Subagio S.Waluyo
Tidak sedikit tulisan TOKOH KITA yang berhubungan dengan fenomena sosial. Bisa juga dikatakan, justru fenomena sosial sebagian besar dijadikan objek tulisannya. Fenomena sosial yang dijadikan objek menginspirasi TOKOH KITA untuk menuliskannya. Fenomena sosial yang telah menginspirasinya itu oleh TOKOH KITA dikembangkan menjadi sebuah tulisan. Untuk membuat menjadi sebuah tulisan yang kaya dengan informasi (tetapi juga enak dibaca), TOKOH KITA mau tidak mau harus mencari referensi yang berkaitan dengan fenomena sosial yang diangkatnya. Sebagai ilustrasi, bisa dijadikan contoh di sini ketika TOKOH KITA mengangkat fenomena masyarakat yang tinggal di sepanjang Kali Malang di bawah jalan layang tol Bekasi Cawang Kampung Melayu (Becakayu), Jakarta Timur. TOKOH KITA menemukan fakta banyaknya masyarakat yang tinggal di sepanjang pinggir Kali Malang, yang juga berdekatan dengan jalan layang tol Becakayu, di saat pandemi Covid-19 sedang mewabah di seantero bumi ini memanfaatkan sebagian lahan yang ada di situ untuk bercocok tanam. TOKOH KITA berusaha mencari kata yang tepat untuk masyarakat yang melakukan aktivitas tersebut. TOKOH KITA berhasil menemukan di buku Isme-Isme dari A sampai Z oleh A. Mangunhardjana sebuah kata, yaitu kata `environmentalisme`. Kata tersebut didefinisikan sebagai `pandangan yang berkembang menjadi gerakan untuk menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan alam dan juga meningkatkannya` (A.Mangunhardjana, 2001: 76). Berikut ini bisa kita lihat tulisan yang berkaitan dengan `environmentalisme`.
Ada hal yang menarik ketika Pandemi Covid-19 melanda negeri ini, yaitu kebiasaan mencuci tangan setelah melakukan aktivitas dan menggunakan masker jika ke luar rumah. Selain itu, tentu saja juga ada kebiasaan baru, yaitu membiasakan menjaga jarak sosial ketika berinteraksi dengan orang lain. Di luar itu ada aktivitas yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu kebiasaan bercocok tanam di setiap jengkal tanah yang ada di rumahnya. Hasil cocok tanam (di luar tanaman hias) yang berupa sayur-mayur dan palawija terkadang modalnya jauh lebih besar daripada hasilnya. Bahkan, tidak mustahil banyak juga yang gagal. Meskipun demikian, semua itu tidak menyurutkan ibu-ibu rumah tangga untuk bercocok tanam. Ada sebuah kegembiraan tersendiri ketika memetik hasil dari bercocok tanam dan membagikannya pada para tetangga di sekitar rumahnya karena dalam kondisi sulit masih bisa berbagi. Kebiasaan baru ini seandainya bisa dijaga dan ditingkatkan kesadarannya bukan saja sekedar bercocok tanam, tetapi juga adanya keinginan keras untuk menjaga kelestarian alam tidak mustahil sebagian masyarakat ini akan menjadi penggerak dan penjaga lingkungan hidup. Mereka yang boleh dikatakan masyarakat perkotaan kalau sudah seperti itu akan menjadi masyarakat yang disebut environmentalis. Environmentalis adalah gerakan melawan pengrusakan alam entah itu yang namanya pencemaran atau pengotoran lingkungan. Mereka-mereka yang memiliki pandangan untuk menggerakkan dalam bentuk menjaga dan melindungi kelestarian alam disebut environmentalisme (A.Mangunhardjana dalam Isme-Isme dari A Sampai Z, 2001:76). Dengan demikian, Pandemi Covid-19 yang boleh dikatakan telah banyak memakan korban ternyata di satu sisi juga melahirkan gerakan environtalisme di sebagian masyarakat perkotaan. (https://subagiowaluyo.com/berkisah-tentang-environmentalisme/) |
***
Berbicara tentang fenomena sosial, TOKOH KITA menyebutnya sebagai gejala abnormal atau masalah sosial (Penampakan Nilai-Nilai Kemanusiaan dan Kesosialan dalam Karya Sastra Indonesia, 2020:438). Dalam hal ini, TOKOH KITA mengambil referensi dari sosiolog terkenal, Soerjono Soekanto, yang cenderung menyebutnya sebagai gejala abnormal atau gejala patologis atau masalah sosial ialah gejala yang menjadi faktor penyebab adanya unsur-unsur masyarakat yang tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan berbagai kekecewaan dan penderitaan yang membahayakan kehidupan kelompok sosial (Sosiologi Suatu Pengantar, 2015:312). Berkaitan dengan hal itu, TOKOH KITA di sumber yang sama menyebutkannya ada sebelas masalah sosial (2020:479-565). Kesebelas masalah sosial itu di antaranya adalah (1) kemiskinan, (2) pengangguran, (3) birokrasi yang buruk, (4) korupsi, (5) perilaku konsumtif, (6) disorganisasi keluarga, (7) modernisasi, (8) globalisasi, (9) pendidikan yang rendah, (10) pelanggaran HAM, dan (11) pertikaian dan konflik sosial. Dalam membahas kesebelas masalah sosial itu, TOKOH KITA mengambil bahan yang dijadikan bahasannya dari karya-karya sastra Indonesia, baik berupa puisi, cerpen, maupun novel. Berikut ini bisa dilihat beberapa masalah sosial yang dijadikan contohnya.
1. Kemiskinan
Sastrawan Indonesia banyak memuat masalah di seputar kemiskinan, entah itu dalam bentuk puisi, cerpen, novel, atau naskah drama. Berikut bisa dilihat naskah drama yang ditulis Arifin C. Noer “Mega-Mega” yang juga banyak berkisah tentang kemiskinan. Sesuai dengan judul naskah drama “Mega-Mega” yang berarti `awan`, cerita dalam naskah drama tersebut berkisah tentang orang-orang miskin yang hidupnya penuh dengan khayalan. Khayalan mereka yang demikian tinggi diibaratkan seperti mega, awan yang tinggi di langit, yang tidak mungkin bisa dijangkaunya. Mereka hidup tidak pernah bisa mewujudkan yang diimpikannya dengan kenyataan yang diperoleh. Itulah orang-orang miskin yang hidup dengan angan-angan (mega). Sekedar sebuah contoh bisa dilihat pada kutipan naskah drama Mega-Mega karya Arifin C. Noer berikut ini.
KOYAL : ( tidak peduli ) Lalu saya fikir saya harus punya banyak uang dulu. Malah akhir-akhir ini saya mencintai uang. Mengapa tidak? Saya telah melihat rumah yang bagus-bagus. Saya telah melihat mobil yang bagus-bagus. Saya telah melihat segala apa saja yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Lalu…
HAMUNG : …..ngemis (tertawabersama Retno) KOYAL : ……lalu saya mulai mengumpulkan uang. Tapi pasti terlalu lama. Lalu saya belikan lotre. Dan baru saja saya hampir menang (tertawa) Itu tandanya tidak lama lagi saya akan menang. Dan kalau saya menang dan menang dan menang dan menang…dan menang lagi….oh, uang saya. Bertumpuk setinggi gunung Merapi. (tertawa) Ya, Mung. Kau boleh pergi ke Jakarta besok dan membuat rumah setinggi pohon kelapa, dan di sebelahnya, Tukijan boleh membangun rumah yang besarnya lima kali keraton. Apa yang saya perbuat? HAMUNG : Ngemis. (tertawa bersama Retno) KOYAL : Tidak. Saya akan mendirikan di antara rumah raksasa itu hanya sebuah gubug kecil saja. Tapi..dengar. Kalau jam tujuh pagi saya, Raja Uang, Keluar dari gubug itu dengan dua buah koper penuh berisi uang. Jangan lupa, becak langganan saya sudah menunggu di muka. Dengan dua koper itu saya berkeliling kota. (tertawa) Orang-orang di sepanjang jalan bersorak sorak ; Hidup Raja Uang, Hiduup Raja uang! Tentu saja saya hanya manggut-manggut. Dan dari koper itu, saya hambur-hamburkan uang. Pasti saya tertawa menyaksikan orang-orang berebutan uang seperti anak-anak ayam. Nah, kalau sudah jam 2 siang saya pulang. Uang habis sama sekali. Dalam gubug ajaib itu saya tidur siang. Tidur di atas kasur yang berisi uang. Berbantalkan bantal yang berisi uang, seraya memeluk guling berisi uang (tertawa). Sorenya saya keluar jalan-jalan dengan empat buah koper berisi uang. Tentu saja kali ini saya mesti menyewa mobil. Tiap-tiao rumah saya masuki dan saya taburi dengan uang. Terutama sekali rumah kau dan rumah Tukijan. (tertawa) Dan kalau sudah habis… …………………………………………………………………………………………………………….. TUKIJAN : Sama sekali salah kalau orang mengira bahwa niat saya ini didorong oleh rasa ingin menolong. Kalau hanya lantaran perasaan itu barangkali tak perlu sampai-sampai saya harus memperistri kau. Saya membutuhkan kau. Tak lebih dari itu. RETNO : (Masih membisu) TUKIJAN : Impian itu mesti diwujudkan, barulah ada artinya. RETNO : (cuma memandang laki-laki itu. Itupun cuma beberapa saat). TUKIJAN : Saya juga tidak suka menjanjikan apa-apa. Semuanyya masih bakal. Yang saya miliki hanya kemauan. Dan lagi kita hanya mendengar bahwa tanah di seberang penuh kekayaan yang masih terpendam. Sangat luas. Segalanya masih terpendam. Segalanya. Di dalam tanah dan di dalam diri kita. Kalau kita sungguh-sungguh menghendaki, kita harus mengangkatnya ke permukaan hidup kita. Saya kira begitu. RETNO : (kembali memandang lelaki itu). TUKIJAN : Retno! Kau percaya? Saya tak peduli siapa kau. Saya hanya membutuhkan kau. Tak lebih dari itu. Saya tidak tahu tapi betul saya tak akan melakukan apa-apa seandainya kau tak ada. Itu saja. Itu pun. RETNO : Lantaran saya sangat mencintaimu, saya terpaksa menolak kau ajak. Percayalah, kau akan lebih senang sekiranya kau berangkat sendiri. Tak ada orang yang akan merepoti kau. Waktu kau lebih banyak. ……………………………………………………………………………………………………………….. |
Orang-orang miskin, pengangguran, gelandangan yang tidak jelas jalan hidupnya selalu panjang angan-angannya sehingga wajar-wajar saja kalau dalam kesehariannya kerja serabutan. Bahkan, dalam banyak hal mereka juga tidak mengenal lagi halal-haram. Tokoh seperti Retno, misalnya, hidupnya bergelimang dengan dosa. Dia menjajakan tubuhnya pada setiap hidup belang (laki-laki pezina) demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Suatu saat dia juga menyadari jalan hidupnya yang kelam. Dia sebenarnya juga ingin kembali kehidupan normal. Kehidupan yang jauh dari kemaksiatan. Begitu juga yang lainnya: Tukijan, Hamung, Panut, dan Koyal. Karena tidak punya keterampilan dan tidak ada keinginan mengubah nasibnya (bahkan sama sekali buta ajaran agama), mau tidak mau mereka fatalis. Mereka menyerah menghadapi kehidupan. Orang-orang seperti inilah yang disebut sebagai kaum yang teralienasi. Di negara ini sangat banyak anak bangsa yang tergolong kaum yang teralienasi karena mereka miskin dan pengangguran.
***
2. Birokrasi yang Buruk dan Korupsi
Para sastrawan di negara ini secara masif juga sering menyoroti kedua hal yang membuat negara ini terpuruk: birokrasi yang buruk dan korupsi. Keduanya dapat ditemukan di banyak karya sastra Indonesia. Taufik Ismail, misalnya, seorang sastrawan Angkatan `66 yang menulis puisi-puisinya yang terhimpun dalam Malu Aku Jadi Orang Indonesia menyoroti ketimpangan negara ini yang lebih disebabkan oleh kedua hal yang disebutkan di atas. Puisi berikut ini yang diambil dari kumpulan puisi di atas membuktikan kepekaan Taufik Ismail terhadap penyakit sosial yang menghinggapi perilaku para birokrat dan pengambil kebijakan di masa orde baru. Coba disimak bait puisi berikut ini yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut.
……………………………………………………………………………………………………………………
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan, Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari, Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati, ……………………………………………………………………………………………………………………. |
Di bait-bait puisi di atas Taufik menyebutkan bahwa di negara ini terjadi kerusakan birokrasi karena terjadi perselingkuhan birokrasi. Artinya, meskipun telah ada regulasi yang mengatur masalah apapun yang berkaitan dengan birokrasi, para birokrat seenaknya mengatur birokrasi. Dalam hal ini ketika berhadapan dengan rakyat kecil yang meminta layanannya, mereka melayaninya dengan setengah hati. Bahkan, ada kecenderungan dipermainkan sehingga setiap pelayanan yang seharusnya bisa diselesaikan dalam beberapa menit saja harus menunggu berhari-hari. Tetapi, kalau berhadapan dengan pebisnis (pengusaha), mereka sangat serius melayaninya karena di balik itu semua ada sesuatu yang menguntungkan (apalagi kalau bukan fulus). Selain itu, pengusaha bisa melakukan tekanan sehingga sang pengusaha karena telah berkolaborasi dengan penguasa tertinggi di sebuah daerah (kalau perlu di negara ini) bisa saja mengancam pejabat setempat dengan ancaman pemecatan atau minimal pemutasian jika dalam pengurusan layanannya dipersulit.
Di negeri ini kata Taufik, karena saking kuatnya nepotisme, yang namanya anggota keluarga entah itu anak lelaki, anak perempuan, sepupu, dan cucu mendapat perlindungan sepenuhnya dari sang ayah, paman, atau kakek yang memiliki kekuasaan. Bukankah kehancuran negeri ini dimulai dari adanya penyakit nepotisme? Karena birokrasi ala nepotisme pula yang membikin hancur negara ini, ketika semua kebutuhan hidup yang memang difasilitasi negara ada berbagai penggelembungan biaya. Artinya, ada unsur kesengajaan manipulasi biaya yang merugikan negara. Di sisi lain, negara pun sebenarnya dirugikan oleh penyakit nepotisme ketika dari anak-anak presiden sampai dengan anak-anak dirjen diberi keistimewaan atau mereka diutamakan mendapatkan layanan birokrasi di kedutaan besar negara-negara yang dituju yang boleh jadi bagi masyarakat biasa sangat sulit memperoleh layanan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa rusaknya negara ini lebih disebabkan adanya layanan birokrasi yang buruk dan korupsi.
***
3. Perilaku Konsumtif
Kenapa pejabat baik lokal maupun pusat di negara ini melakukan korupsi? Salah satu jawabannya adalah karena semakin membudayanya perilaku konsumtif. Mereka tersihir oleh keserbagemerlapan yang terpampang ketika berjalan-jalan di pusat perbelanjaan atau mal. Boleh juga, karena sekarang semua serba digital mereka tergiur dengan berbagai tawaran yang diajukan oleh berbagai toko online. Barang-barang yang ditawarkan benar-benar menggiurkan. Selain, harganya memang relatif terkadang lebih murah daripada di toko atau mal, mereka yang malas ke luar rumah lebih memilih belanja lewat online. Tinggal ketik kode nomor barang yang ditawarkan dan transfer uang (tidak perlu ke ATM atau minimarket) lewat e-banking, terjadi transaksi. Tinggal tunggu bisa satu atau dua hari. Bahkan, tinggal tunggu beberapa saat, barang sampai ke rumah. Hidup di zaman sekarang ini manusia begitu dimanjakan dengan berbagai kemudahan bukan? Gambaran tentang budaya konsumtif bisa dilihat pada kutipan yang terdapat dalam novel Pintu Terlarang/Sekar Ayu Asmara berikut ini.
…………………………………………………………………………………………………………………………
Sepertinya tidak percuma juga ia hamburkan uang untuk krim-krim mahal. Tidak percuma juga ia habiskan waktu facial dan beauty treatment lain di La Bela Vita, salon dan spa kecantikan langganan. Talyda menyipitkan mata. Kerut-kerut di sudut mata tidak tampak. Di usia ke-25, ia paling khawatir bila garis keriput muncul. Apalagi crows feet, garis jejak kaki burung gagak yang ditinggalkan usia pada sudut mata. Ia selalu memperhatikan keriput bila berkenalan orang baru. Tidak perempuan. Salah satu resolusi Tahun Barunya adalah mencegah keriput mata timbul. Ia merapikan gaun hitam karya desainer Alexander Mc Queen yang membalut tubuh. Di edisi Vogue bulan lalu, ia melihat Catherine Zeta-Jones mengenakan gaun yang sama. Ia merasa gaun berpotongan rendah itu membuat penampilan dirinya anggun. Semakin sederhana gaun, semakin mewah kesannya. Ia menyikat rambut hitam dan panjang, memikirkan keberuntungan-keberuntungan dalam hidupnya. Semua sempurna. Dan malam ini akan sama. Ya, keberuntungan akan berpihak pada dirinya. …………………………………………………………………………………………………………………………………. Baginya dalam urusan parfum, tidak ada yang bisa mengalahkan buatan Prancis. Parfum buatan Italia terlalu keras dan mudah ditebak. Parfum buatan Amerika terlalu mengada-ada. Prancis, ya, hanya hidung Prancis mampu menghasilkan wewangian tepat. Feminin dan natural. Sempurna. Perempuan sempurna adalah perempuan wangi. Ia tak bisa sedetik pun tanpa subliminal. Dari eau de perfume yang biasa ia pakai malam hari. Eau de toilette sehari-hari. Body lotion setiap kali. Shower gel setiap mandi. …………………………………………………………………………………………………………………………. Ia memasuki walk-in-closet, memperhatikan koleksi baju tergantung. Baju tergantung harus saling berjarak lima senti. Tidak saling bersentuhan, tidak saling meninggalkan kerut. Itu baru sempurna. Ia membuka laci tumpukan baju tidur. Ia mengambil baju tidur warna merah cabe. Ia tersenyum melihat label Victoria`a Secret menempel di bulatan kerah. Baju tidur dikenakan bagai kulit kedua. ……………………………………………………………………………………………………………………….. Ia menyibak comforter pelapis tempat tidur. Ia menyelusup ke baliknya. Ia merasakan kehalusan kain sprai putih 100% Egyption cotton. Ia menenggelamkan kepala di bantal bulu angsa. Halus dan lembut. Hati sedikit terobati. Malam ini dia tidur dalam pakaian malam yang paling dibenci Gambir. ………………………………………………………………………………………………………………………….. Ia duduk santai di Chocomania, café yang terletak di dalam Century Center, pusat belanja yang paling mewah di kawasan Senayan. Semua mereka desainer dunia membuka toko mereka di pusat belanja ini. Tempat ini memang tidak seluas mal dan plaza lain di Jakarta. Tapi lebih eksklusif. Lebih upscale, karena barang-barang yang dijajakan di sini lebih mahal. Chocomania adalah café favorit Talyda. Café ini merupakan surga bagi penggemar cokelat. Semua hidangan yang disajikan terbuat dari cokelat kualitas terbaik yang diimpor dari Swiss dan Belgia. Sore ini ia memesan Chocolate Éclair untuk Menik Sasongko, dan White Chocolate Monsse untuk dirinya. ……………………………………………………………………………………………………………………………. Dikutip dari Novel Pintu Terlarang oleh Sekar Ayu Asmara. |
***
4. Disorganisasi Keluarga
Disorganisasi keluarga bukan hanya sebatas perceraian atau suami-istri tidur berpisah (pisah ranjang). Disorganisasi keluarga bisa saja entah istri atau suami yang selingkuh. Dalam novel Pintu Terlarang orang semacam Talyda memanfaatkan benar sikap Gambir, sang suami, yang memang takut sehingga melakukan pembiaran. Gambir yang takut pada istrinya (meski ia sangat mencintainya) sering diperlakukan kasar oleh istrinya. Sang istri jika tidak suka pada suaminya dengan kasar mengusir suaminya agar tidak tidur sekamar dengannya. Sebagai istri yang semestinya tunduk dan patuh pada suaminya tidak terlihat pada sikap Talyda. Sebaliknya, justru Talyda karena suaminya di bawah pengaruhnya memperlakukan suaminya seenak perutnya. Terbukti ketika suaminya salah sedikit saja, ia langsung bereaksi yang membuat suaminya benar-benar merasa bersalah. Salah satu perilaku yang diperlihatkan di sini ketika ia dengan kasar mengusir suaminya dari kamar tidurnya. Tidak cukup sampai di situ, pada saat benar-benar marah pada suaminya, dia menenggak habis anggur yang diminumnya. Inilah salah satu dari disorganisasi keluarga. Tidak harus hidup berpisah atau cerai, cukup salah seorang (entah suami atau istri) sangat berkuasa dia bisa melakukan apa saja, yaitu menyakiti pasangan hidupnya dengan perilaku kasar seperti yang diperlihatkan Talyda pada suaminya: Gambir. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada kutipan yang diambil dari novel Pintu Terlarang karya Sekar Ayu berikut ini.
……………………………………………………………………………………………………………………………….
Belahan nyawanya benci melihat dirinya memakai lingerie warna merah. Pakaian dalam warna merah terkait image perempuan nakal. Mungkin belahan nyawanya punya pengalaman demikian di masa lalu. Biasanya ia menurut. Tapi malam ini, ia tidak peduli. Ia membelai bantal di mana kepala Gambir biasa merebah. Kosong. Tidak akan ada kepala meniduri bantal malam ini. Ia akan memberi Gambir pelajaran. Gambir harus menanggung akibat. “Kalau memang ia cinta, Gambir tak akan pernah melukai perasaan saya.” Ia cinta Gambir. Ia tidak akan pernah melukai perasaan Gambir. Gambir membuka pintu memasuki kamar tidur. Ia terkejut. Pelacur berbaju merah mengambil alih bidadarinya. Matanya mencela. Kepala menggeleng. Batin berbicara. “Ke mana Talyda, bidadariku? Istriku yang sempurna. Istriku perempuan terhormat. Jawab, perempuan jalang! Ke mana istriku?” Tapi mulut terkatup. Ia tak berani melawan murka yang masih berkecamuk di hati bidadarinya. Geleng kepala Gambir mengelupas luka yang mulai sembuh. Amarah Talyda terusik kembali. “Mau apa kamu ke sini?! Saya nggak mau kamu tidur di sini malam ini! Kamu tidur di luar saja!” “Maafkan saya, saya bener-bener menyesal.” “Saya benci kamu! Kamu tidur di luar sana!” Talyda mengambil bantal, membidikkannya ke belahan nyawanya. Gambir menangkap bantal, bergegas menutup pintu. ……………………………………………………………………………………………………………………………. Bias nyala lilin putih di tengah meja menari-nari pada wajah Talyda. Nafsu makan hilang seketika. Gambir mengecewakan. Ia melihat ke pesanan belahan jiwanya. Spaghetti Il Mare, dihidangkan bertumpuk saus kepiting, udang-karang, dan cumi. Aku tak sempurna tanpamu. Kau tak sempurna tanpaku. Aku tak sempurna tanpamu. Kau tak sempurna tanpaku. Aku belahan nyawamu. Kau belahan nyawaku. Bersama kita sempurna. “Kamu kenapa nggak minta persetujuan saya dulu sih?” Talyda merasa belahan nyawanya mulai melantur, mulai semena-mena. Kesempurnaan mulai terancam. “Koh Jimmy yang maksa. Dia itu yakin banget.” Gambir serasa menyulut sumbu mercon di pemakaman. “Maksudmu, saya nggak yakin sama kamu?” Kesempurnaan mulai terancam. Harus ditindak tegas. “Bukannya begitu. Koh Jimmy bilang kamu pasti setuju.” Sumbu terus memercik. Terlambat bila dicegah. Talyda menenggak habis sisa anggur. Gambir laki-laki pilihannya, di antara banyak laki-laki yang mengejarnya. Tak satu pun mampu menyaingi. Aku tak sempurna tanpamu. Kau sempurna tanpaku. Aku belahan nyawamu. Kau belahan nyawaku. Bersama kita sempurna. Kesempurnaan kini terancam. Belahan nyawanya mengambil keputusan tanpa mengajak bicara lebih dahulu. “Gambir dengar ya. Saya ini istrimu, bukan istrinya Koh Jimmy. Kalau ada apa-apa, kamu mesti tanya dulu sama saya.” Peringatan tegas mengatasi perilaku menyimpang. Menyimpang, meninggalkan kesempurnaan. Gambir merasa restoran Antonio`s menyempit. Menyempit, menyempit, dan kian menyempit. Menyempit hingga hanya menyisakan sudut kecil. Sudut kecil dimana Gambir duduk tak berdaya. Dilanda marah pun bidadarinya tetap cantik. Cintanya kepada Talyda tak terbatas. ………………………………………………………………………………………………………………………………. Kesempurnaan bukanlah kepompong yang pasti bermetamorfosa menjadi kupu-kupu. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan. Bellevue Suites adalah boutique hotel di Jalan Tirtayasa di kawasan Kebayoran Baru. Moto “Small is exclusive” tecermin dari jumlah kamar yang hanya sepuluh. Kata “tidak bisa” tak dikenal dalam pelayanan. Semua permintaan tamu mutlak disanggupi. Privacy dinomorsatukan. Inilah sebabnya hotel ini kemudian menjadi tempat favorit bagi pasangan berselingkuh. Tidak akan pernah ada yang melihat, tidak akan pernah ada yang mengetahui. Di kamar nomor delapan, Talyda mengenakan kembali gaun hitam rancangan Donna Karan. Dari bibir tempat tidur, lamunan melayang ke masa lalu. Ia teringat pertama kali mengenal seks. ……………………………………………………………………………………………………… Pandangan dilayangkan pada tubuh telungkup di tempat tidur. Tubuh telanjang tak bernama. Tubuh telanjang tak beralamat. Meraka tadi bertukar pandang pada laju kecepatan seratus kilometer. Mereka bertukar senyum ketika berhenti di lampu merah. Tubuh tak bernama mengikuti hingga ke kamar nomor delapan. Semalaman, mereka berdua berbagi cinta. Singa betina menaklukkan raja belantara. Beban tak hinggap pada hati nurani Talyda. Bercinta dengan pasangan tak dikenal menjadikan semuanya lebih mudah. Tidak akan ada yang menuntut. Tidak akan ada yang disakiti. …………………………………………………………………………………………………………………………….. Talylda membenci kata selingkuh. Ia marah bila perbuatannya dikategorikan sebagai perselingkuhan. Baginya berselingkuh adalah ketika seseorang yang telah berpasangan memberikan hati kepada orang lain. Mencintai atau jatuh cinta kepada orang lain. Sementara, dirinya tidak demikian. Ia tetap mencintai Gambir. Cintanya tetap milik Gambir seorang. Petualangan badaniah dengan laki-laki lain hanyalah upaya meyakinkan dirinya bahwa Gambir suami paling tepat. Suami yang sempurna. Petualangan memperkuat cinta kepada belahan nyawanya. Semua yang dilakukan sifatnya hanya fisik belaka. Boleh secara fisik ia dicicipi banyak orang, tapi cintanya tetap milik Gambir seorang. Tangannya mencemplungkan korek api ke dalam stoples. Stoples sudah tiga perempat terisi berbagai macam korek api. Ia memiliki kebiasaan baru, mengoleksi korek api dari hotel-hotel di mana ia menginap. Setiap petualangan ditandai bukti satu korek baru. Dikutip dari Novel Pintu Terlarang/Sekar Ayu Asmara |
***
Meskipun hanya menampilkan beberapa kutipan seperti terurai di atas, TOKOH KITA berharap pembaca bisa memahami konsep fenomena sosial atau yang dibahasakan oleh TOKOH KITA dengan masalah sosial. Masalah sosial yang dijadikan inspirasi oleh TOKOH KITA dalam pengembangan tulisannya dilakukan dengan memasukkan contoh-contoh yang terdapat dalam karya-karya sastra Indonesia. Ternyata, dengan memasukkan kutipan-kutipan yang terdapat, baik dalam puisi, novel, maupun naskah drama pembacanya bisa memahaminya bahwa fenomena sosial juga bisa ditemukan dalam karya-karya sastra Indonesia. Dalam hal ini, TOKOH KITA mengajak pada pembacanya agar mengakrabi karya-karya sastra Indonesia (kalau perlu juga karya-karya sastra dunia) karena hanya dengan mengakrabinya pembacanya dengan mudah bisa menemukan sekian banyak fenomena sosial yang ada di sekitar pembaca. Dengan demikian, melalui membaca dan menikmati karya-karya sastra pembacanya bisa memperluas wawasan keilmuannya terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial.