Subagio S.Waluyo

“Pergilah kepada mereka (masyarakat), hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mereka, mulailah dari mereka, bekerjalah bersama mereka, bangunlah di atas apa yang mereka miliki, tetapi sebagai pemimpin yang terbaik, ketika semua tugas telah diselesaikan, pekerjaan telah dilengkapi, mereka (masyarakat) akan mencatat: kami telah menyelesaikannya sendiri”

Lao Tzu (Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebiato, 2012:105)

Siapa yang teralienasi? Jawab saja: orang-orang miskin, orang-orang yang terpinggirkan, atau (bisa juga), orang-orang yang tidak berdaya sehingga tidak bisa menikmati kue pembangunan negeri ini. Mereka-mereka yang kerap disepelekan kehadirannya karena di saat-saat membutuhkan PP, mereka-mereka tidak mendapatkan pelayanan yang sewajarnya. Mereka-mereka yang dilayani setengah hati oleh para pelayan publik yang bernama ASN. Apakah mereka tetap dibiarkan menjadi orang-orang miskin atau orang-orang yang tetap tidak berdaya? Kalau memang tetap dibiarkan seperti itu, apakah negara tega-teganya pada mereka untuk tidak mau hadir? Apakah pemerintahan di negara ini siap untuk tidak mendapatkan dukungan dari rakyatnya? Kalau pertanyaan terakhir ini mau diajukan, nanti dulu deh! Kalau begitu harus ada perubahan dari pemerintahan ini, agar kehadiran negara benar-benar tampak di hadapan mereka. Bagaimana caranya? Nah, ini yang perlu kita bahas kali ini.

          Negara ini hadir bukan cuma berurusan dengan kasus anak pejabat pajak yang arogan. Saking arogannya sang anak pejabat bikin orang sampai koma. Ujung-ujungnya sang anak masuk bui, universitas tempat sang anak kuliah mencoretnya sebagai mahasiswanya, sang bapak dibebastugaskan oleh atasan tertingginya: Menteri Keuangan Republik Indonesia, dan kekayaannya oleh KPK akan diteliti karena diduga sang bapak memang penerima uang-uang haram hasil dari sekian banyak oknum pengemplang pajak. Bukan itu saja, karena anak yang dihajar habis-habisan oleh sang anak pejabat pajak adalah anak pengurus ormas besar dan bapak sang anak adalah sahabat Menteri Agama negara ini, mau tidak mau berpengaruh dalam pengambilan sanksi sosial buat sang anak pejabat sekaligus bapaknya yang juga tidak luput dari sanksi sosial. Kehadiran negara bukan hanya di situ. Kehadiran negara akan mendapat ancungan jempol kalau mau membenahi sebagian anak bangsa yang mereka sekarang posisinya terpinggirkan alias teralienasi. Untuk terselamatkan dari yang namanya teralienasi, mereka-mereka anak bangsa yang teralienasi harus diberdayakan. Mereka-mereka inilah yang harus segera dimasukkan ke dalam program pemberdayaan masyarakat (PPM). Mereka-mereka ini yang nantinya menjadi masyarakat yang memiliki kemampuan dan kemandirian. Kalau begitu apa itu PPM? Terus, kita ajukan lagi pertanyaan: Mengapa dibutuhkan PPM. Terakhir, bagaimana cara mengimplementasikan PPM? Pertanyaan-pertanyaan itu yang akan kita bahas.

***

Dimaksudkan dengan PPM adalah program yang mengupayakan adanya peningkatan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang ini tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan (Totok Mardikanto dan Poerwoko Soebiato, 2012:39). Kalau begitu PPM itu programnya luar biasa ya? Bagaimana tidak luar biasa kalau disebutkan di situ ` masyarakat yang tidak mampu (harus bisa) melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan? Bukankah memang masyarakat kita banyak yang masih terbelenggu oleh kemiskinan dan (juga) keterbelakangan? Kita harus akui bahwa banyak anak bangsa yang hidupnya di bawah garis kemiskinan.

Mereka juga banyak yang belum bisa mengenyam pendidikan menengah ke atas. Bahkan, boleh jadi ada di antara mereka yang belum bisa mengenyam pendidikan dasar. Ini `kan satu hal yang ironis karena negara ini telah 77 tahun merdeka? Kita `kan tidak bisa membiarkan sebagian besar anak bangsa ini harus terlilit kemiskinan dan keterbelakangan? Untuk itu, harus ada usaha dari seluruh pemangku kepentingan, entah itu yang namanya pemerintah, swasta, dan masyarakat terlibat dalam PPM.

Kalau kita mengamati tambahan definisi yang disampaikan Mardikanto di kolom yang terletak di sebelah kiri ini kita dapati bahwa  pemberdayaan masyarakat itu proses perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Karena dia sebuah proses, aktivitas PPM tidak semudah orang membalikkan telapak tangan. Selain itu, masih merujuk pada yang terdapat di kolom tersebut, agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) dilakukan melalui belajar bersama yang partisipatif. Jadi, semakin jelas ya kalau PPM itu sebuah proses. Dengan cara demikian diharapkan akan terwujud kehidupan masyarakat yang memiliki keberdayaan, kemandirian, dan kesejahteraan yang berkelanjutan.

          Untuk bisa dilakukan perubahan sosial, ekonomi, dan politik, tentu saja dibutuhkan prinsip-prinsip PPM. Di dunia ini bukan hanya yang berkaitan dengan PPM, hampir semua program yang bertujuan untuk melakukan sebuah perubahan sudah dipastikan memiliki prinsip-prinsip. PPM secara ringkas prinsip-prinsipnya ada yang menyebutnya hanya memiliki tiga prinsip, yaitu mengerjakan, akibat, dan asosiasi. Prinsip pertama, dengan prinsip tersebut mereka (masyarakat) melalui mengerjakan akan mengalami proses belajar, baik dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan keterampilan. Prinsip kedua, di sini kegiatan pemberdayaan harus memberikan akibat atau pengaruh yang baik dan bermanfaat. Prinsip ketiga, kata asosiasi diartikan di sini adalah setiap kegiatan pemberdayaan harus dikaitkan dengan kegiatan lainnya (Totok Mardikanto&Poerwoko Soebiato, 2012:105-106). Kelihatannya sangat sederhana kalau hanya ada tiga prinsip. Kalau memang dipandang perlu, tidak ada salahnya kita coba mengajukan prinsip yang diajukan Soedijanto (2001) yang mengaitkannya dengan terjadinya perubahan sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia. Prinsip-prinsip yang dikemukakan Soedijanto mencakup sepuluh prinsip. Kesepuluh prinsip tersebut bisa dilihat pada kolom di sebelah kiri ini (Totok Mardikanto&Poerwoko Soebiato, 2012:108-109).

       

Dengan melihat pada kesepuluh prinsip yang diajukan Soedijanto kita berkesimpulan bahwa ada empat prinsip yang berkaitan dengan prinsip-prinsip yang terdapat di good governance. Keempat prinsip tersebut di antaranya: partisipatif, keterbukaan, egaliter (kesetaraan), dan akuntabilitas. Meskipun hanya empat prinsip yang berkaitan dengan yang terdapat di prinsip-prinsip good governance, prinsip-prinsip di luar itu sangat penting untuk diimplementasikan dalam PPM. Butir pertama yang berkaitan kesukarelaan, misalnya, di sini dalam pelaksanaan PPM tidak boleh ada unsur pemaksaan. Untuk itu, masyarakat sebelum dilibatkan dalam PPM disadarkan dulu dan diberi motivasi memperbaiki dan memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip lainnya yang juga sangat penting adalah keswadayaan. Di sini masyarakat sebagai peserta PPM diharapkan untuk menyampaikan kemampuannya dalam merumuskan pelaksanaan kegiatan dengan penuh tanggung jawab. Dalam hal ini peserta PPM tidak boleh bersikap menunggu atau mengharapkan dukungan dari luar, tapi mereka harus punya inisiatif. Karena itu, masyarakat yang telah ikut PPM harus memiliki kemandirian atau bisa melepaskan diri dari ketergantungan, entah itu dari individu, kelompok, atau lembaga. Jadi, di sini peserta PPM diharapkan bisa menerapkan prinsip otonom. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah prinsip demokrasi. Di sini peserta PPM harus bisa memberikan hak kepada semua pihak untuk berani menyampaikan pendapatnya. Terakhir adalah prinsip yang berkaitan dengan kebersamaan. Pada prinsip ini peserta PPM sudah harus bisa saling berbagi rasa, saling membantu, dan mengembangkan sinergisme. Sementara itu, empat butir yang relevan dengan prinsip-prinsip good governance bisa dilihat uraiannya pada “9. Pelayanan Publik Mengundang Good Governance”. Jadi, tidak ada salahnya setiap lembaga yang fokus menjalankan PPM mencoba mengimplementasikan kesepuluh prinsip di atas.

          Untuk bisa menjalankan PPM secara baik dan benar, perlu juga dicoba menerapkan tujuan PPM. Tujuan PPM yang diajukan Mardikanto (2012:111-112) mencakup sembilan tujuan. Tujuan pertama berkaitan dengan perbaikan pendidikan. Di tujuan ini ditekankan adanya perbaikan pendidikan yang mengarah pada penumbuhan semangat belajar seumur hidup. Tujuan kedua adalah perbaikan aksesibilitas. Maksudnya, peserta PPM setidak-tidaknya (nantinya) memiliki aksesibilitas dengan sumber informasi/inovasi, sumber pembiayaan, penyedia produk dan peralatan, dan pemasaran. Berikutnya yang berkaitan dengan tujuan perbaikan tindak (tujuan ketiga). Di sini peserta PPM diharapkan ketika mengambil tindakan sudah lebih baik karena sudah memiliki bekal dalam perbaikan pendidikan dan aksesibilitas. Perbaikan tindakan akan berimbas pada perbaikan kelembagaan (tujuan keempat). Dalam hal ini peserta PPM juga bisa memperbaiki sistem kelembagaan sekaligus bisa mengembangkan jejaring yang berkaitan dengan kemitraan usaha. Kalau keempat perbaikan di atas sudah dilakukan (pendidikan, aksesibilitas, tindakan, dan kelembagaan), diharapkan peserta PPM sudah bisa memperbaiki usaha (bisnis) yang dilakukannya (tujuan kelima) sehingga akan berdampak positif pada pendapatannya (tujuan keenam). Dengan demikian, akan terjadi juga pada perbaikan lingkungan, kehidupan, dan masyarakat (tujuan ketujuh, delapan, dan sembilan). Bukankah itu semua merupakan tujuan yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dari PPM?

                                                            ***

          Setelah membahas di seputar konsep PPM,sekarang kita akan menjawab pertanyaan kedua: mengapa dibutuhkan PPM. Dengan melihat pada definisi, prinsip-prinsip, dan tujuan PPM, kita sebenarnya sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut. Meskipun demikian, tidak ada salahnya kalau kita mencoba menjelaskannya agar kita benar-benar memiliki wawasan baru yang berkaitan dengan alasan diperlukannya PPM. Berkaitan dengan definisi yang disampaikan di atas bahwa titik tekan PPM adalah perubahan sosial, ekonomi, dan politik, berarti PPM akan berhasil kalau terjadi perubahan, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Jadi, kalau tidak ada perubahan sosial, ekonomi, dan politik, PPM yang dijalankannya dinilai kurang/tidak berhasil. Itu yang pertama kali kita catat. Masih mengacu pada definisi yang disampaikan oleh Mardikanto bahwa dalam PPM ada proses belajar bersama yang partisipatif. Dengan cara seperti itu akan terwujud perubahan perilaku. Perilaku di situ bukan hanya pada individu (anggota masyarakat) tapi juga pada kelompok dan lembaganya. Dengan demikian, kita menemukan minimal ada dua hal penting yang perlu kita catat, yaitu di satu sisi diharapkan akan terjadi perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Di sisi lain, diharapkan akan terjadi proses belajar bersama yang partisipatif yang bisa mengubah perilaku bukan hanya individu, tetapi juga kelompok dan lembaga.

          Dilihat dari prinsip-prinsipnya, dengan adanya PPM paling tidak mereka yang terlibat di dalamnya (individu, kelompok, dan lembaga) bisa menerapkan empat prinsip yang berkaitan dengan good governance. Keempat prinsip itu adalah partisipatif, egaliter (kesetaraan), keterbukaan, dan akuntabilitas. Jika prinsip partisipatif benar-benar diterapkan, semua stake holder (pemangku kepentingan/PK) diharapkan akan mau terlibat dalam semua aktivitas yang berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, dan politik. Kalau sudah bisa terlibat dalam aktivitas semua masalah itu, PK diharapkan bisa menjadi entah individu, kelompok, atau lembaga yang mandiri. Bukankah itu merupakan level tertinggi dalam PM yang memang harus kita wujudkan?

          Prinsip kesetaraan jika diterapkan secara konsisten, semua PK akan menyadari bahwa dalam aktivitas apapun (masuk ke dalamnya PP) akan bertumpu pada prinsip kesetaraan. Dalam hal ini, PK kalau masih mendapati adanya PP, misalnya, yang tidak mengedepankan prinsip kesetaraan bisa mengkritisinya atau lebih jauh bisa mengintervensi entah itu kebijakan atau perilaku ASN yang tidak mengedepankan prinsip kesetaraan. Selanjutnya, PP yang baik dan benar harus mengedepankan prinsip keterbukaan. Tuntutan keterbukaan ini sesuai dengan keinginan masyarakat. Seandainya ditemukan masih adanya unsur kesengajaan dalam hal tidak adanya keterbukaan, sudah bisa dipastikan PK tidak lagi peduli kehadiran pemerintahan dalam sebuah negara. Artinya, kepercayaan publik pada pemerintahan berkurang. Kalau itu terjadi, siap-siap saja pemerintahan yang sudah tidak dipercaya oleh PK akan masuk ke dalam jurang negara gagal. Terakhir, prinsip akuntabilitas juga memegang peranan penting karena pemerintahan di manapun harus memiliki tanggung jawab. Apa artinya kehadiran negara kalau pemerintahannya tidak memiliki tanggung jawab? Apa artinya ada sebuah parlemen kalau aktor-aktor yang terlibat dalam parlemen (karena parlemen juga termasuk pemerintah) tidak punya tanggung jawab atau akuntabilitasnya diragukan? Kita berharap jangan sampai terjadi `parlemen jalanan` karena aktor-aktor yang ada di parlemen diragukan akuntabilitasnya. Jadi, baik pemerintah selaku eksekutif maupun parlemen selaku legislatif harus menegakkan prinsip akuntabilitas bukan hanya masyarakat. Dengan demikian, keempat prinsip yang relevan muatannya dengan yang terdapat di good governance menjadi alasan untuk diterapkannya PPM.

          Sembilan tujuan PPM yang diajukan Mardikanto di atas boleh-boleh saja dijadikan alasan menerapkan PPM. Bukankah dengan melakukan semua perbaikan, sebagaimana terlihat pada uraian di atas, itu sesuatu yang ideal? Sesuatu yang ideal itu tentu saja harus bisa ditunjukkan dengan indikatornya dari setiap dimensi. Di level individu setiap orang diupayakan untuk dilakukan pengembangan potensi dan keterampilan. Indikator keberhasilannya adalah dipastikan akan ada kepemilikan aset/modal, kekuatan fisik, dan tidak terisolasi. Sedangkan di level kelompok/organisasi yang telah terlibat dalam pembangunan (partisipasi pembangunan) akan terlihat indikatornya dalam pembuatan perencanaan dan pengambilan keputusan. Bahkan, kelompok atau organisasi tersebut juga bisa melakukan pelaksanaan dan pengawasan (justru sampai saat ini indikator yang mengarah pada pengawasan keputusan bersama sangat ditunggu-tunggu masyarakat). Dengan cara demikian, di kelompok/organisasi yang telah berpartisipasi dalam pembangunan akan memperoleh manfaat pembangunan. Di level sistem akan terjadi kemandirian masyarakat. Ini sesuatu yang sangat diharapkan oleh semua pihak di setiap negara. Kemandirian masyarakat memang `sesuatu banget gitu!`. Sangat sulit menggambarkan masyarakat yang benar-benar mandiri karena masyarakat seperti ini, misalnya, tidak akan mudah terlibat dan tergiur dalam `politik uang` ketika `pesta demokrasi` diselenggarakan di negara tercinta ini. Dalam aktivitas PP, masyarakat yang mandiri tidak akan berdiam diri jika mendapat pelayanan yang tidak mengenakkan. Karena itu, walaupun itu sesuatu yang utopia karena sampai saat ini belum terwujudkan, kita harus bertekad untuk mewujudkannya sehingga yang utopia itu menjadi `sesuatu banget, gitu!`. Di tabel berikut ini walaupun singkat diharapkan bisa memberikan gambaran uraian di atas.

***

Pertanyaan terakhir, bagaimana cara mengimplementasikan PPM? Sumaryadi dalam Mardikanto (2012:122-123) mengajukan tujuh tahapan. Ketujuh tahapan itu bisa dilihat pada gambar di atas (Siklus Pemberdayaan Masyarakat). Pada gambar di atas, PPM dimulai dari tahapan keinginan untuk berubah. Di sini setiap anggota masyarakat (mereka) harus punya keinginan untuk berubah. Di samping itu, mereka juga harus memperbaiki diri. Kalau tidak ada keinginan untuk berubah dan memperbaiki diri, mereka nantinya tidak akan memperoleh perhatian, simpati, atau partisipasi masyarakat. Setelah itu, pada tahapan kedua, mereka juga harus memiliki kemauan dan keberanian untuk berubah. Untuk itu, mereka harus melepaskan diri dari yang namanya segala macam kesenangan/kenikmatan yang justru menjadi penghambat untuk berani berubah. Karena itu, kalau sudah punya keinginan, kemauan, dan keberanian untuk berubah, mereka juga harus punya kemauan untuk berpartisipasi. Artinya, mereka harus bisa mengambil bagian dalam kegiatan PPM. Jadi, tanpa adanya partisipsi, mereka tidak akan bisa ikut berperan serta dalam kegiatan PPM.

          Partisipasi yang sudah ada pada mereka harus ditingkatkan sehingga mereka benar-benar bisa berperan dalam kegiatan pemberdayaan yang boleh jadi mereka telah merasakan manfaatnya. Bahkan, mereka juga merasakan adanya perbaikan dalam dirinya. Dalam hal ini telah terjadi perubahan dalam melawan segala macam kesenangan/kenikmatan sesaat yang justru menjerat mereka ke dalam kubangan kegetiran hidup. Dengan adanya peningkatan partisipasi diharapkan akan tumbuh motivasi baru untuk berubah. Anggapan bahwa nasib mereka tidak akan berubah harus disingkirkan jauh-jauh karena anggapan ini akan meruntuhkan motivasi baru mereka yang tumbuh berkat adanya peningkatan partisipasi. Mereka yang sudah memiliki motivasi baru untuk berubah dengan sendirinya akan terjadi peningkatan efektivitas dan efisiensi pemberdayaan. Artinya, PPM itu akan benar-benar memiliki nilai jika setiap langkah yang mereka lakukan berdampak pada peningkatan efektivitas dan efisiensi. Sebaliknya, PPM dianggap gagal kalau tidak ada peningkatan efektivitas dan efisiensi. Dengan adanya peningkatan efektivitas dan efisiensi pemberdayaan, mereka akan tumbuh kompetensinya untuk berubah. Kalau sudah seperti itu, mereka benar-benar menjadi orang yang mandiri. Karena ini merupakan sebuah siklus, semua tahapan yang telah dijalankan akan kembali pada tahapan pertama, yaitu perlu dilakukan monitoring dan evaluasi yang mengarah pada tahapan pertama, yaitu keinginan untuk berubah. Dengan cara demikian, mereka yang dilibatkan dalam PPM terkontrol dan terkendali dalam menjalankan tahapan-tahapan pelaksanaan PPM.

***

Kita ingin Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera bukan hanya mimpi seperti terlihat pada gambar karikatur di atas. Kita ingin Indonesia yang berubah. Bukan berubah sistem negaranya. Yang kita inginkan adalah perubahan nasib bangsa. Kita harus mengubah semua yang namanya utopia buat sebuah PP yang `sesuatu banget, gitu` menjadi kenyataan. Kita ingin masyarakat kita menjadi masyarakat yang individu-individunya smart dan mandiri sehingga adil, makmur, dan sejahtera bisa kita wujudkan. Melalui PPM kita wujudkan itu semua. Kita tidak boleh menunda. Kita harus melakukannya sesegera mungkin. Kalau tidak ada keinginan untuk berubah itu diibaratkan kanker, jangan sampai kanker itu menjalar ke seluruh tubuh. Karena itu, harus segera diatasi penyakit keinginan tidak mau untuk berubah melalui PPM.

Sumber Gambar :

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat