Subagio S.Waluyo
Penulis berpendapat dua kata: pragmatis dan permisif, keduanya tidak dapat dipisahkan. Artinya, orang yang pragmatis sudah pasti akan permisif. Sebaliknya, orang yang permisif juga sudah pasti pragmatis. Kok, bisa begitu? Coba saja perhatikan, orang yang bersikap pragmatis ketika ingin memperoleh sesuatu mana mau melakukan yang idealis? Pasti dia melakukan cara-cara yang bertentangan dengan idealis apalagi kalau bukan cara-cara yang menyimpang. Perilaku yang menyimpang, misalnya, kalau mau memperoleh gelar entah S1, S2, atau S3 sekalipun orang yang pragmatis tidak mau berlelah-lelah untuk belajar. Dia akan melakukan jalan ringkas: menerabas. Bukankah yang dia lakukan cenderung pragmatis dan permisif?
***
Dalam kehidupan di Menara Gading juga banyak ilmuwan yang tidak luput dari perilaku pragmatis-permisif. Di banyak uraian terdahulu sudah Penulis berikan contoh-contoh yang kasat mata perilaku pragmatis-permisif ilmuwan di PT. Di berbagai momen yang berkaitan dengan masalah-masalah akademis ada kecenderungan banyak ilmuwan yang mempraktekkan perilaku pragmatis-permisif. Praktek-praktek perilaku pragmatis-permisif di satu sisi memang bisa menyelesaikan masalah. Tapi, bukan berarti masalah yang baru saja diselesaikan tidak meninggalkan masalah. Ada masalah baru yang justru lebih menantang, yaitu tentang kredibilitas sang ilmuwan.
Sebagai ilmuwan ketika mempraktekkan perilaku pragmatis-permisif mau tidak mau sebenarnya telah mempertaruhkan kredibilitasnya di hadapan insan akademis lainnya. Kalau untuk mengerjakan tugas-tugas akademis sang ilmuwan telah mempraktekkan perilaku pragmatis-permisif, terlepas hasil pekerjaannya diketahui orang atau tidak sangat mungkin di suatu saat orang pasti juga tahu yang dikerjakannya. Suatu saat manakala orang tahu yang dikerjakannya lebih merupakan praktek-praktek ilegal (hasil dari perilaku pragmatis-permisif), berlaku peribahasa `sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya`. Artinya, walaupun sekali saja sang ilmuwan mempraktekkan perilaku pragmatis-permisif, sejak dia melakukannya seumur hidup orang akan meragukan kompetensinya. Apa jadinya kalau diragukan kompetensinya padahal sang ilmuwan bertitel S3, bahkan profesor sekalipun?
Seorang ilmuwan kalau sudah diragukan kompetensinya, walaupun masih diberi amanah untuk mengajar, membimbing mahasiswa, atau hal-hal yang berkaitan dengan penelitian dan pengabdian masyarakat, tetap saja stigma sebagai ilmuwan yang diragukan kompetensinya itu tetap melekat. Bahkan, tidak mustahil orang juga meragukan gelar kesarjanaan tertinggi yang diraihnya. Di awal-awal ketika sang ilmuwan baru saja meraih gelar doktor, misalnya, orang pasti banyak berharap pada kemampuannya untuk melakukan kerja-kerja penelitian dan pengabdian masyarakat. Tetapi, ketika didapati semua yang dikerjakannya tidak lebih dari hasil jiplakan pekerjaan orang lain (plagiat), sejak saat itu orang sudah memandangnya sebelah mata alias diremehkan. Bagaimana kalau sang ilmuwan bergelar doktor sudah diremehkan? Silakan tebak sendiri!
Seorang ilmuwan yang mempraktekkan perilaku pragmatis-permisif sepanjang hanya diragukan kompetensinya masih dianggap beruntung. Lain halnya kalau praktek buruk itu berbuah pada pencabutan gelar doktornya. Sudah banyak ilmuwan yang kedapatan mempraktekkan perilaku pragmatis-permisif yang berujung pada pencabutan gelar doktornya. Terlepas dari orang tahu atau tidak tahu kalau sang ilmuwan mempraktekkan perilaku pragmatis-permisif, sebagai orang yang berke-Tuhan-an sekaligus seorang ilmuwan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan selayaknya sebelum melakukannya mempertimbangkan baik-buruk perbuatan yang akan dilakukannya. Kalau ternyata nilai keburukannya lebih tinggi daripada kebaikannya, sebaiknya hal itu ditinggalkan. Di sini sang ilmuwan harus bisa pandai-pandai memprediksi hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari perilaku pragmatis-permisif. Apa salahnya jika sang ilmuwan menyingkirkan perilaku pragmatis-permisif?
Menyingkirkan perilaku pragmatis-permisif memang pekerjaan berat. Sang ilmuwan yang sudah `kadung` melakukan praktek-praktek ilegal itu manakala suatu saat mau menyingkirkan perilaku pragmatis-permisif bisa dipastikan akan berhadapan dengan entah atasan atau teman sejawat yang sudah karatan hidup dengan perilaku buruk itu. Tidak mustahil mereka-mereka yang berperilaku buruk itu akan melakukan berbagai cara untuk mempengaruhinya. Bisa saja sang atasan yang tidak suka dengan perubahan sikap sang ilmuwan akan memecatnya atau minimal menghambat kariernya. Bagi ilmuwan yang idealis tidak menjadi masalah, baik dipecat sebagai dosen maupun dihambat kariernya karena masalah karier atau rezeki sekalipun sudah ada yang menentukan.
***
Menjadi seorang ilmuwan yang idealis di tengah-tengah kehidupan yang serba pragmatis-permisif memang sulit. Tapi, semua itu harus dilawan. Orang harus disadarkan bahwa yang mereka kerjakan tidak benar. Kalau memang sulit untuk mengubahnya, minimal sang ilmuwan yang tidak berkeinginan mempraktekkan perilaku pragmatis-permisif sudah baik. Meskipun demikian, sang ilmuwan yang idealis sebaiknya juga membentuk komunitas atau bisa juga melakukan pertemanan dengan orang-orang sejenis. Bukankah domba yang sendirian mudah disergap serigala?