Subagio S.Waluyo

Kalau ada orang yang bertanya, bagaimana birokrasi kita? Sampai saat ini birokrasi kita adalah birokrasi yang menyesakkan.  Dalam hal ini ketika kita menanggapi tentang birokrasi bukan hanya tertuju pada orang (dalam hal ini ASN) tapi juga sistem. Jadi, kalau mau membenahi birokrasi kita (reformasi birokrasi) bukan cuma orangnya, masuk ke dalamnya juga membenahi sistem organisasi (lembaga pemerintahan). Kalau begitu, apa itu sesungguhnya esensi reformasi birokrasi?  Kita lihat slide di bawah ini.

Ketika membicarakan reformasi birokrasi di Indonesia, kita sama saja membicarakan tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia. Maksudnya, kedua hal itu ada keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Birokrasi di satu sisi sebagai sistem. Kalau sistemnya rusak, mau tidak mau masyarakatnya juga rusak karena kondisi masyarakat sangat dipengaruhi oleh sistem itu sendiri. Bukankah kehidupan masyarakat dijalankan oleh sistem yang dibuat, baik oleh negara sebagai pemegang kekuasaan maupun masyarakat tradisional yang berlaku dalam sistem tersebut? Mengingat sistem masyarakat tradisional sudah semakin memudar (bahkan sudah banyak yang tidak digunakan lagi), boleh jadi masyarakat sangat bergantung pada sistem yang dikeluarkan oleh negara. Sistem yang dikeluarkan oleh negara salah satu di antaranya, bisa dituangkan ke dalam, baik undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah. Dalam hal ini bisa diambil contoh yang berkaitan dengan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa dilihat pada slide berikut ini.

Apa arti bunyi ketentuan di atas? Artinya, setiap pekerja harus bekerja dalam satu minggu enam hari. Pekerja hanya libur satu hari dalam satu minggu. UU ini sedikit banyaknya akan mengubah perilaku pekerja karena akan berbeda pekerja yang libur dua hari dengan yang libur satu hari. Pekerja yang libur dua hari setidaknya bisa memanfaatkan waktunya untuk kumpul bersama keluarga sehingga tercipta keharmonisan keluarga. Pekerja yang libur hanya satu hari dalam seminggu bagaimana dia bisa memanfaatkan waktu secara maksimal untuk berkumpul dengan keluarga? Hal-hal seperti ini tampaknya diabaikan oleh pembuat kebijakan. Pantas saja kalau kebijakan ini lebih condong ke pihak pengusaha. Bisa saja UU ini berbau kapitalis-liberalis. Ini salah satu contoh sistem yang dibuat pemerintah bisa merusak kehidupan masyarakat.

          Perlu juga diketahui, berkaitan dengan sistem dan perilaku para birokrat (ASN) yang tidak lagi sesuai dengan keinginan kita, baru-baru ini ada berita yang mengizinkan ASN menjadi badan ad.hoc Pemilu. Bisa saja nanti ASN menjadi entah itu sebagai Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), atau Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Bagaimana tugas ASN yang seharusnya melayani publik? Bisa-bisa publik yang butuh pelayanan mereka terganggu. Terkait dengan ASN yang terlibat dengan aktivitas berbau politik ini menjadi PR buat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu jelas harus berupaya mengambil sikap mengingat netralitas ASN sebagai pelayan publik harus ditegakkan. Berita tentang  keterlibatan ASN dalam badan ad.hoc Pemilu bisa dilihat pada petikan berita berikut ini.

Netralitas Birokrasi Jelang Pemilu 2024 Masih Jadi Pekerjaan Rumah Besar Bawaslu

Chandra Iswinarno

Rabu, 01 Februari 2023 | 12:15 WIB

Suara.com – Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Arfianto Purbolaksono menilai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) punya pekerjaan rumah besar terkait netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada Pemilu 2024.

Apalagi, saat ini, ASN diizinkan untuk menjadi badan ad hoc Pemilu, yakni Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dan Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih).

“Pada Pemilu 2019 dan Pilkada Serentak 2020 yang lalu saja berdasarkan data Bawaslu pelanggaran netralitas birokrasi pada Pemilu 2019 yang diteruskan perkaranya ke KASN sebanyak 845 perkara. Sedangkan pada Pilkada Serentak tahun 2020 terdapat 1.398 kasus yang diteruskan ke KASN,” kata Arfianto melalui keterangan tertulis yang diterima Suara.com.

Ia memperkirakan saat pelaksanaan Pemilu 2024 juga akan terjadi penambahan pelanggaran, karena ASN diperbolehkan menjadi badan ad hoc.

“Maka, jika saat ini ASN diperbolehkan menjadi badan ad hoc, maka bisa saja angka-angka tersebut akan meningkat. Walaupun hal tersebut tidak kita inginkan,” papar

Ia mengatakan, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara harus memitigasi risiko munculnya persoalan tersebut.

Bahkan, jangan sampai terjadi pelanggaran netralitas birokrasi yang pada akhirnya memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.

Selain itu, Arfianto mengatakan KPU dan Bawaslu perlu membuat aturan yang secara rinci dan tegas untuk dapat mengatur keberadaan ASN dalam Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, sehingga aturan ini dapat diimplementasikan oleh penyelenggara Pemilu pada tingkat provinsi hingga kabupaten/ kota.

Selain itu, penyelenggara Pemilu juga dapat berkolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil, universitas, dan media massa untuk membantu dalam pengawasan tersebut.

(https://www.suara.com/kotaksuara/2023/02/01/121559/netralitas-birokrasi-jelang-pemilu-2024-masih-jadi-pekerjaan-rumah-besar-bawaslu)

***

Sudah sampai sejauh mana saat ini seorang ASN memandang dirinya sebagai milik publik? Kita yakin sebagian besar ASN sampai saat ini belum merasa dirinya milik publik. Kita bisa buktikan mereka yang mendapat angin segar karena dibolehkannya terlibat dalam badan ad.hoc Pemilu sesuai berita di atas akan jauh dari ucapan Thomas Jefferson. Dalam segi tindakan dan kebijakannya sudah dipastikan mereka akan menyepelekan kepentingan publik. Lebih jauh dari itu, esensi reformasi birokrasi yang bertujuan ingin mengubah dari government ke governance tidak akan tercapai. Pemberitaan itu menunjukkan ketidakseriusan pihak pemerintah menegakkan reformasi birokrasi.

          Seperti yang tercantum pada slide di atas bahwa esensi reformasi birokrasi diartikan mengubah manajemen pemerintahan dari government ke governance. Sebelum melangkah lebih jauh, kita coba pahami dulu konsep tentang government dan governance. Tabel di bawah ini menunjukkan adanya perbedaan keduanya dari beberapa sisi dimulai dari pengertian sampai dengan hasil akhirnya. Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat pada tabel berikut ini.

Perbedaan Government dan Governance

Poin Pembeda Government

Governance

Pengertian Badan atau lembaga yang menjalankan pemerintahan. Kegiatan yang dilakukan pemerintah yang membentuk pola hubungan antara negara, masyarakat, ranah privat atau swasta.
Sifat Hubungan Hierarkis: Aktor yang memerintah berada di atas. Sedangkan warga negara yang diperintah berada di bawah. Heterarkis: terdapat kesetaraan kedudukan hanya berbeda dalam fungsi.
Komponen yang Terlibat Hanya ada satu subjek, yaitu institut pemerintahan Hanya ada tiga komponen yang terlibat:

·         Sektor publik

·         Sektor masyarakat

·         Sektor swasta

Pemegang Peran Dominan Sektor Pemerintahan Semua memegang peran sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Efek yang Diharapkan Kepatuhan warga negara Partisipasi warga negara
Hasil Akhir Pencapaian tujuan negara melalui kepatuhan warga negara. Pencapaian tujuan negara dan tujuan masyarakat melalui partisipasi, baik sebagai warga negara maupun warga masyarakat.
(https://nasional.kompas.com/read/2022/03/15/03000071/perbedaan-government-dan-governance)

Dengan melihat tabel di atas, semakin jelas perbedaan government dan governance. Dalam government hanya pemerintah yang terlibat. Karena hanya pemerintah yang terlibat, wajar saja jika pemerintah menghendaki kepatuhan warganya. Selain itu, pencapaian tujuan negara juga harus melalui kepatuhan warga negaranya. Dalam hal ini kedudukan warga dianggap sebagai bawahan. Sebagai bawahan, warga harus menunjukkan kepatuhannya pada pemerintah. Sementara itu, dalam governance bukan hanya pemerintah yang terlibat, tapi juga masyarakat dan swasta. Ketiganya harus bisa berkolaborasi. Ketiganya memiliki kesetaraan. Jadi, posisi pemerintah bukan sebagai atasan. Atau masyarakat bukan bawahan pemerintah. Begitu juga swasta ada kesetaraan dengan pemerintah dan masyarakat. Semuanya memegang peran sesuai dengan fungsinya masing-masing. Kalau di government sangat dibutuhkan kepatuhan warga, di governance sangat dibutuhkan partisipasi warga. Tanpa partisipasi warga, tujuan negara dan tujuan masyarakat tidak akan tercapai.

Meskipun ditampilkan tabel yang menjelaskan perbedaan government dan governance, tidak ada salahnya kita memberikan tambahan penjelasan berkaitan dengan keduanya. Slide-slide di atas memberikan gambaran bahwa dalam government, lembaga-lembaga kenegaraan diberikan hak, wewenang, dan tanggung jawab karena yang berperan hanya satu, yaitu pemerintah. Contoh yang tampak di hadapan kita adalah kepala desa dan perangkatnya. Mereka merupakan aktor utama yang keberadaannya harus dipatuhi oleh warga desanya (bawahannya) karena mereka beranggapan bahwa dirinya adalah pemerintah. Sedangkan dalam governance, selain ada beberapa hal yang sama dengan yang ada di government juga ada pemberdayaan. Khusus tentang pemberdayaan, tampaknya yang sangat penting untuk dilibatkan adalah masyarakat karena memang sasaran pemberdayaan adalah masyarakat. Dengan adanya pemberdayaan masyarakat, unsur-unsur yang berkaitan dengan pengaturan-pengelolaan, pemberi fasilitas-regulasi, pelaksanaan, dan pelayanan yang mutlak dijalankan pemerintah bisa secara bersama-sama dilakukan pengawasan dan pengendalian. Dengan catatan, program pemberdayaan yang memang ditujukan pada masyarakat dapat berjalan dengan baik.

          Satu hal lagi yang cukup menarik perhatian kita adalah pembangunan masyarakat. Dalam pembangunan masyarakat, pemerintah lebih berperan sebagai pemberi fasilitas dan regulasi. Secara bersama-sama bisa dilakukan pengawasan dan pengendalian terhadap jalannya pembangunan masyarakat. Dalam hal pengawasan dan pengendalian, karena dalam governance berprinsip pada kesetaraan (heterarkis), pemerintah tidak diperkenankan menjadikan masyarakat sebagai bawahannya. Perlu juga ditekankan di sini, agar pembangunan masyarakat berjalan dengan baik, tidak ada salahnya pemerintah melibatkan kalangan akademis, LSM, Ormas, dan wartawan, baik media cetak maupun online. Di sini sangat dibutuhkan keseriusan semua pihak untuk mewujudkan pembangunan masyarakat sehingga pada saatnya nanti terwujud sebuah masyarakat yang memiliki partisipasi penuh. Dengan demikian, tidak mustahil akan terwujud masyarakat yang memiliki kompetensi, kemandirian, bertanggung jawab, dan tentu saja kritis. Jika telah terwujud adanya masyarakat yang memiliki partisipasi penuh, tidak mustahil program-program pemerintah yang berkenaan dengan reformasi birokrasi bisa diwujudkan.

***

          Dalam Perpres Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 Bab 1, Pendahuluan, telah ditetapkan pada tahun 2025 bahwa  birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi dapat diwujudkan. Pertanyaannya, mungkinkah pada tahun 2025 sebagaimana yang tercantum di atas akan terwujud birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi mengingat sampai saat ini masih banyak kasus yang muncul berkenaan dengan netralitas ASN sebagai pelayan publik? Bukan itu saja, masih banyak ASN yang tertangkap tangan karena kasus-kasus korupsi? Rasa-rasanya yang kita inginkan sebagaimana yang tercantum di atas masih jauh dari harapan karena kalau kita amati ada dua hal yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan, yaitu pola pikir ASN dan kepemimpinan. Tentang keduanya sudah kita bahas dalam tulisan-tulisan terdahulu. Kita bisa lihat di “3. Mengubah Mindset, Mengubah Kinerja” dan “ASN Perlu Dibangun Kepemimpinannya”.

          Untuk mindset ASN, sudah kita jelaskan bahwa ada dua hal yang belum terselesaikan, yaitu tidak bisa berpikir jernih dan berpikir positif. Bagaimana menyelesaikan kedua hal itu? Kedua masalah itu bisa diselesaikan lewat brain wash (cuci otak). Kalau masih juga ada penyakit-penyakit lain, seperti, masih kita temukan penyakit KKN, bisa kita lakukan blood wash dan heart wash. Semua itu sudah disinggung di “3. Mengubah Mindset, Mengubah Kinerja”. Khusus untuk masalah kepemimpinan, bisa saja kita tambahkan di sini agar kita bisa menyumbangkan pikiran dalam hal reformasi birokrasi. Berkaitan dengan itu, bisa kita lihat slide berikut ini.

 Tujuh kekuatan yang harus dimiliki pemimpin yang disampaikan Anies Baswedan dalam tulisannya “Pemimpin dan Mantra Perubahan” menarik untuk kita bahas. Butir pertama, seorang pemimpin setidaknya memiliki potret keadaan birokrasi setelah reformasi dilakukan. Maksudnya, seorang pemimpin harus terbiasa membaca yang kontekstual yang biasa ditemukan di lapangan yang berkaitan dengan birokrasi walaupun telah dilakukan reformasi birokrasi. Dia tidak cukup hanya membaca yang tekstual (buku-buku atau hasil-hasil penelitian), tapi dia juga harus menemukan kasus-kasus yang muncul berkaitan, misalnya, dengan netralitas ASN. Bahkan, kalau perlu, dia juga menemukan sendiri kasus yang ada, baik di instansinya maupun di tempat lain.

          Butir kedua, seorang pemimpin harus berupaya menghilangkan budaya kompromis. Kita ketahui bersama, munculnya kasus-kasus ASN yang belum menyadari bahwa tugas sebagai pelayan publik merupakan profesinya jelas menunjukkan ASN tersebut ketika diterima di sebuah instansi pemerintah tidak lepas dari adanya KKN. Tidak mungkin seorang ASN bersikap seperti itu kalau memang dia diterima di sebuah instansi entah sebagai PNS atau PPPK melalui jalur resmi (sistem merit). ASN seperti itu sudah jelas ketika diterima di instansi terkait boleh jadi tidak pernah ikut diklat. Karena kalau ikut diklat, setidaknya dia menyadari bahwa dirinya adalah seorang pelayan publik. Dia juga pasti akan menyadari bahwa seorang pelayan publik menjadi profesinya.

          Butir ketiga, seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk menerjemahkan kerumitan konsep ke dalam bahasa yang sederhana. Artinya, dia ketika berhadapan dengan konsep yang berkaitan dengan reformasi birokrasi di instansinya, misalnya yang berkaitan dengan salah satu pasal dalam UU ASN,  harus bisa mengimplementasikannya dengan bahasa yang komunikatif. Sering kali ditemukan di lapangan ketidaktahuan seorang ASN ketika dilibatkan dalam politik praktis, seorang pemimpin yang tahu kalau ada bawahannya ikut terlibat dalam aktivitas tersebut perlu menjelaskan pada bawahan tersebut. Tidak cukup dia menegurnya dan langsung memberikan sanksi. Jadi, di sini diminta kecerdasan seorang pemimpin menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan reformasi birokrasi dengan bahasa yang lebih mudah dipahami bawahannya.

          Butir keempat, seorang pemimpin harus memiliki kepekaan dan kemampuan untuk dapat menghargai bawahannya. Di sini, seorang pemimpin yang benar-benar memiliki kepekaan ketika bawahannya memiliki kinerja yang baik tidak ada salahnya memberikan reward sebagai tanda terima kasih pada bawahannya itu. Sebaliknya, kalau bawahannya kinerjanya ternyata belum baik, dia harus banyak memberikan motivasi bukan teguran-teguran karena namanya teguran tidak akan memberikan efek langsung pada seorang ASN. Di samping itu, dia sebagai pemimpin harus bisa mewujudkan bahwa semua orang yang bekerja sebagai ASN (termasuk dirinya) diibaratkan satu tubuh yang utuh. Kalau salah satu anggota tubuhnya sakit, bagian-bagian lain juga terasa sakit. Dalam keseharian bisa dipraktekkan ketika ada salah seorang bawahannya bermasalah, terutama masalah ekonomi  misalnya, dia selaku pemimpin harus berempati terhadap bawahannya.

          Butir kelima, seorang pemimpin harus mampu memposisikan dukungan aset bagi pencapaian sebuah perubahan. Maksudnya, seorang pemimpin harus memandang bahwa bawahannya merupakan aset yang sangat berharga. Karena merupakan aset, dia harus menjadikan bawahannya sebagai orang yang banyak di-support. Mereka selaku bawahan juga harus selalu diingatkan jika melakukan pelayanan publik yang kurang baik dengan cara-cara yang baik. Hubungan atasan dan bawahan bisa saja menjadi hubungan kawan, bisa juga guru dan murid, atau bisa juga orang tua dan anak. Dalam hal ini seorang pemimpin harus bisa menjadi teladan yang baik buat bawahannya. Karena di negara kita masih kuat paternalistik, sangat mungkin apapun yang dilakukan atasan kerap dicontoh oleh bawahannya. Jadi, kalau bawahannya mau berkinerja dengan baik, atasan juga harus menunjukkan bahwa dirinya juga memiliki kinerja yang baik.

Butir keenam, seorang pemimpin harus terus belajar dan terbuka terhadap keberadaan gagasan-gagasan baru sekalipun dari bawahannya. Di sini seorang pemimpin berprinsip bahwa hidup itu harus diisi dengan belajar. Dia harus punya komitmen bahwa hari ini lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Komitmen itu hanya bisa dicapai kalau dia selaku pemimpin mau menjadikan hari-harinya adalah hari pembelajaran. Selain itu, dia selaku pemimpin juga harus terbuka. Dalam hal ini dia harus menerima gagasan yang datang, baik dari atasan maupun bawahannya. Dia harus jauh-jauh menyingkirkan bahwa dia seorang senior yang wajib dihormati. Sikap seperti ini tidak boleh ada pada seorang pemimpin. Kalau memang berbuat salah, dia juga harus siap minta maaf pada bawahannya. Begitupun ketika bawahannya berbuat salah, dia juga harus siap memaafkannya. Bahkan, dia juga harus siap, baik memberi maupun menerima nasihat walaupun dari bawahannya yang dari kedudukannya jauh di bawah dia. Gambar di atas mencerminkan seorang pemimpin yang menunjukkan kedekatan seorang pemimpin dengan bawahannya.

          Butir ketujuh, Seorang pemimpin selayaknya harus menjadi teladan dalam kepemilikan. Artinya, dia harus bisa memotivasi bawahannya untuk memiliki rasa kepemilikan. Di sini, jangan diartikan karena merasa adanya kepemilikan setiap orang dengan seenaknya mengambil barang-barang milik publik yang ada di instansinya. Bukan itu yang dimaksud. Setiap orang di instansinya harus benar-benar menjaga barang-barang atau alat-alat yang ada di instansinya agar tetap terpelihara sehingga ketika digunakan tidak terjadi trouble, misalnya. Untuk itu, seorang pemimpin harus memberi contoh pada bawahannya bahwa dia bisa menjaga barang-barang atau alat-alat yang digunakan milik instansinya dengan baik. Selain itu, tidak ada barang-barang atau alat-alat kantor yang hilang kecuali memang ada kasus pencurian dari orang di luar instansinya. Barang-barang dan alat-alat di kantornya dipelihara secara apik seperti dia memelihara miliknya sendiri.

***

Reformasi birokrasi di negara ini memang belum selesai. Reformasi birokrasi sebuah proses yang tidak pernah berhenti. Reformasi birokrasi yang sudah dicanangkan sejak awal reformasi (1998) harus tetap dipertahankan. Reformasi birokrasi tidak boleh dikotori oleh kehadiran sistem yang justru kehadirannya memutar jarum jam sejarah kembali pada kondisi sebelum reformasi. Reformasi birokrasi tidak cukup hanya melibatkan pemerintah, tapi juga ada keterlibatan masyarakat dan swasta. Reformasi birokrasi harus tetap sejalan dengan prinsip-prinsip good governance. Kita berkeyakinan dengan menerapkan sepenuhnya good governance, reformasi birokrasi di negara ini akan bisa diwujudkan.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat