Subagio S. Waluyo

 

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu

dari kefakiran, kekufuran,

 kefasikan, kedurhakaan, kemunafikan,

sum`ah  dan riya`

 

BUNGLON

 

Melayang gagah, meluncur rampis,

menentang tenang, ‘alam samadi,

Tiada sadar marabahaya:

Alam semesta memberi senjata.

 

Selayang terbang ke rumpun bambu,

Pindah meluncur ke padi masak,

Bermain mesra di balik dahan,

Tiada satu dapat mengganggu.

 

Akh, sungguh puas berwarna aneka,

Gampang menyamar mudah menjelma,

Asalkan diri menurut suasana.

O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara,

Biar lahirku diancam derita,

Tidak daku sudi serupa.

 

(S.M. Ashar, Gema Tanah Air, 1951)

(http://katatugasku.blogspot.com)

Melihat perilaku makhluk ciptaan Tuhan bernama bunglon seolah-olah oleh sebagian masyarakat kita binatang jenis itu dijadikan sebagai tersangka. Binatang yang bisa berubah-ubah warnanya itu kerap dijadikan analogi buat perilaku manusia yang bermuka dua (standar ganda) yang menyebabkan bunglon jadi tersangka. Padahal kita tahu Tuhan menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya tidak ada yang sia-sia. Tuhan ciptakan bunglon bukan bertujuan untuk menipu manusia. Memang, banyak orang yang tertipu oleh bunglon tapi sang bunglon tidak ada keinginan menipu kita. Perangkat yang Tuhan berikan yang menjadikan bunglon bisa berubah-ubah warnanya. Bukankah kata S.M. Ashar penulis puisi Bunglon di atas menyebutnya `Alam semesta memberi senjata’? Karena alam semesta memberi senjata, wajar-wajar saja jika sang bunglon selalu terselamatkan oleh alam semesta yang turut mengubah warna kulitnya ketika dia hinggap di sembarang tempat.

          Bunglon yang demikian mudah mengubah warna kulitnya tidak ada tujuan menipu makhluk sekitarnya. Semua itu lebih merupakan kehendak Tuhan yang  menciptakan makhluk alit dan lemah seperti bunglon supaya bisa menyelamatkan diri jika ada bahaya yang mengancam dirinya. Kias yang ditujukan pada manusia yang berstandar ganda sehingga mudah melakukan penyamaran yang disamakan dengan bunglon bukan berarti bunglon sebagai tersangka, tapi hanya sebatas kias sama seperti permisalan orang yang berjalan lambat dikiaskan seperti siput. Jadi, membuat permisalan tidak ada maksud menjadikan makhluk Tuhan sebagai tersangka. Dengan adanya permisalan justeru menyadarkan manusia agar tidak melakukan penyamaran agar niat buruknya tidak diketahui orang lain. Untuk itu, S.M. Ashar berpesan pada orang lain (terutama pembaca puisinya) agar tidak berperilaku seperti bunglon.

……………………………………….

O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara,

Biar lahirku diancam derita,

Tidak daku sudi serupa.

Di bagian akhir puisinya, S.M. Ashar berdo`a pada Sang Khaliq agar tidak berperilaku seperti bunglon meskipun dia harus menghadapi kehidupan yang serba sulit. Bukankah kehidupan yang serba sulit menyebabkan manusia berperilaku seperti bunglon karena mereka melakukan cara-cara yang ilegal untuk melakukan segala cara? Agar niat buruknya tercapai tentu saja mereka melakukan penyamaran atau terpaksa menerapkan standar ganda atau bermuka dua. Orang jenis inilah yang disebut hipokrit atau munafik.

          Dalam kehidupan berpolitik cara-cara hipokrit kerap dilakukan para politikus. Praktek-praktek politik yang terbilang kotor karena diwarnai oleh perilaku hipokrit bukankah memang telah diajarkan oleh Nicollo Machiavelli? Niccolo Maciavelli menulis dalam bukunya II Principe di Bab 19:

 “Penguasa”, yaitu pimpinan negara, haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil dan singa. Ia harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala. Jadi, jelaslah bahwa raja atau pimpinan negara harus memiliki sifat-sifat cerdik pandai dan licin seibarat seekor kancil, akan tetapi harus pula memiliki sifat-sifat yang kejam dan tangan besi seibarat singa.

 (http://rizkie-library.blogspot.com/2016/01/pemikiran-machiavelli-ten-tang-politik.html ).

Pendapat Nicollo Machiavelli bahwa penguasa harus memiliki sifat-sifat kancil dan singa itu sudah mengarah pada perilaku hipokrit. Satu sisi sang penguasa harus memiliki kecerdikan dan kelicikan.Di sisi lain sang penguasa juga harus bertindak keji dan kalau perlu menggunakan tangan besi. Dengan demikian, para politikus yang mempraktekkan cara kerja Nicollo Machiavelli agar tidak terlacak strategi politiknya yang terbilang kotor menyamar seperti bunglon. Dengan cara menyamar menjadi bunglon mereka bisa merebut kekuasaan sebagaimana digambarkan pada puisi “Bunglon” berikut ini.

BUNGLON

                                                 Beni Guntarman

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

pada warna siapa yang berkuasa ia ‘kan menyesuaikan warna diri

lincah berkelebat dari dahan ke dahan, dari periode ke periode kekuasaan

terus menjadi ekor, dan kerap bermimpi menjadi sang pelopor

meski hakikat diri hanyalah alat kekuasaan yang kotor

 

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

kokoh berlindung dalam warna-warni hiruk-pikuk percaturan politik

diam-diam merasa bosan pada keangkuhan kayu dan dedaunan

coba berjuang menjadi pelopor perubahan

memaksakan warna kehendak diri pada pohon besar di pelataran singgasana

namun kayu tetaplah kayu, daun tetaplah daun yang selalu menghijau

tak sudi menjadi pengikut bunglon

 

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

dunia dalam satu warna yang ada di benaknya

ketika berhadapan dengan tantangan kehidupan nyata

bunglon selalu kehilangan ekornya!

(http://www.jendelasastra.com/karya/puisi/bunglon)

Penguasa hipokrit yang berperilaku seperti bunglon kerap melakukan cara-cara penyamaran. Mereka cenderung melakukan standar ganda. Sikap yang ditunjukkan cenderung mencla-mencle alias `tidak bisa dipegang` omongannya sehingga sering menimbulkan multitafsir bagi lawan bicaranya. Dalam kondisi apapun politikus jenis ini selalu survive. Mereka bisa eksis di manapun meski di sebuah negara terjadi perubahan kekuasaan. Di Indonesia, misalnya, di masa Orde Baru mereka eksis. Di Masa Reformasi pun demikian. Mereka-mereka ini walaupun sudah di alam baka (meninggal) tetap saja muncul generasi penerus (regenerasi) yang meneruskan tongkat estafeta kepemimpinannya. Namanya  juga generasi penerus mereka juga berperilaku sama, yaitu akan mempraktekkan cara-cara kerja sang pendahulunya apalagi kalau bukan cara kerja orang-orang hipokrit.

          Di negara manapun kalau masih bercokol politikus-politikus hipokrit negara tersebut tidak akan bisa  menegakkan demokrasi. Berbicara tentang masalah demokrasi, bukankah memang di negara yang mengaku paling demokratis pun telah mencampakkan demokrasi? Coba disimak curhat Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt tentang matinya demokrasi di negaranya, Amerika Serikat:

Ya. Kami khawatir. Para politikus Amerika Serikat sekarang memperlakukan pesaing sebagai musuh, mengintimidasi pers bebas, dan mengancam akan menolak hasil pemilihan umum. Mereka mencoba melemahkan kelembagaan pelindung demokrasi kami, termasuk pengadilan, badan intelejen, dan kantor etika. Boleh jadi Amerika Serikat tak sendirian. Para ahli makin mencemaskan demokrasi yang barangkali mendapat ancaman di seluruh dunia-bahkan di tempat-tempat di mana keberadaannya sudah lama dianggap biasa.”

(Bagaimana Demokrasi Mati, 2019:viii)

Di bagian lain di buku yang sama kedua penulis itu menulis bahwa pelanggaran norma terbesar yang dilakukan Donald Trump selaku Presiden Amerika Serikat adalah berbohong. Perilaku berbohong bukan saja dilakukan ketika di masa-masa kampanyenya tetapi juga tetap berlanjut di masa pemerintahannya. Bagi Trump seorang presiden harus berkata jujur itu bukan tergolong kontroversial (hlm. 172). Jadi, dalam kehidupan politik di negara-negara yang mengaku paling demokratis pun, seperti Amerika Serikat, ternyata melakukan cara-cara yang mengarah pada penghancuran demokrasi. Tidak usah heran jika negara-negara yang menjadi pengekornya pun melakukan cara-cara yang sama karena gurunya sendiri juga melakukan hal yang sama. Meskipun demikian,  Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengingatkan:

“Norma-norma adalah pagar lembut demokrasi, kalau pagarnya rusak, kisaran perilaku politik yang bisa diterima melebar, memunculkan wacana dan aksi yang dapat mengancam demokrasi. Perilaku yang pernah dianggap tak terpikirkan di perpolitikan Amerika mulai biasa terjadi. Kalau Donald Trump tidak menabrak pagar keras demokrasi konstitusional Amerika Serikat, dia telah meningkatkan kemungkinan bahwa seorang presiden masa depan akan  melakukan itu.”

(hlm. 177)

Amerika bersyukur karena masih ada orang seperti Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt yang berupaya ingin menyelamatkan demokrasi di negaranya. Mereka ingin agar pimpinan di negaranya tidak lagi menabrak pagar demokrasi yang telah dianggap sakral dan dianut oleh sebagian besar negara di dunia.

          Kedua penulis  merasa resah dengan praktek-praktek yang merusak demokrasi ala Trump. Perlu diingat, mereka resah karena tidak ada penegakan demokrasi yang sifatnya internal untuk negara mereka, yaitu Amerika Serikat. Kalau yang bersifat eksternal (di luar Amerika Serikat) hampir sebagian besar warga dunia yang melek politik pasti tahu ulah Amerika. Dalam hubungan diplomatik dengan negara-negara lain Amerika selalu saja menggunakan standar ganda. Di saat Perang Dingin (Perang Idiologi) Amerika tak segan-segan menginvasi sebuah negara yang diperkirakan akan menghambat hegemoninya. Perang Vietnam, misalnya, yang berlangsung cukup panjang (1957—1975) merupakan salah satu contoh ikut campur tangannya Amerika karena semata-mata ingin menyelamatkan idiologinya di Vietnam Selatan (Richard W.Mansbache& Kirsten L.Rafferty, Pengantar Politik Global, 2012 :215). Amerika memang kalah dalam perang tersebut, tetapi Amerika di belahan dunia lainnya, seperti Indonesia, berhasil menumbangkan komunis sebagai idiologi saingannya. Bahkan, Amerika berhasil mencengkram kukunya di Indonesia melalui penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki indonesia. Freeport, misalnya, merupakan salah satu SDA yang sampai saat ini dikuasai Amerika lebih dari lima puluh tahun. Freeport entah sampai kapan bisa diserahkan sepenuhnya ke Pemerintah Indonesia karena begitu kontraknya mau selesai diperpanjang lagi. Mungkin kalau Freeport sudah benar-benar tidak menghasilkan lagi baru diserahkan ke Pemerintah Indonesia?

          Amerika juga berhasil mencengkeram negara-negara Teluk yang kaya minyak seraya menyepelekan masalah rakyat Palestina yang diperangi negara bonekanya, Israel. Khusus tentang masalah Israel, sebagai bonekanya, Amerika jelas-jelas menerapkan standar ganda. Di satu sisi Amerika berbaik-baik dengan negara-negara Teluk karena di sana memang ada ladang-ladang minyak yang siap dirampok habis-habisan (tentunya dengan cara-cara halus). Tetapi di sisi lain, ketika berhadapan dengan Palestina sampai kapanpun kebijakan Amerika akan tetap menguntungkan Israel. Di  sini tampak sekali wajah hipokritnya Amerika. Dia bela habis-habisan musuh bersama negara-negara Teluk (bahkan negara-negara Islam), Israel, tetapi dirampok juga ladang-ladang minyaknya dengan bahasa-bahasa kamuflasenya yang membius negara-negara Teluk sehingga negara-negara tersebut lupa akan misi utamanya, yaitu memperjuangkan rakyat Palestina dari cengkeraman Israel. Ketika terjadi perang di Bosnia Herzegovina, Amerika cenderung berupaya menyelamatkan muka sendiri. Padahal jelas sekali, di Bosnia telah terjadi pembersihan etnis yang dilakukan oleh Serbia. Di sini Amerika lagi-lagi tidak berminat untuk membela warga Bosnia yang teraniaya sehingga Prasanti dalam puisinya “Dialog dalam Bisik” mengutip tulisan William Pfaff.

di The New York Review, 27 Agustus 1992, William Pfaff         

menulis:

menolong warga yang terperangkap

tanpa menghentikan pengepungan itu sendiri

sama halnya dengan menolong korban hari ini

untuk dibiarkan mati esok hari

mengevakuasi warga sipil dan tawanan

dari wilayah yang terkena “pembersihan etnis”

 sama saja dengan membantu Serbia mengusir orang Bosnia

 atas biaya dunia internasional

 

Pendek kata, pemerintah Barat hanya berusaha mencari jalan

untuk memuaskan opini masyarakat yang berang

sambil menghindari isu‑isu serius dalam krisis ini.

 

Paris, London, dan Washington

bukan berusaha mencegah atau menyetop agresi,

melainkan mencari jalan untuk menyelamatkan muka sendiri

(Majalah Tempo 17 Oktober 1992)

Jadi, Amerika sebagai salah satu pemerintah Barat sebagaimana ditulis di bait puisi di atas melakukan pembiaran atau dengan kata lain berupaya untuk menyelamatkan muka sendiri. Bagaimana kalau kepentingan Amerika di negara lain seperti Indonesia, yang beberapa SDA-nya dikuasainya direbut bangsa lain? Pasti Amerika tidak tinggal diam. Mereka akan mengerahkan kekuatan militernya sampai titik darah penghabisan. Itulah salah satu contoh perilaku hipokrit yang dipertontonkan Amerika di panggung politik.

          Perilaku hipokrit jelas harus dijauhi dari panggung politik. Perilaku hipokrit telah merusak tatanan demokrasi. Perilaku hipokrit yang secara kasat mata dipraktekkan Donald Trump diresahkan sebagian publik Amerika lebih disebabkan oleh masih bercampurnya demokrasi dengan kapitalis. Demokrasi kapitalis benar-benar telah merasuk sampai ke tulang sumsum warga Amerika sehingga sulit untuk dihilangkan. Mereka benar-benar sangat fanatik dengan paham tersebut. Paham yang dianut Amerika ini ketika dipraktekkan di negara-negara yang sudah menjadi pengikutnya ternyata membuahkan penguasa yang cenderung berjiwa kapitalis sehingga wajar kalau ada sebutan `penguasa yang pengusaha`. Tidak aneh juga jika  pengabdian dan dedikasi seorang penguasa atau kepala pemerintahan adalah para pemodal. Bukan untuk melayani rakyat. Amerika melalui Trump telah mengajarkan pada bangsa ini bahwa sebuah negara sudah selayaknya bersinergi dengan kalangan pengusaha. Hal itu sesuai dengan pernyataan kandidat Presiden Amerika dari kubu Demokrat Bernie Sanders beberapa waktu yang lalu yang mengemukakan tentang sejauh mana pengaruh perusahaan Amerika dalam pemilu AS. (https://www.kiblat.net /2016/ 03/ 13 /penguasa-sistem-demokrasi-kapitalis-penguasa-pemberi-harap-an-palsu/).

          Agar terhindar dari perilaku hipokrit tidak ada jalan lain kecuali segera tinggalkan paham yang telah membawa kita ke jurang demokrasi yang  nyaris mencabik-cabik kesatuan bangsa kita yang kita cintai, Indonesia. Dengan kata lain, kita tinggalkan demokrasi kapitalis. Demokrasi sekuler yang memisahkan kehidupan politik dengan agama. Sebagai negara yang ber-Pancasila, yang salah satu silanya menyebutan `Ketuhanan Yang Maha Esa` mau tidak mau kita harus melekatkan demokrasi dengan religius sehingga menjadi demokrasi religius. Untuk itu, para politikus atau calon politikus ketika terjun ke dunia politik membiasakan diri untuk berdo`a sebagaimana tertuang di awal tulisan ini, yaitu “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran,  kefasikan, kedurhakaan, kemunafikan, sum`ah  dan riya.`” Dari do`a tersebut yang harus diseriusi terutama tentang kemunafikan (hipokrit) karena perilaku hipokrit sudah jelas-jelas merusak demokrasi dan membawa bangsa ini ke dalam jurang kehancuran. Kita tidak  mau NKRI yang kita cintai ini tercabik-cabik. Kita ingin Indonesia yang satu yang juga terbebaskan dari intervensi asing. Mudah-mudahan saja harapan itu bisa diwujudkan. Wallahu a`lam bissawab.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat