Subagio S.Waluyo

Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang    yang mengotorinya. (Q. S. al-Syams [91]: 7-10).

Wahai Dzat Yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami

kepada ketaatan terhadap-Mu

(Al-Hadits, Riwayat Muslim)

          Setiap manusia diberi dua jalan:jalan kefasikan dan jalan ketakwaan. Jadi, betapa adilnya Tuhan memberikan tawaran pada umat manusia. Dia (Tuhan) tidak memaksa agar umat manusia menjadi orang yang bertakwa karena semua itu ada konsekuensinya. Kalau fasik,dia akan  merugi karena perbuatan fasik adalah perbuatan yang kotor. Sebaliknya, kalau takwa, dia akan beruntung karena ketakwaan akan menyucikan dirinya. Kalau begitu, mau pilih yang mana fasik atau takwa. Silakan pilih sendiri!

          Meskipun ada dua jalan, manusia tidak bisa seperti bunglon yang mau hidup di kedua kondisi tersebut, dia harus memilih. Kalau ada jenis  manusia terkadang takwa, terkadang fasik, manusia jenis ini boleh jadi tergolong manusia berkepribadian ganda. Boleh juga diganti istilah takwa dengan berperilaku baik dan fasik dengan berperilaku buruk. Jadi, ada jenis manusia yang terkadang dia bisa  menjadi orang baik, sebaliknya dia bisa juga menjadi orang jahat. Kisah Dr Jekyll dan Mr Hyde,  misalnya, bisa menjadi contoh (walaupun hanya karya fiksi) ada manusia kalau di siang hari menjadi orang normal karena bisa berbuat baik pada sesama manusia. Tapi, di malam hari bisa menjadi orang paling jahat karena bisa berbuat sangat kejam dengan  membunuh orang tanpa merasa bersalah. Penulis novel Dr Jekyll dan Tuan Hyde, Robert Louis Stevenson, di balik karyanya itu ada pesan moral tersirat agar manusia tidak berkepribadian ganda. Kalau memang orang baik, dia harus baik di segala tempat. Jangat suatu saat jadi baik, suatu saat jadi jahat. Jangan di tempat ibadah dia khusyu` beribadah seolah-olah dia orang yang sholeh, tapi di luar tempat ibadah dia sebaliknya, selalu dilumuri dengan keburukan (kemaksiatan). Kalau bisa khusyu` ketika ibadah, dia juga harus khusyu` ketika menjalani kehidupan di luar ibadah. Dengan demikian, dia menjadi orang baik di segala tempat baik di tempat ibadah maupun di luar tempat ibadah.

          Tentang berbuat baik di segala tempat berlaku untuk semua orang. Tidak ada ketentuan hanya berlaku untuk seorang pemuka agama yang dianggap sebagian orang sebagai orang suci karena kesalehannya. Pejabat publik juga termasuk ke dalamnya. Dia tidak boleh berlaku sewenang-wenang pada orang-orang kecil (teralienasi). Dia tidak boleh tebang pilih dalam melayani orang karena semua orang kedudukannya sama. Pejabat publik harus terikat menjadikan dirinya sebagai abdi masyarakat bukan abdi negara. Paradigma ini harus diubah. Paradigma yang menyebutkan pejabat publik (birokrat) sebagai abdi negara harus diubah menjadi abdi masyarkat. Kalau masih ada anggapan sebagai abdi negara, tidak aneh kalau sebagian orang birokrat selalu beranggapan bahwa demi atasannya dia harus siap melayani. Sikap seperti ini merupakan gambaran birokrat yang tergolong paternalisme. Paternalisme yang masih ada di kalangan birokrat harus benar-benar hilang kalau memang ada niatan menjadi orang yang baik di segala tempat.

          Diakui atau tidak dalam hal pengelolaan pelayanan publik di negara ini walaupun digembar-gemborkan telah melaksanakan good governance di segala bidang tetap saja masih bercokol di kalangan para birokrat praktek-praktek yang mengarah pada paternalisme. Paternalisme bisa diartikan sebagai suatu bentuk dominasi kelompok ras pendatang yang secara politik lebih kuat daripada penduduk asli atau pribumi (https://www.kompasiana. com/dessyparamitha5763/5b-9a2608677ffb18c869c2c3/pengaruh-pateral- isme-dalam-kelompok-sosial). Mereka (para ras pendatang) lambat-laun mendirikan koloni di daerah jajahannya. Indonesia, misalnya, kedatangan Belanda sebagai penjajah walaupun mengalami perlawanan dari pribumi yang tidak sedikit dan berkepanjangan berhasil mendominasi negara ini. Mereka sebagai penjajah tanpa disadari telah berhasil menanamkan paternalisme di kalangan masyarakat yang terjajah. Dimulai dari pejabat publik yang ada pada waktu itu sampai dengan rakyat biasa. Kehadiran paternalisme jelas memberi  dampak negatif. Dampak negatifnya adalah orang-orang yang di dalammya cenderung menurut dan tunduk pada atasannya tanpa memiliki inisiatif untuk mengembangkan diri.

          Paternalisme akan membentuk sikap birokrat yang akan condong berkepribadian ganda. Artinya, sebagai makhluk Tuhan, dia boleh jadi taat beragama, tapi juga karena takutnya pada atasan, dia berperilaku tidak/ kurang baik. Perilaku semacam ini jelas akan merugikan orang selain diri sendiri juga orang lain. Untuk diri sendiri kalau ukurannya materi atau pangkat memang dia tidak dirugikan. Tapi, di sisi moral dia jelas telah merugikan dirinya karena stigma bahwa birokrat berperilaku buruk akan tetap melekat pada dirinya. Tidak aneh jika banyak anggota  masyarakat enggan berhubungan dengan birokrat. Mau sampai kapan stigma ini tetap melekat pada sang birokrat? Untuk itu, harus ada keberanian dari sang birokrat melakukan perubahan. Dia harus berani melakukan perubahan karena  kalau tidak sampai kapanpun stigma yang melekat sebagai birokrat yang oportunis, diskriminatif, hipokrit, koruptor, dan cap-cap buruk lainnya akan tetap ada.

          Bicara tentang perubahan ada adagium dari C.K. Prahalad yang mengatakan If you learn you will change, if you don`t change you will die (https://drive.google.com/drive/search?q=type:document). Jadi, kalau mau belajar, sang birokrat akan bisa berubah. Tapi, kalau tidak ada keinginan untuk berubah, sang birokrat akan mati. Mau pilih yang mana? Mau pilih berubah atau  mau pilih mati? Jelas, semua orang yang waras mau pilih berubah (perubahan). Untuk melakukan perubahan tidak mudah karena ada orang yang berpendapat semakin besar perubahan mempengaruhi kepentingannya, semakin besar pula daya tolaknya terhadap perubahan (Sadu Wasistiono dalam handout Manajemen Perubahan). Seorang birokrat yang mau melakukan perubahan harus siap-siap saja menghadapi berbagai perubahan. Kalau bisa dikatakan, banyak setan yang kerap  mengganggu sang birokrat untuk melakukan perubahan. Setan itu bisa tidak berwujud karena boleh jadi berupa bisikan yang datangnya dalam diri sang birokrat. Bisa juga setan itu berwujud atasan sesama birokrat atau penguasa dan pengusaha yang karena menuruti hawa nafsunya selalu tidak henti-hentinya mengintervensi kebijakan pemerintah termasuk ke dalamnya mengintervensi sang birokrat dalam bentuk harta, tahta, atau wanita. Perlu juga dicamkan, untuk melakukan perubahan diperlukan proses yang panjang dan berkelanjutan (https://drive.google.com/drive/ search? q=type :document). Kalau memang tidak mau repot, tidak usah ada pikiran untuk melakukan perubahan. Ikuti saja bisikan setan. Mungkin cukup banyak birokrat di negara ini yang sudah nyaman hidup bersama bisikan setan?

          Birokrat yang sudah hidup nyaman dengan bisikan setan jelas akan merugikan orang lain. Coba saja direnungkan, berapa banyak orang yang dirugikan ketika untuk mengurus e-KTP, misalnya, harus menunggu lebih dari satu tahun baru beres. Itupun baru beres urusannya setelah orang yang mengurus KTP lewat bantuan `orang lain`: bisa sesama birokrat (yang mungkin lebih tinggi kedudukannya), bisa dengan anggota dewan, bisa juga yang ujung-ujungnya duit (UUD). Praktek tersebut menunjukkan bahwa birokrat kita belum bersih dari praktek yang namanya KKN. Kalau begitu di mana letaknya bahwa negara ini benar-benar mau melaksanakan good governance? Dengan demikian, yang dikatakan WR Rendra dalam salah satu bait puisinya yang mengatakan bahwa anak bangsa ini hanya menjadi alat birokrasi sementara birokrasi itu sendiri terkadang, bahkan sering menjadi berlebihan. Birokrasi juga menjadi tidak berguna karena dia seperti benalu yang menghisap pohon sehingga suatu saat pohon yang di sekujur batangnya ada benalu lambat-laun akan mati. Artinya, birokrasi berperan mematikan seluruh bidang kehidupan manusia.

…………………………………………………………..

Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
Kita hanya menjadi alat birokrasi !
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan –
menjadi benalu di dahan.

(“Sajak Anak Muda” dalam Potret Pembangunan dalam Puisi)/WS Rendra)

          Karena birokrasi telah mematikan seluruh bidang  kehidupan, anak bangsa ini akan menjadi generasi yang gagap (tidak bisa berkomunikasi).

……………………………………………………..

Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.

(“Sajak Anak Muda” dalam Potret Pembangunan dalam Puisi/WS Rendra)

Anak bangsa ini akan menjadi lebih mengutamakan otot daripada otak. Lebih suka mengikuti hawa nafsu daripada berpikir realistis. Bukankah memang saat ini sudah menjadi kenyataan? Dua puluh tahun kemudian setelah WS Rendra menulis bait puisi di atas, tahun 1998 anak bangsa hasil didikan orde baru mengamuk. Mereka menghabisi sesama anak bangsa walaupun mungkin hanya berbeda ras atau agama. Buat mereka anak bangsa yang bukan pribumi dihabisi. Dibakar tempat-tempat tinggal atau usahanya. Mereka marah besar karena merasa disakiti oleh penguasa atau birokrat orde baru. Sayangnya, karena lebih mengutamakan otot dari-pada otak sehingga yang timbul adalah kerusakan yang luar biasa. Inilah sejarah kotor bangsa ini akibat birokrasi yang tidak bersih. Birokrasi yang menghamba pada paternalisme. Betapa dahsyatnya dampak dari birokrat yang teracuni paternalisme.

…………………………………………………………

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.

(“Sajak Bulan Mei 1998)

          Bagaimana agar birokrasi negara ini tidak teracuni paternalisme? Pada tulisan terdahulu (“Brain Wash—Blood Wash—Heart Wash) diusulkan agar sejak awal penerimaan calon birokrat dilakukan seleksi penerimaan secara ketat. Tidak ada lagi praktek-praktek KKN dalam penerimaan calon PNS. Setelah mereka diterima sebagai calon birokrat harus dilakukan diklat yang bertujuan membersihkan otaknya, darahnya, dan hatinya. Dengan cara seperti itu, Insya Allah bangsa ini akan terhindar dari paternalisme. Dengan menjalankan penerimaan calon birokrat yang selektif yang bebas dari KKN dan dilanjutkan dengan brain wash, brain blood, dan brain heart birokrat bangsa ini akan benar-benar  bekerja secara profesional, efektif, dan efisien. Dengan demikian, bisa diharapkan terwujudnya pelaksanaan good governance di negara ini. Biar lebih jelas lagi, silakan saja dibuka www.subagiowaluyo.com atau subagio waluyo. blogspot.com.   

          Pelaksanaan good governance terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik bisa dikatakan sudah berjalan dengan baik kalau  masalah yang muncul yang berkaitan dengan birokrasi sebagaimana terlihat pada kutipan di bawah ini bisa diminimalkan.

“Pernah masuk ke kantor pemerintahan? Jika pernah, ada beberapa kesan pertama yang sering muncul di benak masyarakat tentang kantor pemerintahan, baik itu di Jakarta apalagi di daerah-daerah. Salah satunya yakni hampir sebagian besar pegawai kantor pemerintah itu sudah berumur, alias generasi tua, dan hanya segelintir yang muda. Tidak seperti di kantor atau perusahaan swasta yang lebih segar dengan darah-darah muda fresh graduated lulusan perguruan tinggi.”

(https://news.detik.com/kolom/d-4445935/meremajakan-wajah-birokrasi-kita)

Birokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini, di satu sisi digambarkan sebagai organisasi yang tidak efisien, berbelit-belit, penganut slogan “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?” Komposisi pegawai yang semakin membengkak, dan korup. Sebuah gambaran yang membuat kita tidak respect dan takut untuk berhubungan dengan birokrasi. Daripada mencari masalah lebih baik berusaha tidak berurusan dengan yang namanya birokrasi. Di sisi lain, birokrasi digambarkan sebagai sebuah organisasi dimana bisa meraih segalanya bagi siapa saja pemenang sebuah pemilihan, mulai dari uang, jabatan, dan kekuasaan. Dua gambaran yang kontradiktif, karena gambaran yang pertama disampaikan oleh masyarakat bawah dan gambaran kedua disampaikan oleh penguasa (elit)”.

(https://www.kompasiana.com/martin-rambe/552b70836ea834bf4b 8b45b7/politisasi-birokrasi-di-indonesia)

“INTEGRITAS adalah topik yang paling mendapat perhatian dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, mungkin menjadi prioritas pertama diantara agenda reformasi birokrasi lainnya. Sudahkah integritas menjadi jiwa para birokrat? Masih maraknya kasus-kasus OTT yang dilakukan KPK menandakan bahwa menegakkan integritas birokrasi masih tetap menjadi pekerjaan rumah yang besar dari pemerintah yang berkuasa, baik di level nasional, provinsi, kabupaten atau pun yang terendah di level desa atau kelurahan.”

(https://jateng.tribunnews.com/2019/01/10/opini-ihwan-sudrajat-integritas-birokrasi)

“Aturan ini diberlakukan berdasarkan hasil survei Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Republik Indonesia yang menyebutkan sekitar 20 persen ASN di Jawa Barat belum memahami Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) pekerjaannya.”

(https://nasional.tempo.co/read/1255055/pemprov-jabar-terapkan-aplikasi-e-rk-untuk-optimalkan-kinerja-asn/full&view=ok)

Bagaimana kalau masalah-masalah di negara ini yang berkaitan dengan birokrasi sebagaimana terlihat pada kutipan-kutipan di atas masih tidak bisa diantisipasi? Kalau masih juga belum bisa diantisipasi masalah-masalah yang muncul di sekitar birokrasi, boleh jadi ungkapan Taufik Ismail Dua puluh tahun lalu dalam “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” tetap masih ada. Bahkan tidak mustahil masalah-masalah patologi birokrasi akan seperti bola salju yang semakin lama semakin membesar.

………………………………………………………………………………….

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi

berterang-terang curang susah dicari tandingan,

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek

secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi

lebih separuh masuk kantung jas safari,

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,

agar orangtua mereka bersenang hati,

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum

sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas

penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan

sandiwara yang opininya bersilang tak habis

dan tak utus dilarang-larang,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata

supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,

ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,

sekarang saja sementara mereka kalah,

kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka

oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia

dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,

kabarnya dengan sepotong SK

suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,

Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,

lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,

(“Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia/Taufik Ismail)

Sebagai tambahan, agar birokrat di negara ini terhindar dari perilaku yang berkepribadian ganda perlu juga dipraktekkan do`a yang diajarkan Nabi SAW di atas: Wahai Dzat Yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan terhadap-Mu. Semoga saja dengan do`a tersebut birokrat di negara ini terhindar menjadi manusia semacam Dr Jekyll dan Mr Hyde hasil bentukan Robert Louis Stevenson. Naudzubillahi min dzaalik!

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat