Subagio S. Waluyo
Seorang teman TOKOH KITA yang sengaja tidak disebutkan namanya di sini pernah menyampaikan kalau orang yang kerap menulis akan menemukan atau menciptakan konsep. TOKOH KITA turut mengamininya. Meskipun demikian TOKOH KITA diam-diam mencoba menelusuri semua tulisan yang pernah dimuat di website atau blogspot-nya. Bahkan, tulisan-tulisannya yang telah dibukukannya juga tidak luput dari penelusurannya. Ternyata, memang terbukti orang yang kerap menulis mau tidak mau juga akan menemukan atau menciptakan konsep. Di sini TOKOH KITA mencoba memaparkan contoh-contoh tulisannya yang memang ditemukan adanya penemuan konsep atau penciptaan konsep.
***
Contoh tulisan pertama yang TOKOH KITA temukan adalah tulisan dengan judul “Berkisah tentang Meok”. Tulisan ini dimuat di website/blogspot-nya pada tanggal 1 Juni 2020. Tulisan ini juga telah dimasukkan ke dalam bukunya Kota Gigantisme:Produksi Bangsa Berperilaku Degil (2022:309-318). Tulisan dimulai dari temuan TOKOH KITA ketika di masa sekolahnya dulu menemukan sebuah grafiti yang menarik perhatiannya. Grafiti itu bertuliskan: `MEOK`. Tulisan itu membuat penasaran sehingga dengan berbagai cara TOKOH KITA berupaya menemukannya. Tulisan `MEOK` itu baru bisa ditemukan TOKOH KITA beberapa tahun kemudian di salah satu majalah terbitan Pusat Bahasa. Ternyata, kata `MEOK` itu merupakan sebuah akronim yang kepanjangannya adalah `makan enak ogah kerja`. TOKOH KITA langsung bisa menyimpulkan bahwa kata tersebut bersinonim dengan `hedonis` atau bisa juga `hedonisme` kalau berkaitan dengan alirannya. Nah, di sini TOKOH KITA bisa mempopulerkan kata yang berasal dari grafiti itu menjadi pengganti kata `hedonis` atau `hedonisme`. Berikut ini bisa dilihat tulisan TOKOH KITA yang membahas tentang grafiti tersebut walaupun hanya petikan ringkasnya.
……………………………………………………………………………………………………………………………….
Orang `hedonis` atau “MEOK” adalah orang yang lebih mengedepankan tangan di bawah daripada tangan di atas. Tipe peminta-minta karena tuntutan konsumeristis daripada orang yang tergolong pemurah karena suka memberi. Tipe manusia seperti ini adalah tipe yang tidak mau susah. Kalau perlu menghindari kesusahan atau penderitaan sekalipun karena hidup ini harus diisi dengan kesenangan dan kenikmatan bukan kesusahan dan penderitaan. Tipe manusia seperti ini adalah tipe orang yang tidak bisa memberi manfaat buat orang lain. Sebaliknya, dia menjadi jenis manusia yang selalu memanfaatkan kebaikan orang lain. Karena tidak bisa memberi manfaat buat orang lain, orang “MEOK” tidak memiliki rasa peduli. Ia lebih mementingkan diri sendiri. Ia tidak mau tahu kalau ada orang di sekitarnya meminta uluran tangan atau belas kasihannya. Ia cenderung bikin orang susah. Jadi, orang “MEOK” merupakan orang bermasalah yang bisa dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang berpenyakit sosial. Orang “MEOK” karena ada kecenderungan untuk memperoleh sesuatu tanpa kerja keras, ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kenikmatan sesaat. Di bidang politik orang-orang “MEOK” akan mempraktekkan cara-cara Nicolo Machiavelli untuk mendapatkan kekuasaan. Salah satu cara ajaran Nicolo Machiavelli yang dinilai tidak bermoral adalah untuk mendapatkan kekuasaan seseorang bisa melakukan apa saja, termasuk ke dalamnya melakukan cara-cara baik halus maupun kasar. Kalau perlu untuk mendapatkan kekuasaan sah-sah saja orang tersebut membunuh lawan politiknya. Kalau di negara ini, misalnya, dari pemilu ke pemilu atau pilkada ke pilkada selalu ada saja keributan, pasti faktor penyebabnya lebih disulut orang-orang yang tidak puas dengan hasil pemilu atau pilkada karena dianggap ada kecurangan. Unsur kecurangan tersebut jika ditelusuri lebih jauh lagi faktor penyebabnya karena masih dipraktekkannya cara-cara ala Nicolo Machiavelli, yaitu melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Itu baru di bidang politik. Bagaimana di bidang-bidang lainnya? |
***
Selain sebuah akronim yang bersinonim dengan kata `hedonis` dan `hedonisme`, TOKOH KITA juga mencoba memperkenalkan frasa (bisa juga istilah) baru, yaitu `kota anak-anak alfa`. Frasa atau istilah itu juga dijadikan judul tulisan yang diposting, baik di website maupun blogspot TOKOH KITA. Sama dengan tulisan dengan judul “Berkisah tentang Meok” tulisan tersebut juga telah dimasukkan ke dalam bukunya: Kota Gigantisme:Produksi Bangsa Berperilaku Degil (2022:104-116). Tulisan yang berawal dari keresahan TOKOH KITA ketika melihat anak-anak yang lahir di awal abad 21 ini, tepatnya tahun 2010 ke atas. TOKOH KITA resah karena anak-anak (yang belakangan disebut sebagai generasi alfa) cenderung pragmatis materialistik. Bisa juga disebut anak-anak yang lebih akrab dengan dunia digital sehingga ada kecenderungan anak-anak alfa lebih menunjukkan sikap individualisnya. Sementara anak-anak terdahulu lebih menunjukkan kebersamaan, kejujuran, kekuatan fisik, dan kecekatan. Semua itu telah mengalami pergeseran. Pergeseran itulah yang menyebabkan adanya rasa kekhawatiran di benak TOKOH KITA: `jangan-jangan anak-anak alfa menjadi anak-anak yang menderita penyakit sosiopat atau antisosial`. Kalau itu terjadi di banyak kota, tidak mustahil kota-kota di negara ini akan menjadi `kota anak-anak alfa`. Bagaimana mengantisipasinya? TOKOH KITA mengusulkan agar di setiap kota disediakan ruang publik atau ruang terbuka hijau (RTH). Di RTH itu nantinya bisa dihidupkan kembali ruang buat anak-anak untuk mengekspresikan dirinya. Salah satu sarana untuk mengekspresikan diri adalah melalui permainan tradisional. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam kutipan tulisan berjudul “Kota Anak-Anak Alfa”.
………………………………………………………………………………………………………………………………..
Di awal abad 21 ini (tepatnya tahun 2010 dan seterusnya) muncul anak-anak yang dikenal dengan istilah anak-anak `generasi alfa`. Bagaimana permainan anak-anak anak-anak `generasi Alfa`? Istilah anak-anak `generasi alfa` merupakan julukan yang pertama kali diorbitkan dalam tabloid Nova, 22 September 2015 yang mengutip pendapat Mark Mc Crindle. Dimaksudkan dengan `generasi alfa` atau `generasi broadband` atau mobile ialah generasi keturunan awal generasi Y dan terakhir generasi X. Ada orang yang memprediksikan bahwa `generasi alfa` diprediksi adalah orang-orang ekspresif dan hitec karena lahir dan berada di era informasi. Bahkan, anak-anak `generasi alfa` diprediksi lebih pragmatis materialistik karena dibesarkan di era kemajuan teknologi. Mereka juga berpikir dengan sangat praktis, kurang memperhatikan nilai-nilai, lebih egois. Selain itu, anak-anak `generasi alfa` cenderung memiliki berat badan berlebih karena hidup di era menjamurnya makanan cepat saji dan junk food. Karena anak-anak `generasi alfa` lahir di era informasi, jenis permainannya juga berbeda dengan generasi terdahulu (apalagi generasi saya yang lahir di penghujung tahun `50-an). Anak-anak sekarang (`generasi alfa`) ketika disetelkan lagu-lagu MP3 dari smartphone kepalanya bergerak-gerak seakan mengikuti irama. Kalau tayangan video dari Youtube dimatikan, ia menjerit seolah tak rela. Permainan anak-anak `generasi alfa` ini menggunakan teknologi layar sentuh atau disapu dengan jari baik itu berupa gadget maupun notebook atau laptop sehingga anak-anak `generasi alfa` dalam permainannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan lebih bersifat individual. Kemajuan teknologi yang demikian pesat telah mempengaruhi gaya hidup anak-anak `generasi alfa`. Gaya hidup `generasi alfa` lebih pragmatis materialistis. Anak-anak yang terdahulu (before) dalam permainan lebih mengutamakan kebersamaan. Ada kejujuran, kebersamaan, kecekatan, kelincahan, kekuatan fisik, kreativitas, dan yang paling penting, yaitu adanya toleransi. Bagaimana dengan anak-anak `generasi alfa` (today)? Mereka masing-masing asyik dengan gadget-nya yang tinggal menggeser tampilan-tampilan di layar gadget dengan telunjuknya. Tidak dibutuhkan fisik. Tidak ada kecekatan. Tidak ada kontak fisik. Lebih menunjukkan sikap individualisnya. Tanpa disadari generasi ini tidak punya toleransi. Tidak punya kepedulian karena mereka lebih mengedepankan sifat egosentrisnya. Tidak mustahil `generasi alfa` akan menderita penyakit anti sosial atau bisa juga sosiopat. Anak-anak kota `generasi alfa` memang banyak juga yang berprestasi akademik. Angka-angka rapot atau ijazahnya memuaskan bahkan tinggi-tinggi. Tetapi ada yang terlupakan, mereka sebagai makhluk ciptaan Tuhan telah tidak lagi memiliki kecerdasan emosional dan spiritual sehingga banyak di antara mereka yang cepat putus asa. Mereka tidak memiliki toleransi dan kepedulian pada sesama. Banyak di antara mereka yang menderita penyakit psikopat atau sosiopat. Apakah kalau nanti banyak di antara mereka yang menderita penyakit psikopat atau sosiopat akan didiamkan saja? *** Anak-anak kota alfa yang bermain di jalan raya merupakan korban kebijakan pemerintah yang cenderung neoliberalisme. Wajar-wajar saja kalau kota-kota kita tidak memiliki visi masa depan yang jelas terutama dalam menghadapi globalisasi. Juga wajar-wajar saja jika penguasa negeri ini atau penguasa-penguasa daerahnya tidak peduli mau dibawa ke mana nasib anak bangsa ini. Pemerintah baik pusat maupun daerah kurang bahkan tidak proaktif mengantisipasi proses globalisasi dengan melindungi warganya dari pengaruh negatif. Pemerintah lebih cenderung memikirkan pembangunan fasilitas perkantoran atau kawasan industri baru ketimbang membangun fasilitas untuk beraktivitas dan berkreativitas buat warganya. Tidak terpikir buat mereka untuk membangun ruang publik untuk tempat bermain anak-anak warga kotanya. Hal itu terjadi karena karena kebijakan apapun yang dilakukan pemerintah daerah adalah hasil rembukan antara sejumlah kecil pejabat dan pengusaha berpengaruh (Kota Tanpa Warga oleh Jos Santoso, 2006:51). Jadi, saking tidak adanya fasilitas anak-anak kota alfa untuk bermain, akhirnya mereka bermain di jalan raya. |
***
Dekat dengan tulisan“Kota Anak-Anak Alfa” adalah tulisan dengan judul “Kota Gigantisme”. Judul tulisan yang juga dijadikan istilah buat kota yang tampaknya gagah tapi keropos ini lebih merupakan kelanjutan dari tulisan terdahulu: “Kota Anak-Anak Alfa”. Karena merupakan sebuah kelanjutan dari tulisan sebelumnya, TOKOH KITA sengaja memasukkan beberapa bagian kalimat yang terdapat dalam “Kota Anak-Anak Alfa.” Kalau dalam tulisan yang terdapat di “Kota Anak-Anak Alfa” TOKOH KITA menyarankan agar di setiap kota disediakan ruang terbuka buat tempat bermain anak-anak, di “Kota Gigantisme” TOKOH KITA bukan hanya menyarankan supaya pemerintah kota menyediakan RTH tapi juga pemerintah kotanya harus bisa terlepas dari mekanisme pasar. Artinya, pemerintah kota harus bisa terlepas dari cengkeraman para pengusaha karena mereka (para pengusaha) yang berjiwa kapitalis akan menjadikan pemerintah kota sebagai `sapi perahnya`. Ini terutama para penguasa yang berhutang budi pada pengusaha. Bagaimana kalau pemerintah kota menjadi sapi perah pengusaha? Mereka (para penguasa) akan banyak diatur oleh pengusaha. Dengan demikian, mereka tidak memiliki kemandirian sehingga pembangunan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan rakyat tidak akan pernah tercapai. Untuk lebih jelasnya, silakan disimak petikan tulisan berikut ini.
……………………………………………………………………………………………………………………………..
Kota-kota di negara ini sudah menjadi kota khusus untuk anak-anak `generasi milenial` yang dicirikan seperti yang telah diuraikan di atas. Kota-kota di negara ini telah tergerus oleh arus globalisasi. Banyak pemerintah kota di negara ini yang sangat minim menyediakan taman-taman khusus bermain anak-anak. Akibatnya, anak-anak kabur ke tempat-tempat play station atau game online yang cenderung menjadikan anak ke depannya sosiopat karena boleh jadi jenis-jenis permainan tersebut mempengaruhi perilaku anak yang menjurus pada perilaku antisosial. Jalan-jalan lingkungan di tempat-tempat tinggal penduduk kota dimanfaatkan anak-anak untuk bermain. Tetapi, kondisi tempat seperti itu jelas tidak aman karena tempat lalu lalang kendaraan bermotor. Agar mereka tidak melakukan aktivitas di luar rumah, para orang tua mengambil jalan pintas, yaitu melarang anaknya bermain. Sebagai gantinya berikan mainan buatan pabrik atau gadget, ipad, atau notebook karena yang penting anak sambil bermain bisa duduk manis walaupun berjam-jam anak-anak malang ini harus memelototi layar monitor. Kota yang sehat adalah kota yang memiliki daya dukung yang sehat bagi warganya. Untuk itu, kota yang sehat memiliki indikator standar kenyamanan. Selain itu, juga memiliki manajemen perkotaan yang mampu menjaga keutuhan kawasan per kawasan. Artinya, kota yang nyaman harus memiliki keberpihakan pada kelestarian lingkungan dengan menyediakan sekurang-kurangnya yang disebutkan di atas, yaitu tiga puluh persen luas lahan kotanya untuk RTH. Sebagai tambahan, kota yang nyaman harus memiliki institusi khusus yang dapat memobilisasi sumber-sumber pembangunan pemukiman dan perkotaan yang berkelanjutan dan sampai batas tertentu harus terlepas dari mekanisme pasar (Mengendalikan Masa Depan/Afthonul Afif, 2015:69). Apakah mungkin pembangunan perkotaan di Indonesia bisa terlepas dari mekanisme pasar kalau masih saja pemerintah ini sangat tergantung pada bantuan luar yang dalam hal ini lembaga-lembaga internasional? Menjawab pertanyaan di atas tampaknya bagi negara ini sulit untuk berlepas diri dari cengkeraman lembaga-lembaga internasional yang sudah terlanjur banyak mengucurkan dana pinjamannya ke negara ini. Jangankan lembaga-lembaga internasional, penguasa-penguasa di daerah pun juga sulit melepaskan diri dari cengkeraman pengusaha-pengusaha yang telah begitu banyak mengeluarkan dana agar penguasa yang dijadikan sapi perahnya layak menjadi penguasa daerahnya. Penguasa-penguasa yang telah terkooptasi oleh para pengusaha tidak mungkin lepas dari jeratnya. Mereka akan banyak diatur oleh para pengusaha termasuk mengatur masalah tata ruang kota atau daerahnya. Kalau sudah banyak diatur, jangan heran kota-kota kita hanya menjadi kota-kota yang tampaknya megah, gagah, tapi sebenarnya keropos. Kota-kota itu telah menjadi kota gigantis. Nasibnya lebih kurang sama dengan nasib bangsa ini ketika di masa orde baru kelihatan banyak berhasil dalam melaksanakan pembangunan, tetapi begitu terjadi Krisis Moneter 1997-1998 ternyata negara ini menyisakan utang luar negeri demikian besar. Kota-kota dan daerah-daerah yang penguasanya dikooptasi pengusaha siap-siap saja dia akan menyerah di bawah kendali sang pengusaha. Tanpa kita sadari, kota-kota kita telah menjadi kota-kota gigantisme. Kota-kota yang tampak gagah tapi keropos. Salah satu contoh kota di dunia yang nyaris mengalami kebangkrutan adalah Kota Detroit, Amerika Serikat. Kota ini konon kabarnya sudah seperti kota mati dengan dicirikan oleh tingkat kriminalitas yang tinggi, terlilit utang yang menumpuk, penegakan hukum yang bermasalah, rusaknya pemukiman, dan sampah yang menumpuk. Kota-kota di Indonesia juga berpotensi mengarah ke sana. Direktur Eksekutif Komite Pelaksana Pemantau Otonomi Daerah (KPPOD) menengarai ada sekitar 291 wilayah baik kota maupun kabupaten di Indonesia yang nyaris mengalami kebangkrutan karena pemerintah daerah (pemda) cenderung boros atau tidak bisa mengelola keuangannya. APBD sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai. Minim sekali dari APBD yang digelontorkan ke kota dan kabupaten digunakan untuk pembangunan. Hal ini bisa terjadi karena pemda kurang inovatif atau tidak memiliki jiwa wirausaha. Selain itu, pemerintah pusat, dalam hal ini mendagri, kurang melakukan pengawasan. Mustahil untuk kota atau kabapaten yang belum bisa melakukan terobosan seperti yang dilakukan Walikota Sawahlunto bisa mewujudkan kota yang nyaman dan aman untuk warganya. |
***
Di Masa Orde Baru, pemerintah yang berkuasa pada waktu itu berupaya agar PKI tidak muncul lagi. Untuk itu, seperti terlihat pada gambar di atas, pemerintah Orde Baru melakukan bersih-bersih lingkungan di antaranya semua anggota dan simpatisan PKI dibersihkan. Banyak di antara mereka yang dikirim ke Pulau Buru. Bukan itu saja, KTP para mantan tahanan politik (tapol) PKI juga diberi tanda ET (Eks Tapol). Yang lebih memprihatinkan lagi, anak-anak keturunan PKI dilarang menjadi TNI dan PNS sehingga dilakukan screening yang ketat pada mereka. Agar benar-benar mereka-mereka yang akan menuntut ilmu dan melamar pekerjaan bersih dari PKI, Pemerintah Orde Baru juga menerapkan pemberlakuan surat Bebas G30S dan melampirkan surat pernyataan `bersih diri` dan `bersih lingkungan.` TOKOH KITA termasuk orang yang pernah mengalami masa-masa itu. Wajar-wajar saja kalau TOKOH KITA melabeli kebijakan tersebut dengan `Manajemen Bersih Lingkungan`. Ya, kebijakan tersebut sudah tepat disebut seperti itu. Bukankah memang rezim yang berkuasa pada waktu itu menghendaki bersih-bersih sebagaimana tercantum dalam gambar di atas: `Bersih-Bersih Gaya Orde Baru?`. Tentang kebijakan tersebut yang sempat menuai protes dari masyarakat setelah Orde Baru tumbang bisa dilihat pada petikan-petikan tulisan berikut ini.
……………………………………………………………………………………………………………………………….
Wakil rakyat simbolis yang lebih mengutamakan aspirasi politik tidak bisa diharapkan bisa mempertahankan sistem desentralisasi yang saat ini kita anut dan terapkan di negara ini. Sistem sentralisasi kekuasan akan diberlakukan lagi. Dengan sendirinya, tentu saja otonomi daerah juga lambat-laun akan dihapus. Kalau otonomi daerah sudah tidak ada lagi, jangan diharapkan ada daerah yang benar-benar bisa melakukan inovasi daerah. Dengan kata lain, akan terjadi juga kematian kreativitas. Semua daerah akan dibuat seragam dalam melakukan apapun. Jadi, tidak boleh ada daerah yang berprestasi misalnya dalam hal pelayanan publik. Anggota dewan yang ada cenderung seperti diuraikan di atas menjadi penurut dan dihindari adanya oposisi. Oposisi buat pemerintah yang berkuasa sah-sah saja kalau dianggap sebagai penghalang atau radikal. Tidak mustahil mereka yang dianggap oposisi tidak bersih lingkungan. Akhirnya, cara-cara orde baru agar orang benar-benar bersih lingkungan dilakukan screening atau akan habis-habisan diinterogasi. Orang yang di-screening mau salah atau tidak salah harus masuk Rumah Tahanan Militer (RTM). ………………………………………………………………………………………………………………………………… Kita tidak menginginkan kembalinya kebijakan yang berkaitan dengan dwi fungsi ABRI di negara ini. Dari petikan cerpen di atas kita sudah melihat ternyata tidak menjamin dwi fungsi ABRI itu bisa menstabilkan negara. Terbukti, banyak anak bangsa yang merasa tidak nyaman dengan penempatan anggota ABRI di instasi-instansi atau perusahaan-perusahaan. Di samping selalu berlindung di balik konsep bersih lingkungan, mereka juga masih berperilaku `aji mumpung`. Hal itu terbukti banyak juga anggota ABRI yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan atau instansi-instansi pemerintah yang berkongkalikong dengan para konglomerat. Para konglomerat atau importir `nakal` yang mempunyai kepentingan selalu menggunakan ABRI sebagai alatnya sehingga mereka dengan amannya bisa `mengemplang` anggaran. Praktek-praktek seperti itu jelas merugikan negara. Kalau memang sudah seperti itu, jangan lagi negara ini memberlakukan kebijakan yang jelas-jelas salah. Jadi, tidak usah lagi ada dwi fungsi ABRI. Biarkan saja ABRI seperti sekarang ini cukup berperan dalam mempertahankan negara dari gangguan luar. Bukankah kita sekarang ini juga sudah mulai ada rongrongan dari para nelayan Cina yang sudah mulai bermain-main di Natuna? |
***
Di luar uraian di atas, ada tulisan menarik yang juga menjadi konsep baru dalam pembelajaran kebudayaan, yaitu tulisan berjudul “Ide—Aktivitas—Produk—Ide.” Sama dengan yang di atas, tulisan tersebut juga dimuat di tempat yang sama dan di buku yang sama. Di tulisan tersebut TOKOH KITA mengajukan konsep baru bahwa wujud sebuah kebudayaan selalu dimulai dengan Ide. Ide (gagasan) itu harus diimplementasikan dengan Aktivitas. Dari Aktivitas akan mempunyai hasil (Produk). Setiap Produk tentu saja akan dievaluasi. Dari hasil evaluasi tersebut (karena dipastikan akan muncul masalah) akan ada Ide baru dan seterusnya. Begitulah wujud dari sebuah kebudayaan selalu merupakan sebuah segi tiga yang dimulai dari Ide dan berakhir di Ide sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini.
Bisa juga tulisan dengan “Budaya Copy Paste” menjadi sebuah konsep sebagai pengganti kebiasaan bangsa ini yang kerap melakukan plagiat. Plagiat yang dilakukan anak bangsa ini yang tergolong terdidik apa lagi kalau bukan mengambil hasil karya orang lain dengan cara meng-copy. Kemudian tulisan itu di-paste (dilekatkan) sehingga kerja mereka ini bisa disebut copy paste. Kalau itu sudah menjadi kebiasan, bisa saja dimasukkan dalam budaya copy paste. Boleh jadi banyak orang yang tidak setuju dengan dilekatkannya kata ` budaya` di depan `copy paste` karena kata `budaya` punya nilai-nilai luhur. Kata `budaya` bukankah lebih mencerminkan makna hasil budidaya manusia. Karena merupakan hasil budidaya yang paling tidak sedikitnya bermuatan etis, mau tidak mau budaya itu harus dilekatkan pada hal-hal yang lebih bersifat positif bukan negatif seperti `copy paste.` Argumen itu boleh-boleh saja dibenarkan walaupun juga banyak orang yang menyebut `korupsi` yang telah menggurita sebagai `budaya korupsi.` Boleh jadi telah terjadi adanya pergeseran penggunan kata `budaya` mengingat dalam kebudayaan juga tidak sedikit bermuatan negatif (terutama dalam bidang kesenian).
***
Semua yang diuraikan di atas lebih merupakan konsep yang dikaitkan dengan judul tulisan. Artinya, setiap judul yang terdapat di tulisan merupakan sebuah konsep temuan TOKOH KITA. Sebenarnya kalau mau diteliti lebih jauh di setiap tulisan juga banyak tersebar konsep yang dikemukakan TOKOH KITA. TOKOH KITA dalam kesempatan ini mempersilakan setiap pembaca untuk menelusurinya. Dengan cara demikian, pembaca juga bisa memperkaya pembendaharaan kosa kata dari hasil temuannya. Bukankah dengan cara seperti itu TOKOH KITA mengajak pembacanya untuk melakukan penelitian kepustakaan?
Sumber Gambar:
- (https://mommiesdaily.com/2018/05/09/5-fakta-tentang-generasi-alfa-yang-perlu-diketahui-para-orangtua)
- (https://subagiowaluyo.com/manajemen-bersih-lingkungan/)