Subagio S.Waluyo

“Percakapan Sinyoh dan Nonih itu terus merebak. Menjadi ujaran khalayak. Padahal hanya cocok untuk tahun 1920-an. Sekarang Bandung tidak layak lagi menyandang gelar Paris van Java. Sebab sudah penuh sampah, tata kota kacau balau, trotoar padat pedagang. Banguman-bangunan bernilai sejarah banyak yang diruntuhkan, diubah menjadi tempat komersial…..”

Selama berjalan di dermaga, menuju pangkalan bateau mouche, perahu untuk berlayar, tak terlihat ada lubang-lubang pipa menjulur ke sungai, seperti banyak terlihat di Cikapundung dan sungai-sungai lain di seluruh Tanah Air.

(“Di Seine Meratapi Citarum”/Usep Romli H.M.)

”Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?”

”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.”

”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ.

(“Bukit Mawar”/Yanusa Nugroho)

***

Ada hal yang menarik ketika Pandemi Covid-19 melanda negeri ini, yaitu kebiasaan mencuci tangan setelah melakukan aktivitas dan menggunakan masker jika ke luar rumah. Selain itu, tentu saja  juga ada kebiasaan baru, yaitu membiasakan menjaga jarak sosial ketika berinteraksi dengan orang lain. Di luar itu ada aktivitas yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu kebiasaan bercocok tanam di setiap jengkal tanah yang ada di rumahnya. Hasil cocok tanam (di luar tanaman hias) yang berupa sayur-mayur dan palawija terkadang modalnya jauh lebih besar daripada hasilnya. Bahkan, tidak mustahil banyak juga yang gagal. Meskipun demikian, semua itu tidak menyurutkan ibu-ibu rumah tangga untuk bercocok tanam. Ada sebuah kegembiraan tersendiri ketika memetik hasil dari bercocok tanam dan membagikannya pada para tetangga di sekitar rumahnya karena dalam kondisi sulit masih bisa berbagi.

Kebiasaan baru ini seandainya bisa dijaga dan ditingkatkan kesadarannya bukan saja sekedar bercocok tanam, tetapi juga adanya keinginan keras untuk menjaga kelestarian alam tidak mustahil sebagian masyarakat ini akan menjadi penggerak dan penjaga lingkungan hidup. Mereka yang boleh dikatakan masyarakat perkotaan kalau sudah seperti itu akan menjadi masyarakat yang disebut environmentalis. Environmentalis adalah gerakan melawan pengrusakan alam entah  itu yang namanya pencemaran atau pengotoran lingkungan. Mereka-mereka yang memiliki pandangan untuk menggerakkan dalam bentuk menjaga dan  melindungi kelestarian alam disebut environmentalisme (A.Mangunhardjana dalam Isme-Isme dari A Sampai Z, 2001:76). Dengan demikian, Pandemi Covid-19 yang boleh dikatakan telah banyak memakan korban ternyata di satu sisi juga melahirkan gerakan environtalisme di sebagian masyarakat perkotaan.

(https://images.app.goo.gl/A4BrAKgNUA8Na93W8)

Sebenarnya, kesadaran untuk melestarikan lingkungan bukan saja setelah hadirnya Pandemi Covid-19. Masyarakat kita sejak dulu pun kalau saja ada aturan yang jelas dan pengawasan yang ketat baik dari pemerintah maupun masyarakat pasti mau berpartisipasi terlibat dalam menjaga lingkungan. Lihat saja yang dilakukan masyarakat pinggiran Kali Code, Yogya yang rela mengubah letak rumahnya. Rumah-rumah mereka yang semula banyak yang membelakangi kali, begitu ada yang menggerakkan dan adanya aturan yang jelas dari pemerintah setempat serempak diubah letaknya. Tidak cukup sampai di situ, sepanjang Kali Code bersih dari pipa air kotor yang semula dibuang ke kali tersebut. Di sini bukan saja ada regulasi untuk itu, tapi juga ada penggerak dari kalangan LSM dan akademis yang berperan mengarahkan dan mengawasi program gerakan restorasi Kali Code. Tanpa melibatkan masyarakat LSM dan akademis mustahil program gerakan restorasi Kali Code tidak akan bisa terwujud.

(https://images.app.goo.gl/3qTpB2wwmCJoMTpo9)

***

Salah satu cara yang juga perlu dilakukan masyarakat Indonesia agar memiliki kesadaran akan pentingnya lingkungan sebagaimana terlihat pada aktivitas masyarakat pinggir Kali Code adalah melakuan kunjungan wisata ke beberapa negara yang berhasil melakukan restorasi sungai. Salah satu sungai di Eropa yang sampai saat ini menjadi ikon dan sekaligus objek wisata adalah Sungai Seine, Paris, Perancis. Dalam cerpen “Di Seine Meratapi Citarum” oleh Usep Romli H.M. serombongan wisata dari Kota Bandung dibikin terkagum-kagum oleh kebersihan dan kebeningan air Sungai Seine. Mereka teringat dengan sungai di kotanya yang kotor, bau bangkai, dan warnanya sudah hitam legam. Mereka membayangkan kalau saja Sungai Citarum dan Cikapundung bisa direstorasi seperti Sungai Seine gelar Kota Bandung sebagai `Parisj van Java` akan diraih kembali. Itu hanya bayangan karena faktanya menunjukkan kedua sungai di kotanya telah menjadi tempat pembuangan kotoran manusia dan pabrik. Sungai Citarum saat ini telah dirusak perilaku manusia karena memang tidak ada hukum yang melindunginya sehingga orang hanya meratapi Sungai Citarum yang telah membangkai.

Dari katedral, lewat sisi Sungai Seine. Betul sekali, amat bersih. Tak ada sehelai sampah pun. Airnya teramat bening. Hati berdesir. Sedih. Teringat Citarum yang sudah membangkai. Teringat Cikapundung yang airnya hitam legam.

“Betapa indahnya jika Citarum dan Cikapundung seperti ini….” seorang kawan yang berjalan berdampingan setengah berbisik. Ternyata sama seperasaan. Hanya saja, bagaimana mengelolanya walaupun kedua sungai itu ada di “Parisj van Java”.

……………………………………………………………………………………………………..

Berjalan sepanjang pinggir dermaga sungai yang ditembok. Cukup luas. Enak dan aman buat pejalan kaki. Pemandu wisata menerangkan, Sungai Seine amat terpelihara sejak hulu hingga muara. Pelan-pelan ia mendendangkan lagu rakyat Prancis kuno, yang menggambarkan Sungai Seine sebagai “kekasih yang saling mengasihi dengan Paris”.

Selama berjalan di dermaga, menuju pangkalan bateau mouche, perahu untuk berlayar, tak terlihat ada lubang-lubang pipa menjulur ke sungai, seperti banyak terlihat di Cikapundung dan sungai-sungai lain di seluruh Tanah Air.

“Di Paris, di Prancis, serta negara-negara Eropa lain, orang yang membuang sampah atau kotoran lain ke sungai akan dikucilkan oleh tetangga dan warga sekitar. Dan diajukan ke pengadilan. Mendapat hukuman setimpal. Di penjara dan didenda ribuan euro,” jawab pemandu wisata ketika ditanya soal tak ada lubang pipa pembuangan di pinggir sungai. “Setiap rumah di pinggir sungai, bagian depan rumahnya harus menghadap ke sungai. Tiap rumah wajib memiliki sarana pembuangan kotoran. Nanti pada hari tertentu diangkut oleh petugas kebersihan kota. Dibawa ke tempat pengolahan limbah.”

Sepanjang belayar di atas bateau mouche, menyusuri Seine, sangat asyik menikmati panorama sungai dan sekitarnya. Tapi mata sibak basah, dan pikiran melayang ke Citarum, ke Cikapundung, keindahannya dirusak kelakuan orang-orang, serta tak ada hukum yang melindunginya.

“Parisj van Java hanya tinggal nama….” ingat lagi pada tulisannya yang dulu dianggap sinis. Namun setelah membandingkan sendiri, langsung di lokasi, hati menyetujui.

Dan di Seine, meratapi Citarum yang sudah lama busuk membangkai.

Nasib  yang sama juga dialami oleh sungai-sungai yang mengalir di banyak kota di Indonesia. Sebut saja Sungai Ciliwung di Jakarta yang sampai saat ini masih belum selesai direstorasi. Setiap tahun sungai tersebut menelan korban yang tidak sedikit akibat banjir yang dimuntahkan. Bagaimana pula dengan Sungai Bengawan Solo yang airnya mengalir ke beberapa kota baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur? Sudah bisa dipastikan air Sungai Bengawan Solo juga telah tercemar. Sungai Brantas yang membelah Kota Surabaya juga bagaimana kondisinya saat ini? Apakah ada perubahan yang signifikan setelah dilakukan restorasi? Kita tunggu saja hasil kerja keras pemerintah kota di kota-kota besar di Indonesia yang berusaha merestorasi sungai-sungainya yang mengalir di tengah-tengah kotanya.

***

Pekerjaan merestorasi sungai bukan saja dilakukan oleh  pemerintah kota, pemerintah kabupaten bisa juga melakukan hal yang sama. Pengerjaan restorasi agar terjadi sinergitas di antara pemerintah daerah sebaiknya dilakukan oleh pemerintah pusat yang dalam hal ini di bawah komando Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Meskipun demikian, Kementerian PUPR juga perlu melibatkan masyarakat baik LSM maupun akademis (`orang pintar` dari perguruan tinggi). Lewat LSM dan `orang pintar` dari perguruan tinggi diharapkan masyarakat lokal terutama yang tinggal di sepanjang pinggir kali bisa digerakkan menjadi masyarakat yang sadar akan lingkungan sehingga mereka juga mau terlibat dalam aktivitas restorasi sungai. Dengan melibatkan masyarakat lokal yang tinggal di sepanjang sungai lambat-laun akan terbentuk masyarakat yang environmentalis: masyarakat yang melawan pencemaran, pengotoran, dan perusakan alam (sungai).

Ada contoh menarik (walaupun ini hanya sebuah karya fiksi) yang terdapat dalam cerpen yang ditulis Yanusa Nugroho;”Bukit Mawar”. Dalam cerpen tersebut dikisahkan kalau masyarakat justru mendukung upaya Arjuna yang berusaha mempertahankan tanah miliknya dari pembangunan mal. Mal itu rencananya akan dibangun di atas tanah milik Arjuna. Selama ini Arjuna menanam  mawar di atas tanah itu (melakukan penghijauan). Karena bertahan pada pendiriannya untuk tidak melepas tanah miliknya, akhirnya Arjuna harus berhadapan dengan pengadilan. Di pengadilan dia mendapat dukungan masyarakat yang tinggal di tempat lokasi tanah miliknya. Saking kuatnya dukungan, pengadilan tidak bisa memutuskan perkara itu. Tokoh Aku yang selama ini jarang sekali bertemu Arjuna melihat kejadian tersebut pada akhirnya mendukung mimpi-mimpi Arjuna yang sebentar lagi akan jadi kenyataan: sebuah bukit yang dikelilingi oleh mawar-mawar kampung , yang dikelilingi parit, yang di atas parit itu orang bebas memancing. Rencana Arjuna untuk mewujudkan keinginannya bukan saja didukung oleh Tokoh Aku, temannya, tetapi juga didukung oleh istri Tokoh Aku. Mereka mendukung Arjuna karena mereka sadar bahwa gerakan environmentalisme merupakan sebuah tuntutan masyarakat agar terwujud lingkungan yang bersih dari kesumpekan hidup yang diciptakan masyarakat modern. Masyarakat modern di sini adalah masyarakat yang boros menggunakan energi, masyarakat yang merusak alam lewat efek rumah kaca, dan masyarakat kalangan pengusaha yang karena ingin memenuhi kepentingan pribadinya sampai-sampai harus mengintimidasi penguasa setempat.

Itulah yang kulakukan. Dan ketika aku sampai di rumah Arjuna, aku dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika proses pengadilan berlangsung, pihak ’pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan, memang belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna?

Dan bangunan itu, oleh Arjuna sengaja tidak dihancurkan. Orang gila satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia bahkan menggali tanah di sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk seluruh bangunan itu hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi parit dalam.

Kusaksikan orang-orang kampung yang mendukung tindakan Arjuna di pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di tanah menatap ’bukit’ yang baru lahir itu.

”Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?”

”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.”

”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ.

Sambil membayangkan di sana-sini muncul warung makan kecil, dan orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum kopi, mereka menikmati ”keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya membangun keajaiban, bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang banyak. Aku jadi kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda penjual bunga di makam ini.

***

Kalau di level negara atau daerah penguasa di bawah tekanan pengusaha, di level internasional juga lebih kurang sama. Amerika Serikat (AS), misalnya, yang dikenal sebagai negara adidaya ternyata juga tidak berkutik ketika berhadapan dengan para pengusaha internasional yang tergabung dalam Multi Nasional Corporations (MNCs). Raksasa yang bernama MNCs ini berhasil menekan pemerintah AS agar tidak menandatangani Protokol Kyoto. Selain AS, Rusia juga melakukan hal yang sama. Walaupun mereka, katanya, sangat peduli dengan masalah-masalah lingkungan, AS sendiri sebagai negara paling boros menggunakan energi ternyata juga menjadi penyumbang paling banyak di dunia ini dalam hal perusakan alam lewat efek rumah kaca (Budi Winarno dalam Dinamika Politik Global Kontemporer, 2019:220).

(https://images.app.goo.gl/wTjaYh5swS1ReRet9)

Berdasarkan uraian di atas, jelas sekali kalau kerusakan alam semesta ini lebih disebabkan oleh ulah manusia sebagaimana bunyi ayat Qur`an S. Ar- Rum, 30:41-42:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka kembali ke jalan yang benar”

“Katakanlah (Muhamad):`Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)`”

Jadi, kalau di negara ini di musim-musim kemarau banyak kekeringan, itu lebih disebabkan oleh salah satunya perambahan hutan oleh pengusaha-pengusaha yang memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pengusaha-pengusaha pemegang HPH merambah hutan-hutan kita sehingga terjadi penggundulan hutan karena di antara mereka sedikit sekali melakukan penghijauan (reboisasi). Akibatnya, di musim hujan terjadi banjir besar-besaran, di musim kemarau terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Di sini Rasulullah SAW berpesan kepada umatnya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad:

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka dengannya ia mendapatkan pahala. Dan apa yang dimakan oleh binatang liar, maka dengannya ia mendapatkan pahala.”

Lewat hadits tersebut Rasulullah menekankan agar kita menghidupkan tanah-tanah yang tandus (tanah hasil tebangan) dengan cara reboisasi. Orang-orang yang memanfaatkan setiap jengkal tanah yang semula tandus kemudian berkat kerja keras orang yang mau menghidupkannya kembali tanah-tanah tersebut menjadi tanah yang subur. Setiap hasil dari tanaman yang ditanam seandainya dimakan binatang liar akan ada pahalanya bagi yang menanamnya. Islam mengajarkan pada umat ini agar kita tidak merusak alam. Sebaliknya, Islam mengajarkan pada umat ini agar mau memanfaatkan setiap jengkal tanah untuk ditanami berbagai tanaman yang bermanfaat bagi seluruh isi alam ini.

***

Gerakan memanfaatkan setiap jengkal tanah yang banyak dilakukan oleh masyarakat kota terutama dari kalangan ibu-ibu rumah tangga patut diapresiasi. Dari gerakan tersebut suatu saat tidak mustahil akan muncul gerakan yang mengarah pada kepedulian terhadap lingkungan. Kalau ini sudah terwujud, tinggal cara pemerintah mengapresiasi aktivitas mereka lewat regulasi. Selain itu, dibutuhkan juga pendampingan dari LSM dan kalangan akademis. Pihak pengusaha juga harus terlibat memfasilitasi mereka. Kalau benar-benar bisa diwujudkan, tidak mustahil di negara ini keinginan orang untuk merestorasi sungai-sungai yang tercemar, yang keruh warnanya karena terkontiminasi oleh limbah rumah-rumah tangga dan pabrik-pabrik,  yang menyisakan bau bangkai, akan terwujud. Tinggal pihak penguasa negeri ini: apakah mau mengubah paradigma agar tidak mau di bawah pengaruh bayang-bayang pengusaha yang rakus dan jelas-jelas merusak lingkungan? Wallahu a`lam bissawab.

Gambar Citarum yang Tercemar (https://images.app.goo.gl/Lsj82ihBLGp8ALku5)

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat