Subagio S.Waluyo

Umar bin Abdul Aziz pernah berujar kepada istrinya, Fathimah, tatkala sang istri bertanya mengapa dia menangis.

“Celakalah wahai Fathimah, aku ini dibebani urusan umat. Aku memikirkan orang fakir yang kelaparan;orang sakit yang hilang harapan; orang yang tiada memiliki pakaian; anak yatim yang kesusahan; orang yang terzalimi dan tertindas; orang yang terasing dan tawanan; para lansia dan janda; orang berkeluarga banyak dengan penghasilan pas-pasan; dan masih banyak lagi yang seperti mereka di seluruh penjuru negeri. Aku menyadari bahwa Tuhanku akan menanyaiku tentang mereka di hari kiamat kelak. Dan Nabi Muhammad membela mereka menghadapiku kelak. Aku khawatir tidak berdaya menyampaikan alasanku sehingga aku pun menangis karenanya.”

***

Umar bin Abdul Aziz banyak orang menyebutnya sebagai khalifah kelima setelah Ali bin Abi Thalib RA. Beliau menjadi khalifah di masa kekuasaan Dinasti Bani Umayah menggantikan khalifah terdahulu: Sulaiman bin Abdul Malik. Sulaiman bin Abdul Malik merupakan saudara sepupu Umar bin Abdul Aziz. Sulaiman bin Abdul Malik memiliki kedekatan dengan Umar bin Abdul Aziz. Disebutkan kalau Sulaiman bin Abdul Malik selaku khalifah dalam banyak hal selalu meminta fatwa (pendapat) dari beberapa orang saleh. Salah satu di antaranya adalah Umar bin Abdul Aziz. Diangkatnya Umar bin Abul Aziz oleh Sulaiman bin Abdul Malik lebih karena ketakwaan, kesalehan, dan keadilannya. Tiga modal utama itulah yang menjadi pilihan utama Sulaiman bin Abdul Malik memahkotai amal-amal salehnya dengan mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah (Abdussyafi Muhammad Abdul Latif dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, 2014:217).

Pilihan Sulaiman bin Abdul Malik mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya ternyata sebuah pilihan yang sangat tepat. Hal itu terbukti, walaupun Umar bin Abdul Aziz berkuasa sebagai khalifat relatif sangat singkat (99-101H/ 717-720M), dalam masa yang demikian singkat itu beliau melakukan banyak perubahan dan perbaikan. Seluruh potensi dan kemampuannya dikerahkan dan seluruh hidupnya diabdikan sepenuhnya untuk melakukan reformasi urusan kenegaraan, stabilitas keamanan, pemerataan kesejahteraan, dan penegakan keadilan di semua lapisan masyarakat. Untuk bisa mewujudkan semua itu, Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah menerapkan:
1. penjagaan harta umat Islam;
2. efisiensi dalam penggunaan waktu dan tenaga;
3. cepat dalam menangani berbagai urusan;
4. penyederhanaan birokrasi;
5. penyeleksian hakim, kepala daerah, dan pejabat publik;
6. penghapusan semua aktivitas yang tidak sejalan dengan semangat Islam;
7. mewujudkan keseimbangan di tengah masyarakat; dan
8. melakukan dialog peruasif dengan para pemberontak (Abdussyafi, 2014:2019).
Hasilnya adalah kekhalifahan yang menjadi kebanggaan Islam dan umat Islam. Bahkan, bukan hanya umat Islam, umat-umat lainnya pun turut merasa bangga dan bersyukur.

Dialog Umar bin Abdul Aziz dengan istrinya, Fatimah bin Abdul Malik, tampak jelas kepedulian Umar bin Abdul Aziz terhadap nasib umatnya. Umar yang diberi amanah selaku khalifah memikirkan nasib umatnya terutama yang fakir miskin. Mereka yang sakit, yang tidak memiliki pakaian, yang tergolong anak-anak yatim, yang terzalimi, singkatnya mereka yang teralienasi yang semua itu menjadi beban pikiran Umar selaku khalifah. Bagi khalifah-khalifah terdahulu masalah nasib orang-orang kecil yang teralienasi kurang diperhatikan. Tapi, tidak demikian bagi Umar bin Abdul Aziz. Pertanggungjawabannya di akhirat ketika nanti berhadapan dengan Sang Khalik menjadi beban pikirannya. Ini sebuah bukti, betapa Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah memiliki kepedulian pada nasib umatnya. Bagaimana dengan pimpinan-pimpinan bangsa di zama kiwari? Yang ada di pikiran mereka hanya bagaimana cara memperkaya diri. Boleh jadi tidak level membandingkan Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah dengan pimpinan-pimpinan negara sekarang yang cenderung egois, hedonis, dan serba permisif yang juga diragukan sampai sejauh mana rasa kenegarawanannya.

***

Pimpinan negara (termasuk ke dalamnya pimpinan daerah) yang cenderung egois, hedonis, dan serba permisif jelas tidak akan memiliki kepedulian. Bagaimana punya kepedulian kalau masih seperti itu perilakunya? Untuk bisa memiliki kepedulian, baik pimpinan negara maupun daerah harus terbebaskan dari perilaku-perilaku negatif yang disebutkan di atas. Kalau masih bersemayam perilaku-perilaku negatif, tidak mustahil anak bangsa ini lambat-laun juga memiliki perilaku yang sama (boleh jadi saat ini anak bangsa telah terjangkit perilaku-perilaku negatif itu). Tidak mustahil anak bangsa ini akan terjangkit penyakit tidak peduli alias penyakit `cuek-bebek.` Tidak aneh kalau berbagai penyakit sosial di masyarakat tidak bisa diberantas. Korupsi, misalnya, sampai saat ini semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya. Kenapa bisa demikian? Jawabannya singkat saja, masyarakat kita saat ini yang sudah terlanjur terbelit perilaku egois, hedonis, dan serba permisif menjadi penghalang utama dalam mencegah (termasuk memberantas) tindak pidana korupsi (tipikor).

Tembok penghalang yang bernama perilaku (boleh juga penyakit) sosial itu harus dibersihkan. Penyakit yang sudah kronis itu, nyaris sudah menjadi kanker, harus benar-benar dibersihkan sampai ke akar-akarnya. Jangan sampai ada yang tersisa karena kalau sampai tersisa tidak mustahil suatu saat akan muncul lagi. Bagaimana caranya? Sebelum kita bahas caranya perlu kita sepakati bersama yang tergolong masyarakat itu siapa saja? Kita perlu melakukan pembagian pengelompokan masyarakat itu karena terapi yang dilakukan berbeda antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lainnya. Dalam hal ini yang termasuk masyarakat terbagi dalam lima kelompok, yaitu:
1. masyarakat yang masuk ke dalam kelompok akademis di perguruan tinggi (PT) ;
2. masyarakat yang terlibat di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM);
3. masyarakat yang terlibat dalam organisasi massa (ormas);
4. masyarakat yang terlibat dalam pers, baik yang di media sosial maupun media mainstream; dan
5. masyarakat lingkungan (RT,RW, kampung).

***

Masyarakat akademis ditempatkan paling atas karena mereka sebagai orang terpelajar adalah orang yang sudah terbiasa membagi pengetahuan. Karena sudah terbiasa membagi pengetahuan, mereka diharapkan juga bisa melakukan, bahkan, bisa menjadi agen perubahan. Terbukti memang negara ini bisa dibebaskan dari penjajahan di antaranya karena peran para intelektual. Termasuk dalam hal ini peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru sampai dengan peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi juga karena peran para intelektual yang datang dari PT. Tidak aneh kalau kehadiran mereka sangat dinanti-nantikan oleh semua kalangan. Kiprah mereka di PT lewat pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat tertantang untuk melakukan perubahan. Kehadiran kalangan akademis sebagai social changes benar-benar sangat diharapkan. Meskipun di antara mereka banyak juga terkena sindrom penyakit sosial seperti yang disebutkan di atas, karena terpanggil untuk melakukan perbaikan, tidak mustahil mereka bisa mengenyampingkan dulu penyakit-penyakit sosial (meskipun juga tidak sedikit yang tersembuhkan dari berbagai penyakit sosial). Selain itu, masih cukup banyak kalangan akademis yang tergolong bersih dari penyakit-penyakit sosial. Mereka-mereka yang mengabdikan tenaga, pikiran, dana, dan waktunya untuk kepentingan akademis sangat mudah untuk peduli membenahi carut-marut bangsa ini sebagaimana disampaikan oleh Pierre Bourdiou dan Julian Benda berikut ini.

Menurut Pierre Bourdiou filsuf asal Perancis, kaum intelektual memiliki kekuasaan melalui ide-ide atau pengetahuan dalam sebuah masyarakat untuk membongkar struktur kekuasaan yang selalu mendominasi atau menindas masyarakat yang lemah merupakan pertarungan modal yang tersalurkan melalui arena, baik di masyarakat itu sendiri maupun di dalam dunia akademik, hingga pada akhirnya dapat membentuk habitus kaum intelektual. Habitus sendiri merupakan reproduksi dari sejarah. Di mana habitus kaum intelektual terjalin dengan kekuasaan ide-ide dan realitas yang ia tempati.

Sedangkan peran sosial kaum intelektual adalah untuk menyampaikan pandanganya kepada publik dalam hal masalah-masalah sosial yang dialami masyarakat.

Menurut Julien Benda, dalam kehidupan sosial, peran intelektual menjadi gambaran penting untuk melancarkan kritik dengan cara pandangannya di saat ia menelaah persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehingga dari situ sebagai kaum intelektual mereka dapat menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Intelektual memiliki peran sebagai orang yang selalu berbuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan selalu berdiam diri ketika terjadi pertikaian di kepentingan tertentu. Itu artinya, habitus dibentuk melalui pertautan antara pengetahuan dan kenyataan.

(https://grahafilsafat.wordpress.com/2018/01/05/peran-akademik-dan-sosial-kaum-intelektual/)

Gambaran ideal orang-orang akademis dari PT seperti yang disampaikan oleh Pierre Bourdiou dan Julien Benda memang harusnya seperti itu, yaitu orang-orang yang mempunyai peran untuk melancarkan entah kritik atau pandangannya. Mereka demi melihat adanya ketimpangan dalam kehidupan sosial tidak bisa berdiam diri. Mereka ingin berbuat demi kepentingan masyarakat. Kalau perlu mereka melalui pengetahuan dan ide-ide yang dimilikinya melawan tirani kekuasaan yang menindas masyarakat. Tapi, apakah perlawanan mereka menghadapi tirani kekuasaan didukung penuh oleh sivitas akademika di PT-nya? Ternyata, tidak semua insan akademis mengapresiasi yang mereka perjuangkan. Boleh jadi sebagian besar insan akademis karena merasa nyaman bersemayam di `menara gading` cenderung bersikap `cuek bebek`. Biasanya mereka yang bersikap demikian lebih dikuasai oleh kehidupan yang serba materialistis sehingga tidak aneh kalau kalangan akademis jenis ini termasuk orang-orang yang terkena sindrom penyakit-penyakit sosial (egois, hedonis, dan permisif). Mereka telah hilang sikap idealismenya.

***

Di masa Orde Baru kalangan akademis (entah mahasiswa atau dosen) yang idealis,yang ingin memperjuangkan idealismenya memasuki berbagai LSM. LSM yang mereka masuki tentu saja bukan LSM plat merah (LSM milik pemerintah). LSM plat merah baik di masa Orde Baru maupun Reformasi tidak pernah berubah, yaitu lebih memperjuangkan aspirasi pemerintah daripada memperjuangkan aspirasi rakyat. Kalangan akademis yang telah hilang idealismenya lebih cenderung memasuki LSM-LSM plat merah karena LSM-LSM plat merah benar-benar menjadi lumbung meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Tidak sedikit di antara mereka yang berkiprah di LSM-LSM plat merah yang direkrut penguasa menjadi pejabat-pejabat tinggi di negara ini. Meskipun demikian, para akademisi yang berkiprah di LSM-LSM bukan plat merah juga banyak yang direkrut penguasa. Karena iming-iming kekuasaan yang tentu saja juga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya, tidak sedikit dari mereka yang memelacurkan dirinya sehingga mereka menjadi bagian dari kekuasaan yang sebelumnya diperanginya.

Bicara tentang idealisme, baik kalangan insan akademis yang berkiprah di PT, LSM, ormas, maupun pers kalau dalam diri mereka masih ada prinsip `aji mumpung`, tergoda kehidupan dunia yang serba gemerlap, atau terpancing pada budaya konsumtif tidak mustahil akan goyah idealismenya (bisa juga imannya). Mereka yang berkiprah di dunia pers meski ketika mereka masih menjadi mahasiswa aktif di dunia pers kampus sangat idealis, begitu masuk ke dunia kerja (kebetulan pekerjaannya berhubungan dengan dunia pers) tidak sedikit juga di antara mereka yang tergerus idealismenya. Jadi, mempertahankan idealisme baik mereka yang di PT, LSM, ormas, maupun pers memang sulit. Di sini dibutuhkan komitmen dan konsistensinya. Justru, kedua hal ini yang demikian mudah diucapkan ternyata sulit dipraktekkan. Buktinya, berapa banyak insan akademis dari PT, LSM, ormas, atau pers yang masih bisa bertahan dengan idealismenya? Karena banyak di antara mereka yang telah memelacurkan dirinya, tidak usah heran kalau berbagai permasalahan yang muncul di negara ini tidak kunjung selesai. Masalah korupsi, misalnya, masih masif prakteknya di Indonesia. Salah satu tudingan yang layak ditujukan di antaranya adalah tidak terlepasnya peran birokrat atau penyelenggara negara. Masalahnya menjadi semakin rumit ketika juga melibatkan pihak swasta. Menghadapi masalah itu pemerintah melakukan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah sinergitas pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Meskipun demikian, upaya ini ternyata belum maksimal sehingga tindak pidana korupsi dari hari ke hari semakin masif.

Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, menilai, masifnya praktik korupsi di Indonesia memang tidak terlepas dari peran birokrat atau penyelenggara negara. Namun demikian, yang tidak kalah pentingnya juga tentunya adalah keterlibatan pihak swasta.

“Korupsi ini semakin masif dan ini tidak saja terlepas dari peran birokrat atau penyelenggaran negara, tetapi juga keterlibatan pihak swasta sebagai potensi kekuataan nonbirokrasi negara,” kata Indriyanto, di Jakarta, Selasa (4/8/2020).

Menurutnya, saat ini memang harus dilakukan banyak pembenahan oleh pemerintah. Utamanya pembenahan di bidang upaya penindakan dan pencegahan korupsi yang harus dilakukan secara bersama-sama.

“Dengan makna demikian masih banyak pembenahan yang harus dilakukan oleh Pemerintah. Dibutuhkan dua sinergitas pemberantasan korupsi,” ucap Indriyanto.

Pertama yaitu sinergitas dan paralelitas antara pencegahan dan penindakan. Kemudian yang kedua sinergitas dan sistem pemberantasan korupsi yang terintegrasi di antara Polri, Kejaksaan, dan KPK.

“Kontinuitas pemberantasan korupsi di antara tiga lembaga ini harus diakui belum maksimal dan optimal, sehingga ruang publik masih menganggap adanya divergensi kepentingan lembaga dalam pemberantasan korupsi,” kata Indriyanto.

(https://www.beritasatu.com/faisal-maliki-baskoro/nasional/662037/ pemberantasan-korupsi-di-indonesia-belum-sinergis)

***

Idealisme yang tergerus berakibat fatal, salah satu di antaranya korupsi yang semakin masif baik kuantitas maupun kualitasnya. Kalau kalangan akademis yang semula berkiprah di PT kemudian masuk ke berbagai LSM, ormas, dan pers saja sudah tergerus idealismenya, bagaimana dengan masyarakat biasa (masyarakat lingkungan)? Tidak ada lagi di hadapan mereka orang yang bisa dijadikan rujukan untuk menjadi orang yang peduli karena orang-orang yang intelektualnya memadai saja sudah seperti itu. Masih beruntung kalau di tengah-tengah mereka ada tokoh entah tokoh agama, tokoh masyarakat adat, atau orang yang dituakan yang konsisten menjaga perilakunya. Bagaimana kalau tidak ada sama sekali? Mereka akan semakin larut dengan kehidupan yang cenderung egois, hedonis, dan permisif. Perlu diketahui, masyarakat lingkungan (apa lagi kalau mereka tergolong orang-orang miskin) adalah masyarakat yang rentan terhadap berbagai penyakit sosial. Mereka selalu melihat orang dari yang tampak di hadapan mereka. Kalau orang yang dilihat itu dermawan, semua yang menempel di tubuh orang itu serba mewah dan mahal ditambah lagi orang itu berpangkat atau punya jabatan, di mata mereka lebih terpandang dari-pada orang biasa-biasa saja yang tampilannya juga biasa-biasa saja. Mereka memandang orang pada yang dilihatnya. Pikiran mereka masih jauh untuk melihat orang dari yang dikatakannya walaupun perkataannya mengandung kebenaran.

Pandangan-pandangan seperti itu yang harus diluruskan. Siapa yang bisa meluruskannya? Siapa lagi kalau bukan tokoh-tokoh agama, adat, atau masyarakat setempat (entah Ketua RT, RW, kepala desa, atau lurah) plus orang-orang akademis (bisa mahasiswa bisa dosen) yang mau turun ke tengah-tengah masyarakat. Semua orang yang terlibat di atas harus bisa menunjukkan dirinya sebagai orang-orang yang masih punya idealisme. Mereka-mereka adalah orang-orang yang bekerja tulus, tanpa pamrih, dan menunjukkan kejujuran dan kepeduliannya. Lewat orang-orang akademis yang tulus, tanpa pamrih, dan jujur serta peduli masyarakat yang tergolong rentan ini juga harus dicerdaskan. Pendidikan mereka yang minim (minim pendidikan umum dan agama) yang menjadi faktor rentan terkena penyakit sosial. Untuk itu, insan akademis lewat penelitian dan pengabdian pada masyarakat bisa melakukan aktivitas pembelajaran. Selain itu, LSM-LSM, ormas-ormas, dan kalangan pers yang diisi orang-orang yang masih punya idealisme juga boleh-boleh saja berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Sinergitas orang-orang akademis dari PT, LSM, ormas, dan pers (ditambah lagi dari kalangan tokoh agama, adat, dan masyarakat setempat) sangat diperlukan. Dengan demikian, kepedulian masyarakat terhadap sesama manusia, lingkungan, daerah, bahkan negara sekalipun secara perlahan akan tumbuh.

***

Alangkah indahnya jika hidup ini ada orang-orang yang saling peduli. Di sana ada kehidupan yang saling toleran dan saling menolong satu sama lain. Dengan menghidupkan kepedulian, kita telah mewarisi sesuatu yang digariskan Tuhan: sifat-sifat pengasih dan penyayang. Kita mengasihi sesama kita walaupun yang diberikan bukan berupa harta tapi sekedar salam, sapa, dan senyum itu sudah cukup. Kita menyayangi sesama makhluk Tuhan entah itu sesama manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, atau lingkungan hidup di sekitar kita. Mungkinkah itu terjadi di tengah-tengah kehidupan kita yang saat ini diuji dengan pandemi Covid-19? Kita hanya bisa menjawab: Insya Allah.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat