Subagio S.Waluyo
Berpikir kritis tidak harus dimiliki oleh para ilmuwan di PT. Artinya, siapa saja boleh berpikir kritis. Karikaturis, misalnya, meskipun banyak di antara mereka yang berpendidikan tidak setinggi ilmuwan di PT, banyak di antara mereka ternyata bisa berpikir kritis. Buktinya, hasil-hasil karya mereka berupa kritik sosial di bawah ini merupakan representasi dari berpikir kritis yang mereka miliki. Berikut ini bisa dilihat hasil-hasil karya para karikaturis yang menunjukkan kekritisan mereka ketika melihat fenomena sosial yang ditemukan di negara ini.
***
1. RUU Cipta Kerja dan Nasib Buruh
Undang-Undang Cipta Kerja yang sebelum disahkan sempat kisruh akhirnya pada tanggal 31 Maret 2023 disahkan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Agar mudah dipahami sebut saja Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UURI Nomor 6 Tahun 2023) tentang Cipta Kerja. UU ini yang sering orang sebut dengan UU `sapu jagat` atau Omnibus Law di awal-awal kemunculannya sebenarnya menimbulkan permasalahan karena orang menganggap sebagai UU yang bertentangan dengan sifat demokrasi. Kenapa? Boleh jadi munculnya masalah lebih disebabkan oleh adanya rasa khawatir yang akan menguntungkan pemilik perusahaan (terutama perusahaan asing), konglomerat, kapitalis, investor (terutama investor asing), dan merugikan hak-hak pekerja serta meningkatkan deforetasi di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan (https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Cip- ta_Kerja). Tentang kekhawatiran sikap semena-mena para pemilik perusahaan dan investor asing terhadap para buruh bisa dilihat pada gambar karikatur di atas.
2. Dalang Penyebar Hoax
Apakah penyebar berita palsu (hoax) ada dalangnya? Kalau melihat gambar karikatur di atas, sudah terjawab pasti ada dalangnya. Cuma siapa dalang penyebar hoax? Ini yang harus dicari penyebar hoax-nya. Meskipun sulit untuk mencari penyebar hoax, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan ada 800.000 situs penyebar hoax. Luar biasa banyaknya penyebar hoax di negeri ini. Penyebar hoax yang luar biasa ini juga dipastikan menyebarkan hoax ke pengguna internet di negeri ini yang konon kabarnya sampai mendekati angka 132,7 juta orang (https://www. kominfo. go.id/content/detail/12008/ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/0/ sorotan_media). Pertanyaan yang muncul, bagaimana cara memberantas penyebar hoax yang jumlahnya demikian besar sementara sampai saat ini tidak terdeteksi penyebarnya? Karena itu, gambar karikatur di atas menyentil para penegak hukum untuk bersikap tegas pada entah orang-orang, instansi, LSM, atau ormas yang diduga menjadi penyebar hoax. Kalau memang sudah diketahui dalang penyebar hoax-nya, pesan dari gambar karikatur di atas menginginkan agar mereka-mereka itu dikenakan sanksi hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, hukum jangan menjadi tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah.
3. Makanan Terbuat dari Bumbu Kemiskinan
Kemiskinan menurut Wikipedia ialah keadaan saat ketidakmampuan seseorang atau masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan,dan kesehatan.Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar. Bisa juga disebabkan oleh sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan (https: //id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan). Kemiskinan sendiri memiliki empat bentuk, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural (http://e-journal.uajy.ac.id/1756/3/2EP15294. pdf. ). Kondisi seperti apa orang bisa disebut miskin? Seseorang disebut atau dimasukkan ke dalam golongan orang miskin kalau menurut Bank Dunia dan PBB pendapatannya di bawah US$3,2/hari atau Rp48.000,00. Sementara itu, perhitungan BPS dan Pemerintah Indonesia berbeda dihitung berdasarkan garis kemiskinan, yaitu sebesar Rp535.547/orang/bulan atau Rp17.851/hari (https://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan). Dengan melihat pada data di atas, Penulis berkesimpulan akan ada perbedaan jumlah orang miskin antara hasil perhitungan Bank Dunia dan BPS. Terlepas dari jomplangnya jumlah orang miskin dari kedua lembaga tersebut, tampaknya karikatur di atas merupakan sebuah kritik sosial betapa orang miskin tidak bisa menikmati kesejahteraan hidup karena untuk menikmati sepotong tempe saja terbuat bumbunya dari kemiskinan.
4. Perlunya Pemiskinan buat Koruptor
Mereka-mereka yang korup, yang sebagian hartanya tidak disita negara, boleh jadi beranggapan buat dia kalau ditahan itu tidak akan berpengaruh. Sudah banyak diketahui orang kalau mereka-mereka (para koruptor) selama di dalam penjara selnya telah berubah menjadi kamar hotel bintang empat. Sel tahanan yang telah disulap menjadi kamar hotel bintang empat itu dilengkapi dengan berbagai kelengkapan hidup yang serba lengkap dan mewah. Jauh berbeda dengan sel tahanan pelaku-pelaku kriminal di luar para koruptor yang satu selnya diisi sekian narapidana (napi). Sel para napi itu jauh dari nilai-nilai hidup layak (bisa disebut tidak berkemanusiaan). Jadi, orang bisa menyaksikan di penjara yang nama halusnya “Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)” saja terjadi disparitas antara napi koruptor dan napi kriminal. Itu baru dilihat dari segi tempat bermukimnya. Belum lagi perlakuan terhadap kedua jenis napi itu. Napi yang tergolong koruptor jelas diistimewakan. Mereka bisa berkeliaran di luar Lapas. Tidak usah aneh kalau napi koruptor yang tergolong VVIP itu bisa punya anak di luar Lapas karena adanya kebebasan untuk keluar masuk Lapas. Tentu saja untuk mendapatkan keistimewaan itu tidak gratis. Di sini sudah pasti ada sesuatu buat petugas Lapas (pimpinan Lapas juga tahu) yang bisa dijadikan oleh-oleh ketika pulang kerja. Karena itu, munculnya gambar karikatur di atas tidak usah dipungkiri tetapi bagaimana caranya membuat koruptor itu jera? Tidak ada cara lain kecuali sita semua hartanya atau dibuat `kere` (miskin) saja seperti tertera pada kata-kata yang terdapat di gambar karikatur itu.
***
Empat gambar karikatur yang ditampilkan di atas merupakan bukti bahwa seorang karikaturis adalah orang yang bisa berpikir kritis.Jadi, berpikir kritis bukan hanya didominasi oleh ilmuwan, para karikaturis juga bisa melakukannya. Di negara yang demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sah-sah saja setiap orang menyampaikan kritik sosial. Justru, dengan kritik sosial orang tersadarkan bahwa banyak persoalan kehidupan sosial yang perlu dibenahi. Mudah-mudahan walaupun hanya gambar-gambar karikatur, setiap orang yang masih punya hati nurani manakala melihat gambar-gambar tersebut selagi diberi kesempatan hidup di dunia tergerak untuk melakukan yang terbaik. Wallahu a`lam bissawab!
Sumber Gambar:
- (https://geotimes.id/opini/karikatur-sebagai-kritik-politik/)
- (https://nyatanya.com/gatot-eko-cahyono-kartun-sebagai-seni-multi-fungsi/)
- (https://www.baliekbis.com/pameran-kartun-gmsudarta-50-tahun-kesaksian-oom-pasikom/)
- (https://tonisultonish.blogspot.com/2016/11/apakah-para-koruptor-orang-orang-pintar.html)