Subagio S. Waluyo

Seorang karikaturis walaupun pernah mengecap bangku PT (ada juga di antara mereka yang selesai pendidikan PT-nya), banyak di antara mereka yang tidak memahami konsep ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dengan kata lain, semasa kuliah mereka kurang peduli dengan ketiga konsep tersebut. Meskipun demikian, mereka orang-orang yang kreatif, kritis, dan punya kepedulian. Justru, karena memiliki kreativitas, kekritisan, dan kepedulian, mereka sesungguhnya telah mempraktekkan konsep aksiologi lewat karya-karyanya. Artinya, cukup dengan melihat karya-karyanya bisa disimpulkan bahwa mereka telah mengimplementasikan konsep aksiologi. Sebagai bukti kalau mereka mengimplementasikan konsep aksiologi bisa dilihat pada gambar-gambar karikatur di bawah ini.

***

Karikaturis di atas lewat karyanya berpesan bahwa seorang pembohong tidak layak menjadi pemimpin. Pesan yang disampaikan sang karikaturis tidak berlebihan. Memang, seorang pemimpin harus memiliki kejujuran. Seorang pemimpin yang tidak jujur (pembohong) ada kesempatan (salah satunya) melakukan tindak pidana korupsi (tipikor). Pemimpin jenis ini terutama pemimpin di suatu negara, daerah, atau instansi, baik pemerintah maupun swasta di manapun berada pasti melakukan praktek-praktek kotor apalagi kalau bukan korupsi. Apa yang terjadi kalau pemimpin di suatu daerah sudah melakukan tipikor? Bisa ditebak daerah itu tidak bisa membangun. Rakyat di daerah itu tetap saja dalam kondisi terbelakang, baik dari sisi ekonomi, kesehatan, maupun pendidikannya. Kalau sudah seperti itu, tidak usah heran di daerah yang dipimpinnya banyak warganya yang tidak sejahtera karena banyak yang miskin, tidak sehat (anak-anaknya banyak yang busung lapar?), dan tidak mustahil tingkat pendidikannya rata-rata menengah ke bawah. Sangat mungkin, kalau ada istilah negara gagal, untuk daerah seperti ini juga bisa dilekatkan istilah  daerah gagal. Dengan demikian, ada benarnya juga ya, kalau pembohong tidak layak menjadi pemimpin?

Seseorang yang melakukan tipikor (koruptor) sudah jelas adalah seorang pembohong. Walaupun sebagian besar koruptor berpendidikan tinggi, sebagai orang yang berintelektual seorang koruptor jelas orang yang tidak bermoral. Orang jenis ini juga punya saham menggiring entah daerah atau negara ke arah daerah atau negara gagal karena koruptor tersebut telah membuat gagal mensejahterakan masyarakatnya. Saking kuatnya syahwat duniawi ketika diadili agar hukuman yang dikenakan lebih ringan, di samping di-back up habis-habisan oleh tim pembelanya, sang koruptor juga berusaha mencari empati masyarakat. Salah satu cara mencari empati masyarakat di antaranya adalah sang koruptor mengharapkan adanya caci-maki dari masyarakat. Berkat caci-maki dari masyarakat, sang hakim yang tidak tega melihat sang koruptor dicaci-maki masyarakat sedemikian rupa justru memberikan vonis ringan. Wallahu a`lam, apakah hakimnya yang masuk angin atau tekanan masyarakat yang membuat vonis hukumannya demikian ringan? Yang pasti, baik sang koruptor maupun sang hakim kedua-duanya tidak jujur alias sama-sama pembohong.

Pejabat-pejabat, baik di daerah maupun pusat juga kerap berbohong. Hal itu terjadi ketika mereka menyampaikan laporan perkembangan ekonomi, baik di daerahnya maupun negaranya sudah bisa dipastikan para pejabat itu memanipulasi data. Bisa saja sang pejabat daerah karena mau mendapat apresiasi dari rakyatnya menyampaikan kalau perekonomian di daerah yang dipimpinnya membaik. Sebaliknya, tingkat kemiskinan menurun. Tetapi, jika dikaitkan dengan realitanya justru sebaliknya. Di sini sang pejabat daerah yang sudah dipastikan sekarang ini sebagian besar dari kalangan orang-orang akademis demi melanggengkan kekuasaannya terpaksa harus berbohong. Saking kerapnya berbohong hidungnya seperti yang tampak pada gambar karikatur di atas semakin memanjang. Persis seperti Pinokio ketika berbohong semakin panjang hidungnya. Tidak mustahil pejabat jenis Pinokio ini juga tidak bersih dari yang namanya korupsi. Dengan demikian, pejabat semacam ini adalah pejabat yang tidak bermoral.

***

          Dengan melihat ketiga gambar karikatur di atas bisa disimpulkan bahwa karikaturis di atas memberikan perhatian khusus agar siapapun orangnya menghindari kebohongan. Siapapun orangnya yang berbuat bohong bisa dipastikan kebohongan yang dilakukannya suatu saat akan terbongkar. Ibarat orang yang berusaha untuk menyembunyikan bangkai, suatu saat akan tercium baunya. Manakala hasil perbuatan bohongnya terbongkar berlaku adagium yang mengatakan `sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya’. Sebaik apapun tampilan dan budi bahasa seseorang (bisa saja orang melihatnya sebagai orang baik) manakala suatu saat berbohong, seumur hidup orang tidak akan percaya. Untuk itu, pada para ilmuwan yang berada di Menara Gading jangan sekali-sekali berbuat bohong karena kebohongan akan membuat hidup tidak tenang, tidak nyaman, dan jauh dari rasa aman. Jadi, sudah saatnya seorang akademikus menegakkan integritas. Wallahu a`lam bissawab.

 

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat