Subagio S.Waluyo

Setelah palu dan arit kusimpan di bawah rak piring, masalah kuanggap selesai. Tapi ternyata tidak. Muncul masalah baru yang sangat rumit, ketika suamiku tiba-tiba menggeledah isi dapur dan menemukan kedua benda yang dianggap memiliki makna politis itu.

 “Rupanya kamu tidak bisa melupakan ideologi yang sudah dilarang sejak lama,” komentar suamiku sambil memegang palu dan arit.

“Apa maksudmu?” tanyaku ketus. Rasanya aku sangat tersinggung, karena suamiku mencurigaiku, mentang-mentang aku keturunan PKI. Ayahku dulu Ketua Cabang PKI yang kemudian ikut menjadi korban pembersihan, jenazahnya ditemukan di tengah persawahan dengan leher nyaris putus. 

Setelah itu Ibu dipenjara seumur hidup tanpa proses persidangan, sedangkan aku diurus oleh Paman yang kebetulan anti PKI. Sejak kecil aku dididik Paman untuk menjadi manusia beragama yang rajin beribadah. Aku disekolahkan di madrasah agar bisa menulis dan membaca aksara latin dan arab. Lalu setelah dewasa aku menikah dengan suamiku, putra seorang modin di desanya. 

“Apa maksudmu menyimpan palu dan arit ini di bawah rak piring? Bukankah benda-benda ini bukan sembarang benda?” suamiku balik bertanya.

 “Aku menyimpannya di bawah rak piring, karena siapa tahu suatu ketika ada gunanya.”

(Cerpen Kompas, Siti Siamah, “Paket”)

***

Palu dan arit atau sering ditulis palu-arit sebenarnya hanya seperangkat perkakas yang sering digunakan orang untuk pengerjaan tukang kayu.Tapi, kedua alat itu bisa saja dimaknai dengan sesuatu yang berkaitan dengan ideologi. Dalam hal ini orang sering mengaitkan kedua alat itu sebagai sebuah ideologi yang pernah ada di negara ini: komunis. Bahkan, komunis pernah menjadi sebuah partai yang cukup besar pengikutnya: Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI saat ini sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pelarangan dan Pembubaran PKI termasuk sebagai organisasi terlarang. Karena sudah dikategorikan sebagai partai terlarang, mau tidak mau setiap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunis/Marxisme-Lenisme sah-sah saja kalau dilarang. Orang yang menyebarkannya juga sah-sah jika harus berhadapan dengan pihak berwajib.

Sebagai sebuah ideologi yang pernah besar PKI juga pernah membuat peristiwa besar di negara ini. Tercatat selama Indonesia merdeka sudah dua kali PKI melakukan pemberontakan. Pertama di Madiun pada tahun 1948. Pemberontakan pertama ini dilakukan oleh “Front Demokrasi Rakyat” (FDR), yang terdiri atas Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Pemuda Rakyat dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Pemberontakan PKI yang dilakukan oleh Musso ini mengalami kegagalan.Musso sendiri ditembak mati  ketika dalam pengejaran ke Sumoroto (dekat Ponorogo). Selain, Musso juga Amir Sjarifudin dan beberapa temannya ditangkap di Grobogan (Jawa Tengah) dan dihukum mati (https://id.wikipedia.org/wiki/Pemberontakan_ PKI_1948).

Peristiwa kedua terjadi pada 30 September 1965 atau G30S PKI. Dalam peristiwa ini enam militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta. Upaya kudeta itu berhasil digagalkan. Adalah Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto yang berhasil melakukan penumpasan terhadap gerakan tersebut. Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

  1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi);
  2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi);
  3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan);
  4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen);
  5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik); dan
  6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat).

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965. Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban, yaitu Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena) dan Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta). Beberapa bulan setelah peristiwa ini, seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Jumlah orang yang dibantai belum diketahui secara pasti. Namun diduga setidak-tidaknya ada satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu (https:// id. wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September).

Peristiwa berdarah yang dilakukan PKI dan antek-anteknya yang pada akhirnya diputuskan sebagai partai terlarang sekaligus ideologi terlarang di negara ini. Sulit dibayangkan kalau pada Peristiwa G30S PKI negara ini bisa direbut oleh mereka. Sudah bisa dipastikan negara ini menjadi negara komunis. Allah mentakdirkan negara yang sebagian besar penduduknya Muslim ini ternyata masih bisa diselamatkan dari bahaya komunisme. Sebuah nikmat yang layak untuk disyukuri walaupun harus menelan korban yang tidak sedikit baik dari kalangan ulama maupun santri. Kita berharap peristiwa ini di masa depan tidak terulang kembali. Karena itu upaya mempertahankan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 ini harus diperjuangkan. Jangan lagi ada lagi oknum-oknum tertentu yang berniat menghapusnya. Kalau sampai TAP MPRS itu sampai dihapus tidak mustahil PKI akan berkuasa kembali. Umat Islam akan dihabisi karena yang menjadi penghalang utama mereka dalam menanamkan paham komunis di negara ini justru umat Islam.

Peristiwa yang memilukan dan memakan banyak korban anak bangsa ini sangat berbekas di benak seluruh rakyat Indonesia yang pernah mengalami peristiwa tersebut. Wajar saja tidak sedikit orang yang tersinggung kalau ada orang yang menyimpan seperti palu-arit dikaitkan dengan PKI. Buat sebagian besar anak bangsa yang tahu persis peristiwa G30S PKI tidak terima jika disebut PKI. Buat mereka PKI sebuah stigma yang sampai kapan pun punya konotasi negatif. Kalau ada orang yang tidak tersinggung, bahkan bangga disebut PKI atau keturunan PKI, orang seperti ini perlu diwaspadai: jangan-jangan memang benar dia  keturunan PKI yang selama ini tiarap demi menyelamatkan dirinya. Boleh jadi juga entah bapak atau kakeknya diam-diam menanamkan ideologi komunis ke dalam diri anak tersebut. Anak-anak ini jika sejak dini tidak ditanamkan nilai-nilai agama dan bahaya laten  komunis, tidak mustahil mereka akan menjadi generasi penerus PKI. Naudzubillahi min dzaalik.

***

Di atas telah disampaikan sesuatu yang dianggap wajar jika ada orang yang tersinggung dikatakan PKI atau keturunan PKI. Dalam cerpen yang ditulis oleh Siti Siamah: “Paket” diceritakan kalau Tokoh Aku (seorang perempuan, ibu rumah tangga) suatu hari menerima paket. Paket itu begitu dibuka membuat Tokoh Aku terkejut karena isinya palu dan arit serta sepotong kertas yang bertuliskan: “Palu arit ini untuk membongkar rumahmu yang sudah bobrok. Semoga bermanfaat.” Kertas warna merah darah itu tidak bertanda tangan sehingga sulit dilacak penulisnya. Sulit diterima untuk memperbaiki rumah hanya bermodalkan palu dan arit. Tokoh Aku merobek kertas surat itu dan menyimpan palu arit ditaruh di bawah rak piring, di sudut dapur dengan anggapan suatu saat ada manfaatnya.

Palu-arit itu suatu saat ditemukan suaminya, seorang pegawai negeri di kantor pemda. Suaminya yang menemukan palu arit itu langsung menuduh kalau istrinya masih terikat dengan ideologi terlarang itu. Tokoh Aku jelas tidak terima tuduhan tersebut. Walaupun ayahnya mantan tokoh PKI yang disembelih lehernya dan ibunya dipenjara seumur hidup tanpa pengadilan yang jelas sedangkan Tokoh Aku diasuh oleh pamannya yang anti PKI, dia tidak terima tuduhan tersebut. Buat Tokoh Aku tuduhan itu sangat-sangat menyakitkan. Keributan itu berakhir dengan pernyataan sang suami yang ingin menceraikan istrinya yang dituduh PKI. Pernyataan sang suami tentu saja membuat Tokoh Aku terpukul. Sejak saat itu keduanya tidak saling bertegur sapa. Tidak cukup sampai di situ, uang belanja yang biasanya diberikan penuh dipotong oleh sang suami sebesar 25% karena sang suami sejak saat itu tidak mau memakan masakan istrinya.

Ada sebuah  kecerdasan yang dimiliki Tokoh Aku yang tampaknya patut ditiru oleh kita. Ternyata, diam-diam Tokoh Aku menyelidiki perilaku sang suami. Diam-diam dia ikuti suaminya ketika berangkat kerja. Suatu saat dia dapati sang suami dengan teman kerjanya (seorang perempuan) makan bersama di warung. Setelah itu dia telusuri tempat tinggal sang perempuan tersebut. Ternyata, perempuan teman sekantor suaminya itu seorang janda yang cerai karena suaminya selingkuh. Jadi, ada hubungan asmara antara suaminya dan perempuan janda itu. Selain itu, hasil penelusurannya juga membuahkan sesuatu yang luar biasa, yaitu palu arit dan selembar kertas yang dibungkus rapi seperti layaknya paket memang sengaja dikirim oleh sang suami dan perempuan itu agar istrinya bisa diceraikan dengan tuduhan yang cukup keji: masih menganut paham ideologi komunis (PKI). Meskipun demikian, di sini kita layak belajar sabar dari Tokoh Aku, sang istri yang tergolong cerdas ini, biar bagaimanapun tidak ada niatan untuk berpisah dengan sang suami. Walaupun cara yang ditempuh sang suami terhitung keji, dia tetap mencintai suaminya sehingga dia ingin masalah itu diselesaikan dengan cara baik-baik.

Pada hari lainnya, aku sengaja masuk pasar dan mencari kios penjual alat-alat pertukangan seperti palu, arit, gergaji, linggis dan sebagainya. Kutanyakan apakah sebulan lalu pernah ada laki-laki yang ciri-cirinya sama dengan suamiku yang membeli palu dan arit?

Pemilik kios itu mengangguk sambil berkata, “Ya. Tapi seingatku, belakangan banyak orang membeli palu dan arit. Mungkin untuk membangun rumah gubuk di lahan baru karena banyak kampung dilanda banjir atau menjadi korban gempa dan tanah longsor.”

Lalu kuperlihatkan sebuah foto suamiku yang sengaja kubawa dari rumah.

“Betul, dia datang bersama seorang wanita memakai seragam kantor pemda. Malah wanita itu yang membayarnya. Kemudian palu dan arit yang dibelinya itu langsung dibungkus dengan kardus, lalu dibungkus lagi dengan kertas kado. Katanya akan dikirimkan kepada seseorang.”

“Sayalah yang menerima kiriman itu. Terima kasih. Anda telah membantu saya membongkar skandal cinta yang sangat keji.”

Pemilik kios itu terpana dengan kening berkerut. Sepertinya mau bertanya tapi ragu-ragu. Lalu aku buru-buru permisi meninggalkan kios itu.

Sekarang, aku betul-betul mengerti, betapa suami yang berselingkuh memang amat sangat kejam terhadap istri. Dan aku pun jadi mengerti, kenapa ada istri yang tega membunuh suaminya yang telah berselingkuh. Tapi rasanya aku tidak akan tega membunuh suamiku, karena aku masih mencintainya, entah sampai kapan…

***

Peristiwa langka seperti yang ada pada cerpen tersebut jelas merupakan perbuatan keji karena memanfaatkan simbol-simbol PKI sebagai ideologi terlarang hanya untuk  kepentingan pemenuhan nafsu syahwat. Seolah-olah seperti tidak ada cara lain untuk melakukan pemenuhan nafsu syahwat itu. Sang suami yang menuduh istrinya PKI jelas menunjukkan akhlak yang buruk. Kalau memang akhlaknya baik, kenapa dia gunakan simbol-simbol komunis? Bahkan, secara langsung dia juga menuduh Tokoh aku sebagai orang yang masih menganut ideologi komunis? Apakah bisa dibenarkan menyimpan perkakas berupa palu arit bisa dituduh sebagai orang yang masih lekat menganut paham komunis? Jelas, tuduhan sang suami cenderung berlebihan apalagi cuma alasan yang tidak masuk di akal dia mau menceraikan istrinya.

Suasana sepi berlangsung selama satu pekan. Setelah itu suamiku tiba-tiba mengajakku bicara.

“Aku tidak mau punya istri yang diam-diam ingin menghidupkan komunisme,” ujar suamiku dengan suara berat.

Aku langsung membantah keras. “Aku tidak mau difitnah oleh siapa pun, termasuk oleh suamiku sendiri.”

“Aku tidak memfitnah, karena buktinya kamu menyimpan palu dan arit di bawah rak piring.”

“Apakah menyimpan palu dan arit sudah bisa dianggap mau menghidupkan komunisme? Jangan keterlaluan! Semua keluarga pasti menyimpan benda-benda yang pada suatu saat bisa digunakan sesuai fungsinya.”

“Kalau kamu memang ingin menghidupkan komunisme, kita harus bercerai.”

Sebuah keberuntungan bagi Tokoh Aku yang cenderung bersikap sabar menghadapi perilaku suaminya. Seandainya di cerpen tersebut sikap istri cenderung tidak mau mengalah, bahkan berani menantang untuk bercerai, boleh jadi akan terjadi sebuah perceraian. Dari cerpen ini kita mengambil hikmahnya. Hikmah yang pertama, di saat seseorang dengan kemarahan besar menuduh orang lain dengan tuduhan yang keji, tidak perlu tuduhan itu dibalas dengan balasan yang serupa. Coba saja perhatikan sikap Tokoh Aku ketika dituduh dengan cara-cara keji, apa yang dibalasnya? Dia hanya menangis karena sangat sedih melihat sikap suaminya. hikmah berikutnya, Tokoh Aku menunjukkan sikap sabar ketika dituduh sebagai orang yang masih lekat dengan ideologi komunis. Dia tidak perlu marah besar. Justru, dengan adanya kesabaran itu yang akhirnya membuahkan hasil luar biasa. Sang suami yang telah menuduhnya PKI, ternyata diam-diam selingkuh dengan teman sekantornya seorang perempuan janda yang juga menjadi korban selingkuh mantan suaminya. Hikmah terakhir, yang ini perlu juga dimiliki oleh kita semua, betapapun hati ini demikian sakit mengingat perilaku orang yang telah menyakitinya, kalau dalam diri ini masih ada rasa cinta, sebuah perceraian harus benar-benar dijauhkan. Buktinya, Tokoh Aku lebih mengedepankan kebersamaan dengan sang suami karena Tokoh Aku masih mencintai suaminya.

***

PKI sebagai ideologi terlarang sampai kapan pun tidak boleh lagi ada di negara yang kita cintai ini. Terbukti peristiwa berdarah yang memilukan, yang merenggut tidak sedikit nyawa anak bangsa lebih disebabkan oleh pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan PKI. Agar tidak terjadi peristiwa-peristiwa yang telah menorehkan sejarah buruk buat bangsa ini, seluruh lapisan masyarakat harus ditumbuhkan kesadaran bahwa ideologi komunis sampai kapan pun haram hukumnya dianut oleh bangsa ini. Oleh karena itu, pendidikan agama (dalam hal ini agama Islam) harus juga ditanamkan pada anak didik pendidikan aqidah yang isinya memuat paham komunis yang sudah jelas-jelas bertentangan dengan aqidah Islam. Ajaran-ajaran Marxis yang menjadi dasar paham komunis harus diwaspadai sebagai ajaran sesat dan menyesatkan. Dengan cara demikian, mudah-mudahan generasi penerus kita terselamatkan dari ideologi komunis. Wallahu a`lam bissawab.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat