Subagio S. Waluyo

Kebaikan Durakkap mengantar Marlena pulang dipandang sebagai pelecehan oleh Brodin. Laki-laki bajing itu tidak terima istrinya dibonceng oleh Durakkap yang pernah menaruh cinta pada Marlena. Durakkap dianggap melecehkan harga diri Brodin sebagai seorang suami. Durakkap menjelaskan duduk perkaranya. Brodin tak percaya. Degup jantungnya berlompatan tak karuan.

 Sebagai seorang bajing yang disegani, Brodin menantang Durakkap carok. Awalnva Durakkap menolak, tapi lama-kelamaan mulut Brodin membuat dadanya berlubang. Durakkap diminta memotong kelaminnya jika menolak tantangan Brodin. Penolakan Durakkap bukan tak beralasan. Ia khawatir dirinya tewas di medan carok. Dengan kematian Durakkap, tentu saja akan membuat Taneyan sebatang kara.

Kesepakatan waktu dan tempat ditentukan hari itu juga. Durakkap pulang dengan dada yang kian sesak. Bayangan anak gadis semata wayangnya berkelebat di matanya. Ia tidak mengatakan apa-apa pada Taneyan saat tiba di rumah. Rencana carok dengan Brodin ditutup rapat-rapat. 

(Cerpen Zainul Muttaqin: “Celurit di Atas Kuburan”)

***

Setiap orang punya harga diri. Setiap orang juga tidak mau harga dirinya direndahkan orang lain. Jika ada orang yang tidak tersinggung direndahkan orang lain harga dirinya, perlu diselidiki faktor kejiwaannya. Jangan-jangan orang tersebut diragukan kejiwaannya. Atau kejiwaannya telah melayang ke mana tahu. Kejiwaannya telah melayang atau hilang walaupun dia secara fisik masih hidup. Orang seperti ini bisa dikatakan `dia telah mati sebelum mati`. Artinya, orang seperti ini telah tidak memiliki jiwa lagi. Dia hanya punya fisik tapi tidak punya jiwa karena jiwanya telah hilang.

Dalam cerpen yang ditulis Zainul Muttaqin: “Celurit di Atas Kuburan” orang seperti Brodin punya harga diri. Dia merasa harga dirinya direndahkan oleh Durakkap yang berani-beraninya mengantarkan istrinya ke rumah setelah sulit tidak mendapatkan ojek untuk pulang ke rumahnya. Dia ingat kalau Durakkap pernah jatuh cinta pada istrinya dulu ketika sang istri masih gadis. Karena faktor ekonomi saja yang membuat Marlena, yang sekarang jadi istrinya, lebih memilih Brodin. Boleh jadi Brodin merasa direndahkan harga dirinya kalau mengingat masa lalu itu. Tapi, apakah hanya masalah sepele itu orang harus saling berbunuhan? Di sini Brodin sebagai seorang yang menganggap dirinya jagoan (terbukti dalam sekian kali perkelahian dia selalu berhasil menundukkan lawan-lawannya) menantang Durakkap untuk carok (berkelahi sampai mati). Durakkap sudah minta maaf atas kelancangannya mengantar istri Brodin. Permintaan maaf Durakkap tidak direspon malah Brodin mengeluarkan kata-kata yang membuat Durakkap tersinggung juga harga dirinya. Perilaku Brodin mewakili sikap yang ada di sekitarnya karena memang sebagian besar orang di tempat tinggal Brodin berada memiliki pola pikir yang sama: tidak mau menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

***

Sulit memang berhadapan dengan orang semacam Brodin. Orang yang lebih mengutamakan otot daripada otak. Demi harga diri Brodin mau mati lewat carok. Mereka berprinsip lebih baik putih tulang daripada putih mata. Artinya, lebih baik mati daripada menanggung malu. Prinsip yang masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Madura. Prinsip tersebut kalau berkaitan dengan masalah agama atau mempertahankan tanah air dari orang-orang yang tergolong imprialis boleh-boleh saja. Tapi, kalau hanya masalah sepele (seorang istri diantar laki-laki lain pulang ke rumahnya karena ketiadaan kendaraan) apakah harga diri ini direndahkan? Atau dikaitkan dengan masa lalu sang istri yang pernah dicintai oleh orang lain yang mengantar ke rumahnya apakah perlu saling berbunuhan? Apalagi orang yang mengantarkan istrinya sudah minta maaf. Apakah itu belum cukup? Di sini saran dari seorang anak yang jauh lebih muda usianya tapi lebih dewasa berpikirnya agar memaafkan kesalahan orang selayaknya diterima.

“Memaafkan jauh lebih mulia ketimbang harus carok.” Tarebung mengucapkannya lirih. Brodin melihat ke arah anak lelakinya itu dengan rupa emosi.

“Pantang bagi lelaki menjilat ludah kembali,” kata Brodin.

“Ini hanya untuk kebaikan bersama. Jadi berhentilah carok,” jawab Tarebung.

“Kebaikan apa yang kau maksud? Apa kau akan diam bila harga dirimu direndahkan?” lanjut Brodin.

“Masih banyak cara yang lebih baik dari pada saling bunuh,” tukas Tarebung.

Bukankah ucapan sang anak, Tarebung, demikian indah didengarnya? Tapi karena Brodin sudah dikuasai nafsu, dia tidak mau dengar saran sang anak. Karena nafsu juga yang membuat jiwanya melayang, ketika Brodin berhadapan dangan Durakkap. Durakkap yang sudah minta maaf dan rasa khawatir kalau anaknya akan jadi piatu, di luar dugaan bisa mengalahkan Brodin sang jagoan. Sebuah kesombongan dan kepicikan berpikir berakhir dengan kematian yang mengerikan. Brodin tubuhnya bermandikan darah. Sebuah akhir kematian yang tidak mengenakkan. Sebuah kematian yang lebih disebabkan semata-mata mempertahankan harga diri (bisa juga gengsi) yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin.

Hari carok antara Durakkap dan Brodin sudah tiba. Brodin mengayunkan-ayunkan celuritnya ke udara seakan memperlihatkan kematian pada Durakkap. Tanpa perlu basa-basi, keduanya saling menyerang. Brodin berbasil merobek lengan kiri Durakkap. Tersenyum pongah Brodin melihat darah bercucuran di lengan Durakkap.

Entah bagaimana cara, Durakkap mengayunkan celuritnya dan langsung mengenai perut Brodin. Tersungkur Brodin ke tanah. Tubuhnya bermandikan darah. Matanya yang melotot sempat melihat Durakkap mengusap darah di ujung celuritnya. Satu menit kemudian malaikat datang mengambil napas dari tubuh Brodin.

***

Marlena, sang istri, begitu suaminya meninggal malah memanas-manasi anaknya, Tarebung, agak mau carok untk membalas dendam kematian suaminya. Buat Marlena yang benci, sedih, pilu, dan dendam pada orang yang telah membunuh suaminya, sudah selayaknya orang tersebut juga harus mendapat hukuman yang setimpal: mati dengan cara carok. Saking ingin membalas sakit hatinya pada Durakkap, Marlena mengucapkan kata-kata yang sarkasme: “Andai aku memiliki buah zakar sebesar cabai rawit saja, aku yang akan carok.” Terebung, yang bisa berpikir jernih (selain itu juga diam-diam dia mencintai Taneyan, anak gadis Durakkap, orang yang telah membunuh bapaknya) tidak mau melakukannya. Celurit yang dia bawa bukan digunakan untuk carok, melainkan dikuburnya celurit itu di atas kuburan bapaknya.

“Sekarang giliranmu carok. Balas kematian eppa’-mu,” ujar Marlena pada Tarebung sambil berurai air mata.

“Balas dendam itu bukan dengan carok,” kata Tarebung.

“Andai aku memiliki buah zakar sebesar cabai rawit saja, aku yang akan carok!”

Tarebung melihat dendam kian membesar di mata embu’. Tarebung mengambil celurit milik eppa’-nya yang tergantung dengan amis darah menempel di mata celurit takabbuwan itu. Gegas melangkah ia membawa celurit terayun-ayun di tangan kanannya. Para pelayat mengangkat kedua bahunya, bergidik tubuh mereka melihat Tarebung berjalan kasar meninggalkan rumah.

Dalam perjalanan, Tarebung bertemu Taneyan yang hendak melayat ke rumahnya. Keduanya saling pandang penuh cinta. “Apa kau mau balas dendam pada eppa’?”

Tarebung menggeleng dan mengajak Taneyan. Rupanya, Tarebung membawa celurit itu ke kuburan eppa’-nya. Tarebung mengubur celurit itu di atas pusara Brodin.

***

Orang tipe Brodin jelas seorang yang egois. Egois dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan (filsafat) sebagai 1) penganut aliran egoisme; 2) orang yang selalu mementingkan diri sendiri (KBBI, 1999:250).  Jadi, Brodin adalah penganut aliran egoisme atau boleh juga orang yang selalu mementingkan diri sendiri. Memang, Brodin kalau dikatakan sebagai penganut egoisme tidak akan paham. Tetapi, perilakunya menunjukkan orang yang egois atau penganut aliran egoisme. Apakah orang tidak boleh menjadi penganut aliran egoisme? Boleh-boleh saja karena egoisme sendiri menurut A.Mangunhardjana dalam Isme-Isme dari A sampai Z (2001:58) membagi ke dalam dua bagian besar, yaitu egoisme yang sehat dan egoisme yang tidak sehat. Egoisme yang sehat adalah pandangan dan sikap hidup yang melihat pemenuhan kebutuhan ego dan penghargaan sebagai hal yang baik dan perlu bagi perkembangan pribadi yang wajar. Sedangkan egoisme yang tidak sehat adalah pandangan dan sikap hidup yang mendewakan pemenuhan kebutuhan ego dan penghargaan. Dengan demikian, kalau dilihat dari sikap Brodin yang demi harga diri dia mau carok dengan Durakkap, berarti Brodin termasuk orang yang egoismenya tidak sehat.

Egoisme tidak sehat jika dikaitkan dengan agama (dalam hal ini aqidah Islam) buat orang setipe Brodin yang lemah imannya. Sebagai bukti lemah imannya, dia sangat bangga dengan kemampuan dirinya dan sangat tergantung pada celurit yang dimilikinya. Khusus tentang celurit yang bisa dikatakan sebagai salah satu sumber kemusyrikan, cerpen yang ditulis Zainul Muttaqin di awal cerpennya saja sudah tampak adanya acara seremonial yang mengarah pada kemusyrikan. Coba pikirkan bagaimana tidak dikatakan musyrik kalau malam jumat celurit itu dimandikan dengan direndam di rendaman air bunga? Walaupun Brodin komat-kamit seperti orang yang berzikir, tetap saja itu perbuatan syirik. Selain itu, Brodin beranggapan celurit bisa mengangkat martabatnya sebagai manusia. Aneh kalau sebilah celurit bisa mengangkat martabat seseorang? Bukankah ini juga menunjukkan Brodin orang yang musyrik?

Setiap malam Jumat, setelah azan magrib berkumandang, Brodin langsung mengambil sebilah celurit yang digantung sungsang pada paku payung berkarat di balik pintu.

Laki-laki berkulit gelap itu memandikan celuritnya dengan rendaman air bunga serta kertas-kertas bertuliskan huruf Hijaiyyah. Kemudian Brodin berkomat-kamit membaca doa seraya mengasapi celurit di tangan kanannya itu dengan kemenyan.

“Minggu depan, celurit ini akan mengangkat kembali martabatku,” ujar Brodin pada Tarebung, anak lelaki satu-satunya yang sudah berumur dua puluh tahun.

Bukan hanya Brodin yang mempraktekkan cara-cara musyrik, pembuat celurit itu sendiri, Lessap, ketika membuat celurit juga melakukan cara-cara yang cenderung berbau syirik. Bagaimana tidak syirik kalau dalam pembuatan celurit Lessap melakukan ritual dengan membuat sesajen berupa ayam panggang, nasi, dan air bunga? Walaupun Lessap harus berpuasa Nabi Daud (puasa selang hari) disertai banyaknya zikir, kalau dari awal niatnya agar celurit yang dibuatnya mengandung kesaktian tetap saja pekerjaan yang dilakukan penuh dengan kesyirikan. Wajar-wajar saja orang seperti Brodin muncul keangkuhannya karena beranggapan celurit yang dimilikinya benar-benar memiliki kesaktian. Brodin belum maju untuk carok sudah beranggapan akan bisa mengalahkan Durakkap mengingat selain punya celurit yang sakti juga Durakkap dianggap orang yang belum pernah berpengalaman melakukan carok.

Kemasyhuran seorang pandai besi bernama Lessap sudah sampai ke luar kota. Lelaki kurus itu puluhan tahun membuat celurit pesanan orang-orang yang datang kepadanya dari segala penjuru. Tidak diragukan lagi kehebatannya membuat celurit. Selama ini celurit yang dibuatnya selalu mampu mengalahkan lawannya.

Celurit pesanan Brodin dikerjakan dengan sangat hati-hati. Lessap melakukan puasa Daud selama mengerjakan celurit itu. Mulutnya tak henti berzikir setiap menempa logam yang sudah membara untuk dibentuk lengkungan menyerupai bulan sabit. Setiap tahun, tepatnya bulan Maulid, bersama pekerjanya yang lain. Lessap melakukan ritual kecil di bengkel tempatnya membuat celurit.

Ritual yang dilakukan Lessap disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi, dan air bunga. Sesajen itu didoakan bersama di langgar, kemudian air bunga disiramkan pada bantalan tempat menempa besi. Tidak seorang pun berani melangkahi apalagi sampai menduduki bantalan tersebut. Itulah pantangan yang tak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar pantangan itu dapat dipastikan orang tersebut akan sakit-sakitan, celaka, bahkan bisa meninggal dunia dengan cara mengerikan.

Karena itu Brodin sangat percaya bahwa kemenangan akan berpihak kepadanya. Tidak mungkin celurit buatan Lessap mudah dikalahkan begitu saja. Lebih-lebih Brodin tahu, celurit yang akan digunakan Durakkap hanyalah celurit biasa yang dipesan dari seorang pandai besi tak terkenal. Selain itu, Durakkap juga belum pernah carok. Ia tak berpengalaman seperti Brodin. Pantas saja Brodin sangat yakin dengan kemenangannya.

***

Seandainya ada orang semacam Brodin beranggapan bahwa dirinya adalah seorang Muslim yang baik, orang semacam ini perlu dikoreksi. Perilaku yang ditampilkan Brodin dalam cerpen tersebut jelas mencermin seorang Muslim yang jauh dari sempurna. Seorang Muslim yang baik tidak perlu emosional ketika berhadapan dengan masalah yang sebenarnya sepele saja. Dia lebih penting berpikir jernih, mau memaafkan kesalahan orang. Bahkan dalam kasus tersebut yang perlu ditegur adalah istrinya karena mau saja diboncengi oleh laki-laki lain yang bukan mahromnya. Seorang Muslim yang baik baru akan tersinggung kalau menyangkut agamanya yang dihina oleh orang lain. Seorang Muslim yang baik pantangan untuk menghabisi nyawa orang lain sesama Muslim. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas`ud Radiallahu Anhu dijelaskan bahwa Rasululllah SAW bersabda:

Darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan) kecuali Allah dan aku adalah Rasul Allah, tidak halal kecuali karena salah satu dari tiga hal: Tsayyib (seorang yang telah menika) yang berzina, nyawa (dibalas ) dengan nyawa, dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jamaahnya.”

Pertanyaannya, apakah Durakkap termasuk dari salah satu tiga kriteria di atas? Kalau tidak ada sama sekali mengapa harus dimusuhi yang berakibat orang yang mau berkorban demi harga diri (Brodin) malah justru menjadi korbannya? Apakah orang seperti Brodin ketika mati dalam carok layak disebut mati syahid? Wallahu a`lam bissawab.  

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *