Subagio S.Waluyo

Agar PP bisa berjalan dengan baik, tidak cukup dengan kerja inovatif sang pemimpin. Tapi, juga butuh partisipasi masyarakat (PM). Tidak mungkin program-program yang digulirkan AB dengan seluruh jajarannya di Pemprov DKI Jakarta bisa berjalan baik tanpa adanya PM. Begitu juga yang dijalankan IJ di PT KAI dalam rangka membenahi secara menyeluruh di tubuh PT KAI tidak mungkin bisa berjalan dengan baik tanpa adanya PM. Jadi, PM sangat dibutuhkan. Tanpa PM jangankan di Pemprov DKI Jakarta atau di PT KAI, di negara kita tercinta ini pun tidak akan baik jalannya pemerintahan tanpa PM. Sudah tampak di hadapan kita PM juga punya peran sangat penting dalam mensukseskan jalannya PP di seluruh jajaran entah itu yang di instansi pemerintahan, BUMN, BUMD, dan juga di seluruh lembaga pendidikan. Bahkan, tidak mustahil di seluruh lembaga keagamaan dan lembaga sosial sekalipun juga sangat-sangat butuh yang namanya PM. Untuk itu, jangan main-main lho sama yang namanya PM! Please…kita butuh banget PM, gitu!

          Kenapa PP butuh PM? Bukankah sudah jelas PP butuh PM karena yang dilayani ASN `kan memang masyarakat? Kalau memang PP butuh masyarakat, PP juga butuh PM dong! Itu adil `kan? Di sebuah negara yang benar-benar mau menegakkan demokrasi, ketika diadakan pemilu, entah itu pemilihan anggota legislatif, pemilihan kepala daerah, atau pemilihan presiden sekalipun pasti butuh PM. Kalau tidak, jangan diharap pesta demokrasi itu bisa berjalan dengan baik. Kalau di sebuah pemerintahan ada himbauan dari pemerintah, masyarakat yang diberikan himbauan bersikap masa bodoh, bisa dipastikan himbauan itu hanya akan berjalan di tempat. Kalau begitu, apa itu PM? Kenapa PM demikian dibutuhkan? Bagaimana menjalankan PM dengan baik? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan kita jawab. Sekarang kita jawab dulu pertanyaan pertama: apa itu PM?

***

          Berbicara tentang PM tidak terlepas dari pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini lewat PM bisa dilakukan pemberdayaan masyarakat karena orang melihat PM sebagai kesatuan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, untuk bisa mewujudkan adanya pemberdayaan masyarakat diperlukan pertama kali adanya PM. Jadi, tanpa PM tidak akan mungkin bisa diwujudkan pemberdayaan masyarakat. Kalau begitu, apa itu PM? PM bisa didefinisikan sebagai  keikutsertaan atau keterlibatan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi (https://id. wikipedia.org/ wiki/Partisipasi_masyarakat).

          Di definisi di atas ada tercantum frasa keterlibatan masyarakat. Masalah keterlibatan masyarakat yang paling tinggi kalau mengacu pada tingkatan partisipasi di bawah ini tentu saja adalah keterlibatan masyarakat dalam ikut serta melakukan pengawasan. Di sini masyarakat yang sudah terlibat dalam aktivitas pengawasan adalah masyarakat yang mandiri. Dalam hal ini mereka yang tergolong mandiri tentu saja adalah mereka yang bisa mengambil inisiatif sendiri secara bebas. Artinya, mereka tidak dipengaruhi oleh pihak luar untuk mengubah nilai atau sistem yang mereka miliki. Selain itu, masyarakat juga bisa mengembangkan kontak dengan berbagai instansi terkait dalam hal mendapatkan bantuan teknis dan sumberdaya yang diperlukan. Bahkan, mereka bisa memegang kendali dalam hal pemanfaatan sumberdaya yang ada dan/atau yang digunakan (Totok Mardikanto&Poerwoko Soebiato, 2012:90). Berkaitan dengan tingkatan partisipasi masyarakat bisa dilihat pada tulisan di bawah ini.

 Tingkatan Partisipasi Menurut Ahli

 Tingkatan partisipasi menurut ahli dan pakar akan dibahas dengan lengkap pada materi pelajaran sosiologi sebagai berikut ini. Adapun point-point pokok pembahasan yang akan dijelaskan pada materi pendidikan sosiologi dibawah ini yakni apa saja susunan tingkat dan tahapan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan baik fisik maupun non fisik lengkap dengan daftar pustakanya.

#8 Tahapan partisipasi

Guna mengetahui besarnya partisipasi dalam masyarakat, di dalam bukunya Arnstein (1969) beliau menawarkan sebuah teori gradasi atau pentahapan partisipasi masyarakat atau yang disebut juga dengan teori The Ladder of Participation.

Berdasarkan deskripsi di atas, beliau memberikan taksonomi yang secara jelas mengenai jenjang partisipasi masyarakat dalam kehidupan nyata. Adapun masyarakat akan mengikuti alur secara bertingkat mulai dari tangga pertama hingga tangga kedelapan dengan logika yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Manipulasi

Tangga pertama, yakni manipulasi atau penyalahgunaan adalah mereka memilih dan mendidik sejumlah orang sebagai wakil dari masyarakat. Fungsinya adalah pada saat mereka mengajukan berbagai program, maka para wakil masyarakat tersebut harus selalu menyetujuinya, sedangkan masyarakat sama sekali tidak diberitahu tentang hal tersebut.

2. Terapi

Tangga kedua, yakni terapi (perbaikan), tidak termasuk dalam konteks partisipasi yang sesungguhnya. Dalam hal ini masyarakat terlibat langsung dalam suatu program, namun keterlibatan masyarakat tidak didasari oleh suatu dorongan mental, psikologis dan diikuti konsekuensi keikutsertaan yang memberikan kontribusi dalam program.

Masyarakat dalam posisi tahap ini hanya menjadi obyek pada program, pemerintah memberitahu sedikit kepada masyarakat mengenai beberapa programnya yang telah disetujui oleh wakil masyarakat dan masyarakat hanya bisa mendengarkan.

3. Pemberian informasi

Tangga ketiga, yakni pemberian informasi adalah mereka memberitahukan berbagai macam program yang akan dilaksanakan maupun yang sudah dilaksanakan, akan tetapi hanya dikomunikasikan searah dan masyarakat belum bisa melakukan komunikasi umpan-balik (feedback) secara langsung.

4. Konsultasi

Tangga keempat, yakni konsultasi adalah mereka berdiskusi dengan banyak elemen-elemen masyarakat mengenai pelbagai agenda. Dan seluruh saran serta kritik akan didengarkan, namun mereka yang berkuasa tetap yang akan memutuskan, apakah saran dan kritik masyarakat tersebut dipakai atau tidak.

5. Penentraman

Tangga kelima, yakni peredaman kemarahan atau penentraman adalah sebuah wujud atau bentuk usaha untuk menampung ide-ide, saran-saran dan masukan-masukan dari masyarakat guna sekedar meredam keresahan dari masyarakat.

Pemerintah berjanji akan melakukan berbagai saran dan kritik dari masyarakat, akan tetapi janji tinggal janji dimana mereka secara diam-diam menjalankan rencana semulanya. Oleh karena hal tersebutlah tangga kelima ini tergolong pada kategori takonisme (pertanda).

Sebenarnya penyampaian informasi (pemberitahuan) adalah sebuah bentuk pendekatan kepada masyarakat supaya mendapatkan legitimasi masyarakat atas semua program-program yang dicanangkan. Konsultasi yang disampaikan hanya bentuk upaya guna mengundang ketertarikan umum mempertajam legitimasi, tidak untuk secara sungguh-sungguh mendapatkan pertimbangan dan mengetahui keberadaan masyarakat.

6. Kemitraan

Tangga keenam, yakni kemitraan dan disinilah terjadi partisipasi atau kemitraan masyarakat. Masyarakat sudah memperoleh wadah atau tempat dalam suatu program pembangunan dan mereka memperlakukan masyarakat seperti rekan kerja serta bergabung dalam merancang dan mengimplementasi aneka kebijakan publik.

7. Pendelegasian kekuasan dan pengawasan

Tangga ketujuh, yakni delegasi kekuasan adalah telah terjadinya pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada masyarakat. Sehingga masyarakat bisa melakukan kontrol (pengawasan) terhadap program-program pembangunan seperti yang ada pada tangga kedelapan yakni pengawasan masyarakat.

Pada bagian inilah yang disebut dengan partisipasi atau menurut istilah Arnstein, yakni sebagai kekuasaan masyarakat, dimana masyarakat lebih mendominasi dari pada pemerintah bahkan sampai dengan mengevaluasi kinerja mereka, sehingga partisipasi masyarakat yang ideal tercipta pada level ini.

Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan sangat mensyaratkan keterlibatan langsung oleh masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Hal tersebut dikarenakan hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat itu sendiri, mengingat partisipasi masyarakat sangat berpengaruh pada jalannya proses pembangunan baik fisik maupun non fisik.

Maka dari itu dengan adanya kesesuaian ini, hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Adapun salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program.

(https://www.materipelajar.com/2017/11/tingkatan-partisipasi.html)

***

          Kenapa dibutuhkan PM? Banyak manfaat yang diperoleh dari PM salah satu di antaranya adalah dengan adanya PM adanya peningkatan kepercayaan kepada eksekutif (pemerintah) dan legislatif (parlemen). Bukankah memang pemerintah itu bisa eksis kalau ada kepercayaan dari masyarakatnya? Kalau kehadiran pemerintah tidak didukung oleh adanya kepercayaan dari warganya bisa dipastikan pemerintahan tersebut umurnya tidak akan panjang. Justru, dia akan segera jatuh. Peristiwa reformasi di negara ini yang terjadi pada tahun 1997 itu bukankah dipicu oleh adanya krisis moneter (krismon) yang merembet ke krisis masyarakat pada pemerintahan? Negara pada waktu itu diibaratkan seperti bangunan yang tampak gagah dan megah, tapi sebenarnya rapuh dan keropos sehingga perlahan-lahan bangunan itu rubuh dan rata dengan tanah. Orang menyebutnya `gigantisme`. Dari peristiwa itu, sudah selayaknya siapapun yang mengelola negara ini (pemerintah) harus banyak belajar agar ke depannya tidak terulang kembali peristiwa tersebut.

          Berkaitan dengan itu, PM dibutuhkan karena dengan adanya PM tentu saja pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan dapat lebih mengenal warganya. Mereka (pemerintah) diharapkan juga tahu mindset (pola pikir) dan kebiasaan hidup masyarakatnya. Bukan itu saja, masalah-masalah yang dihadapi masyarakatnya setidak-tidaknya diketahui. Kalau sampai sebuah negara yang dikelola oleh pemerintah sama sekali blank tentang pola pikir, kebiasaan hidup, dan masalah-masalah yang dihadapi masyarakatnya, sangat mungkin negara yang dikelolanya akan menciptakan jurang pemisah yang sangat curam. Penguasa negara itu akan bertindak otoriter dan sewenang-wenang. Tidak mustahil negara itu pun cepat atau lambat akan ambruk karena tidak lagi didukung oleh rakyatnya.

          Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, dengan adanya PM dipastikan akan terwujud adanya harapan yang lebih baik. Bukankah memang PM itu diharapkan dapat membangun harapan yang lebih baik? Harapan yang lebih baik buat siapa? Tentu saja buat seluruh rakyat dan juga pemerintahnya. Rakyat punya harapan yang lebih baik, misalnya, akan terpenuhi (insya Allah) kesejahteraannya dan sekaligus tercapainya keadilan sosial sebagaimana yang tercantum dalam sila kelima Pancasila. Dua kata kunci itu: adil dan sejahtera merupakan harapan yang bisa diwujudkan jika PM benar-benar bisa dijalankan di seantero negeri ini. Pemerintah dan seluruh jajarannya, baik pemerintah pusat maupun daerah punya harapan yang juga lebih baik karena jalannya pemerintahan akan lancar-lancar saja penuh keamanan, kedamaian, dan kenyamanan. Bukankah itu merupakan sesuatu yang memang sangat dinanti-nantikan?

***

          Mungkin yang disampaikan di atas banyak orang menyebutnya sebagai utopia. Silakan saja kalau ada orang menyebutnya, entah itu utopia atau hanya mimpi di siang hari. Tapi, apakah tidak boleh kita berwacana bahwa utopia itu pada saatnya akan bisa diwujudkan? Apakah memang kita sudah menutupnya dengan cukup mengatakan utopia tanpa ada usaha? Kalau begitu apa yang harus kita lakukan untuk melawan sesuatu itu utopia? Nah, di sini kita harus berusaha mengubah sesuatu yang tadinya utopia menjadi sesuatu yang benar-benar faktual. Pertanyaannya, bagaimana mengubah yang semula hanya sesuatu yang utopia menjadi sesuatu yang faktual? Atau boleh juga to the point saja: bagaimana menjalankan PM dengan baik sehingga bisa mengubah yang utopia menjadi kenyataan?

          Kalau kita melihat tulisan di atas yang berjudul “Tingkatan Partisipasi Menurut Ahli”, rasa-rasanya kita akan sulit mengubah dari tangga pertama (manipulasi) ke tangga paling tinggi: tangga ke tujuh (delegasi kekuasaan). Berapa lama kita akan mengubahnya? Kalau ditanya ukuran waktu, susah juga kita memberikan jawaban. Negara-negara maju yang sekarang ini boleh dikatakan masyarakatnya sebagian besar sudah memasuki tangga ke tujuh saja perlu waktu untuk mengubahnya. Amerika Serikat (AS), misalnya, sejak kemerdekaannya diproklamasikan (4 Juli 1776) masyarakatnya pada waktu itu tidak seperti sekarang. Boleh jadi masyarakatnya sama seperti kita, yaitu termasuk dalam level masyarakat yang tergolong manipulasi. Kita kurang tahu persis kapan kira-kira masyarakat AS benar-benar menjadi masyarakat yang realistis dan benar-benar menjadi masyarakat tingkat ke tujuh atau tertinggi  (mandiri) seperti sekarang ini. Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa mengubah dari tingkatan masyarakat yang di tingkat pertama menjadi tingkatan masyarakat yang di tingkat ke tujuh tidak semudah membalikkan telapak tangan.

          Kembali pada pertanyaan di atas, bagaimana menjalankan PM dengan baik? Untuk menjalankan PM dengan baik, tidak ada cara kecuali yang utama sekali adalah tidak ada dominasi elit lokal pada pemerintahan lokal. Selain itu, juga perlu adanya akuntabilitas. Sebagai tambahan, untuk memperkuat PM perlu penumbuhan kesadaran dan pengorganisasian masyarakat itu sendiri. Juga diperlukan adanya dukungan berbagai inisiatif dari masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah harus mendorong penciptaan kebijakan yang mendukung aksi mandiri masyarakat tersebut (Syahyuti, 2006:157).

          Semua yang diuraikan di atas boleh dikatakan cukup berat. Bahkan, bisa saja dikatakan berat sehingga ada pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan. Pertama, bagaimana mengurangi (kalau perlu sampai pada tahap menghilangkan) dominasi elit lokal pada pemerintah lokal? Di tengah kondisi masyarakat yang kurang terdidik, rasa-rasanya sangat sulit melakukannya. Selama masih ada politik uang dalam `pesta demokrasi` tampaknya masih tetap akan ada dominasi elit lokal pada pemerintah lokal. Tidak mustahil juga ada elit nasional yang mendominasi pemerintahan di tingkat nasional (ini sudah jelas-jelas merupakan kekuasaan oligarki). Jadi, kita harus mendidik masyarakat kita menjadi masyarakat cerdas. Menciptakan masyarakat yang berpikir logis dan realistis. Kalau sudah terciptakan, tidak mudah elit lokal (bahkan nasional pun) untuk mengintervensi pemerintahan lokal. Kenapa? Dalam kondisi seperti itu masyarakat akan melakukan pengawasan dan pengendalian. Kalau pengawasan dan pengendalian sudah bisa dilakukan masyarakat, dengan sendirinya dominasi elit lokal terhadap pemerintah lokal akan berkurang (bisa juga berangsur-angsur hilang).

          Kedua, untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas (bahkan kalau bisa mandiri sekalipun) seperti saran di atas tidak ada cara kecuali penumbuhan dan pengorganisasian masyarakat. Kita mencatat ada dua kata kunci yang ditujukan pada masyarakat: penumbuhan dan pengorganisasian. Kita perlu batasi konsep tentang masyarakat. Kita tahu bahwa yang disebut masyarakat di sini adalah bisa saja mereka yang tergolong orang-orang akademis. Orang yang termasuk golongan ini jelas-jelas orang cerdas yang sudah bisa berpikir logis dan realistis. Masyarakat seperti ini tidak diperlukan lagi dua kata kunci tersebut. Begitu juga dengan mereka yang aktif di LSM tidak diperlukan lagi. Kalau di ormas, untuk mereka yang berada di struktur ormas tidak diperlukan lagi meskipun seandainya diperlukan lebih mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan pengorganisasian. Tapi, anggota-anggota ormas boleh jadi masih banyak yang belum bisa berpikir logis dan realistis. Mereka-mereka inilah yang perlu dilakukan penumbuhan dan pengorganisasian masyarakat. Di luar itu, ada masyarakat sipil yang mereka bukan dari kalangan akademis, LSM, atau ormas. Mereka-mereka ini lewat orang-orang akademis, LSM, atau ormas sekalipun sangat perlu dilakukan penumbuhan dan pengorganisasian masyarakat.

          Untuk menjalankan program kedua kata kunci tersebut, perlu diadakan seleksi ketat. Artinya, masyarakat sipil yang mau dididik menjadi orang yang bisa berpikir logis dan realitis harus lulus persyaratan administrasi dulu. Mereka-mereka yang mengikuti program kedua kata kunci tersebut dari sisi pendidikannya minimal SLTA. Kemudian, kalau persyaratan administrasi telah dinyatakan lulus, mereka-mereka itu juga harus lulus tes psikologi dan kesehatan (minimal bebas narkoba dan miras). Masyarakat sipil yang sudah lulus di semua tahapan harus mengikuti pendidikan yang mengarah pada penumbuhan dan pengorganisasian minimal selama enam bulan. Selama enam bulan apa saja yang harus diberikan? Berikan mereka pelatihan yang mengarah pada pengetahuan umum, misalnya yang berkaitan dengan bidang sosial dan politik kekinian. Berikan juga pada mereka pelatihan keterampilan hidup supaya mereka nantinya memiliki kompetensi yang berguna ketika mencari nafkah hidup. Pendidikan dan pelatihan itu bisa dilakukan seminggu tiga kali dengan durasi tiga sampai empat jam setiap kali pertemuan. Mereka juga perlu diberikan uang saku. Karena program ini butuh biaya yang cukup besar, pemerintah di samping menganggarnya dalam APBD juga harus bisa berkolaborasi dengan pihak swasta, perguruan tinggi, LSM, dan ormas. Perguruan tinggi yang memiliki program penelitian dan pengabdian masyarakat juga bisa menyediakan anggarannya untuk program tersebut. Begitu juga LSM yang punya jaringan ke LSM-LSM di luar negeri bisa saja berkontribusi dalam program tersebut. Dengan dijalankannya program tersebut kita berharap penumbuhan dan pengorganisasian masyarakat akan terwujud.

***

          Mewujudkan masyarakat yang mandiri seperti yang tertuang di tulisan di atas (“Tingkatan Partisipasi Menurut Ahli”) memang merupakan pekerjaan berat. Buat negara-negara berkembang seperti Indonesia, jelas membutuhkan uluran tangan dari berbagai kalangan. Dalam hal ini pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah harus bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak (bisa juga disebut di sini pemangku kepentingan) di antaranya pihak swasta, perguruan tinggi, LSM, dan ormas. Tanpa kolaborasi dengan para pemangku kepentingan mustahil PM bisa diwujudkan. Kalau PM tidak bisa diwujudkan, juga mustahil PP bisa berjalan dengan baik. Mustahil juga kita bisa benar-benar mewujudkan good governance di negeri tercinta ini: Indonesia. Khusus untuk kolaborasi, bisa diambil contoh yang dilakukan AB dalam menjalankan roda pemerintahannya di DKI Jakarta. Selaku gubernur, AB telah mengangkat program kolaborasi ketika kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta (2017). Program tersebut yang diangkat di masa pemilihan Gubernur DKI Jakarta di namakan program 4 Level Partisipasi Publik. Program yang terdapat di Level 1: Kolaborasi benar-benar dijalankan programnya. Dengan demikian, di DKI Jakarta terwujud sebuah kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sehingga keduanya telah berhasil membuat kebijakan dan keputusan bersama. Sebagai penutup, untuk lebih jelasnya berikut ini  ditampilkan 4 Level Partisipasi Publik.

Sumber gambar:

  1. (https://www.materipelajar.com/2017/11/tingkatan-partisipasi.html)
  2. (https://twitter.com/pandji/status/830238774865035264)

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat