Subagio S. Waluyo
Kota yang diharapkan di masa depan adalah kota yang nyaman, tempat anak-anak, orang tua, dan penyandang disabilitas dapat berjalan dengan aman dan nyaman. Kota yang masyarakatnya memiliki kebersamaan di ruang-ruang publik, saling bercanda dan berdiskusi dalam memecahkan masalah di lingkungannya.
(Mewariskan Kota Layak Huni oleh Nirwono Joga, 2017:XIX)
Masa kecil saya banyak diisi dengan aktivitas bermain. Di benak saya ketika itu tidak ada pikiran lain kecuali bermain. Buat saya dengan bermain pada waktu itu ada rasa kepuasan diri yang tidak ternilai. Kalau ditanya tentang waktu-waktu saya belajar di luar sekolah, sedikit sekali waktu saya untuk belajar. Belajar hanya dilakukan di malam hari. Itu pun selesai belajar (yang hanya paling lama satu jam), ya bermain lagi sampai datang rasa kantuk atau capai baru selesai bermain. Itulah dunia masa kecil saya, masa kecil yang merasa puas bila diisi dengan bermain.
Selain, belajar di malam hari sore harinya (itupun cuma paling lama satu jam) saya mengaji. Mengaji waktu itu baru sekedar belajar membaca Al-Qur`an (alif ba ta). Orang tua saya sengaja mendatangkan guru mengaji (ustadz) ke rumah. Saya dan adik-adik saya ikut belajar mengaji. Selesai mengaji saya ke mushollah yang letaknya di sebelah rumah untuk sholat magrib. Sementara menunggu waktu sholat, sebagai anak-anak ya saya gunakan untuk bermain. Singkatnya, kapan saja ada kesempatan tidak ada aktivitas yang lain kecuali bermain.
Orang tua saya bukan melakukan pembiaran kalau aktivitas anaknya cuma bermain. Sekali-sekali juga turut memarahi. Bahkan, kalau dalam pandangan mereka sang anak sudah dianggap keterlaluan karena seringnya bermain, sekali-sekali juga orang tua saya menjewer atau menyentil telinga. Tetapi, namanya juga anak-anak, perilaku yang dalam pandangan mereka dinilai negatif (karena seringnya bermain) tidak akan mempan, tetap saja saya dan adik-adik mengulanginya lagi. Meskipun saya lebih banyak waktunya untuk bermain daripada belajar atau mengaji, prestasi belajar saya di sekolah tidak pernah buruk. Jika ada pekerjaan rumah (PR), tanpa disuruh segera saya kerjakan. Kalau PR itu sulit (terutama untuk belajar berhitung atau matematika) saya bertanya pada teman-teman yang pendidikannya jauh lebih tinggi daripada saya. Di samping itu, dalam masalah ibadah sejak kecil saya sudah terbiasa sholat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan. Mungkin karena kebiasaan positif ini yang membuat orang tua saya pada akhirnya jenuh menegur atau memarahi saya.
***
Ketika kecil orang tua saya jarang membelikan mainan. Pada waktu itu walaupun sudah ada jenis mainan produksi pabrik (kebanyakan produk-produk luar dari China), orang tua saya sekali-sekali saja membelikan mainan. Mungkin karena ada kebiasaan buruk yang saya lakukan, yaitu mainan yang mereka belikan umumnya umurnya tidak panjang. Kalau tidak rusak, karena sering dibongkar atau dikutak-katik, ya hilang tidak jelas rimbanya. Di rumah saya tidak ada tempat khusus untuk tempat mainan (tidak seperti sekarang ketika saya mempunyai anak dan cucu). Buat saya dan adik-adik dengan jarangnya orang tua membelikan mainan tidak jadi masalah karena masih banyak permainan yang bisa mengisi aktivitas bermain saya yang tentu saja tidak akan mengurangi kesenangan saya.
Dengan jarangnya orang tua membelikan mainan produk pabrik, saya dan adik-adik menjadi kreatif. Apapun barang-barang bekas di hadapan saya pada waktu itu jadi mainan. Kalau ada kulit jeruk bali, saya jadikan mobil-mobilan. Kalau ada kertas bekas, saya jadikan pesawat terbang atau kapal laut. Bahkan, sekali-sekali saya buat layangan dari kertas koran atau kertas bekas pembungkus (semacam kertas minyak yang berwarna merah, kuning, hijau, atau putih). Uang jajan saya belikan benang gelasan. Sekali-sekali dengan teman-teman saya buat benang gelasan dengan hanya melihat orang yang membuat benang gelasan. Walaupun hasil buatan saya tergolong tidak bagus, buat saya yang penting saya bisa ikut bermain layang-layang.
Kali lain, ada balon gas yang sudah meletus saya bakar untuk dijadikan alat menangkap capung. Karena kurang hati-hati, hasil bakaran itu mengenai tangan kiri saya. Lumayan panas dan melepuh. Beberapa hari tangan saya melembung seperti ada cairan. Ketika saya tusuk cairan itu, sakitnya luar biasa. Tapi, memang dasar anak-anak, tetap saja saya melakukan hal yang sama walaupun saya telah belajar dari pengalaman terdahulu agar tidak lagi melukai tangan saya. Lelehan balon itu saya tempelkan di lidi. Jadilah dengan alat itu saya menangkap capung. Benar-benar permainan yang murah yang menimbulkan kepuasan jiwa anak-anak.
Untuk membeli mainan tradisional seperti meriam bambu, saya harus merogoh dari kantung sendiri. Dulu di pinggiran kali Ciliwung ada orang yang menjual bambu-bambu yang bisa digunakan meriam bambu. Biasanya, saya membeli bambu bersama adik-adik saya dan beberapa teman. Bermain meriam bambu dengan modal yang relatif kecil sangat menyenangkan. Tetapi, aktivitas meniup asap yang ada di bambu yang diteruskan dengan menyundutnya sehingga terdengar gelegarnya sebuah kenikmatan tersendiri meskipun suara letupannya jika dibandingkan dengan petasan tentu saja jauh lebih keras suara petasan.
Terkadang sebagai anak-anak, mungkin ini efek dari seringnya baca-baca komik yang penuh dengan cerita heroik atau nonton film-film perang di TV (pada waktu itu cuma ada TVRI) yang hitam putih saya dan teman-teman membuat ketapel. Lagi-lagi bahan dasar untuk membuat ketapel juga dari barang-barang bekas yang ada di sekitar kita yang sangat mudah didapat. Masih tentang kisah-kisah heroik, karena saya dan teman-teman sering nonton tv yang bercerita tentang kehebatan samurai yang tokohnya utamanya (kalau tidak salah) Shintaro, saya membuat pedang-pedangan dari bambu bekas pagar rumah. Sebagai pelindung agar tangan yang memegang alat itu tidak terluka ketika bermain saya gunakan karet bekas sendal jepit yang dipotong pas ukuran genggaman tangan. Singkat kata, semua benda yang dijadikan mainan relatif dari bahan-bahan yang mudah didapat. Kalau terpaksa harus beli, juga tidak harus merogoh kantung terlalu dalam alias murah. Jadi, permainan anak-anak di masa itu yang mahal bukan harganya tetapi kreativitasnya.
***
Meskipun saya lahir tinggal dan besar (sampai dewasa dan berkeluarga) di ibukota, Jakarta, kondisi Jakarta pada tahun-tahun `60-an dan `70-an tidak seperti sekarang. Pada waktu itu halaman-halaman rumah masih cukup luas. Masih banyak didapati tanah lapang yang bisa saya gunakan untuk bermain dengan teman-teman. Segala macam bentuk permainan anak-anak yang sekarang ini dikenal sebagai permainan tradisional banyak dimainkan. Umumnya, permainan tradisional itu sebagian besar tidak perlu keluar uang. Permainan anak-anak seperti `galasin` (kalau di Jawa Tengah dinamakan `gobak sodor`) yang dimainkan secara massal yang terbagi dalam dua grup (satu grup bisa sampai empat atau enam orang). Permainan ini hanya butuh tanah yang agak luas dan rata (ada tanah yang luasnya 100 meter juga sudah cukup) atau kalau ada lapangan badminton yang sedang tidak digunakan juga bisa dipakai untuk bermain `galasin`. Permainan ini akan terasa lebih nikmat jika dimainkan di malam hari ketika terang bulan.
Hampir semua permainan anak-anak yang tergolong tradisional yang bisa dimainkan bersama-sama dan tidak butuh biaya (kalau terpaksa harus keluar uang juga relatif murah), seperti `petak umpet`, `benteng`, `egrang`, `perang-perangan`, `bola kasti`, `layangan`, dan `galasin` membutuhkan tenaga ekstra. Dengan bermain `galasin saja, misalnya, anak harus bisa berlari cepat, lincah, cekatan, dan harus bisa mengelabui musuhnya yang menjadi penjaga. Jenis permainan seperti galasin juga mebutuhkan kekompakan kelompok. Dalam permainan ini dibutuhkan adanya kesatuan komando sehingga untuk bisa memainkannya dengan apik harus ada satu orang yang menjadi kepala regu.
Permainan yang membutuhkan tenaga yang kuat, keterampilan, dan keseimbangan seperti `egrang` tidak semua anak bisa memainkannya. Agar anak bisa memainkan `egrang` dengan lancar dibutuhkan latihan berkali-kali. Banyak juga anak yang tidak bisa menjaga keseimbangan ketika bermain `egrang` sering terjatuh dan terkilir. Jenis permainan seperti ini memang sedikit membahayakan. Tetapi, tetap saja, jenis permainan ini menggembirakan baik bagi anak yang bermain maupun yang hanya menjadi penonton. Sebagai pelengkap, perlu juga diketahui permainan tradisional yang dimainkan anak-anak juga mengajarkan anak belajar berhitung. Jenis permainan seperti `congklak`/`dakon` baru bisa dimainkan kalau anak sudah bisa berhitung. Tentu saja, ini yang sangat perlu diketahui, semua jenis permainan tradisional membutuhkan keterampilan dan kejujuran.
***
Seiring dengan perjalanan waktu sedikit demi sedikit terjadi proses penghilangan permainan tradisional. Anak-anak generasi saya yang dulu akrab dengan permainan tradisional, anak-anak generasi berikutnya yang lahir di awal abad 21 ini karena arus globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi yang demikian pesat perlahan namun pasti menggeser permainan tradisional. Mereka sudah tidak lagi mengenal itu main `galasin`, `egrang`, `benteng`, atau `gangsing`. Salah satu tudingan bisa-bisa saja karena semakin sempitnya lahan untuk bermain anak-anak. Di samping itu, ada sebagian orang tua yang merasa tenang kalau anak-anaknya bermain di rumah. Orang tua seperti ini untuk mengantisipasi agar anak-anaknya betah di rumah mau tidak mau menyediakan mainan-mainan buatan pabrik yang harganya boleh jadi harus merogoh kantung lebih dalam lagi.
Mengapa ada kecenderungan orang tua saat ini melarang bermain di luar? Apakah orang tua sekarang lebih mengutamakan peran menjaga dan menjalankan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan fisik anak, serta memastikan anak menjalankan kewajiban utama seperti sekolah? Mengapa jadi ada kebalikan dengan pola asuh orang tuanya terdahulu yang lebih mengupayakan anak bermain di luar agar anak dapat bersosialisasi, mengembangkan kreativitas, dan mampu berkompetisi di masa yang lebih sulit secara finansial? Kalau direnungkan, orang tua generasi sebelumnya lebih berpikir logis karena mereka sadar keseimbangan aktivitas fisik, kognitif, dan sosial, penting untuk perkembangan anak. Jadi, justru orang tua sekarang kurang menyadari semua itu. Orang tua sekarang lebih cenderung mengarahkan anaknya agar nantinya menjalankan peran orangtua yang wajib bekerja keras demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Untuk itu, tidak aneh jika suatu saat nanti generasi jenis ini (disebut sebagai `generasi baby boomer`) kurang memikirkan keseimbangan kehidupan keluarga.
Di awal abad 21 ini (tepatnya tahun 2010 dan seterusnya) muncul anak-anak yang dikenal dengan istilah anak-anak `generasi alfa`.Bagaimana permainan anak-anak anak-anak `generasi Alfa`? Istilah anak-anak `generasi alfa` merupakan julukan yang pertama kali diorbitkan dalam tabloid Nova, 22 September 2015 yang mengutip pendapat Mark Mc Crindle. Dimaksudkan dengan `generasi alfa` atau `generasi broadband` atau mobile ialah generasi keturunan awal generasi Y dan terakhir generasi X. Ada orang yang memprediksikan bahwa `generasi alfa` diprediksi adalah orang-orang ekspresif dan hitec karena lahir dan berada di era informasi. Bahkan, anak-anak `generasi alfa` diprediksi lebih pragmatis materialistik karena dibesarkan di era kemajuan teknologi. Mereka juga berpikir dengan sangat praktis, kurang memperhatikan nilai-nilai, lebih egois. Selain itu, anak-anak `generasi alfa` cenderung memiliki berat badan berlebih karena hidup di era menjamurnya makanan cepat saji dan junk food.
Karena anak-anak `generasi alfa` lahir di era informasi, jenis permainannya juga berbeda dengan generasi terdahulu (apalagi generasi saya yang lahir di penghujung tahun `50-an). Anak-anak sekarang (`generasi alfa`) ketika disetelkan lagu-lagu MP3 dari smartphone kepalanya bergerak-gerak seakan mengikuti irama. Kalau tayangan video dari Youtube dimatikan, ia menjerit seolah tak rela. Permainan anak-anak `generasi alfa` ini menggunakan teknologi layar sentuh atau disapu dengan jari baik itu berupa gadgetmaupun notebook atau laptop sehingga anak-anak `generasi alfa` dalam permainannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan lebih bersifat individual. Kemajuan teknologi yang demikian pesat telah mempengaruhi gaya hidup anak-anak `generasi alfa`. Gaya hidup `generasi alfa` lebih pragmatis materialistis.
Anak-anak yang terdahulu (before) dalam permainan lebih mengutamakan kebersamaan. Ada kejujuran, kebersamaan, kecekatan, kelincahan, kekuatan fisik, kreativitas, dan yang paling penting, yaitu adanya toleransi. Bagaimana dengan anak-anak `generasi alfa` (today)? Mereka masing-masing asyik dengan gadget-nya yang tinggal menggeser tampilan-tampilan di layar gadget dengan telunjuknya. Tidak dibutuhkan fisik. Tidak ada kecekatan. Tidak ada kontak fisik. Lebih menunjukkan sikap individualisnya. Tanpa disadari generasi ini tidak punya toleransi. Tidak punya kepedulian karena mereka lebih mengedepankan sifat egosentrisnya. Tidak mustahil `generasi alfa` akan menderita penyakit anti sosial atau bisa juga sosiopat.
Anak-anak kota `generasi alfa` memang banyak juga yang berprestasi akademik. Angka-angka rapot atau ijazahnya memuaskan bahkan tinggi-tinggi. Tetapi ada yang terlupakan, mereka sebagai makhluk ciptaan Tuhan telah tidak lagi memiliki kecerdasan emosional dan spiritual sehingga banyak di antara mereka yang cepat putus asa. Mereka tidak memiliki toleransi dan kepedulian pada sesama. Banyak di antara mereka yang menderita penyakit psikopat atau sosiopat. Apakah kalau nanti banyak di antara mereka yang menderita penyakit psikopat atau sosiopat akan didiamkan saja?
***
Anak-anak kota alfa yang bermain di jalan raya merupakan korban kebijakan pemerintah yang cenderung neoliberalisme. Wajar-wajar saja kalau kota-kota kita tidak memiliki visi masa depan yang jelas terutama dalam menghadapi globalisasi. Juga wajar-wajar saja jika penguasa negeri ini atau penguasa-penguasa daerahnya tidak peduli mau dibawa ke mana nasib anak bangsa ini. Pemerintah baik pusat maupun daerah kurang bahkan tidak proaktif mengantisipasi proses globalisasi dengan melindungi warganya dari pengaruh negatif. Pemerintah lebih cenderung memikirkan pembangunan fasilitas perkantoran atau kawasan industri baru ketimbang membangun fasilitas untuk beraktivitas dan berkreativitas buat warganya. Tidak terpikir buat mereka untuk membangun ruang publik untuk tempat bermain anak-anak warga kotanya. Hal itu terjadi karena karena kebijakan apapun yang dilakukan pemerintah daerah adalah hasil rembukan antara sejumlah kecil pejabat dan pengusaha berpengaruh (Kota Tanpa Warga oleh Jos Santoso, 2006:51). Jadi, saking tidak adanya fasilitas anak-anak kota alfa untuk bermain, akhirnya mereka bermain di jalan raya. Foto berikut ini salah satu contoh ketika anak-anak kita tidak ada lagi ruang untuk bermain.
(https://images.app.goo.gl/zCLx6jEFrPZYAdqA8)
Kenapa mereka bermain di jalan raya yang banyak mengundang resiko? Jawabannya singkat saja, tidak ada tempat lagi tempat buat bermain untuk mereka. Kenapa? Pemerintah kurang peduli dengan kebutuhan warganya untuk beraktivitas/berkreativitas. Jangan salahkan warganya kalau mereka memanfaatkan jalan raya untuk bermain. Salahkan kebijakan pemerintah yang cenderung mengikuti syahwat kekuasaannya mengeruk keuntungan. Saking nafsunya sampai-sampai tidak ada lagi tempat ruang publik yang bisa dikembangkan. Coba kita perhatikan gambar berikut ini ketika pemerintah begitu peduli dengan warganya.
(https://images.app.goo.gl/4NVsHjrBpi2a7ZNy5)
Pemerintah membangun semacam tempat yang bisa dimanfaatkan warganya untuk beraktivitas dan berkreativitas. Di tempat tersebut anak-anak bisa bermain. Bukan hanya anak-anak semua orang tanpa mengenal umur bisa memanfaatkannya. Tempat tersebut di DKI Jakarta dinamakan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Di DKI Jakarta sampai sekarang ini sudah ada 290 RPTRA (https://www.liputan6.com/ news/read/3881726/pemprov-dki-tambah-16-rptra-pada-2019). Bahkan direncanakan di DKI Jakarta RPTRA akan dibangun di setiap RW. Kalau rencana itu bisa diwujudkan, anak-anak kota alfa nanti diharapkan bisa lagi bermain seperti orang tuanya dulu yang merasa lebih nyaman dengan permainan tradisionalnya. Permainan tradisional dinilai lebih berkulitas karena di sana ada kreativitas, ada aktivitas yang benar-benar memerlukan energi, berbiaya murah (bahkan kalau perlu tanpa mengeluarkan uang), dan ada kebersamaan dan kekompakan yang justru saat ini sangat diharapkan. Berikut beberapa foto permainan tradisional yang bisa dihidupkan lagi di kalangan anak-anak kota alfa.
- 1. Gobok Sodor
- 2. Egrang
3. Petak Umpet
4. Ular Naga
5. Kelereng
6. Dakon
7. Ketapel
8. Gasing
9. Layang-Layang
Gambar-Gambar dan foto-foto di atas sebagian kecil dari sekian banyak permainan tradisional yang biasa dimainkan oleh generasi yang lahir di bawah tahun`90-an. Permainan tersebut mudah dilakukan. Tidak berbiaya tinggi (bahkan ada yang benar-benar tanpa biaya). Permainan tersebut sebagaimana disampaikan di atas lebih mengutamakan kebersamaan, kejujuran, kekuatan fisik, dan ini yang lebih penting lagi mengembangkan kreativitas. Permainan tradisional perlu dihidupkan lagi. Dengan menghidupkan permainan tradisional anak-anak generasi alfa akan terselamatkan dari penyakit psikopat dan sosiopat. Kita ingin anak-anak generasi alfa terselamatkan dari kedua macam penyakit tersebut. Kita pun berharap dengan terselamatnya anak-anak generasi alfa dari kedua penyakit tersebut akan lahir generasi yang jujur, cerdas, tangkas, dan berakhlak mulia. Masih ada waktu untuk memperbaiki mereka. Kalau perlu sekarang juga kita lakukan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Sumber Foto:
- (https://images.app.goo.gl/yTCg7PamifSnyYLA8)
- (https://images.app.goo.gl/x17fANRaMLtPLXrs5)
- (https://images.app.goo.gl/pBU76KjJM25R6ojT8)
- (https://images.app.goo.gl/8A6Qd36nSiece6YU7)
- (https://images.app.goo.gl/Y532pAs2pmQwD5vcA)
- (https://images.app.goo.gl/nhWyLirXFG8pFGXV6)
- (https://images.app.goo.gl/JopfH8Cbudxqx9xm7)
- (https://images.app.goo.gl/2A2ghnLVULeTzkSe6)
- (https://images.app.goo.gl/KfdQfk7J4n9T7Rsu8)