Subagio S. Waluyo

Kasino Hadiwibowo (Kasino Warkop) suatu saat pernah menyampaikan kalau bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur. Ucapan Kasino ini yang lebih merupakan sebuah satire tentu saja akan membuat orang tersinggung karena jika dikaitkan dengan kondisi sekarang ini ternyata banyak juga orang pintar yang tidak jujur. Kok, bisa begitu Penulis menyimpulkannya? Coba saja direnungkan, bukankah sekarang ini memang orang pintar itu yang ditandai dengan gelar-gelar kesarjanaan, baik mereka yang bergelar S1, S2, maupun S3 sudah demikian banyak? Bahkan, mereka-mereka yang sudah bergelar guru besar (profesor) di berbagai perguruan tinggi (PT) sudah cukup banyak. Tapi, coba perhatikan perilaku mereka-mereka itu, apakah sudah mencerminkan seorang sarjana yang bermoral tinggi?

***

          Pada “Catatan dari Menara Gading (2) telah disinggung oleh Penulis bahwa seorang ilmuwan yang setiap hari berkutat dengan dunia ilmu tidak cukup hanya berputar pada hakikat yang dikaji (ontologi) dan cara mendapatkan pengetahuan yang benar (epistemologi), tapi juga harus mengetahui, memahami, dan mempraktekkan nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Boleh jadi seorang ilmuwan yang bermoral rendah (diragukan integritasnya) lebih disebabkan tidak mengetahui, memahami, dan mempraktekkan nilai kegunaan ilmu (aksiologi)? Mereka-mereka itu (ilmuwan yang tidak memiliki integritas) yang kesehariannya berkutat dengan ilmu ketika mengkaji ilmu hanya sampai pada tingkat ontologi dan epistemologi. Sementara itu, yang namanya aksiologi cenderung disepelekan alias dianggap tidak penting. Kalau sudah seperti itu cara berpikirnya, wajar-wajar saja mereka-mereka itu ada kecenderungan untuk berbohong.

          Kalau ada yang bertanya kebohongan seorang ilmuwan di PT dalam bentuk apa atau seperti apa saja contoh perbuatan bohongnya? Menjawab pertanyaan seperti itu gampang saja, kok! Kalau ada yang tidak percaya, coba deh sekali-sekali ke kampus mana saja pas ada salah satu program studi yang mau diakreditasi! Coba lihat betapa sibuknya para pejabat struktural yang dibantu para dosen dan karyawannya! Mereka-mereka berusaha mencari bahan-bahan untuk memenuhi borang akreditasi. Kalau bahan-bahan untuk mencukupi tuntutan borang akreditasi terpenuhi tidak jadi masalah. Tapi, kalau ada beberapa butir di borang akreditasi itu belum juga terpenuhi, di sini mereka mencari bahan di luar program studi yang sekiranya bisa memenuhi tuntutan yang ada di borang akreditas itu. Apa yang mereka kerjakan? Apalagi kalau bukan manipulasi data. Data dari program studi sejenis dari PT lain bisa diambil atau minimal dipinjam dulu. Kalau itu sebuah penelitian, copy paste saja hasil penelitian tersebut. Ganti nama-nama penelitinya dengan nama-nama dosen yang ada di program studi yang mau diakreditasi itu. Ganti juga nama PT-nya dan ganti sana-sini yang memang dipandang perlu untuk diganti. Singkat kata, begitu tiba hari H-nya para asesor datang untuk visitasi layani saja para asesor itu. Usahakan jangan bikin kecewa sang asesor. Dengan cara seperti itu diharapkan nilai akreditasinya tidak turun (kalau bisa naik dari B ke A). Toh, para asesor juga manusia biasa yang cari tambahan dari hasil kerja sebagai asesor (?).

          Itu baru salah satu contoh kebohongan yang dilakukan orang-orang akademis dari PT yang mereka-mereka itu minimal berpendidikan S2. Jadi, tidak dijamin orang yang berpendidikan S3 dan profesor sekalipun memiliki kejujuran. Berkaitan dengan kejujuran, kalau ada pertanyaan lagi: apakah di luar dunia kerjanya mereka juga melakukan hal yang sama? Ya, lebih kurang sama saja perilakunya. Coba saja mereka-mereka yang menjadi pejabat publik di negara ini bukankah banyak juga di antara mereka yang juga masih aktif mengajar di PT? Sekarang semua berita yang memuat perilaku menyimpang (termasuk kebohongan) `kan mudah diakses. Siapapun bisa mengakses berita tentang pejabat si anu yang terbukti korupsi ternyata yang bersangkutan masih aktif sebagai salah seorang dosen di PT anu. Selain itu, karena ada kedekatan dengan salah seorang pejabat tinggi di pusat bisa saja `sang orang pintar` dari salah satu PT di negara ini bisa-bisa saja mengubah bunyi peraturan demi meloloskan anak sang pejabat tinggi tersebut. Ini juga `kan merupakan bentuk pelacuran seorang akademikus yang seharusnya memiliki integritas. Sang akademikus itu karena lebih mementingkan diri sendiri atau bisa juga ingin memenuhi syahwat duniawinya, akhirnya sang akademikus berani berbohong sehingga yang namanya integritas telah hilang dari dirinya. Sang akademikus macam ini secara moral tidak memahami, memiliki, dan menerapkan (sebaliknya malah menyingkirkan) konsep aksiologi yang justru ketika orang mendalami ilmu pengetahuan seharusnya menjadi tujuan mutlak bukan malah disingkirkan.

***

Pinokio setiap kali berbohong dalam The Adventures of Pinocchio (1883) karya penulis fiksi Italia, Carlo Collodi, hidungnya memanjang. Itu hanya dalam karya fiksi. Namanya juga karya fiksi tentu saja tidak bisa dipercaya. Memang, Carlo Collodi menulis kisah Pinokio punya tujuan baik supaya orang jangan suka berbohong. Tapi, pesan moral sang penulis Pinokio seperti tidak mempan tuh buat orang yang kerap suka berbohong. Meskipun demikian, bagi para akademikus yang masih punya hati nurani sudah saatnya melakukan perubahan. Mereka harus punya niat untuk berubah karena cepat atau lambat kalau tidak melakukan perubahan, sangat boleh jadi anak didiknya yang sampai saat ini masih sangat menghormati statusnya sebagai dosen yang ilmunya telah `mumpuni` suatu saat akan mencemoohkannya atau minimal mereka juga akan melakukan hal yang sama dilakukan dosennya: berbohong. Naudzubillahi min dzaalik!

 

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat