Subagio S. Waluyo

Sebagai orang yang punya tanggung jawab dan kepedulian, apakah kalau melihat ketidakadilan yang dipertontonkan di hadapan kita tetap diam saja? Kalau sama sekali kita bergeming, itu menunjukkan kita adalah orang yang diragukan tanggung jawab dan kepeduliannya. Begitu juga kalau di hadapan kita ada orang-orang yang memamerkan kemewahannya padahal kemewahan itu diperoleh dengan cara-cara kotor dada ini tidak sesak melihat itu semua, kita pun termasuk diragukan tanggung jawab dan kepeduliannya. Jadi, masih dianggap wajar kalau melihat tidak tegaknya keadilan dan masih ada orang yang memamerkan kemewahan yang menyesakkan dada kita. Untuk itu, semua yang mengarah pada distorsi di segala bidang kehidupan, entah itu di bidang ekonomi, sosial, budaya, atau politik sekalipun tidak bisa didiamkan. Selagi masih memiliki tanggung jawab dan kepedulian, kita harus melakukan pencegahan agar distorsi itu tidak terjadi. Begitupun dengan korupsi dan antek-anteknya harus kita cegah dengan berbagai cara. Tentu saja cara-cara yang kita lakukan harus elegan karena sebagai orang akademis kita terikat dengan etika akademis.

          Untuk bisa melakukan pencegahan tipikor berikut antek-anteknya, kita harus menegakkan keadilan. Kenapa kita harus menegakkan keadilan? Bukankah di hadapan kita demikian banyak kebijakan tebang pilih dalam membasmi korupsi sehingga semua itu mencederai penegakan hukum? Jadi, bermodalkan keadilan kita bisa mencegah maraknya tipikor di negara ini. Nah, sebelum menegakkan keadilan, kita harus adil pada diri sendiri. Artinya, kita harus memperlakukan diri kita seadil mungkin, yaitu di antaranya kita tidak berlebihan dalam hal apa saja termasuk berlebihan ketika mengkonsumsi makanan ke dalam tubuh kita karena mengkonsumsi tubuh kita secara berlebihan akan mendatangkan berbagai penyakit. Bukan itu saja, kita juga harus hidup sederhana atau kita harus memiliki kesederhanaan, baik kesederhanaan yang berkaitan dengan keperluan hidup maupun kesederhanaan pada harta benda (mengutip dari Hamka dalam Falsafah Hidup, 2017). Dua kesederhanaan itu yang memang harus kita miliki karena orang sering terjerat pada dua hal itu: keperluan hidup dan harta benda. Sebagai tambahan, kita juga perlu memiliki kedisiplinan karena bangsa besar dicirikan dengan bangsa yang memiliki kedisiplinan. Sebuah bangsa kalau tidak memiliki komitmen terhadap kedisiplinan, bangsa tersebut akan mudah dilibas oleh bangsa-bangsa lain. Kita tidak ingin negara ini dijajah kembali oleh bangsa-bangsa lain. Nenek moyang kita sudah cukup merasakan penderitaannya dijajah oleh bangsa-bangsa lain. Untuk itu, kita harus punya komitmen menegakkan kedisiplinan. Agar tidak berpanjang kalam, kita simak uraian-uraian berikut ini yang berbicara tentang keadilan, kesederhanaan, dan kedisiplinan.

***

Keadilan

………………………………………………………………………………….

Kami bertanya dengan bahasa cinta

Jawablah kami dengan rasa

Hormati keunikan, bantu kami berkembang

Jangan jawab dengan agitasi dan logika

Banyak hal yang sama saat kita berbahasa cinta

Menepis lara, menggali duka secara terbuka

Amarah dan murka tak akan pernah ada

Karena cinta membuat segalanya mudah dan sederhana

Pimpinlah kami dengan bahasa cinta

Agar kita bisa indah menari dan menyanyi

Bersama garuda, pelangi dan nyiur di pelosok negeri

Menabuh gendang bersama, bangkitkan darah kita

……………………………………………………………………………

(https://www.kompasiana.com/agungmsghai-edumain6203/6454b0c54addee 50d445dad5/pimpinlah-kami-dengan-bahasa-cinta)

Apa itu keadilan? Mengapa kita harus berbuat adil? Adakah orang atau tokoh yang dianggap adil? Bilamanakah keadilan bisa diwujudkan? Bagaimana cara kita menegakkan keadilan?  Pertanyaan-pertanyaan itulah yang perlu kita ajukan agar kita mengetahui bahwa keadilan memang sesuatu yang sampai saat ini sedang kita perjuangkan. Kita memang berkewajiban memperjuangkan dan menegakkannya karena keadilan sampai saat ini hanya sebatas ide-ide indah yang salah satu di antaranya tercantum dalam sila kelima Pancasila.

          Apa itu keadilan? Sebuah pertanyaan sederhana.  Namun pertanyaan itu menggelitik kita untuk mencari jawaban.  Secara sederhana keadilan dalam KBBI (1999:7) didefinisikan sebagai sifat (dalam hal ini perbuatan, perlakuan, dan sebagaimana) yang adil.  Sedangkan kata adil yang melekat pada kata keadilan didefinisikan sebagai 1 tidak berat sebelah; tidak memihak ; 2 berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang.  Jadi, kata keadilan bisa berarti sifat yang:

  • tidak berat sebelah;
  • tidak memihak;
  • berpihak kepada yang benar;
  • berpegang pada kebenaran;
  • sepatutnya; atau
  • tidak sewenang-wenang.

          Mengapa kita harus berbuat adil?  Kita harus berbuat adil karena (dengan mengacu pada butir-butir yang menunjukkan arti keadilan di atas) jika kita berat sebelah atau memihak kepada orang atau kelompok yang kuat (ekonominya, kekuasaannya), misalnya, akan terjadi berbagai macam bentuk kemungkaran.  Sebagai bukti bisa kita saksikan nanti tentang nasib negara kita di masa depan.  Akan seperti apa negara ini di masa yang akan datang kalau hutang-hutang luar negeri sudah demikian menumpuknya?  Apakah untuk menutupi APBN yang kerap kali defisit ditanggulangi dengan menaikkan BBM, TDL, atau PPN?  Siapa yang paling menderita dengan kenaikan-kenaikan tersebut?  Rakyat kecil, bukan?  Jika rakyat kecil yang selalu menjadi korban, bagaimana nasib bangsa ini yang sebagian besar adalah rakyat kecil? Bukankah defisitnya APBN salah satu di antaranya karena kita wajib membayar hutang yang kita tahu sendiri bahwa hutang negara yang demikian besar itu lebih merupakan warisan Pemerintah Orde Baru dan diteruskan oleh Pemerintah Reformasi sampai saat ini?  Siapa yang memanfaatkan hutang negara itu kalau bukan para penguasa dan konglomerat yang berkuasa pada waktu itu?  Mengapa mereka tidak diadili? Kalau mereka tidak diadili, apakah akan memberikan kebaikan buat bangsa ini atau sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang sampai sekarang ini tidak terjawab (dijawab dengan penegakan hukum bukan retorika hukum) yang berakibat pada munculnya berbagai macam bentuk kemungkaran.  Kemungkaran macam apa itu yang muncul saat ini?

          Kemungkaran yang muncul saat ini beragam.  Tindakan anarkis, vandalis, dan main hakim sendiri yang berakibat pada ketidakamanan, ketidak-nyamanan, dan ketidaktenteraman merupakan bentuk kemungkaran. Tindakan masyarakat seperti itu lebih disebabkan oleh tidak tegaknya hukum di negara ini (hukum bisa diatur sedemikian rupa) sehingga Taufik Ismail pun merasa malu sebagai warga negara Indonesia.Ungkapan tentang itu terekam dalam bait puisi di bawah ini.

………………………………………………………………………

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

                                                                           (Taufik Ismail, 1998:19)

Jadi, akibat tidak tegaknya hukum terjadi perusakan akhlak. Bagaimana jika akhlak telah rusak?  Kita jangan berharap akan jadi apa negara ini.  Inilah alasan kita untuk menegakkan keadilan.

          Pertanyaan berikut: adakah orang atau tokoh yang kita anggap adil saat ini?  Kita jawab singkat saja: tidak ada!  Mengapa tidak ada?  Tidak adanya orang atau tokoh yang adil karena memang orang atau tokoh yang kita duga akan bersikap adil, ternyata juga tidak bersikap adil.  Apakah kita bisa menyatakan bahwa penguasa A, penguasa B, pejabat X, pejabat Y, atau tokoh masyarakat P, Q, R, S itu adil?  Atau orang tua kita, bapak ibu kita, Bisakah dijadikan contoh teladan dalam hal keadilan?  Coba kita simak potongan  puisi di bawah ini yang memberikan jawaban atas pertanyaan: bagaimana sebenarnya (sebagian) orang tua kita dalam hal bersikap adil?

……………………………………………………………………………………………….

Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat di mejanya:

 “Ayah dan ibu yang terhormat,

aku pergi meninggalkan rumah ini.

Cinta kasih cukup aku dapatkan.

Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.

Ya, aku menolak untuk mendewakan harta,

tetapi kehilangan kesejahteraan.

Bahkan kemewahan yang ayah punya

tidak juga berarti kemakmuran.

Ayah berkata: “Santai, santai!”

tetapi sebenarnya ayah hanyut

dibawa arus jorok keadaan.

Ayah hanya punya kelas,

tetapi tidak punya kehormatan.

Kenapa ayah berhak mendapat kemewahan yang sekarang

ayah miliki ini?

Hasil dari bekerja?  Bekerja apa?

Apakah produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi?

Seorang petani lebih produktif daripada yah.

Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.

Ayah hanya bisa membuat peraturan.

Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan

          rakyat dari penguasa

Ayah tidak produktif  melainkan destruktip.

Namun toh ayah mendapat gaji yang besar!

Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan?

Tidak pernah, bukan?

Terlalu berisiko, bukan?

Apakah aku harus mencontoh ayah?

Sikap hidup ayah adalah pendidikan bagi jiwaku.

Ayah dan ibu, selamat tinggal.

Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya.”

(WS Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi, 1993:60-61)

          Potongan puisi di atas mencerminkan suatu kenyataan: jauh api dari panggang. Artinya, (sebagian) orang tua kita ternyata melakukan hal-hal yang tidak terpuji meskipun semua yang dilakukan demi anak-cucu.  Seorang anak yang terpanggil hati nuraninya (dalam puisi tersebut diwakili oleh sang putra yang  mahasiswa) menulis surat.  Di surat itu ia menuangkan gejolak perasaan hatinya yang terpendam selama ini.  Ia menyampaikan bahwa ia tidak suka cara hidup kedua orang tuanya meskipun kemewahan hidup ia dapatkan. Ia mempersoalkan tentang status dan pekerjaan ayahnya yang hanya memiliki kelas tetapi tidak punya kehormatan karena seorang petani atau buruh jauh lebih terhormat dari pekerjaan orang tuanya.  Bahkan, dengan kasarnya ia mengatakan ayahnya tidak produktif melainkan destruktif meskipun memperoleh gaji yang besar.  Terakhir, ayahnya ternyata juga tidak pernah memprotes ketidakadilan karena ia sendiri terlibat dalam pusaran untuk menegakkan ketidakadilan.  Sekarang, bagaimana dengan diri kita? Jangan-jangan kita sendiri justru tergolong orang yang tidak adil? Jadi, untuk saat ini kita hanya percaya bahwa orang atau tokoh yang adil baru ada pada para nabi dan rosul.  Di luar itu, jangan dicari (termasuk diri kita sendiri).  Dengan demikian, selama tidak ada orang yang bisa dijadikan contoh teladan sebagai orang atau tokoh yang adil, bilamanakah kita bisa mewujudkan keadilan? Rasa-rasanya sulit untuk mewujudkan keadilan selama belum ada tokoh yang dijadikan contoh teladan dalam menegakkan keadilan.  Tetapi, kita tidak boleh putus asa sehingga kita tidak berkeinginan untuk mewujudkan keadilan.  Untuk itu, kita pertama kali harus menegakkan keadilan buat diri kita dulu sendiri.  Bagaimana caranya?  Ini pertanyaan menarik yang perlu kita renungkan melalui sebuah puisi di bawah ini.

          JANGAN

                              Sutardji Calzoum Bachri

kita dari akar yang sama

dari pohon sejarah yang sama

kita dari bangsa yang sama

dari kemanusiaan yang satu

maka

jangan berucap dengan peluru

jangan bergumam dengan dentuman

jangan berkata lewat batu

jangan sampaikan lewat pentungan

utarakanlah dengan mawar

dengan bijak tingkah lembut merdu

utarakanlah dengan sabar

asal dari nurani yang satu

                                                                        Mei 1998

***

          Sutardji Calzoum Bachri melalui puisinya di atas mengajarkan kita cara bersikap adil kepada sesama kita, yaitu untuk tidak menggunakan bahasa kekerasan (entah dengan peluru, bom, batu, atau pentungan).  Tetapi, gunakan kelembutan (juga keindahan dan keharuman seperti mawar) dan kesabaran yang berangkat dari hati nurani manusia. Ia mengingatkan kita sekalian karena kita berasal dari akar yang sama, pohon sejarah yang sama, dan bangsa yang sama (yang lebih penting lagi adalah manusia yang memiliki rasa kemanusiaan), yaitu bangsa Indonesia. Singkatnya, kita mulai menegakkan keadilan (juga kebenaran) dengan menghindari kekerasan karena kekerasan tidak akan menghasilkan sesuatu yang terbaik. Pencegahan korupsi bukankah memang sebaiknya dengan menegakkan keadilan?

***

Kesederhanaan

Ingatlah hai orang-orang yang diperdayakan oleh kemewahan yang melebihi kekuatan, bahwasanya hidup yang melebihi itu mengorbankan harta, selalu merasa tidak cukup, selalu merasa kekurangan, dan dia pun mengorbankan pikiran, menyesakkan hati, menghabiskan ketenteraman,melekaskan tua. Kebahagiaannya hanya sebentar.

……………………………………………………………………………………………………

Sederhana mengeluarkan belanja. Jangan boros dan jangan bakhil. Keborosan memusnahkan harta, mempercepat kemiskinan, dan menyebabkan tidak tercapai perkara-perkara yang sangat penting, karena uang telah habis untuk perkara yang tidak penting. Bakhil menyebabkan timbul kebencian manusia. Menyebabkan putus hubungan dengan sahabat, kamu kerabat. Cuma bersahabat dengan uang yang disimpan itu saja. Kita menyangka kita menang, padahal di belakang kita orang mencela kebakhilan kita.

(Hamka, Falsafat Hidup, 2017)

Adakah koruptor yang sederhana hidupnya? Kita sudah memastikan tidak ada koruptor yang sederhana hidupnya. Justru, mereka melakukan korupsi karena seperti yang diungkapkan Buya Hamka di atas: `diperdayakan oleh kemewahan`. Artinya, karena mereka menginginkan kemewahan sedangkan mereka sebenarnya dari segi penghasilannya tidak mungkin bisa memenuhinya, akhirnya mereka melakukan korupsi. Jadi, tidak mungkin orang yang hidup sederhana mau melakukan korupsi. Orang yang sederhana bukan berarti orang miskin. Boleh jadi banyak di antara mereka orang-orang yang memiliki harta berlebih. Orang yang sederhana walaupun memiliki harta, dia akan memanfaatkan hartanya untuk berbagi pada sesamanya entah itu dia mengeluarkan zakat, infaq, atau sedekah. Dengan demikian, orang yang sederhana adalah bukan tergolong orang yang disebutkan Hamka di atas sebagai orang yang bakhil.

          Koruptor juga banyak yang tidak bakhil alias mau berbagi pada sesama. Tapi, ingat, mereka biasanya berbagi disertai dengan publikasi. Dengan cara mempublikasikan dirinya ketika bagi-bagi uang pada orang-orang duafa, dia akan mendapat pujian sebagai orang yang dermawan. Cara dia membagi-bagi uang pada para kaum duafa disertai dengan mempublikasikannya jelas tidak ada unsur keikhlasan. Semua yang dikerjakannya tentu saja tidak lepas dari hawa nafsu apalagi kalau bukan untuk pamer atau yang biasa disebut orang `flexing`. Memang, ada juga di antara mereka yang diam-diam membagi-bagi uang pada orang-orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Orang seperti ini memang tidak butuh publikasi. Meskipun demikian, suatu saat ketika terbuka kedoknya kalau dia seorang koruptor, dia berharap orang-orang yang pernah diberikan bantuannya tidak ikut-ikut memvonis dirinya sebagai koruptor. Niat sang koruptor jelas-jelas merupakan niat yang buruk karena dalam dirinya masih punya harapan agar orang-orang yang ditolongnya suatu saat bersedia menolongnya dengan tidak ikut-ikutan menudingnya sebagai koruptor. Atau kalau memang dia koruptor, setidaknya orang masih menyebutnya sebagai orang yang dermawan. Apakah masih layak seorang koruptor disebut sebagai orang dermawan (baik) walaupun sering berbagi pada sesamanya?

          Kita tidak bisa mengatakan seorang koruptor sebagai orang yang baik karena harta yang dimilikinya diperoleh dengan cara-cara kotor. Orang jenis ini sudah jelas-jelas orang yang tidak bisa melawan hawa nafsu. Orang jenis ini hidupnya sudah dikendalikan oleh hawa nafsu yang selalu mengajaknya ke jalan yang buruk. Sudah bisa dipastikan seorang koruptor karena harta yang diperolehnya dengan cara-cara kotor (haram), dia juga akan menghabiskan sebagian besar uangnya untuk maksiat. Bisa juga dia akan membeli barang-barang yang tergolong mewah. Kalau memiliki rumah, tidak mungkin dia memiliki rumah yang sederhana. Begitu juga kalau memiliki kendaraan, mobil misalnya, dia juga akan memiliki mobil yang tergolong mewah dengan harga miliaran rupiah. Tidak aneh jika di rumahnya semua barang yang dimilikinya tergolong mewah dan berkelas. Untuk pendidikan anak-anaknya dia juga tidak sembarang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang tidak bergengsi. Karena sudah terbiasa korupsi, agar anak-anaknya diterima di sekolah atau perguruan tinggi bergengsi tidak segan-segan dia akan siapkan anggaran yang cukup besar sebagai sogokannya. Jadi, sudah jelas ya seorang koruptor tidak mungkin menjalani kehidupan dengan kesederhanaan?

***

          Sebagai hamba Allah kita harus mengetahui bahwa yang namanya harta bukan menjadi tujuan hidup kita. Harta hanya merupakan sebuah sarana untuk hidup. Memang, untuk menjalani kehidupan kita butuh harta. Tapi, harta bukan segala-galanya sehingga kita gelap mata yang menyebabkan kita melakukan cara-cara kotor memperoleh harta benda. Agar tidak terperdaya oleh harta, kita harus dekat pada Sang Khalik. Selain itu, kita harus belajar hidup sederhana. Dengan kesederhanaan kita akan jauh dari kemewahan hidup. Kalau sudah jauh dari kemewahan hidup, kita akan terselamatkan dari perilaku-perilaku buruk di antaranya perilaku yang mengarah pada tipikor.

***

Kedisplinan

……………………………………………………………………………………………………..

Dalam bekerja pun selain berhubungan dengan para pengguna jasa yang menjadi tanggung jawab dan prioritas pelayanan juga setiap pegawai pasti akan berinteraksi dan bekerja sama dengan pegawai lainnya. Saling menghargai kepentingan orang lain dalam pekerjaan yang membutuhkan bantuan kita, akan membuat disiplin semakin terasa dibutuhkan. Dibutuhkan manajemen waktu dan perasaan taat untuk menyelesaikannya baik itu kepentingan pekerjaan sendiri maupun kepentingan orang lain.

Disiplin diibaratkan sebagai suatu penyakit yang menular. Ketika disiplin diterapkan disalah satu sesi pekerjaan maka pegawai tersebut akan terbiasa menerapkan disiplin di pekerjaan lainnya. Dengan keinginan untuk selalu menerapkan kedisiplinan, seseorang akan berusaha untuk terus meng-upgrade dirinya menjadi lebih baik lagi. Hingga disuatu pekerjaan yang membutuhkan kualitas yang belum ada pada dirinya maka ia akan berusaha menemukan kualitas tersebut agar pekerjaan nya dapat diselesaikan tepat waktu.

Bayangkan jika disiplin dalam diri seorang pegawai tidak ada, pegawai tersebut akan tidak mudah diberikan kepercayaan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan hingga ke hal-hal lain yang akan merugikan dirinya. Oleh karena itu, teruslah memupuk sikap disiplin dalam diri. Karena kesuksesan memang dimulai dari niat, namun dapat diraih dengan kedisiplinan.

(https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-dumai/baca-artikel/15143/Disiplin-sebagai-Sebuah-Kebutuhan.html)

Dalam pemerintahan, kalau ada aparatur pemerintah tidak memiliki kedisiplinan, apa yang akan terjadi? Jawabnya singkat saja, akan muncul berbagai penyakit yang berkaitan dengan penyakit-penyakit administrasi. Samodra Wibawa dalam Mengelola Negara (2012:120-122) menyebutkan sedikitnya ada tiga bentuk penyakit administrasi, yaitu nepotisme, kolusi, dan korupsi. Nepotisme adalah hubungan atau kerja sama yang dilakukan dengan mengutamakan kekelurgaan dan pertemanan  dengan mengabaikan faktor adanya prestasi atau keberhasilan. Kolusi adalah konspirasi atau persengkokolan antara pejabat atau pegawai dengan orang lain untuk memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Korupsi ialah tindakan yang melanggar aturan atau menyalahgunakan jabatan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

          Bagaimana pelaksanaan Good Governance (GG) di negara yang tidak memiliki kedisiplinan akibat masih kuatnya budaya Patron Klien (PK)? Bagaimana pelaksanaan GG dalam pengelolaan potensi daerah di negara yang kaya akan sumber daya alam ini kalau masih ada aparat yang masih mempraktekkan cara-cara yang terdapat dalam budaya PK, seperti masih adanya mental `asal bapak senang` (abs)? Tampaknya, pelaksanaan GG akan mengalami hambatan yang cukup serius. Kalau budaya PK itu sendiri belum bisa ditangani, sampai kapanpun tidak bisa dilaksanakan butir-butir yang terdapat pada GG, baik yang berkaitan dengan pilar-pilarnya maupun prinsip-prinsipnya. Salah satu butir dalam GG, seperti profesionalisme, sangat dibutuhkan aparat yang memiliki kedisiplinan. Artinya, aparat yang profesional adalah aparat yang memiliki kedisiplinan dalam menjalankan tugasnya. Jadi, aparat yang tidak atau kurang memiliki kedisiplinan adalah aparat yang tidak profesional. Karena aparat yang profesional harus memiliki karakteristik di antaranya komitmen yang kuat terhadap karir, terbuka menerima ide-ide baru, komitmen pada pekerjaan, konsisten pada setiap orang, berorientasi terhadap pelayanan,  dan mampu melakukan dan memberikan pembelajaran.

          Untuk bisa mengelola potensi daerah, agar potensi yang dimiliki di setiap daerah benar-benar bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat, jelas-jelas dibutuhkan implementasi GG secara konsisten. Agar pelaksanaan GG berjalan mulus tanpa hambatan, mau tidak mau harus dibenahi dulu penyakit-penyakit yang terdapat pada budaya PK. Sementara itu, penyakit-penyakit budaya PK tidak bisa diselesaikan demikian cepat melalui berbagai diklat atau penataran-penataran yang dulu pernah secara masif dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru. Penyakit-penyakit budaya PK hanya bisa dibenahi melalui pendidikan yang dimulai dari pendidikan di keluarga itu sendiri. Kemudian juga dilakukan di masyarakat dan sekolah. Dimulai dari keluarga karena keluarga punya peran penting untuk menanamkan nilai-nilai moral, baik terhadap kepala keluarga maupun anggota-anggotanya (istri dan anak). Nilai-nilai kedisiplinan harus dimulai dari keluarga. Kalau keluarga telah gagal menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, sampai kapanpun tidak akan terwujud yang namanya bangsa yang terbebaskan dari penyakit-penyakit budaya PK.

          Masyarakat juga punya peran penting untuk menanamkan nilai-nilai kedisiplinan. Sama halnya dengan keluarga, kalau masyarakat juga gagal menanamkan nilai-nilai kedisiplina penyakit-penyakit budaya PK akan terus ada dan, bahkan, akan semakin meluas jangkauannya. Di luar keluarga dan masyarakat, sekolah dan perguruan tinggi pun punya peran yang tidak kalah pentingnya. Melalui pendidikan di sekolah yang mulai melirik pada pendidikan berbasis karakter diharapkan akan melahirkan anak didik yang memiliki kedisiplinan. Kalau pendidikan berbasis karakter yang mulai diterapkan di sekolah-sekolah (karena tuntutan Kurikulum 2013) juga gagal, tidak mustahil mewujudkan GG di negara ini seperti angan-angan saja alias hanya sebatas wacana. Sedangkan di perguruan tinggi (kalangan mahasiswa) yang mendapat Pendidikan Antikorupsi dipandang perlu untuk ditanamkan kedisplinan lewat pembelajaran, baik dalam Pendidikan Antikorupsi maupun mata-mata kuliah lain yang ada di perguruan tinggi tersebut. Kalau dipandang perlu semua dosen yang memberikan kuliah juga harus menanamkan kedisiplinan.  Dengan demikian, pencegahan tipikor bisa diwujudkan. Untuk itu, tidak ada kata lain agar bisa diwujudkan pencegahan korupsi di negara ini selain penanaman nilai-nilai kedisiplinan yang dimulai dari pendidikan di keluarga, diteruskan di masyarakat, dan juga tidak kalah pentingnya di sekolah melalui pendidikan berbasis karakter, dan di perguruan tinggi melalui pembelajaran di semua mata kuliah.

***

          Selagi ada niat, kita harus segera melaksanakannya. Masih ada waktu untuk melakukan kebaikan. Selagi Tuhan masih memberikan kesempatan untuk menikmati hidup di dunia ini, kita harus memanfaatkan kesempatan itu untuk melakukan yang terbaik. Buat kita yang perlu dilakukan adalah upaya pencegahan tipikor. Dengan upaya pencegahan tipikor, kita punya harapan korupsi di negara ini semakin hari semakin berkurang.

       Sumber Gambar:

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat