Subagio S. Waluyo

BUNGLON

                                                Beni Guntarman

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

pada warna siapa yang berkuasa ia ‘kan menyesuaikan warna diri

lincah berkelebat dari dahan ke dahan, dari periode ke periode kekuasaan

terus menjadi ekor, dan kerap bermimpi menjadi sang pelopor

meski hakikat diri hanyalah alat kekuasaan yang kotor

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

kokoh berlindung dalam warna-warni hiruk-pikuk percaturan politik

diam-diam merasa bosan pada keangkuhan kayu dan dedaunan

coba berjuang menjadi pelopor perubahan

memaksakan warna kehendak diri pada pohon besar di pelataran singgasana

namun kayu tetaplah kayu, daun tetaplah daun yang selalu menghijau

tak sudi menjadi pengikut bunglon

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

dunia dalam satu warna yang ada di benaknya

ketika berhadapan dengan tantangan kehidupan nyata

bunglon selalu kehilangan ekornya!

(http://www.jendelasastra.com/karya/puisi/bunglon)

***

          Ada banyak cara orang untuk mengkritisi, baik masalah-masalah sosial maupun politik. Ada orang yang mengkritisinya lewat lirik-lirik lagu, seperti Iwan Fals. Ada mengkritisinya lewat cerpen, seperti Ahmad Tohari atau Kuntowijoyo. Ada juga yang lewat puisi, seperti WS Rendra. Beni Guntarman termasuk penyair yang mengkritisi masalah-masalah sosial dan politik lewat puisinya “Bunglon”.

          Berbicara tentang bunglon yang dijadikan objek oleh Beni Guntarman dalam puisinya sebenarnya bukan hal yang baru. Jauh sebelumnya ada yang pernah menulis puisi dengan judul yang sama. S.M. Ashar dalam Gema Tanah Air (1951) menulis puisi “Bunglon”. Meskipun muatannya berbeda, dari sisi perilaku yang ada pada Sang Bunglon pada prinsipnya sama, sama-sama menggambarkan sosok perilaku orang yang bisa disebut `munafik`. Bisa juga kalau mau disebut lebih halus `hipokrit`. Keduanya menggambarkan perilaku orang yang cenderung bermuka dua (standar ganda). Khusus untuk “Bunglon” yang ditulis S.M. Ashar telah dibahas penulis dalam tulisannya: “Menjauhi Hipokrit” (https://subagiowaluyo.com/menjauh-dari-hipokrit ). Kali ini penulis fokus membahas puisi yang ditulis Beni Guntarman: “Bunglon”. Untuk itu, penulis akan mencoba membahas setiap bait dari puisi “Bunglon” tersebut.

***

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

pada warna siapa yang berkuasa ia ‘kan menyesuaikan warna diri

lincah berkelebat dari dahan ke dahan, dari periode ke periode kekuasaan

terus menjadi ekor, dan kerap bermimpi menjadi sang pelopor

meski hakikat diri hanyalah alat kekuasaan yang kotor

          Sosok manusia yang disebut sebagai bunglon oleh Beni Guntarman adalah mereka-mereka berada di kekuasaan entah di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah. Mereka-mereka adalah tipe orang yang berstandar ganda. Di satu sisi bisa jadi mereka berpihak pada sesamanya (masyarakat sipil). Di sisi lain, mereka juga berteman dengan orang-orang yang berada di kekuasaan (bisa berpihak pada penguasa). Mereka-mereka ini cepat sekali menyesuaikan diri sehingga banyak orang yang tertipu oleh perilakunya. Orang-orang jenis ini selalu ada dalam setiap periode kekuasaan. Karena sudah terbiasa berperilaku hipokrit, mereka tidak pernah menjadi penguasa. Mereka-mereka ini hanya menjadi pengikut yang setia pada kekuasaan yang kotor. Meskipun demikian, ada kalanya mereka juga punya keinginan untuk menjadi penguasa. Kalau menjadi penguasa, mereka-mereka ini tidak pernah berubah perilakunya tetap menjadi orang-orang yang hipokrit.

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

kokoh berlindung dalam warna-warni hiruk-pikuk percaturan politik

diam-diam merasa bosan pada keangkuhan kayu dan dedaunan

coba berjuang menjadi pelopor perubahan

memaksakan warna kehendak diri pada pohon besar di pelataran singgasana

namun kayu tetaplah kayu, daun tetaplah daun yang selalu menghijau

tak sudi menjadi pengikut bunglon

          Mereka-mereka yang menjadi bunglon (orang-orang hipokrit) sudah terlanjur nyaman hidupnya di bawah penguasa yang otoriter (bisa juga disebut zalim). Mereka-mereka yang sudah merasa nyaman dengan penguasa yang zalim ini sangat pandai mencari muka, baik di hadapan penguasa yang zalim maupun di hadapan rakyat yang dizalimi penguasanya. Inilah yang disebut sebagai perilaku standar ganda. Hal ini bisa dibuktikan, ketika negara dalam kondisi genting tiba-tiba saja mereka-mereka ini menjadi pendukung rakyat. Bahkan, mereka-mereka ini yang menjadi provokator. Mereka-mereka ini pura-pura menjadi pahlawan. Kalau bisa, mereka-mereka ini berusaha agar penguasa yang ingin dijatuhkannya menjadi pengikutnya. Tapi, boleh jadi penguasa yang benar-benar berniat mewujudkan sebuah demokrasi yang benar tidak akan mudah terprovokasi. Penguasa yang didukung rakyatnya akan berusaha menghabisi mereka-mereka yang berperilaku hipokrit.     

Bunglon, sang penyamar hati di pohon kekuasaan

dunia dalam satu warna yang ada di benaknya

ketika berhadapan dengan tantangan kehidupan nyata

bunglon selalu kehilangan ekornya!

          Orang-orang hipokrit merasa nyaman hidup di bawah kekuasaan yang zalim. Mereka-mereka ini menghendaki agar penguasa yang zalim tetap dalam kezalimannya karena dengan cara demikian mereka bisa hidup nyaman. Suatu saat ketika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan, mereka menjadi orang-orang yang oportunis dan selalu mencari aman meski harus untuk itu mereka harus berkorban. Bisa juga ketika dalam kondisi yang tidak mengenakkan, mereka-mereka ini berupaya menghindar dari masalah atau menyelamatkan dirinya. Orang jenis ini jelas tidak memiliki integritas, identitas, dan harga diri.

***

          Orang yang masih memiliki hati nurani yang bersih tentu tidak mau berperilaku hipokrit seperti bunglon. Orang-orang jenis ini jelas masih memiliki integritas, identitas, dan harga diri. Buat mereka lebih baik mati daripada hidup berlumuran dosa. Mereka berupaya menjauhi perilaku seperti itu. Tentu saja agar terhindar dari penyakit hipokrit mau tidak mau seseorang harus melakukan pendekatan pada Sang Khalik secara intens. Mereka yakin dengan melakukan pendekatan pada Sang Khalik secara intens bisa terhindar dari penyakit hipokrit sebagaimana S.M. Ashar menyampaikan di bait terakhir puisi “Bunglon”-nya:

……………………………………………………..

O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara,

Biar lahirku diancam derita,

Tidak daku sudi serupa.  

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *