkan kampungnya, dan pergi mengembara ke negeri-negeri lain. Ada lima tahun lamanya dia bekerja di kapal. Dia pernah tinggal dua tahun di India, belajar mengaji di sana. Pak Haji juga pernah mengembara ke negeri Jepang, ke negeri Cina, ke benua Afrika dan ke bandarbandar orang kulit putih dengan kota-kotanya yang ramai. Akan tetapi kampung halaman memanggilnya juga kembali. Dan setelah dua puluh tahun mengembara, akhirnya Pak Haji menunaikan ibadah haji, dan kemudian kembali ke kampung. Dia kembali bekerja mencari damar, seperti yang dilakukan oleh ayahnya dahulu, dan yang telah dilakukannya pula sejak dia berumur tiga belas tahun mengikuti ayahnya. Pak Haji selalu berkata, setelah merasakan semua pengalamannya di dunia, dia lebih senang juga jadi orang pendamar. Wak Katok berumur lima puluh tahun. Perawakannya kukuh dan keras, rambutnya masih hitam, kumisnya panjang dan lebat, otot-otot tangan dan kakinya bergumpalan. Tampangnya masih serupa orang yang baru berumur empat puluhan saja. Bibirnya penuh dan tebal, matanya bersinar tajam. Dia juga ahli pencak dan dianggap dukun besar di kampung. Dia terkenal juga sebagai pemburu yang mahir. Yang muda-muda di antara mereka bertujuh, Sutan, berumur dua puluh dua tahun dan telah berkeluarga, Talib berumur dua puluh tujuh tahun dan telah beristri dan beranak tiga, Sanip berumur dua puluh lima tahun, juga telah beristri dan punya empat anak, dan Buyung, yang termuda di antara mereka, baru berumur sembilan belas tahun.Anak-anak muda itu semuanya murid pencak Wak Katok.Mereka juga belajar ilmu sihir dan gaib padanya. Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis |
Petikan di atas baru diambil dari sebuah pembukaan dari novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis. Dari pembukaan saja sudah demikian panjang. Isinya berkisar tentang gambaran hutan lebat yang ada di negara ini. Hutan di negara ini di sepanjang pulau terhampar dimulai dari pegunungan sampai ke tepi laut. Di sepanjang tepi laut hutan yang terbentang adalah hutan-hutan bakau. Pepohonan di tepi laut pun tidak begitu tinggi. Lain halnya dengan jenis pepohonan yang hutannya semakin ke tengah, ke arah pegunungan terhampar hutan dengan pepohonan yang tinggi menjulang. Hutan-hutan yang mengarah ke pegunungan dihuni oleh berbagai margasatwa yang sangat mungkin belum dijajaki manusia. Bukan hanya margasatwa yang bisa saja di antaranya dijadikan kebutuhan pokok manusia, tetapi juga di hutan itu terdapat berbagai tumbuhan yang bisa dimanfaatkan manusia, entah rotan, damar, atau buah-buahan. Meskipun demikian, hutan itu juga penuh misteri karena banyak kisah atau cerita tentang makhluk-makhluk gaib seperti jin, peri, dan sejenisnya yang membuat buluk kuduk orang berdiri.
Setelah selesai berkisah tentang hutan, penulis mulai berkisah tentang tujuh orang pemburu yang telah satu minggu berada di tengah hutan. Pekerjaan mereka sebagai pengumpul damar dan hasil hutan lainnya (sekalian memburu kijang atau rusa). Penulis secara lengkap selain menyebutkan namanya juga usianya, kondisi fisiknya, dan pengalaman atau latar belakang kehidupannya (terutama untuk tokoh-tokoh yang terbilang sudah tua). Dari tujuh orang pemburu itu, dua orang tergolong tua (berusia di atas lima puluh tahun) dan lima orang masih relatif muda. Digambarkan oleh penulis secara detail nama-nama orangnya beserta usianya ke lima orang yang berusia muda itu. Dari lima orang muda itu, empat orang sudah berkeluarga dan tiga orang di antara mereka sudah punya anak. Hanya satu orang yang paling muda (baru berusia sembilan belas tahun) masih bujangan. Kelima orang muda itu murid-murid Wak Katok. Mereka belajar sihir dan (alam) gaib pada Wak Katok. Penulis sebelum meneruskan jalan ceritanya menguraikan terlebih dulu pelaku-pelakunya sehingga pembaca memiliki gambaran tentang pelaku-pelaku di novel tersebut. Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa kita setuju dengan pendapat yang disampaikan baik oleh HB Jassin maupun Nyoman Tusthi Eddy tentang kriteria cerpen yang disampaikan mereka di atas.
***
(https://images.app.goo.gl/UirmPDcZkX6kaQF29)
Terlepas dari kriteria yang disampaikan kedua sastrawan tersebut, umumnya orang memang lebih suka membaca cerpen. Membaca cerpen tidak perlu waktu lama. Membaca cerpen tidak perlu mengernyitkan dahi. Membaca cerpen benar-benar sebuah media buat kita untuk refreshing. Terkadang membaca cerpen membuat kita senyum-senyum sendiri bahkan tertawa karena isi cerpennya cenderung humoris (walaupun sebenarnya menertawakan diri sendiri). Terkadang juga membuat kita hanyut terbawa emosi kalau jalan ceritanya menggambarkan perilaku orang yang kejam, serakah, nyinyir, zolim, tidak punya kepedulian, atau mau menang sendiri. Wajar-wajar saja kalau media cetak atau online menyisihkan sebagian halamannya untuk cerpen. Tidak mustahil dengan hanya membaca cerpen orang yang membacanya bisa memperkaya kosa kata sekaligus memperluas wawasan entah wawasan kemanusiaan dan kesosialannya. Bisa saja orang yang membaca cerpen mau melakukan introspeksi diri tentang perilakunya yang menurut penilaiannya selama ini cenderung negatif. Atau minimal orang yang membaca cerpen otot-otot syarafnya yang semula tegang bisa kendor. Makanya, cerpen ada di mana-mana dan di mana-mana bisa saja ada cerpen.
Sumber Gambar:
(https://www.liputan6.com/citizen6/read/2062070/kreatif-foto-foto-hasil-manipulasi-yang-menakjubkan)