Subagio S. Waluyo

Kotak pandora yang di dalamnya ada abdi negara, KKN, mental ABS, patologi birokrasi, dan negara amburadul ke luar dari kotak itu. Ini bisa jadi merupakan bukti kalau PP mau serius dibenahi akan menguap semua yang namanya penyakit yang melekat di tubuh ASN yang melayani masyarakat. Tapi, bagaimana caranya? Bukankah untuk membenahinya sudah dimulai dari adanya undang-undang yang mengatur PP? Bukan hanya itu, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpanrb) telah dengan serius berusaha membenahi birokrasi di negara ini. Buktinya, berbagai event yang berkaitan dengan PP berikut aparaturnya kerap dilakukan Menpanrb. Bahkan, dalam melakukan evaluasi terhadap kinerja PP tidak segan-segan Menpanrb berkolaborasi dengan berbagai instansi pemerintah dan perguruan tinggi. Salah satu instansi pemerintah yang kerap digandeng oleh Menpanrb adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Baru-baru ini, misalnya, Menpanrb bersama dengan BPK melakukan evaluasi kinerja PP (https:// men- pan.go.id/site/berita-foto/laporan-hasil-pemeriksaan-kinerja -atas-efekti fitas-evaluasi-implementasi-kebijak -an-transformasi-pelayanan-publik-kementerian-panrb-dari-bpk). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memang benar-benar serius mau membenahi PP. Pembenahan dimulai dari aparat yang melayani masyarakat dalam PP. Kalau pembenahan sudah dimulai, kita bisa saja berharap akan menguap yang namanya abdi negara, mental ABS, KKN, patologi birokrasi, dan berujung pada negara amburadul.

***

          Mindset  yang ada pada setiap birokrat sebagai abdi negara memang sudah harus berganti menjadi abdi masyarakat. Artinya, sebagai birokrat ASN harus mau berubah pola pikirnya yang semula mengabdi untuk negara sudah harus berubah mengabdi untuk rakyat atau masyarakat. Untuk mengubahnya tidak ada cara kecuali mencuci bersih otaknya. Agar benar-benar tertanam dalam dirinya bahwa setiap ASN adalah abdi masyarakat, di dalam diklat kita harus menyampaikan berkali-kali bahwa ASN itu abdi masyarakat. Selain itu, juga perlu diberikan banyak ilustrasi yang berisikan dampak dari mindset  yang salah kalau ASN adalah abdi negara. Kalau memang mau serius membenahi mindset  ASN, pemerintah yang mempekerjakan ASN harus dengan ketat melakukan pengawasan. Bukan hanya pemerintah, masyarakat pun harus terlibat melakukan pengawasan. Kalau dipandang perlu, pemerintah tidak segan-segan juga harus memberikan sanksi yang berat pada ASN yang masih belum berubah mindset-nya. Akan lebih baik lagi jika perilaku perubahan mindset  juga dilakukan oleh atasan-atasannya mengingat tidak sedikit ASN yang masih tertanam patronasmenya. Jadi, para pimpinan yang menjadi atasan ASN harus bisa menjadi teladan yang baik dengan menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang terbebas dari abdi negara. Dengan demikian, kita akan mendapatkan suatu sikap yang berubah dari ASN yang mengabdi pada negara menjadi ASN yang mengabdi pada masyarakat.

          Kenapa mindset ASN harus berubah dari yang semula abdi negara ke abdi masyarakat? Di kasus-kasus yang dipaparkan di “1. Bermula dari Kasus-Kasus” kalau diamati, ada benang merah yang menunjukkan di benak para ASN  masih bercokolnya mindset bahwa dirinya adalah abdi negara sehingga muncullah kasus-kasus yang tidak mengenakkan. Salah satu contoh menarik adalah kasus Kanjuruhan yang memakan korban 135 orang meninggal dunia dan 583 orang cedera. Tidak mungkin akan jatuh sekian banyak korban di Kanjuruhan kalau aparat kepolisian tidak sembarang menggunakan gas air mata. Sudah bisa dipastikan ada komando dari atasan mereka untuk mengambil tindakan yang jelas-jelas salah. Lebih celaka lagi ada dagelan yang bernama pengadilan karena mereka-mereka yang sudah melakukan tindakan yang memakan korban yang tidak sedikit justru dibebaskan dan paling berat hanya divonis 1,5 tahun. Pengadilan apa ini namanya? Inilah yang disebut sebagai pengadilan yang menyesatkan. Ini menjadi bukti bahwa masih bercokol di kalangan para penegak hukum kita orang-orang yang ber-mindset abdi negara bukan abdi masyarakat.

          Dekat dengan mindset abdi negara adalah bermental Asal Bapak Senang (ABS). Mental ABS bukan hanya dekat dengan mindset abdi negara, tetapi juga mental ABS merupakan akibat yang muncul dengan adanya mindset abdi negara. Mental ABS harus benar-benar punah dari bumi pertiwi ini. Ini jelas-jelas mental yang rusak. Bukan hanya empat kasus yang disampaikan di awal paparan  tulisan yang berkaitan dengan PP, begitu banyak kalau mau kita telusuri penyakit kronis yang memunculkan di antaranya sikap cari muka (carmuk) sebagai kata lain dari mental ABS. Carmuk jelas-jelas menjadi bukti betapa buruknya orang yang masih mengidap penyakit tersebut. Gara-gara carmuk boleh jadi orang sengaja memanipulasi data. Orang jenis ini akan membuat laporan-laporan yang serba mengenakkan atasannya. Orang jenis ini jelas orang yang diragukan integritasnya alias berperilaku bodong. Orang jenis ini harus disingkirkan karena yang membuat hancurnya sebuah daerah atau negara sekalipun adalah orang-orang yang bermental ABS alias carmuk. ASN di negara ini harus dibersihkan dari perilaku carmuk. Kalau masih bercokol di tubuh para ASN kita penyakit seperti ini, sampai kapanpun kita tidak akan bisa mewujudkan negara sejahtera. Jadi, mental ABS harus menguap dari negeri ini.

          ASN yang juga harus menguap dari kotak pandora itu adalah ASN yang kerap melakukan KKN. Korupsi harus enyah dari tubuh ASN. Jika didapati ada ASN yang korupsi, bukan hanya pemerintah, masyarakat juga berhak untuk memberikan sanksi. Pemerintah melalui pengadilan tipikor-nya harus secara adil memberikan hukuman. Kalau perlu, ASN yang sudah jelas-jelas korupsi besar-besaran harus dihukum mati. Kita menghendaki ada efek jera bagi ASN yang kedapatan melakukan korupsi. Kalau ada kecenderungan di penegak hukum kita untuk memberikan banyak pertimbangan, kita akan dapati akan semakin banyaknya orang melakukan tipikor. Ingat, negara akan menuju ke jurang kehancuran kalau ada kecenderungan di kalangan penegak hukum tidak bersikap adil dalam menjatuhkan hukuman bagi para koruptor! Jadi, penyakit yang bernama korupsi ini harus bersih dari tubuh ASN.

          Selain korupsi, penyakit bernama kolusi juga harus menguap dari kotak pandora. Seleksi penerimaan ASN, baik PNS maupun P3K harus dilakukan secara ketat. Bukan hanya ketat dari sisi administrasinya, tapi juga yang berkaitan dengan moral atau akhlak para calon ASN. Untuk itu, dalam seleksi penerimaan ASN sejak dari awal sampai di finalnya nanti pihak panitia yang bertanggung jawab dalam seleksi ASN harus menghindari kolusi. Kalau kolusi sudah benar-benar bisa dihindari, tidak mustahil kita akan mendapatkan ASN yang benar-benar bukan hanya berprestasi karena kinerjanya, tapi juga kita mendapati ASN yang bermoral/berakhlak baik. Kita akan dapati ASN yang memiliki kompetensi dan sekaligus berperilaku baik. Selanjutnya, kita pun akan mendapati ASN generasi berikutnya yang terhindar dari penyakit kolusi.

          Sistem kekerabatan atau nepotisme juga harus menguap dari kotak pandora. Penyakit yang satu ini juga tidak kurang-kurangnya turut berperan menghancurkan tatanan budaya, ekonomi, politik, dan sosial bangsa. Silakan saja kalau ada yang berkenan melakukan penelitian tentang dampak yang dimunculkan dengan adanya nepotisme! Pasti kita akan dapati penyakit yang bernama nepotisme ini terbukti telah merusak tatanan yang disebutkan di atas itu. Kerusakan yang ditimbulkan oleh nepotisme sama halnya dengan korupsi dan kolusi. Tiga kata ini, KKN, sudah jelas-jelas memiliki saham dalam menghancurkan tatanan budaya, ekonomi, politik, dan sosial bangsa. Jadi, tiga kata ini secara serius harus diperangi. Tidak ada ampun buat tiga kata ini untuk tetap hidup di negara ini. Untuk memeranginya tidak cukup pemerintah, masyarakat pun harus terlibat memeranginya. Selain itu, bukan hanya memerangi KKN, mindset yang mengarah pada abdi negara dan mental ABS juga harus diperangi. Tentu saja dalam memerangi semua penyakit itu harus ada kolaborasi pemerintah dengan masyarakat. Tanpa kolaborasi mustahil bisa kita wujudkan good governance dalam PP.

***

Kita tidak menghendaki tiga penyakit di atas (abdi negara, mental ABS, dan KKN) bercokol dan semakin menguat. Ketiga penyakit tersebut merupakan penyakit birokrasi (patologi birokrasi). Patologi birokrasi jelas sesuatu yang harus dihindari. Dia harus disingkirkan. Kalau perlu, dia harus dikubur karena sudah jelas-jelas akan merusak tatanan kehidupan budaya, ekonomi, politik, dan sosial. Bukan itu saja, kita tidak menghendaki terlalu banyaknya darah yang keluar dari mata orang-orang yang teralienasi. Jadi, yang keluar dari orang-orang yang teralienasi bukan lagi air mata, tapi darah seperti yang terlihat pada gambar di atas. Kenapa darah bukan air mata? Air mata mereka telah kering. Sebagai gantinya yang keluar bukan lagi air mata, yang keluar dari matanya darah. Mereka sudah jatuh ditimpa tangga lagi sehingga mereka benar-benar menderita. Wajar saja kalau penderitaannya berakibat keluar dari kelopak matanya darah.

          Bagaimana supaya tidak lagi keluar dari kelopak matanya darah? Kita harus singkirkan patologi birokrasi seperti yang disampaikan di atas. Patologi birokrasi hanya bisa disingkirkan kalau ada kolaborasi pihak pemerintah dengan pihak masyarakat. Kalau hanya pihak pemerintah yang berbuat, kita tidak banyak berharap patologi birokrasi akan hilang dari negeri tercinta ini. Jadi, keterlibatan masyarakat sangat diharapkan. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat lebih banyak dituntut dalam hal pengawasan. Agar pengawasan bisa dilaksanakan secara efektif, sekali lagi masyarakat akademis (boleh juga) LSM bergandengan tangan. Kalau perlu, mereka-mereka yang aktif di dunia medsos juga dilibatkan. Lewat aktivitas mereka di medsos sangat mungkin dilakukan pengawasan yang ketat sehingga tidak mustahil patologi birokrasi pun bisa dibersihkan. Oleh karena itu, kita paling tidak punya harapan besar dengan keterlibatan masyarakat (akademis, LSM, dan mereka-mereka yang aktif di medsos) yang berkolaborasi dengan pemerintah bisa menghapuskan patologi birokrasi dari negara tercinta ini.

***

          Kita harus punya harapan agar negara amburadul juga keluar dari kotak pandora. Supaya keluar dari kotak pandora tidak ada cara kecuali hanya ada keinginan kuat dari berbagai pihak. Keinginan kuat untuk mencoba menghapuskan semua yang menghambat PP sudah harus dilakukan. Langkah awal mendirikan Ombudsman sebuah langkah yang efektif. Kemudian dengan keluarnya UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik tentu saja turut memperkuat niat baik semua pihak untuk membenahi PP. Ikhtiar ini juga harus diteruskan dengan PM dalam turut membenahi PP di negara ini. Dengan adanya PM yang salah satu di antaranya adalah melakukan pengawasan ketat tidak mustahil negara ini akan terhindar dari keamburadulan. Kita sudah jenuh dengan berbagai peristiwa yang membuat dada ini sesak karena muncul keamburadulan. Kotak pandora itu harus memaksa negara amburadul benar-benar keluar supaya kita menggapai negara sejahtera sebagaimana yang telah digagas oleh founding fathers negara ini. Salah satu indikator dari negara sejahtera adalah terwujudnya PP yang murah, bermutu, dan transparan.

 

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat