“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”

(QS. al-Isra’ : 23).

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.

 (QS Al-Ahqaf: 15)

***

Is, laki-laki tua, yang ditinggal mati istrinya setahun lalu. Ia merasa kesepian.  Di rumah yang dulu penuh tawa dan tangis, penuh canda dan kelahi anak-anaknya, sekarang telah hilang. Ia sekarang merasa bukan hanya ditinggal istrinya, tapi juga anak-anaknya. Rumah besar yang ia tempati terasa lengang.  Hanya ada pasangan suami-istri, Sumo, yang masih setia menempati belakang rumahnya. Komunikasi dengan mereka hanya sekali-kali ketika memang ia membutuhkan bantuan. Inilah sebuah  kehidupan. Di awal pernikahan, ia hanya berdua dengan istrinya. Satu persatu lahir dari rahim istrinya anak-anak yang sangat dicintainya. Satu persatu pula ketika anak-anak berangkat dewasa mereka meninggalkan kedua orang tuanya. Terakhir, istrinya turut juga meninggalkannya. Meninggalkannya untuk selamanya. Jadilah ia seorang diri.    

Menjelang hari-hari Lebaran yang semakin dekat, Is merasa rumahnya semakin kelihatan besar dan kosong lagi. Betapa tidak. Empat ruang tidur di tengah rumah itu hanya dia tempati sendiri sejak istrinya meninggal setahun yang lalu. Ruang-ruang tidur selebihnya selalu kosong sejak anak-anaknya pindah ke luar negeri dan ruang tamu itu lebih lama lagi tidak disinggahi orang. Di bagian belakang rumah, dipisahkan oleh lorong belakang rumah, adalah kamar tempat tinggal sepasang suami-istri Sumo yang sudah ikut keluarga Is selama bertahun-tahun. Mereka akan muncul ke dalam rumah kalau Is memanggil mereka untuk keperluan ini dan itu. Selebihnya tidak ada komunikasi antara mereka.

Cerpen Umar Kayam “Lebaran di Karet. Di Karet….” 

 Kenapa anak-anak Is tidak ada satu pun yang tinggal bersamanya? Jawabannya mudah saja karena sejak kecil tidak ditanamkan pendidikan agama. Maksudnya, pendidikan agama yang  mengajarkan anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Bukankah agama (dalam hal ini Islam) memerintahkan agar ketika orangtua berusia lanjut sang anak berbuat baik pada kedua orangtuanya (17/23-24; 31/14; 46/15). Karena kedua orangtuanya lalai menanamkan nilai-nilai agama pada anak-anaknya, mengakibatkankan anak-anaknya ketika dewasa tidak punya kepedulian pada ayahnya. Kalau sejak kanak-kanak ditanamkan nilai-nilai agama, kedua anaknya tidak akan tega membiarkan ayahnya sendirian di rumahnya. Boleh jadi Is dan istrinya yang tanpa disadari gaya hidupnya sedikit mewah seperti diplomat dan anak-anaknya dididik di Barat yang cenderung sekuler dan liberal menjadikan anak-anaknya tidak punya kepedulian pada kedua orangtuanya. Akar masalahnya sudah jelas, yaitu kesalahan pada Is dan istrinya yang sama sekali tidak menanamkan nilai-nilai agama pada anak-anaknya. Ayahnya tidak akan kesepian kalau saja di hari Lebaran anak-anaknya berkumpul di rumahnya. Tetapi, sesuatu yang seharusnya demikian indah itu tidak terjadi. Anak-anaknya hanya mengirim kartu lebaran. Walaupun disertai dengan permintaan maaf, hal itu jelas mencerminkan sikap masa bodoh anak-anaknya pada ayahnya.

Dalam hari-hari mendekati Lebaran, Is berharap surat anak-anaknya akan mulai berdatangan, seperti layaknya kebiasaan pada hari-hari seperti itu. Dan, memang betul saja, surat mereka memang pada berdatangan. Tetapi surat-surat itu mengecewakan Is karena pendeknya. Dengan bersungut-sungut surat-surat tersebut dalam beberapa detik telah selesai dibacanya. Huh, wong surat Lebaran buat orangtua kok dikirim dalam kartu pos bergambar… Itu pun dalam beberapa baris… Nana yang menulis dari Geneva minta maaf liburan winter tahun ini tidak jadi pulang ke Indonesia karena sudah janji sama si Jon (kakak si temanten baru nih ye), buat mengajari main ski di Alpen. Opo ora hebat, Dad. Maaf banget, nggih Dad? Makam Mommy apa sudah ditutup nisan? Love kita semua. Kemudian Jon hanya titip salam “Hi, Dad”. Kemudian surat dari Suryo, anaknya yang sulung, yang masih menetap di New York yang masih kerja magang di IBM yang juga minta maaf tidak bisa pulang ke bapaknya karena sudah terlanjur janji untuk libur dengan pacarnya anak Puerto Rico. Sambil terus bersungut kartu pos bergambar dari anak-anaknya itu dilemparkannya ke meja. Huh, anak-anak! Yang tanya ibunya juga cuma satu! Itu pun soal sudah dinisan apa belum…

Idem

***

Perilaku seperti itu juga terjadi pada Mudakir dalam cerpen “Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari” karya Jujur Prananto. Dalam cerpen yang ditulis Jujur Prananto, Mudakir sebagai bapak di hari Lebaran juga mau berkumpul dengan anaknya yang bungsu. Kalau Is dalam cerpen “Lebaran di Karet, di Karet…, anak-anaknya berpencar-pencar berdomisili di beberapa negara di Amerika dan Eropa, anak-anak Mudakir juga sama. Anak yang pertama dan kedua bekerja di luar negeri. Anak yang ketiga menjadi PNS seperti Mudakir. Sedangkan anak yang bungsu, perempuan, menjadi ibu rumah tangga. Suaminya seorang pengusaha yang bergerak di bidang kuliner (memiliki restoran di Roxy). Mudakir yang ditinggal mati istrinya juga suatu saat rindu ingin bertemu dengan anaknya yang bungsu. Anak bungsunya,Wanti,telah dua kali lebaran tidak berkunjung ke rumahnya di Magelang.

Dibandingkan dengan Is, Mudakir lebih beruntung karena ia tinggal dengan anaknya yang ketiga dan kerabat-kerabatnya. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari ada orang-orang yang masih diajak berkomunikasi. Memang, ia punya anak-anak yang bekerja di luar negeri, tetapi karena memaklumi kesibukan anak-anaknya ia tidak ambil pusing. Sementara sikapnya terhadap Wanti jelas berbeda. Baginya ada sesuatu yang kurang kalau anak bungsunya sudah dua kali lebaran tidak datang berkunjung. Ada sebuah kerinduan yang harus ia penuhi. Ia harus berkunjung ke rumah Wanti di Jakarta. Rupanya niat berkunjung ke rumah Wanti tidak kesampaian. Ketika ia bermalam di sebuah penginapan semua uang miliknya terakhir ludes dicopet wanita tua penjaga penginapan yang melayaninya. Wanti sendiri telah pindah rumahnya. Mereka juga tidak memberikan kabar kepindahan rumahnya. Nasib Mudakir, laki-laki tua yang kesepian setelah ditinggal istrinya, jadi tidak jelas.

Kurang lebih dua bulan kemudian, Hasmanan mengajak Wanti dan kedua anaknya ke Semarang dalam rangka pembukaan cabang baru restorannya di daerah Gombel, naik sedan baru yang mereka beli menjelang lebaran. Selesai acara di sana Hasmanan bertanya pada istrinya. “Kita mampir ke Magelang apa tidak?”

Wanti tidak segera menjawab.

“Sudahlah. Sekali-sekali tengoklah ayahmu. Soal ada perempuan di rumah itu jangan terlalu kamu hiraukan. Kalau dia memang pacar Bapak, biarkan saja. Apa salah Bapak mempersiapkan diri untuk menikah lagi?”

“Menikah lagi setelah bertahun-tahun membuat Ibu menderita?”

“Mungkin Bapak gagal membahagiakan Ibu, tetapi jangan pernah menuduh dia sengaja membuat Ibu menderita. Bapak cuma tidak pintar mencari uang. Terlalu jujur sebagai seorang pegawai negeri. Di sisi lain ibumu bercita-cita tinggi menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana tetapi tak kesampaian karena ketidakpandaian ayah mencari uang itu tadi, lalu diam-diam memendam penderitaan batin sampai benar-benar sakit dan meninggal dunia. Intinya itu ‘kan, masalahnya?”

Wanti tidak mengiyakan atau pun membantah pendapat suaminya, tetapi juga tidak melarang ketika akhirnya Hasmanan meluncurkan sedan barunya memasuki Kota Magelang.

Cerpen Jujur Prananto ““Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari”

   

Nasib Mudakir yang tidak jelas rimbanya karena dua bulan setelah lebaran tidak diketahui keberadaannya lebih disebabkan oleh kelalaian anaknya yang tidak memberitahukan kepindahan rumahnya. Selain itu, ada sangka buruk anaknya terhadap ayahnya. Wanti, anak bungsu, sejak kematian ibunya tidak suka kalau ayahnya menikah lagi. Selama ini dia beranggapan bahwa ayahnya telah gagal membahagiakan ibunya. Ayahnya hanya seorang PNS yang jujur. Sementara ibunya punya keinginan kuat agar anak-anaknya bisa mengecap bangku pendidikan tinggi. Mungkin karena itu penyebabnya sehingga ibunya menderita batinnya sehingga jatuh sakit dan  meninggal dunia. Prasangka buruk Wanti sebagai seorang istri terbaca oleh suaminya. Sang suami jelas seorang yang bijak. Keputusan berkunjung ke rumah mertuanya merupakan langkah yang tepat. Seandainya saja mereka tidak berkunjung ke Magelang, tempat orangtua Wanti, kerabat-kerabatnya beranggapan bahwa selama dua bulan sang ayah tak kunjung pulang karena berada di rumah Wanti di Jakarta.

Para mantan  tetangga kaget melihat Wanti turun dari sedan baru dengan penampilannya yang cantik. Bergantian mereka menyalami dan memuji-muji keberhasilan hidup Wanti di Jakarta. Namun setelah semua penumpang sedan turun, mereka pada bertanya. “Mana Bapak?”

Wanti seketika merasa heran. “Memang Bapak ke mana?”

“Lebaran kemarin Bapak ‘kan ke Jakarta, ke rumah kamu.”

“Lalu sekarang di mana?”

“Lho, kita mengira kamu kemari ini dalam rangka mengantar Bapak pulang.”

“Bapak tidak pernah datang ke rumahku di Jakarta”.

“Kalau tidak ke Jakarta lalu ke mana?” semua pada bertanya-tanya. Wanti mulai berpikir ke arah kemungkinan yang terburuk. “Atau… jangan-jangan Bapak ke tempat perempuan itu untuk menikah diam-diam?”

“Maksudmu yu Ijum yang pernah kamu lihat waktu terakhir kamu kemari? Dia sudah kawin sama orang lain setelah ayahmu mengaku tak mau menikah lagi.”

Wanti merasa lemas. “Jadi Bapak ke mana???”

Setelah berpikir beberapa saat, jantung Wanti sekonyong-konyong berdegup keras.

“Ya Allah! Saya belum pernah kirim kabar ke Bapak kalau kita sudah pindah dari Tanahabang!”

Idem

Nasib Is dan Mudakir di penghujung usianya sangat tidak mengenakkan. Anak-anaknya lebih mementingkan diri sendiri. Kalau Is dan istrinya karena anak-anaknya dididik di Barat sampai mereka memperoleh gelar pendidikan tertinggi, tidak demikian dengan Mudakir yang karena PNS, jujur, dan bergaji kecil tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang tertinggi di perguruan tinggi. Is dan istrinya melepas anak-anaknya bersekolah di negara-negara yang jelas-jelas menanamkan nilai-nilai sekuler dan liberal. Wajar-wajar saja kalau gaya hidup anak-anaknya kebarat-baratan. Acuh tak acuh pada orang tua dan tidak punya rasa kasihan serta hormat pada orangtuanya. Hal itu terbukti ketika sang ayah yang telah menduda selama satu tahun sendirian di hari yang fitri itu. Beginikah cara pendidikan Barat mendidik anak bangsa ini sampai-sampai di hari-hari ketika satu keluarga berkumpul dalam keceriaan, dalam kebersamaan yang dibungkus dengan saling memaafkan sama sekali tidak terwujud.

Mudakir karena keterbatasan dana tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya. Ketiadaan dana itu menjadi sesalan salah seorang anaknya, Wanti, karena kemampuan otaknya yang dinilai cukup tinggi tidak bisa meraih gelar sarjana. Bukan hanya Wanti, kakak-kakaknya pun tidak ada satu orang pun yang bisa menikmati bangku perguruan tinggi. Apakah semua itu bisa ditimpakan pada ayahnya seorang PNS yang jujur dan berpenghasilan pas-pasan? Bagi suami Wanti, Hasmanan, yang realistis sikap Wanti yang menaruh dendam dan sangka buruk pada ayahnya tidak bisa diterima. Sangka buruk Wanti tentang ayahnya yang mungkin saja nikah pada seorang janda, Yu Ijum, tidak jadi masalah bagi Hasmanan. Menurut Hasmanan tidak ada masalah kalau ayah Wanti menikah lagi. Hasmanan tidak menyalahkan istrinya kalau ayah Wanti tidak berhasil membahagiakan istrinya. Tapi, Hasmanan sangat tidak setuju kalau Wanti menuduh ayahnya telah membuat ibunya menderita. Sikap diam Wanti menunjukkan bahwa selama ini Wanti cenderung menuduh ayahnya telah membuat ibunya menderita. Sikap Wanti pada ayahnya menunjukkan bahwa Wanti termasuk anak yang tidak menunjukkan rasa hormat pada orangtuanya, terutama ayahnya. Sikap tidak hormat itu berbuah sesuatu yang menyakitkan buat dia dan semua anggota keluarga dan kerabat-kerabatnya, yaitu tidak diketahui di mana ayahnya berada selama dua bulan setelah pergi ke Jakarta. Seandainya saja memiliki rasa hormat pada ayahnya, Wanti akan menyurati kepindahan rumahnya. Bukan hanya itu, pasti setiap tahun di hari Lebaran dia mau bersilaturahim ke rumah orangtuanya di Magelang.  

***

Baik Is dan Mudakir di hari-hari akhir hidupnya menuai hasil pernikahan yang jelas tidak diharapkan. Mereka pasti menginginkan di akhir hidupnya, di hari-hari yang fitri itu berkumpul bersama keluarganya. Mereka ingin menikmati kecerian bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Tapi, itu semua tidak terjadi. Anak-anaknya sibuk dengan urusannya masing-masing. Is sebagai duda hanya bisa mengelus dada ketika anak-anaknya hanya mengirim surat singkat yang berisikan beberapa baris kata-kata saja dengan latar belakang gambar di negara tempat mereka tinggal (Swiss, Belanda, Amerika). Surat-surat singkat yang mereka kirim nyaris seperti kartu lebaran. Is yang terbawa perasaannya akhirnya memutuskan untuk menziarahi istrinya di TPU Karet. Mudakir juga terbawa perasaannya. Kesendirian, walaupun di Magelang ada anaknya dan kerabat-kerabatnya, dan kerinduan pada anak bungsunya membuat ia berniat mengunjungi anaknya di Jakarta. Tapi, niat Mudakir tidak kesampaian karena anaknya telah pindah rumah. Bukan saja gagal ketemu anaknya, dia juga kehilangan uang. Dia harus melawan ganasnya ibukota dengan ketiadaan uang sama sekali. Hanya baju yang menempel di badan dan sebagian pakaian yang dibawanya. Mudakir benar-benar tidak bisa menikmati kehidupan yang mengenakkan di akhir-akhir hidupnya. Di dunia ini demikian banyak orang seperti Is dan Mudakir yang tidak bisa menikmati kehidupan yang mengenakkan di akhir-akhir hidupnya. Semua itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada anak-anak yang dibesarkannya. Kesalahan bisa juga terjadi karena salah asuh orang tua terutama lalai dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak-anaknya. Sudah saatnya bagi orangtua untuk belajar dari setiap peristiwa yang dialaminya. Boleh juga setiap orangtua belajar dari kasus-kasus yang muncul baik dari informasi yang diterima maupun melalui media-media sosial.  Dengan banyak belajar dari peristiwa-peristiwa itu, ada harapan akan ada perbaikan dalam pola asuh anak-anak yang dilahirkan dari rahim ibu yang solehah. Mudah-mudahan hamba-hamba Allah soleh-solehah terhindar dari pengalaman pahit yang dialami Is dan Mudakir di usia senjanya. Wallahu a`lam bissawab.   

 

 

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *