Subagio S.Waluyo
Apa yang terkandung dalam Surat Al-Maun? Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur`an menyatakan bahwa agama Islam merupakan sistem yang saling melengkapi karena ada interaksi ibadah dan syiar-syiarnya dengan tugas-tugas individual dan sosialnya. Dengan kata lain, menurut Sayyid Quthb, Islam sebagai rahmatan lil alamin hadir untuk kepentingan manusia dengan tujuan mensucikan hati, memperbaiki kehidupan, dan tolong-menolong sesama manusia dalam hal kebaikan, kesolehan, dan perkembangan manusia (masyarakat). Bahkan, menurut Sayyid Quthb, hakikat iman itu (apabila memang sudah benar-benar meresap di dalam hati manusia) akan bergerak merefleksikan dirinya dalam amal soleh. Jadi, kalau tidak ada amal soleh berarti hakikat iman pada diri manusia itu belum terwujud.
Dari uraian di atas bisa diambil intisarinya bahwa dalam Islam antara iman dan amal soleh merupakan mata uang yang memiliki dua sisi. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Tidak ada iman tanpa ada amal soleh. Begitupun tidak ada amal soleh jika tidak dilandasi oleh iman. Untuk itu, orang yang mengaku beriman harus membuktikannya dengan amal soleh. Orang yang melakukan amal soleh harus dilandasi keimanan karena amal soleh yang tidak disertai keimanan yang timbul ketika melakukan kebaikan selalu disertai dengan penyakit hati, yaituriya`dan takabur (naudzu billahi min dzaalik). Agar terhindar dari penyakit tersebut seorang Muslim dalam ber-Islam harus diawali dengan penanaman nilai-nilai aqidah. Aqidah yang baik akan tercermin manakala seseorang melakukan kebaikan tidak ada keinginan untuk pamer kekayaan atau masih perlu publikasi yang luas agar orang lain tahu bahwa dia sudah berbuat baik. Dia juga tidak ada keinginan untuk merasa diri paling kaya, paling soleh, paling banyak berbuat kebaikan pada sesama sehingga muncul sifat-sifat sombong pada dirinya. Kalau masih ada penyakit-penyakit hati dalam diri seorang Muslim, berarti aqidahnya masih perlu diperbaiki.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin berarti mengajak umat manusia agar selain menjadi orang yang soleh juga orang yang memiliki jiwa sosial. Dengan kata lain, seseorang untuk menjadi Muslim yang kaafah (sempurna) harus memiliki kesolehan dan kesosialan. Kesolehan akan terealisasi manakala seseorang memiliki keimanan yang tidak diragukan lagi. Sementara keimanan itu sendiri harus diwujudkan dalam bentuk pembenaran dan pengakuan yang mendalam terhadap rububiyatullah. Dalam konteks ini seorang Muslim harus meyakini di antaranya bahwa Allah SWT adalah pemelihara, pengatur, dan penjaga seluruh alam semesta beserta isinya. Memang benar bahwa kesolehan akan tampak pada aktivitas ibadah seseorang. Tetapi, harus juga dipahami bahwa bukan hanya terletak pada kuantitas ibadahnya, kualitas ibadah atau substansi dari sebuah ibadah juga harus benar-benar dipahami. Ibadah yang baik tentu saja akan menghasilkan perilaku yang baik bukan hanya pada Allah SWT tetapi juga pada sesama manusia. Kalau ada orang yang rajin beribadah (secara kuantitas), tetapi dari segi perilaku masih dianggap negatif, maka orang tersebut belum memahami makna sesungguhnya tentang ibadah. Dia hanya melaksanakan sekian banyak ibadah tetapi substansi yang terkandung dalam ibadah benar-benar blank.
Menjadi orang soleh memang sudah baik. Tetapi, kesolehan harus disertai dengan kesosialan. Orang yang hanya memiliki kesolehan tetapi tidak memiliki kesosialan, dia hanya akan sibuk dengan dirinya sendiri untuk beribadah pada Allah. Dia menutup mata pada kondisi orang di sekitarnya. Orang seperti ini tanpa dia disadari telah membangun image bahwa ada jurang pemisah antara kesolehan dan kesosialan. Tidak mustahil jika kemungkaran sudah merambah ke segenap penjuru orang seperti ini cepat atau lambat akan terkena dampak dari kemungkaran. Oleh karena itu, seorang Muslim yang kaafah selayaknya merenungi bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sebagian dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berguna”. Walaupun bunyi hadits tersebut demikian sederhana, kandungan yang terdapat di dalamnya oleh sebagian ulama merupakan separuh ajaran agama karena agama diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan ada upaya menghindari keburukan. Bunyi hadits di atas jika diteliti mencakup dua hal, yaitu kesolehan dan kesosialan. Adalah Ustadz Musthafa Al-Buqha dan Muhyidin Misto dalam buku Pokok-Pokok Ajaran Islam: Syarah Arbain Nawawiyah menyebutkan dari sisi Fiqhul Hadits ada tujuh butir makna yang terkandung di dalamnya di antaranya:
- membangun masyarakat yang mulia;
- menyibukkan diri dengan masalah yang tidak mendapatkan manfaat adalah tanda lemahnya iman;
- menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat merupakan jalan keselamatan;
- hati yang sibuk dengan mengingat Allah akan terhindar dari urusan makhluk yang tidak bermanfaat
- perkara yang bermanfaat dan tidak bermanfaaat
- membimbing seorang Muslim agar menyibukkan diri dengan persoalan-persoalan besar dan bernilai dan menghindari persoalan yang remeh dan sepele; dan
- membiasakan seorang Muslim untuk senantiasa mensucikan jiwanya dengan cara menjauhi semua masalah yang tidak bermanfaat.
(Pokok-Pokok Ajaran Islam:Syarah Arbain Nawawiyah, 2002: 121-124).
Dengan melihat pada ketujuh butir di atas, tampaklah bahwa kesolehan akan terjadi manakala seorang Muslim disibukkan dengan aktivitas ingat pada Allah dan senantiasa mensucikan jiwanya agar terhindari dari semua masalah yang tidak bermanfaat. Sedangkan kesosialan bisa diwujudkan dalam bentuk memiliki aktivitas dengan visi ke depan, yaitu membangun masyarakat yang mulia. Untuk bisa mewujudkan visi tersebut tentu saja seorang Muslim harus menyibukkan diri dengan aktivitas yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Termasuk juga di dalamnya menyibukkan dirinya untuk menyelesaikan persoalan-persoanal besar dan bernilai serta menyelesaikan perkara-perkara yang bermanfaat.
Sebenarnya demikian sederhana bukan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin mengajarkan pada umat Islam untuk membangun kesolehan dan kesosialan? Insya Allah hamba-hamba Allah yang mukhlish bisa melaksanakannya. Dengan niat ikhlas, Insya Allah semua yang semula berat bisa direalisasikan. Kalau tidak sekarang kapan lagi hamba-hamba Allah yang dirahmati Allah mewujudkan kesolehan dan kesosialan? Wallahu a`lam bissawab.