Subagio S.Waluyo

Seorang akademikus dari UGM, Samodra Wibawa, sebagai seorang yang ahli di bidang Manajemen Publik dan Kebijakan Publik pernah menulis di seputar Pandemi Covid-19 yang dikaitkan dengan tindak pidana kriminalitas. Judul tulisannya “Pandemi dan Kriminalitas” bisa digolongkan sebagai tulisan eksposisi yang mengarah pada pemberian informasi. Meskipun demikian, di dalam tulisannya itu Samodra Wibawa mengingatkan kita akan kematian. Di samping itu, sesuai dengan judul tulisannya, penulis juga membahas tentang banyaknya orang di masa Pandemi Covid melakukan perbuatan kriminal. Untuk lebih jelasnya, coba kita simak tesis tulisannya yang dimulai dari mengingatkan kita akan kematian.

      Pandemi Covid yang telah merenggut 48 ribu nyawa di Indonesia dan 3,3 juta jiwa di dunia[1] menyadarkan kita betapa dekatnya kita dengan kematian. Sekalipun tetap ada saja yang tidak peduli atau tidak takut dengan virus ini, tapi pada umumnya orang berusaha menghindar dari virus ini. Mereka yang tidak peduli dapat dipastikan adalah orang yang belum merasakan sakitnya orang yang terkena virus ini, atau dia yakin bahwa virus ini tidak akan menempel padanya. Mengingat kematian, mestinya kita mempersiapkan diri untuk menghadapinya, khususnya membekali diri untuk hidup abadi setelah kematian itu, yakni berbuat baik kepada sesama manusia dan alam lingkungan pada umumnya serta memperteguh keimanan/keyakinan pada Allah swt. Mengingat kematian, mestinya orang tidak lagi mengejar kenikmatan duniawi bagi dirinya sendiri.

       Tulisan dibuka dengan banyaknya korban Pandemi Covid. Kemudian, disusul dengan kematian yang akrab dengan kehidupan kita. Tulisan disusul dengan argumen yang disampaikan penulisnya bahwa selayaknya sebagai umat manusia mengambil contoh teladan dari para nabi. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, di tengah-tengah Pandemi Covid banyak orang yang terlibat perbuatan kriminal seolah-olah mereka lupa bahwa kematian sewaktu-waktu akan menjemput manusia. Mereka yang terlibat perbuatan kriminal bukan rakyat biasa, tetapi para pejabat daerah dan negara. Yang menarik dari tulisan seorang akademikus dari UGM ini adalah di beberapa kalimat atau bagian kalimat disertai dengan angka yang dibuat dalam kurung [..]. Hal ini menjadi bukti bahwa setiap kali Samodra Wibawa selaku penulis menyampaikan sebuah pernyataan selalu disertai data-data yang valid. Boleh jadi itu merupakan kutipan yang diambil dari tulisan orang. Bukankah ini merupakan sebuah bukti bahwa Samodra Wibawa adalah seorang akademikus yang dalam kesehariannya tidak terlepas dari kerja-kerja penelitian sehingga ketika menulis wacana eksposisi pun disertai dengan sumber-sumber tulisan yang bisa dipertanggungjawabkan datanya? Meskipun demikian, karena gaya penulisannya yang menarik sehingga tidak membosankan orang yang membacanya. Untuk itu, kita simak saja tulisan Samodra Wibawa di bagian argumen di bawah ini.

       Dalam logika yang wajar, orang yang selalu ingat mati cenderung akan terlihat tidak bersemangat hidup. Dalam arti tidak lagi mempedulikan kepentingan dirinya semata, tetapi berbuat sebaik-baiknya untuk orang lain demi memperoleh pahala: bersedekah, menolong orang, merawat kelestarian lingkungan tanpa mengharapkan imbalan apapun dari manusia. Ringkasnya: dia mewakafkan harta, raga dan kalau perlu jiwanya bagi masyarakat secara lillaahi ta’aalaa. Nabi-nabi adalah contoh yang jelas tentang sikap ingat mati dan kehidupan langgeng sesudahnya. Para nabi adalah orang-orang teladan, yang berkorban untuk masyarakat dan manusia seluruhnya.

   Ternyata, tidak semua orang bersikap atau berpandangan seperti itu. Di tengah Pandemi yang mematikan ini ada saja orang yang tidak ingat mati, tidak takut mati, dan tidak peduli pada kehidupan setelah mati. Orang-orang ini tetap saja berbuat hal-hal yang tidak baik alias kriminal. Di DIY selama tahun 2020 kemarin bahkan malah terjadi kenikan jumlah kriminalitas sebesar 35%! Jumlah kasus kriminal pada 2020 menjadi 4.694 buah dari tahun 2019 yang 3.453 kasus. Kejahatan ini terdiri dari perkosaan, pembunuhan, aniaya berat, pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pemerasan dan pengancaman, narkoba, penyalahgunaan senjaga api dan kekerasan dalam rumah tangga. Hanya kejahatan pencurian kendaraan yang mengalamai penurunan (sebesar 14%), dari 156 kasus pada 2019 menjadi 149 kasus pada 2020.[2] Ini dapat dipahami, karena selama masa Pandemi terjadi penurunan penggunaan kendaraan.

      Tidak takutkah para pelaku kejahatan tersebut pada kematian dan hari pembalasan setelahnya? Jika iya, berarti sebenarnya dakwah para ustad kita belum berhasil: masih banyak orang yang tidak beriman kepada akhirat! Jika tidak, dalam arti pelaku itu sebenarnya tetap ingat mati, maka kemungkinkan para pelaku itu terpaksa atau merasa terpaksa melakukan kejahatan. Untuk kasus pencurian mungkin sedikit bisa dimengerti (sekalipun tidak dapat diterima), bahwa pelaku terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi, apakah memang mereka sedemikian terpaksanya melakukan pencurian? Apakah memang mereka benar-benar tidak memiliki sesuatupun untuk dimakan? Memang sudah menjadi kesepahaman para ilmuwan sosial, bahwa krisis ekonomi akan memicu tindak kejahatan.[3] Tapi sebenarnya krisis ekonomi hanyalah salah satu penyebab atau pendorong saja. Ada banyak faktor lain yang mendorong seseorang untuk berbuat jahat: pendidikan, kepribadian/psikologis, lingkungan sosial (termasuk masa lalunya). Termasuk di sini adalah korupsi.

      Selama Pandemi ini ada dua orang menteri yang ditangkap karena korupsi (Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada 25 November 2020 dan Menteri Sosial Juliari P Batubara tak lama berselang).[4] Gubernur, bupati dan walikota setidaknya ada enam orang yang ditangkap,[5] belum termasuk yang terakhir adalah bupati Nganjuk.[6] Pejabat di bawah mereka pun tidak sedikit yang masih melaukan korupsi juga. Pejabat-pejabat yang melakukan korupsi tersebut pada umumnya telah hidup lebih dari cukup. Memang ada yang berpendapat bahwa biaya yang mereka keluarkan untuk menjadi pejabat (administratif maupun politis) besar, maka mereka “terpaksa” mencari penggantinya dengan korupsi. Sekalipun, sekali lagi, hal ini mungkin benar (faktual, dapat dipahami, meskipun tidak dapat diterima), kiranya seharusnya tetap tidak terjadi. Banyak pejabat yang bisa hidup nyaman tanpa korupsi, dan bahkan ada pula pejabat yang tetap melarat setelah dia pensiun. Jadi, kiranya nafsu serakahlah yang menjadikan seseorang berbuat kriminal. Keserakahan menjadikan dia lupa pada kematian dan pembalasan-abadi setelah kematian itu.

          Di akhir tulisan, penulis menyampaikan sebuah pertanyaan yang menarik untuk dijelaskan: bagaimana keserakahan dapat dikendalikan? Dari pertanyaan tersebut diingatkan pada kita tentang faktor-faktor penyebab kejahatan. Dengan mengajukan pertanyaan tersebut, penulis mengakhiri tulisannya. Sebuah penutup tulisan eksposisi yang layak dijadikan contoh oleh kita semua.

  Bagaimana keserakahan dapat dikendalikan? Mengingat faktor-faktor penyebab kejahatan yang disebut tadi, maka keserakahan dapat dikendalikan melalui pendidikan (pengajian, ceramah, sekolah, training), contoh/teladan dari lingkungan masyarakatnya, dan ancaman/ hukuman yang benar-benar ditegakkan secara efektif. Tiga hal ini harus dilakukan serentak. Pendidikan tanpa teladan adalah omong kosong. Sedangkan ancaman hukuman diperlukan untuk mencegah mereka yang sedang lupa pada ajaran kebaikan. Dan ini harus ditegakkan secara konsisten oleh mereka yang diberi mandat untuk menghukum. Jangan dipermainkan seperti yang dapat ditengarai pada penanganan kasus bupati Ngajuk saat ini[7] atau malah dilemahkan seperti apa yang sedang dialami KPK dalam dua tahun terakhir[8] dan terlihat sangat brutal pada kasus penyingkiran 75 pegawainya saat ini.[9]

          Setelah kita membaca dan menelaah setiap bagian wacana tulisan yang diuraikan di atas, tiba gilirannya kita masukkan semua bagian wacana itu sehingga menjadi sebuah wacana eksposisi yang utuh. Kita bisa lihat inilah contoh sebuah tulisan eksposisi yang dihasilkan oleh seorang akademikus yang memang sudah piawai menuliskan sebuah wacana eksposisi. Silakan kita baca dan telaah tulisannya! Kalau perlu, kita bisa mengambil pelajaran dari cara Samodra Wibawa dalam menyampaikan ide-ide, gagasan-gagasan, dan pemikirannya yang dituangkan ke dalam sebuah tulisan eksposisi.

 Pandemi dan Kriminalitas

Samodra Wibawa

      Pandemi Covid yang telah merenggut 48 ribu nyawa di Indonesia dan 3,3 juta jiwa di dunia[1] menyadarkan kita betapa dekatnya kita dengan kematian. Sekalipun tetap ada saja yang tidak peduli atau tidak takut dengan virus ini, tapi pada umumnya orang berusaha menghindar dari virus ini. Mereka yang tidak peduli dapat dipastikan adalah orang yang belum merasakan sakitnya orang yang terkena virus ini, atau dia yakin bahwa virus ini tidak akan menempel padanya. Mengingat kematian, mestinya kita mempersiapkan diri untuk menghadapinya, khususnya membekali diri untuk hidup abadi setelah kematian itu, yakni berbuat baik kepada sesama manusia dan alam lingkungan pada umumnya serta memperteguh keimanan/keyakinan pada Allah swt. Mengingat kematian, mestinya orang tidak lagi mengejar kenikmatan duniawi bagi dirinya sendiri.

***

     Dalam logika yang wajar, orang yang selalu ingat mati cenderung akan terlihat tidak bersemangat hidup. Dalam arti tidak lagi mempedulikan kepentingan dirinya semata, tetapi berbuat sebaik-baiknya untuk orang lain demi memperoleh pahala: bersedekah, menolong orang, merawat kelestarian lingkungan tanpa mengharapkan imbalan apapun dari manusia. Ringkasnya: dia mewakafkan harta, raga dan kalau perlu jiwanya bagi masyarakat secara lillaahi ta’aalaa. Nabi-nabi adalah contoh yang jelas tentang sikap ingat mati dan kehidupan langgeng sesudahnya. Para nabi adalah orang-orang teladan, yang berkorban untuk masyarakat dan manusia seluruhnya.

          Ternyata, tidak semua orang bersikap atau berpandangan seperti itu. Di tengah pandemi yang mematikan ini ada saja orang yang tidak ingat mati, tidak takut mati, dan tidak peduli pada kehidupan setelah mati. Orang-orang ini tetap saja berbuat hal-hal yang tidak baik alias kriminal. Di DIY selama tahun 2020 kemarin bahkan malah terjadi kenaikan jumlah kriminalitas sebesar 35%! Jumlah kasus kriminal pada 2020 menjadi 4.694 buah dari tahun 2019 yang 3.453 kasus. Kejahatan ini terdiri dari perkosaan, pembunuhan, aniaya berat, pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pemerasan dan pengancaman, narkoba, penyalahgunaan senjaga api dan kekerasan dalam rumah tangga. Hanya kejahatan pencurian kendaraan yang mengalami penurunan (sebesar 14%), dari 156 kasus pada 2019 menjadi 149 kasus pada 2020.[2] Ini dapat dipahami, karena selama masa pandemi terjadi penurunan penggunaan kendaraan.

     Tidak takutkah para pelaku kejahatan tersebut pada kematian dan hari pembalasan setelahnya? Jika iya, berarti sebenarnya dakwah para ustad kita belum berhasil: masih banyak orang yang tidak beriman kepada akhirat! Jika tidak, dalam arti pelaku itu sebenarnya tetap ingat mati, maka kemungkinkan para pelaku itu terpaksa atau merasa terpaksa melakukan kejahatan. Untuk kasus pencurian mungkin sedikit bisa dimengerti (sekalipun tidak dapat diterima), bahwa pelaku terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi, apakah memang mereka sedemikian terpaksanya melakukan pencurian? Apakah memang mereka benar-benar tidak memiliki sesuatupun untuk dimakan? Memang sudah menjadi kesepahaman para ilmuwan sosial, bahwa krisis ekonomi akan memicu tindak kejahatan.[3] Tapi sebenarnya krisis ekonomi hanyalah salah satu penyebab atau pendorong saja. Ada banyak faktor lain yang mendorong seseorang untuk berbuat jahat: pendidikan, kepribadian/psikologis, lingkungan sosial (termasuk masa lalunya). Termasuk di sini adalah korupsi.

       Selama pandemi ini ada dua orang menteri yang ditangkap karena korupsi (Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada 25 November 2020 dan Menteri Sosial Juliari P Batubara tak lama berselang).[4] Gubernur, bupati dan walikota setidaknya ada enam orang yang ditangkap,[5] belum termasuk yang terakhir adalah bupati Nganjuk.[6] Pejabat di bawah mereka pun tidak sedikit yang masih melaukan korupsi juga. Pejabat-pejabat yang melakukan korupsi tersebut pada umumnya telah hidup lebih dari cukup. Memang ada yang berpendapat bahwa biaya yang mereka keluarkan untuk menjadi pejabat (administratif maupun politis) besar, maka mereka “terpaksa” mencari penggantinya dengan korupsi. Sekalipun, sekali lagi, hal ini mungkin benar (faktual, dapat dipahami, meskipun tidak dapat diterima), kiranya seharusnya tetap tidak terjadi. Banyak pejabat yang bisa hidup nyaman tanpa korupsi, dan bahkan ada pula pejabat yang tetap melarat setelah dia pensiun. Jadi, kiranya nafsu serakahlah yang menjadikan seseorang berbuat kriminal. Keserakahan menjadikan dia lupa pada kematian dan pembalasan-abadi setelah kematian itu.

***

   Bagaimana keserakahan dapat dikendalikan? Mengingat faktor-faktor penyebab kejahatan yang disebut tadi, maka keserakahan dapat dikendalikan melalui pendidikan (pengajian, ceramah, sekolah, training), contoh/teladan dari lingkungan masyarakatnya, dan ancaman/hukuman yang benar-benar ditegakkan secara efektif. Tiga hal ini harus dilakukan serentak. Pendidikan tanpa teladan adalah omong kosong. Sedangkan ancaman hukuman diperlukan untuk mencegah mereka yang sedang lupa pada ajaran kebaikan. Dan ini harus ditegakkan secara konsisten oleh mereka yang diberi mandat untuk menghukum. Jangan dipermainkan seperti yang dapat ditengarai pada penanganan kasus bupati Ngajuk saat ini[7] atau malah dilemahkan seperti apa yang sedang dialami KPK dalam dua tahun terakhir[8] dan terlihat sangat brutal pada kasus penyingkiran 75 pegawainya saat ini.[9] **

Filed under Government,Pathology,Public affairs,Public policy

(Ditulis 13 Mei 2021.)

[1] https://github.com/CSSEGISandData/COVID-19, dibuka 13 Mei 2021.

[2] https://www.republika.co.id/berita/qm3hdw480/Pandemi-kriminalitas-di-yogyakarta-justru-naik, 29 Desember 2020.

[3] https://republika.co.id/berita/q82smj370/ekonomi-terguncang-karena-covid19-kriminalitas-bisa-naik, 1 April 2020.

[4] https://nasional.kompas.com/read/2021/03/03/12515101/kasus-korupsi-di-tengah-Pandemi-covid-19-yang-berujung-pada-wacana-hukuman?page=all, 3 Maret 2021.

[5] https://www.merdeka.com/khas/tega-korupsi-saat-Pandemi-mildreport.html, 16 April 2021.

[6] https://www.republika.co.id/berita/qsxydv328/pelimpahan-perkara-bupati-nganjuk-bisa-jadi-preseden-buruk, 11 Mei 2021.

[7] https://www.republika.co.id/berita/qsxydv328/pelimpahan-perkara-bupati-nganjuk-bisa-jadi-preseden-buruk, 11 Mei 2021.

[8] https://tirto.id/setahun-revisi-uu-kpk-pemberantasan-korupsi-tinggal-retorika-f6cF, 22 Oktober 2020.

[9] https://news.detik.com/berita/d-5567525/tiga-pelanggaran-di-balik-penonaktifan-75-pegawai-kpk, 12 Mei 2020.

Sumber Tulisan:

(https://samodra.staff.ugm.ac.id/2021/05/24/Pandemi-dan-kriminalitas/ #more-2355)

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat