Subagio S. Waluyo

Ambulance Zig Zag

Iwan Fals

Deru ambulance

Memasuki pelataran rumah sakit

Yang putih berkilau

 

Di dalam ambulance tersebut

Tergolek sosok tubuh gemuk

Bergelimang perhiasan

 

Nyonya kaya pingsan

Mendengar kabar

Putranya kecelakaan

 

Dan para medis

Berdatangan kerja cepat

Lalu langsung membawa korban menuju ruang periksa

Tanpa basa basi ini mungkin sudah terbiasa

 

Tak lama berselang supir helicak datang

Masuk membawa korban yang berkain sarung

Seluruh badannya melepuh

Akibat pangkalan bensin ecerannya

Meledak

 

Suster cantik datang

Mau menanyakan

Dia menanyakan data si korban

Di jawab dengan
Jerit kesakitan

Suster menyarankan bayar ongkos pengobatan

Ai sungguh sayang korban tak bawa uang

Suster cantik ngotot
Lalu melotot
Dan berkata silahkan bapak tunggu di muka

 

Hai modar aku
Hai modar aku
Jerit si pasien merasa kesakitan

 

(https://www.google.com/search?q=lirik+lagu+ambulance+zig+zag&client)

 

***

        Tulisan ini diawali dengan lirik lagu yang ditulis Iwan Fals berjudul “Ambulance Zig Zag”. Lirik lagu ini ditulis di masa Orde Baru. Lirik lagu ini jelas menunjukkan sikap pelayanan yang diberikan suster rumah sakit ketika menghadapi korban kecelakaan yang berbeda kelasnya. Korban pertama, orang yang diindikasikan dari keluarga berada (kaya). Korban kedua, orang yang diindikasikan dari orang miskin (pedagang bensin eceran). Bagaimana cara suster itu menghadapi kedua jenis korban tersebut? Bisa kita lihat dalam kutipan di lirik lagu itu. Kita lihat dulu kesigapan para petugas melayani korban pertama itu (anak orang kaya).

……………………………………..

Dan para medis

Berdatangan kerja cepat

Lalu langsung membawa korban menuju ruang periksa

Tanpa basa basi ini mungkin sudah terbiasa

 

Kita lihat kemudian sang suster saat menerima kehadiran korban kedua, supir helicak, yang tergolong tidak mampu itu.

……………………………………

Suster cantik datang

Mau menanyakan

Dia menanyakan data si korban

Di jawab dengan
Jerit kesakitan

Suster menyarankan bayar ongkos pengobatan

Ai sungguh sayang korban tak bawa uang

Suster cantik ngotot
Lalu melotot
Dan berkata silahkan bapak tunggu di muka

 

Hai modar aku
Hai modar aku
Jerit si pasien merasa kesakitan

 

          Dari kutipan itu jelas sekali terlihat adanya perbedaan pelayanan. Ketika menghadapi anak orang kaya, petugas tanpa ba-bi-bu dengan sigap melayaninya. Jadi, tidak perlu ditanya ini-itu yang berkaitan dengan hal-hal yang administratif. Tapi, ketika menghadapi pedagang bensin eceran , sang suster belum apa-apa sudah tanya data si korban plus menyarankan supaya bayar ongkos pengobatan di muka. Orang yang dalam kondisi sekarat mana mungkin bisa ditanya ini-itu yang berkaitan dengan data korban? Mana mungkin juga si korban bawa uang untuk bayar ongkos pengobatan? Wajar saja dia menjerit kesakitan. Jadi, dari lirik lagu itu kita menemukan adanya diskriminasi dalam pelayanan publik yang dilakukan pihak rumah sakit. Boleh jadi sikap yang sama dilakukan oleh banyak ASN di beberapa tempat ketika berhadapan orang yang membutuhkan pelayanan. Munculnya sikap ini merupakan indikasi adanya patologi birokrasi. Kalau begitu, apa itu patologi birokrasi? Kita coba lihat slide di bawah ini.

Dari slide di atas, kita bisa mengetahui bahwa segala macam bentuk penyimpangan (termasuk sikap diskriminasi dalam pelayanan) dalam birokrasi bisa disebut sebagai patologi birokrasi. Kalau melihat pada lirik di atas, di mana letak adanya penyimpangan sehingga bisa digolongkan sebagai patologi birokrasi? Sedikitnya kita menemukan ada empat butir kalau kita amati jenis-jenis patologi birokrasi pada slide-slide berikut ini.

Dari slide-slide yang berisikan jenis-jenis patologi birokrasi, sebagaimana telah disampaikan di atas, kita bisa menemukan empat butir yang menunjukkan adanya indikasi patologi birokrasi, di antaranya penyalahgunaan wewenang, diskriminasi, red tape (berbelit-belit), dan tokenisme (tidak sepenuh hati). Kok, bisa ya, sebagai ASN mereka melakukan pelayanan seperti itu? Coba kita lihat dulu slide faktor penyebab patologi birokrasi berikut ini.

Dari slide di atas ada tiga butir yang menjadi faktor penyebab munculnya perilaku patologi birokrasi di rumah sakit yang menerima kedua jenis korban tersebut. Pertama, rumah sakit tersebut bisa juga kekurangan administrator yang cakap. Kalau tenaga administratornya cakap (bisa juga dikatakan cerdas dan cepat mengambil putusan), dia akan melayani korban yang terindikasi kurang mampu dengan sepenuh hati. Dia juga akan berupaya menghindari red tape. Bahkan, boleh jadi dia juga tidak akan bersikap diskriminatif. Di sini dia akan menunjukkan profesionalitasnya sebagai pelayan publik. Justru, yang terjadi dia bersikap sebaliknya.

          Kedua, masih ada anasir tradisional (penyakit bawaan dari masa feodal) termasuk di dalamnya ada unsur nepotisme, patrimonial (orientasi ke atasan, mental ABS), dan hirarkis. Walaupun tidak ada hubungan apapun korban yang diindikasi anak orang kaya dengan petugas rumah sakit, tetap ada unsur nepotisme mengingat korbannya anak orang kaya. Nepotisme di sini tidak terikat oleh kekerabatan, tapi lebih terikat adanya kekayaan. Selain itu, juga ada unsur patrimonial (pandangan ke atasan) mengingat atasan para petugas yang menangani kasus itu (ada kemungkinan) sudah memberikan contoh dengan lebih dulu melayaninya. Bisa juga karena melihat si korban itu sudah dipastikan anak orang kaya dan (boleh jadi) anak pejabat mereka memberikan perlakuan yang istimewa. Ini merupakan bukti bahwa orang-orang yang bekerja di rumah sakit itu masih memiliki mental ABS.

          Ketiga, mengingat lirik lagu tersebut lahir di masa Orde Baru yang kita tahu di masa itu masih kuat sentralisasinya, sangat boleh jadi semua yang terlibat di rumah sakit itu adalah orang-orang yang di bawah cengkeraman kekuasaan. Dalam pelayanan publik di rumah sakit itu di masa itu masih di bawah pengawasan dan pengendalian kekuasaan pemerintah pusat sehingga apapun yang dilakukan di setiap instansi harus sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat. Sementara itu, korban kedua yang sudah jelas-jelas terindikasi orang miskin tidak dilayani sama sekali sehingga ada kesan buat si pedagang bensin eceran itu dirinya merasa diremehkan. Dengan demikian, kita bisa melihat langsung betapa sebuah pelayanan publik yang terkena patologi birokrasi menjadikan PNS, pegawai honorer (dulu belum ada PPPK), atau karyawan swasta sekalipun  terkena penyakit nepotisme, patrimonial, dan hierarkis.

***

          Dari lirik lagu Iwan Fals di atas, kita sebenarnya banyak memperoleh pelajaran menarik. Di antaranya, kita jadi tahu bahwa patologi birokrasi berakibat pada munculnya pelayanan publik yang cenderung diskriminatif. Hal itu lebih disebabkan oleh menguatnya nepotisme dan patrimonial. Selain itu, kita juga menemukan di masa itu (masa orde baru) masih menguatnya kekuasaan birokrasi. Apakah hal itu tidak berdampak pada birokrasi? Tentu saja akan ada dampaknya. Meskipun demikian, kita perlu melihat dampak apa saja yang akan muncul dengan adanya patologi birokrasi pada slide di bawah ini.

Ada tiga butir yang menunjukkan adanya dampak patologi birokrasi. Pertama, patologi birokrasi akan merugikan birokrasi itu sendiri. Dalam hal ini akan terjadi krisis kepercayaan di masyarakat bukan saja terhadap ASN tetapi juga lembaga/instansi yang menyelenggarakan pelayanan publik. Bahkan, tidak mustahil krisis kepercayaan juga terjadi pada pemerintah baik pemerintah daerah maupun pusat. Tidak ada salahnya kalau masyarakat menganggap bahwa semua yang berupa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak diakui oleh masyarakat (deligitimasi sosial). Jadi, tidak usah disalahkan kalau masyarakat kurang taat pada semua aturan yang dibuat pemerintah.

          Kedua, berkaitan dengan butir pertama, tentu saja ada kecenderungan tidak adanya kemajuan yang akan dicapai negara yang telah terkena sindrom patologi birokrasi. Pemberantasan korupsi, misalnya, yang demikian giatnya dilakukan KPK tidak akan membawa hasil. Buktinya, IPK kita saat ini melorot dari peringkat 98 ke 110 dari 180 negara. Nilai IPK-nya yang diperoleh juga rendah cuma 34 (kalau di PT mendapat nilai E alias tidak lulus). Kalau hasil IPS sudah melorot, bisa dipastikan kepercayaan masyarakat pada lembaga antirasuah, seperti KPK di mata masyarakat Indonesia juga semakin melorot. Suatu saat masyarakat tidak percaya lagi pada lembaga-lembaga sejenis di bawah kendali pemerintah. Kalau kemajuan tidak juga bisa diperoleh, tentu saja program yang mengarah pada modernisasi yang ditandai dengan adanya masyarakat yang semakin mandiri dalam setiap bidang kehidupan akan terhambat. Begitu juga dengan kesejahteraan masyarakat sangat sulit untuk ditingkatkan. Kesejahteraan hanya bisa diperoleh segelintir masyarakat yang memang mereka sudah memiliki kemapanan ekonomi.

          Ketiga, patologi sosial akan berdampak pada semakin maraknya yang namanya kerawanan sosial. Kalau negara ini sudah terkena kerawanan sosial, jangan diharapkan rakyat di negara ini akan merasa adanya kenyamanan, keamanan, dan ketenteraman. Masyarakat akan diliputi rasa takut, was-was, dan angka harapan hidup buat bangsa ini akan melorot. Bukankah salah satu indikator tingginya angka harapan hidup disebabkan oleh faktor adanya rasa nyaman, aman dan tenteram? Kerawanan sosial yang tidak bisa dibendung bisa menjadi penyebab muncul revolusi sosial. Susah dibayangkan jika di negara ini akan terjadi sebuah revolusi sosial. Buat kita cukup peristiwa G30S PKI menjadi sebuah pembelajaran agar kita berupaya mencegah terjadinya kerawanan sosial yang berdampak pada revolusi sosial.

***

          Apakah kita ingin hidup di bawah bayang-bayang patologi birokrasi? Sebagai warga negara yang baik, kita akan berupaya mengeliminasi patologi birokrasi. Bagaimana caranya? Mau tidak mau kita perlu menerapkan yang telah disampaikan Budi Setiyono ( 2012: 166-167) sedikitnya ada tiga cara untuk mengeliminasi patologi birokrasi, yaitu:

  1. memperkuat aliansi kekuatan kelompok nonbirokrasi (partai politik, LSM, asosiasi buruh, mahasiswa, pengusaha, organisasi massa);
  2. kelompok di luar birokrasi harus dapat menghilangkan adanya kondisi yang memungkinkan kembalinya birokrasi menjadi penguasa negara; dan
  3. memperkuat tatanan sistem politik.

Ketiga cara itu harus segera dilakukan. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda sebuah kebaikan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Apakah kita mau tetap terjerat oleh yang namanya patologi birokrasi? Untuk itu, kita perlu reformasi birokrasi yang sepenuh hati.

 

Sumber Gambar:

(https://www.suaradewata.com/)

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat