Subagio S. Waluyo

Perang melawan korupsi di Indonesia terbukti masih menyimpan begitu banyak fakta paradoksal. Meski Komisi Pemberantasan Korupsi telah bekerja keras sejak kelahirannya pada 2003, praktik korupsi ternyata tak pernah surut. Sebaliknya, tindak pidana korupsi kini bahkan kian menjadi-jadi dalam kehidupan masyarakat bangsa ini.

Sudah banyak pula koruptor yang ditangkap, diseret ke pengadilan, dan dijebloskan ke penjara. Namun, jumlah pejabat publik yang terlibat dalam tindak pidana korupsi juga tak pernah berkurang. Kini, bahkan telah lahir barisan koruptor generasi muda dari lingkungan pegawai negeri sipil (PNS) yang berani memarkir anggaran negara berjumlah miliran rupiah ke rekening-rekening pribadi mereka.

Berbagai diskusi, seminar, dan khotbah para rohaniawan tentang jihad melawan korupsi pun sudah sangat sering dilakukan, bahkan sudah mencapai tingkat inflasi. Tapi, semua suara-suara itu hanya seperti teriakan seorang penggembala di padang gurun nan luas. Tak ada yang mau dan bisa mendengarkannya, apalagi menjalankannya. Ini terbukti dengan semakin merajalelanya praktik korupsi di tengah masyarakat kita.

Lalu, adakah yang salah dengan kehadiran institusi hukum khusus yang namanya KPK? Mengapa berbagai seminar, diskusi, dan khotbah para ustaz, para pastor, dan pendeta tak cukup membuat para koruptor bertobat dan menghentikan perilaku busuknya?

Tak ada yang salah dengan semuanya itu. Kita sudah punya KPK yang khusus dibentuk sebagai solusi pemberantasan korupsi di Tanah Air. Kita juga sudah punya perangkat hukum untuk memproses hukum para pelaku korupsi. Para rohaniawan pun berjubel di negeri kita, dan mereka tak henti-hentinya menyuarakan tentang pentingnya menjauhi diri dari korupsi. Namun, semua itu tetap tidak cukup. Perang melawan korupsi di Indonesia masih membutuhkan dua hal penting, bahkan boleh disebut sangat penting dan paling mendesak saat ini. Itulah “peluru” yang mematikan dan “benteng pertahanan” yang dibangun secara sistematis.

(https://investor.id/editorial/26045/peti-mati-untuk-koruptor)

***

          `Say no to korupsi!` (katakan tidak untuk korupsi!). Tapi, menghadapi korupsi tidak cukup mengatakan `tidak`. Menghadapi korupsi kita harus siap mengatakan `berantas korupsi`, `perangi korupsi`, `basmi korupsi dari negeri ini sampai ke akar-akarnya`, atau `koruptor harus dihukum mati` (kalau memang kita mau tegas memberantas korupsi dari negeri ini). Atau, minimal, kita berani mengatakan `harus ada pemiskinan buat koruptor`. Dengan cara menyampaikan itu semua, kita berharap ada perbaikan di negeri ini dalam menghadapi penyakit sosial yang sudah menggurita. Kira-kira ada keseriusan tidak, baik rakyat maupun penyelenggara negara ini untuk mengentaskan penyakit sosial yang satu ini? Kalau tidak ada keseriusan, cukup sampai di sini saja usaha kita menghadapi bahaya penyakit sosial ini.

          Berkaitan dengan penyakit sosial bernama korupsi, kalau kita amati gambar karikatur di atas, ada hal yang menarik tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negeri tercinta ini: Republik Indonesia. Kalau kita perhatikan, IPK negeri ini bukan menaik nilainya malah menurun dari nilai 38 (2021) turun ke nilai 34 (2022). Dengan angka tersebut, IPK negeri ini menempati peringkat ke-110 (sebelumnya peringkat ke-96). Kesimpulannya, negeri ini dalam menangani korupsi memburuk sepanjang tahun 2022. Wajar saja negeri ini menempati peringkat ke-110 mengingat sepanjang tahun 2022 ada 579 kasus korupsi dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp17,8 triliun ((https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/16/penyalahgunaan-anggaran-jadi-modus-korupsi-paling-jamak-sepanjang-2022).Selain itu semua, negeri ini juga masih punya PR besar terkait buronan koruptor yang sampai saat ini belum juga bisa diringkus. Ada empat koruptor yang sampai saat ini belum diketahui rimbanya. Keempat buronan koruptor itu adalah Harun Masiku, Ricky Ham Pagawak, Paulus Tannos, dan Kirana Kotama (https://www.kompas.com/tren/read/ 2023/02/08/ 203000 965/4-buronan-korupsi-yang-belum-tertangkap-siapa-saja-?page=all.) Sampai kapankah mereka bisa berkeliaran di negara antah berantah? Kita hanya bisa menjawab: wallahu a`lam bissawab. Jawaban itu lebih bijak daripada kita menyampaikan `emang gue pikirin (EGP)`.

***

Kita memang tidak layak menjadi orang yang EGP karena sikap seperti itu menunjukkan orang yang `menyerah sebelum bertempur`. Sikap seperti ini menunjukkan sikap fatalis. Fatalis harus kita singkirkan jauh-jauh. Buang kata itu ke keranjang sampah. Kita harus siap menghadapi tantangan. Siapa yang menjadi tantangan kita? Tentu saja yang harus kita hadapi adalah korupsi dan konco-konconya (kolusi dan nepotisme) yang telah menjangkiti masyarakat kita. Tiga penyakit sosial itu (KKN) harus kita hadapi. Kalau tidak bisa memberantasnya, minimal kita harus bisa mencegahnya. Ingat, jangan sampai kita seperti anggota dewan yang seperti kerbau dicocok hidungnya karena mereka tidak berani menentang kebijakan pemerintah yang sudah jelas-jelas merugikan rakyat banyak. Mereka telah dikooptasi oleh eksekutif sehingga tidak berani bersikap oposisi terhadap pemerintah. Mereka lebih taat pada pimpinan partainya daripada mendengar suara rakyat. Coba kita lihat gambar di atas, itu `kan gambaran anggota dewan yang telah menutup mata dan telinganya ketika rakyat menyampaikan keluhannya! Sikap seperti itu tidak mungkin bisa mencegah atau membasmi korupsi di negara ini. Bahkan, tidak mustahil justru anggota dewan itu juga banyak terlibat dalam bancakan bernama korupsi?

          Korupsi memang telah merambah dari pegawai Pemda hingga ke aparat penegak hukum. Ada 1396 tersangka yang terlibat dalam tipikor. Dari jumlah tersebut yang terbesar adalah pegawai Pemda sebanyak 365 orang tersangka. Anggota dewan sebagai wakil rakyat terhormat juga tidak luput dari tipikor. Data menunjukkan ada 60 anggota legislatif yang menjadi tersangka. Mirisnya ada sepuluh orang penegak hukum yang juga ikut menjadi tersangka dalam tipikor. Jadi, kalau dilihat dari aktor-aktor yang terlibat dalam tipikor, ada pemerataan pelaku tipikor yang turut berperan serta dalam menanamkan penyakit sosial di negeri ini. Sebagai tambahan, di masa Orde Baru korupsi tersentralisasi, di masa Reformasi korupsi benar-benar terdesentralisasi. Bukan hanya aktor-aktornya yang terlibat, penyebaran penyakit sosial ini juga sudah merambah ke berbagai daerah sampai di pelosok-pelosok negeri ini. Penyakit sosial yang sudah merambah sampai ke pelosok-pelosok negeri ini tidak bisa kita biarkan. Kita tidak boleh melakukan pembiaran. Karena kalau sampai terjadi pembiaran, tidak mustahil nasib bangsa ini akan benar-benar terpuruk dan tidak mustahil negara ini akan masuk ke dalam jurang negara gagal. Bagaimana agar negara ini tidak masuk ke dalam jurang negara gagal?

          Berkaitan dengan pertanyaan di atas ada sesuatu yang menarik yang harus kita jawab bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan sikap dan tindakan. Sikap dan tindakan kita menghadapi penyakit sosial yang satu ini memang benar-benar dibutuhkan. Bagaimana caranya? Dalam hal ini kita bisa berpegang teguh pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berkaitan dengan peran serta masyarakat, di PP tersebut, misalnya, di Pasal 2 disebutkan bahwa masyarakat berhak untuk:

  • mencari, memperoleh dan memberikan informasi atas dugaan terjadinya korupsi;
  • mendapatkan pelayanan dalam mencari dan memberikan informasi terkait dugaan terjadinya korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
  • menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara korupsi;
  • memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum; dan
  • memperoleh perlindungan hukum Peraturan ini juga memuat tata cara bagi masyarakat yang ikut berperan dalam pemberantasan korupsi.

(https://nasional.kompas.com/read/2022/02/18/03150061/peran-masyara-kat-dalam-pemberantasan-korupsi)

          Dengan melihat butir-butir di atas kita bisa menganalisis bahwa pertama, kita berhak untuk mencari dan memperoleh informasi atas dugaan terjadinya korupsi. Jadi, aparat penegak hukum (termasuk KPK) tidak usah `baper` kalau ada anggota masyarakat yang berusaha mencari tahu kalau ada tipikor yang dilakukan oleh siapapun (termasuk oleh penegak hukum). Para penegak hukum harus berbesar hati dengan adanya partisipasi masyarakat yang peduli terhadap pencegahan korupsi. Penegak hukum juga harus siap menerima pengaduan masyarakat atas tipikor yang dilakukan koruptor sekalipun itu dilakukan oleh penyelenggara negara. Kedua, dalam rangka menegakkan pelayanan publik, penegak hukum juga harus memberikan pelayanannya yang terbaik pada masyarakat ketika mereka mencari informasi terjadinya tipikor. Para penegak hukum juga harus transparan dalam memberikan informasi terkait adanya tipikor pada anggota masyarakat yang memang membutuhkan informasi terkait adanya tipikor. Ketiga, penegak hukum juga harus siap menerima saran dan pendapat (bisa juga kritikan) dari masyarakat karena saran, pendapat, atau kritikan dari masyarakat (apalagi masyarakat akademis) berangkat dari kajian-kajian ilmiah yang bisa dibuktikan kesahihannya. Dalam hal ini sikap keterbukaan aparat penegak hukum yang ingin menangani tipikor sangat diperlukan. Keempat, masyarakat yang memberikan laporan harus direspons oleh penegak hukum. Jangan sampai masyarakat yang sudah berjibaku melakukan pencegahan tipikor dilayani setengah hati. Sikap penegak hukum yang lebih cenderung menjadi pengabdi negara harus diimbangi dengan pengabdi masyarakat. Bahkan, lebih jauh dari itu penegak hukum juga siap memfasilitasi masyarakat yang memberikan pengaduan adanya tipikor dalam bentuk laporan. Kelima, masyarakat yang berusaha menegakkan pencegahan tipikor harus dijamin keselamatannya. Penegak hukum harus berusaha memberikan jaminan sepenuhnya pada masyarakat yang memberikan informasi adanya tipikor. Penegak hukum sama sekali tidak boleh berkhianat terhadap jabatannya sebagai pengayom dan pelayan masyarakat dengan melakukan pembiaran ketika ada masyarakat yang telah menyampaikan informasi terkait tipikor. Dengan adanya PP yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan tipikor diharapkan penyakit sosial yang telah menggurita di negeri ini akan semakin mengecil.

***

Dimaksudkan dengan masyarakat, masyarakat yang mana yang akan dilibatkan untuk melakukan pencegahan agar penyakit sosial yang menggurita itu bisa diminimalkan? Dalam hal ini kita mengutamakan dulu masyarakat akademis, `orang-orang pintar di perguruan tinggi (PT)`, entah itu yang namanya mahasiswa atau dosen, semuanya  harus terlibat. Mereka jangan terlalu asyik di menara gading sehingga tidak tahu sama sekali yang terjadi di luar kampus. Mereka-mereka yang mengaku `orang-orang pintar di PT` jangan bangga dengan gelar-gelar doktornya atau profesornya. Juga tampaknya tidak perlu dibanggakan dengan hasil-hasil penelitiannya kalau hanya tersimpan di arsip-arsip perpustakaan. Mereka juga tidak perlu membanggakan diri kalau di forum-forum internasional telah mempresentasikan hasil-hasil studinya. Hasil-hasil penelitiannya yang telah dimuat dalam bentuk artikel-artikel yang telah dimuat di berbagai jurnal  kampus kelas internasional juga tidak perlu dibanggakan. Semua itu tidak mempunyai arti kalau belum sama sekali diimplementasikan di dunia nyata, di luar kampus. Apa artinya kalau `orang-orang intelek` di kampus teriak-teriak kemiskinan kalau ternyata jumlah orang miskin semakin tertambah? Apa artinya teriak-teriak demokrasi kalau dalam kenyataannya penyelenggara negara ini telah menciptakan oligarki kekuasaan? Apa artinya teriak-teriak korupsi kalau ada petinggi PT yang justru terlibat korupsi? Wajar saja kalau ada yang mengatakan `orang-orang pintar` yang ada di PT hidup di dunia utopia yang susah direalisasikan temuan-temuannya.

Sudah saatnya mereka tidak lagi berutopia dengan penemuan-penemuannya. Untuk itu, sudah saatnya mereka keluar dari menara gading. Mereka harus membuktikan bahwa mereka juga sanggup untuk memecahkan masalah-masalah sosial di sekitarnya termasuk korupsi. Caranya, mudah saja kok! Bukankah di setiap PT ada tridarma ketiga: pengabdian masyarakat? Di banyak PT ada lembaga tersendiri yang melaksanakan tridarma tersebut, yaitu Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM). Lewat LPM bisa dilakukan aktivitas yang berkenaan dengan pencegahan korupsi.  Universitas Gajah Mada (UGM), misalnya, untuk mengkaji masalah-masalah korupsi dibentuk satu lembaga tersendiri di bawah FH UGM: Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) atau biasa lebih dikenal Pukat UGM. Lembaga ini kerap melakukan kajian-kajian di seputar korupsi. Hasil kajian-kajiannya dipublikasikan ke berbagai media, baik media cetak maupun online. Selain itu, juga diserahkan hasil temuannya ke berbagai penegak hukum di negeri ini (termasuk ke dalamnya ke KPK). Walaupun banyak hasil temuannya bersinggungan dengan kepentingan pemerintah, karena semua hasil temuannya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, pemerintah tidak menganggapnya sebagai kritikan yang menjatuhkannya. Bahkan, pemerintah mengapresiasi masukan-masukan dari akademisi yang berkiprah di Pukat UGM itu. Selain itu, di banyak PT mata kuliah Pendidikan Antikorupsi (PAK) wajib diambil oleh para mahasiswa sehingga sejak di bangku kuliah mahasiswa sudah dibekali hal-hal yang berkaitan dengan penyakit sosial bernama korupsi ini. Jadi, sudah saatnya semua PT menunjukkan kepeduliannya untuk melakukan pencegahan tipikor, baik melalui pembelajaran mata kuliah PAK maupun adanya kajian atau aksi yang berkenaan dengan pencegahan korupsi.

Di luar masyarakat akademis, pencegahan korupsi bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kita tahu di masa Orde Baru banyak `orang pintar` dari PT yang kritis karena di kampusnya tidak ada kebebasan mimbar akademis, akhirnya mereka kabur dari PT-nya dan banyak di antara mereka yang mendirikan LSM dengan berbagai kajian yang berkaitan dengan bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. LSM-LSM yang mereka dirikan atau yang mereka ikut bergabung di dalamnya sebagian ada yang didanai oleh lembaga-lembaga internasional. Ada juga sebagian yang didanai oleh pemerintah atau swasta. Meskipun demikian, juga ada dari dana mereka sendiri. Baik LSM-LSM yang didanai oleh pemerintah dan swasta maupun lembaga-lembaga internasional pada prinsipnya sama, yaitu mereka-mereka yang terlibat di dalamnya mau berkiprah di bumi nusantara ini. Untuk itu, tidak ada salahnya kalau LSM juga ikut terlibat dalam pencegahan tipikor.

Selain LSM, pencegahan korupsi juga bisa dilakukan oleh organisasi massa (ormas). Ormas di negara ini sangat banyak. Ada ormas keagamaan yang mengklaim memiliki jamaah sampai 70 juta, seperti Muhammadiyah. Bahkan, ada yang sampai dengan 100 juta lebih, seperti Nahdatul Ulama (NU). Di luar itu, masih banyak ormas Islam yang jumlah jamaahnya jauh di bawah kedua ormas di atas. Juga ada ormas-ormas di luar Islam: MAWI, PGI, dan sebagainya. Ada juga ormas-ormas yang lebih bersifat nasionalis, seperti FKPPI, GMNI, dan HIPMI. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri) mencatat ada 265.433 ormas di Indonesia. Untuk mengatur ormas-ormas tersebut sudah ada undang-undangnya, yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Salah satu tujuan didirikannya ormas adalah melestarikan dan memelihara norma, nilai, etika, dan budaya yang hidup di masyarakat. Selain itu, ormas didirikan untuk menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa (https://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-Seminar-ORMAS-Antara-Peran-Pemerintah-dan-Partisipasi-Masyarakat-1494217306.pdf). Dengan melihat pada tujuan didirikannya ormas, kita bisa menyimpulkan bahwa ormas juga punya peran penting menegakkan norma, nilai, etika, dan budaya dengan melakukan pencegahan tipikor.

Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pelibatan masyarakat yang terlibat, baik dalam media cetak maupun online. Khusus untuk media online atau media sosial (medsos) sangat efektif dalam melakukan pencegahan tipikor di negeri ini. Hal ini terbukti ketika ada pejabat kepolisian melakukan pembiaran terhadap anaknya yang melakukan kekerasan pada seseorang di hadapannya sampai korbannya babak belur. Kejadian itu sempat terekam dan dalam waktu yang sangat singkat cepat viral di medsos sehingga mengundang banyak netizen yang mengomentarinya. Komentar-komentar netizen tentu saja tidak mengenakkan. Ujung-ujungnya sang bapak yang pejabat polisi itu harus berhadapan dengan pengadilan. Selain itu, sang bapak yang pejabat polisi itu harus rela dicopot dari bukan saja jabatannya, tapi juga diberhentikan dari tugasnya di kepolisian. Kalau kejadian seperti itu saja bisa diviralkan, sangat-sangat mungkin kejadian yang berkaitan dengan tipikor juga bisa diviralkan sehingga orang yang mau melakukan tipikor harus berpikir dua kali untuk melakukannya. Dengan demikian, masyarakat yang terlibat dalam dunia medsos sekalipun tidak bisa diremehkan karena mereka juga berkontribusi untuk melakukan pencegahan tipikor.

          Masyarakat biasa atau masyarakat lingkungan juga punya peran besar dalam pencegahan tipikor. Memang, khusus untuk masyarakat jenis ini agak sulit melibatkan mereka dalam melakukan pencegahan tipikor. Mereka jika dilihat dari sisi pendidikannya saja beragam. Sebagian besar boleh jadi dilihat dari sisi pendidikannya mereka tergolong menengah ke bawah. Meskipun demikian, kita tidak boleh melakukan pembiaran. Mereka harus diberdayakan. Boleh saja dari sisi pendidikan mereka tergolong rendah. Tapi, kita harus ada usaha untuk melakukan pemberdayaan. Dalam melakukan pemberdayaan kita lagi-lagi harus melibatkan kalangan akademis dan LSM. Kita harus punya harapan dengan melakukan pemberdayaan suatu saat mereka akan menjadi orang-orang yang mandiri dan kritis. Kalau sudah menjadi orang-orang yang mandiri dan kritis, mereka akan siap melakukan pencegahan tipikor minimal di tempat tinggalnya.

***

Pelibatan masyarakat dari berbagai golongan sangat dibutuhkan dalam menghadapi pencegahan tipikor. Meskipun demikian, pemerintah sebagai penyelenggara negara juga harus serius untuk melakukan hal yang sama. Kita akan mengatakan percuma saja kalau masih ada kebijakan yang justru sangat menguntungkan para koruptor. Gambar karikatur di atas menjadi saksi kalau pemerintah sendiri tidak serius menjalankan pemberantasan korupsi. Coba tunjukkan di mana letak keseriusan pemerintah kalau banyak koruptor yang divonis hukumannya rendah dan sering mendapat remisi? Kalau begitu, kita harus akui pernyataan di atas: “Perang melawan korupsi di Indonesia terbukti masih menyimpan begitu banyak fakta paradoksal. Meski Komisi Pemberantasan Korupsi telah bekerja keras sejak kelahirannya pada 2003, praktik korupsi ternyata tak pernah surut. Sebaliknya, tindak pidana korupsi kini bahkan kian menjadi-jadi dalam kehidupan masyarakat bangsa ini”. Bukankah menghadapi penyakit sosial yang satu ini kita kerap bertemu dengan fakta yang paradoks? Di satu sisi,kita diamanahkan untuk melakukan pencegahan tipikor. Di sisi lain, kita dipertontonkan fakta ketidakkonsistenan pemerintah dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Jadi, siapapun tidak usah gusar kalau ada pernyataan seperti ini: “Berbagai diskusi, seminar, dan khotbah para rohaniawan tentang jihad melawan korupsi pun sudah sangat sering dilakukan, bahkan sudah mencapai tingkat inflasi. Tapi, semua suara-suara itu hanya seperti teriakan seorang penggembala di padang gurun nan luas”. Kenapa? Sampai saat ini penyelenggara negeri ini sangat diragukan niat baiknya untuk melakukan pemberantasan korupsi. Bisa juga pemberantasan korupsi kurang gizi seperti yang dikomentari di gambar karikatur di atas.

Sumber Gambar:

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat